Share

BAB 4

“Freya Amelia, will you marry me?

Kata-kata itu terus berputar di benakku dari semalam hingga pagi ini. Bahkan aku tidak bisa tidur karena memikirkan itu terus menerus.

Jika kalian berpikir aku menerimanya, ya memang akhirnya mulutku berkata “Yes, I will

Dan saat itu juga Kei langsung memelukku erat sembari membisikkan ucapan etrimakasih terus menerus di telingaku, tak lupa juga dengan sorak-sorai dari pengunjung restoran lainnya yang ikut memeriahkan.

Namun, bukan itu yang aku pikirkan saat ini. Aku menatap cincin yang melingkari jari manisku dengan indahnya. Apakah keputusanku ini benar adanya? Apa benar-benar bisa aku merajut mimpi-mimpiku bersama Kei nantinya?

Lamunanku buyar saat terdengar bunyi alarm dari ponselku. Menunjukkan pukul lima pagi. Ya— yang seperti aku katakana tadi, aku benar-benar tidak bisa memejamkan mataku dari semalam Kei mengantarku pulang. Otakku terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang— hah memikirkannya lagi membuatku pusing.

“Lebih baik aku mandi sekarang, mungkin berendam air panas bisa merileks-kan tubuhku sedikit.” ucapku sendiri.

*****

Toktok… Toktok…

“Ya sebentar.” teriakku saat mendengar suara ketukan pintu.

“Udah siap belom?” tanya Reyhan saat aku membukakan pintu sembari melangkah masuk tanpa permisi. Dasar!

“Bentar, ambil tas sama laptop dulu gue.” Aku langsung menuju kamar, mengambil barang-barang.

“Eh, lo berangkat sama Karina?” tanyaku saat melihat Karina baru saja masuk ke rumahku.

Karina tersenyum kikuk. “Permisi, Bu.”

Aku senyum-senyum menggoda mereka. “Ahh— urusan pribadi kalian deh. Gue nggak mau ikut campur.”

“Apaan sih lo. Udah deh, buruan berangkat ayok.” sewot Reyhan.

Setelah memastikan barang-barang yang aku bawa lengkap, kami pun berangkat.

“Kita jemput Sinta dulu apa gimana?” tanyaku saat mobil reyhan sudah mulai berjalan menjauhi area perumahanku.

“Engga, langsung aja. Dia udah sama anak divisi lapangan juga. Rombongan.”

Aku mengangguk. Hampir saja lupa, aku buru-buru menelfon Kei untuk mengabarinya.

“Halo, Kei. Aku berangkat ke Bandung dulu ya.”

“Oke. Hati-hati dijalan. Jangan lupa kabari aku terus.” titahnya. “Iya, kei.”

“Kalau udah selesai, buruan pulang.” aku mengiyakan perintahnya lagi lalu menutup sambungan telfon.

“Pacar lo kasih ijin pergi?” tanya Reyhan tiba-tiba.

Aku mengangguk. “Tumben?” tanyanya lagi.

“Susah tau apet ijinnya. Gue harus janji kalau bakal kasih kabar terus ke dia, dan kalau udah beres harus langsung pulang.” jelaksu.

“Berasa jadi tahanan lo.”

Mendengar ucapan Reyhan membuatku berpikir kembali, tanpa sadar ku tatap cincin di jari manisku kembali. Setelah itu hanya keheningan yanga da di mobil. Bahkan aku hampir lupa bahwa ada Karina di kursi belakang.

Aku menoleh ke belakang, melihat Karina yang curi-curi pandang kea rah Reyhan. Aku melirik Reyhan yang hanya fokus terhadap jalan di depannya. Diam-diam aku tersenyum jahil.

“Diajak ngobrol dong, Kar. Jangan curi-curi pandang aja.” ucapku menggoda.

Karina langsung terkejut dan salah tingkah di kursinya. “Ehh— engga, Bu. Aa— itu, emm.. maksudnya apa, Bu?” dia menjawab dengan terbata-bata gugup.

Aku terkekeh pelan, Reyhan pun terlihat berusaha tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi. Lucu sekali mereka ini.

“Jangan salting gitu deh, Kar. Biasa aja. Saya cuman godain kamu. Hahaha.” jawabku sambil tertawa.

“Jangan usil jadi orang. Udah duduk diem aja.” saut Reyhan sembari mengacak-acak rambutku.

Aku memanyunkan bibir sambil menata kembali rambutku.

“Oh ya, Kar. Kamu udah koodinasi sama Sinta untuk lokasi mana aja yang harus kita survey?” tanyaku lagi pada Karina.

Dia mengangguk dengan mantap. “Sudah, Bu. Saya juga barusan sudah diberi urutan lokasi mana saja yang kita survey nanti.”

“Oke. Jangan lupa nanti kamu catat semuanya ya. Dari harga, fasilitas, kondisinya seperti apa.”

“Baik, Bu.”

Setelah memastikan semuanya pada Karina, aku kembali menatap jalan di depan.

*****

“Ini lokasi pertama yang akan kita survey, Bu. Menurut data yang diberi divisi lapangan, tempat ini cukup menarik untuk photoshoot kita.” jelas Karina saat kami tiba dilokasi pertama.

Aku mengangguk mengerti, kami pun berjalan bersama anak-anak divi lapangan dan pengurus dari lokasi tersebut untuk berkeliling lagi dilokasi tersebut.

“Untuk lokasi yang ini saya sih—“ ucapanku terpotong karena tiba-tiba ponselku bordering cukup keras. “Bentar, saya angkat telfon dulu.”

Aku menjauh sedikit dari mereka lalu mengangkat telfon yang sudah tertera nama Kei disana. “Halo, Kei.”

“Kamu dimana? Kok nggak kasih kabar?” cercanya tanpa menjawab sapaanku terlebih dulu.

“Aku barusan sampe lokasi pertama, Kei. Maaf aku lupa telfon kamu, soalnya—“

“Bisa-bisanya kamu lupa, Frey?! Hal sepele begini aja kamu lupa loh.” sela Kei dengan nada tinggi, sampai-sampai aku menjauhkan sedikit ponselku dari telinga.

“Bukan gitu, Kei. Tadi ponselku nggak ada sinyal. Lokasinya emang agak susah sinyal.” jelasku dengan hati-hati.

“Aku juga tadi mau telfon kamu, tapi udah keduluan kamu telfon, Sayang.” lanjutku berusaha meredam emosinya.

“Lain kali jangan diulangi, Frey. Aku khawatir sama kamu. Kamu disana sendiri, nggak ada aku.”

“Aku disini sama yang lainnya, Kei. Ada Rey—“

“Nggak ada aku disitu, Freya. Belum tentu aman buat kamu.” lagi-lagi dia tidak membiarkanku menyelesaikan ucapanku.

Aku menghela nafas kasar. “Iya, maaf. Aku janji, abis ini bakal terus inget kabarin kamu. Udah dulu ya? Aku tutup telfonnya. Bye.” setelah itu aku langsung menghampiri yang lainnya kembali.

Dari jauh Reyhan sudah memandangiku dengan raut wajah yang tak menyenangkan. Aku rasa dia pasti tau apa yang baru saja terjadi.

“Sori lama. Tadi gimana?” tanyaku pada Karina.

“Tadi, Ibu lagi mau bilang tentang lokasi ini menurut Ibu.”

“Oh iya. Menurut saya sih lokasinya ini cukup cocok kalau kita dekor sesuai tema kita ya. Cuman lokasinya emang agak susah dijangkau ya. Sinyal dan jalannya pun tadi bisa jadi halangan.” jelasku.

Mereka mengangguk tanda menyetujui apa yang aku katakan. Setelah berbincang-bincang lagi mengenai lokasi ini. Akhirnya kami memutuskan untuk menuju lokasi berikutnya.

Saat hendak berjalan kembali ke mobil, tiba-tiba Reyhan menahan pergelangan tanganku. Aku menoleh ke arahnya dengan tatapan bertanya-tanya. Namun, sedetik kemudian aku tersadar saat melihat tatapan Reyhan kearah jari manisku.

“Lo—“

“Iya, gue kemarin di lamar sama Kei. Sori gue lupa kasih tau lo.” ujarku dengan raut gembira yang sedikit dipaksakan.

Reyhan menatap mataku. “Lo beneran udah yakin sama dia, Frey?”

Aku balik menatap matanya. “Gue— yakin.”

No, you’re not!”

“Kalau gue nggak yakin sama Kei, mana mungkin gue terima lamarannya dia? Gila kali lo.”

“Lo cuman masih bimbang aja, Frey! Harusnya lo nggak secepet itu kasih keputusan. Ini bersangkutan sama masa depan lo, Freya.”

“Gue tau, Rey. Lo nggak perlu menggurui gue. Ini hidup gue, dan lo nggak bisa ngatur-ngatur gue!” balasku dengan penuh penekanan. Bahkan baru kali ini aku meninggikan suaraku di hadapan Reyhan.

Reyhan melepas pergelangan tanganku dengan kasar. “Harusnya lo ngomong kayak gitu ke pacar tersayang lo!” dia pun  pergi meninggalkanku yang termenung.

Setelah pertengkaran itu, aku dan Reyhan tidak saling membuka suara di dalam mobil. Saat sampai di lokasi beriktunya pun, ia tetap mengacuhkanku. Hanya saja, saat di dalam mobil aku sedang menelfon untuk mengabari Kei, aku melihat tangannya yang mengepal di kemudi.

“Ini sih, saya lebih sreg ketimbang yang tadi ya.”

“Untuk dekornya juga nggak perlu penambahan yang terlalu banyak karena kondisi lokasinya juga sudah cukup sesuai tema kita.” lanjutku sambil berkeliling bersama tim.

“Iya, Bu. Cuman yang lokasi ini agak pricey.” ucap Sinta.

“Nggak bisa di nego lagi ya, Sin?”

“Ini saya lagi coba kontak pemiliknya lagi sih, Bu. Kalau kata yang penjaganya sih, mereka nggak diberi wewenang untuk menentukan harga. Jadi harus tanya langsung ke pemiliknya.” jelas Sinta.

“Coba buruan di kontak ya, Sin.”

“Baik, Bu.”

“Oh ya, Bu. Setelah ini kita masih ada dua lokasi lagi. Yang satu lokasinya di alam terbuka. Tapi, ini sudah kesorean untuk kesana. Jadi kita pulang atau cari penginapan disekitar sini, Bu?” tanya Karina.

Aku berpikir sejenak lalu berusaha meminta pendapat pada Reyhan, namun lagi-lagi ia memberi tatapan ‘bodo amat’ nya.

“Kalau saya sih, lebih baik cari penginapan sekitar sini aja ya. Kalau kita pulang terus besok harus balik kesini lagi, agak membuang waktu. Jadi sekalian aja.”

“Gimana menurut kalian?” tanyaku

“Saya sih setuju-setuju aja, Bu.” jawab Karina diikuti anggukan yang lainnya, menandakan setuju.

Setelah selesai berkeliling lokasi kedua, akhirnya kami mencari penginapan disekitar lokasi. Dan Sinta menemukan satu villa yang bisa langsung kita booking saat itu juga.

Villanya cukup bagus dan luas. “Haa— lumayan sekalian untuk refreshing.” ucapku dalam hati.

“Ya ampun, hampir lupa.” aku menepuk jidatku pelan. Aku menelfon Kei untuk memberi kaabr bahwa aku harus menginap semalam disini.

 “Halo Kei. Kamu sedang apa?” tanyaku.

“Lagi perjalanan ke rumah Mama. Kamu udah perjalanan pulang ke Jakarta lagi?”

“Eum— aku harus menginap disini semalam Kei.”

“Freya, jangan mulai.” wanti-wantinya.

“Jarak antar lokasi emang cukup jauh, Kei. Jadi untuk dua lokasi lagi belum kekejar hari ini. Udah keburu sore.” jelaksu.

“Yaudah pulang dulu, besok berangkat lagi.”

“Nggak bisa dong, Kei. Kasian sama yang lainnya. Pasti lebih capek.”

“Kamu nggak bilang dari awal kalau nggak pulang loh, Frey.”

Aku mendesah pelan. “Ini juga dadakan, Kei. Aku juga maunya langsung pulang. Tapi kan nggak—“

“Kamu nggak bisa atau nggak mau?” tukasnya dengan nada tinggi.

“Nggak bisa, Kei. Aku juga harus mikirin anak-anak yang lain. Bukan cuman aku doang.” bantahku lagi.

“Kamu nggak mikirin aku?! Aku tunangan kamu, khawatir sama keadaan kamu disana! Aku nggak disana sama kamu, kalau kamu kenapa-kenapa gimana? Hah?!” bentaknya yang membuatku reflek memejamkan mataku.

“Maaf, Kei. Aku nggak—“

“Terserah kamu, Frey! Suka-suka kamu aja.” Kei memutuskan telfon sepihak.

Mataku terasa memanas, aku berusaha menahan air mata yang sudah ada diujung. Bersiap-siap untuk tumpah. Aku menarik nafas perlahan, menetralkan perasaanku.

Mala mini, aku sekamar dengan Karina. Aku menghampirinya di kamar tempat kami berdua tidur. Karina baru saja keluar dari kamar mandi, terlihat dari handuk yang melilit di kepalanya.

“Mau mandi dulu, Bu?” tanya Karina.

“Enggak, Kar. Saya nggak boleh mandi malam-malam.” jawabku sambil tersenyum miris.

Karina mengangguk lalu berjalan ke kasurnya. Oh ya kamar ini memiliki 2 kasur yang terpisah. Ukurannya pun cukup besar untuk satu orang tidur.

Aku mengganti bajuku dengan baju yang sudah aku persiapkan untuk jaga-jaga. Lalu mencuci muka dan gosok gigi. Setelah selesai melakukan ritual ebrsih-bersih. Aku melihat Karina yang sudah terlelap dikasurnya. Cepat sekali tidurnya, batinku.

Aku menatap pantulan diriku di cermin. Akhir-akhir ini sepertinya aku kurang istirahat. Dibawah mataku terdapat lingkaran hitam yang samar dan kurasa pipiku sedikit menirus. Lagi-lagi aku menghela nafas panjang.

Karena tidak bisa tidur, aku berjalan keluar kamar, melihat-lihat pemandangan sekitar Villa yang cukup bagus. ternyata dibelakang Villa terdapat taman yang cukup luas dan ada dua ayunan ditengah-tengahnya. Aku pun duduk di salah satu ayunan itu, mengayunkan pelan tubuhku. Merasakan angina malam kota Bandung yang menyejukkan.

Entah mengapa, aku merasa sangat kesepian. Disaat seperti inilah aku merindukan Mama. Biasanya beliau yang selalu ada untukku. Saat aku susah maupun senang. Mama yang selalu membelai rambutku, mengatakan semuanya akan baik-baik saja.

Tanpa sadar, air mataku mengalir. Aku mengadah ke atas menghalau air mata yang akan turus mengalir, dan dengan cepat menghapusnya dari pipiku. Kulihat langit diatasku, sangat indah. Walaupun bintang-bintang yang terlihat hanya sedikit. Namun itu membuatku iri pada bulan. Bahkan walaupun ia tak mempunyai sinarnya sendiri, banyak bintang-bintang yang membantunya memantulkan sinar di langit.

“Lo berhak bahagia, Frey.”

Aku terkejut saat mendengar suara dari sampingku. Ternyata Reyhan sudah duduk di ayunan sebelahku tanpa kuketahui kapan dia datang.

“Lo berhak mutusin mana yang baik dan enggak buat hidup lo sendiri.” lanjutnya lagi.

“Gue kangen Mama, Rey.” ucapku tanpa menanggapinya.

“Mama lo juga pasti pengen liat lo bahagia.”

“Gue udah bahagia disini. Jadi Mama nggak perlu khawatir, ya kan, Rey?”

Reyhan menggeleng pelan, “Lo yakin udah bahagia?”

“Yakin. Gue udah bisa mulai meraih impian gue.”

“Impian lo yang bentar lagi pupus maksud lo?”

Aku menoleh cepat kearah Reyhan, “Maksud lo apa?”

“Ya bener kan? Lo nikah sama Kei, artinya lo juga harus merelakan semua impian lo. Studio, pekerjaan lo.” aku termenung mendengar apa yang Reyhan ucapkan. Hatiku sakit saat membayangkan itu semua.

Reyhan menggenggam tanganku, “Lo bisa akhiri ini semua, Frey. Belum terlambat buat keluar dari lingkaran ini.”

“Gue nggak bisa, Rey. Gue sayang sama Kei.”

“Dan lo lebih milih mempertahankan orang yang nggak menduku lo dan merelakan impian lo sejak dulu?”

Lagi-lagi aku terdiam.

“Lo harus pikirin ini lagi, Frey. Lo piker mateng-mateng semuanya. Gue sayang sama lo. Lo sahabat gue. Gue nggak mau ngeliat lo tersiksa kayak gini.”

Aku tak mampu menahan air mataku lagi. Aku menangis sejadi-jadinya, Reyhan pun menarikku kedalam pelukannya. Mengelus punggungku bermaksud menenangkan. Aku balas memeluk Reyhan dengan erat. Saat ini hanya dia yang kupunya. Hanya Reyhan yang menjadi tempatku bersandar saat aku lelah.

*****

Pagi hari telah tiba, aku meregangkan tubuhku di tempat tidur lalu berdiam diri sejenak. Aku melihat kekasur sebalah, Karina sudah tidak ada di tempatnya. Aku buru-buru mandi dan bersiap-siap.

Ahh— mataku. terasa sangat sembab. Untung aku membawa beberapa make up yang dapat membantu menyamarkan mataku yang sembab. Setelah selesai bersiap-siap, aku mengemasi barangku lalu keluar kamar.

“Pagi semua.”

“Pagi, Bu.” sahut mereka.

“Wahh.. Siapa yang masak nih?” tanyaku saat melihat beberapa makanan tersaji di meja dapur.

“Karina, Bu. Dia katanya bangun terlalu pagi, jadi masakin buat kita semua.” jelas Sinta.

“Wahh— hebat kamu, Kar. Bisa masak sebanyak ini.”

“Enak lagi.” lanjutku setelah mencicipi masakan Karina.

Yang dipuji hanya tersenyum malu-malu, “Terimakasih, Bu. Silahkan dinikmati ya.”

Kami semua pun akhirnya makan pagi sambil ngobrol-ngobrol diselingi candaan. Setelah makan, kami pun bersiap untuk melanjutkan aktivitas kami.

“Sudah nggak ada yang tertinggal lagi?” tanya Reyhan pada kami semua.

Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, kami pun menuju mobil untuk berangkat ke lokasi selanjutnya.

Di mobil aku mengambil ponselku yang ada di tasku. Seketika mataku terbelalak terkejut karena banyak sekali notif telfon dari Kei.

Aku buru-buru menelfonnya balik, namun tak bisa. Hanya operator jaringan yang menjawab. Perasaanku mulai tidak nyaman. Aku khawatir apa yang terjadi pada Kei. Aku pun memberi kabar lewat w******p dan tak lupa menanyainya mengapa menelfonku berkali-kali.

Karena lokasi penginapan yang tidak jauh dari lokasi survey selanjutnya, kami pun sudah sampai ditujuan. Aku sejenak berusaha melupakan kegelisahanku lalu mulai mengurusi survey-survey.

Tepat pukul tiga sore, kami selesai melakukan survey di dua lokasi tersisa. Setelah beberapa pertimbangan dengan tim yang lain, akhrinya kami memutuskan dua tempat untuk lokasi photoshoot. Di lokasi kedua dan lokasi ke empat yang merupakan alam terbuka. Setelah selesai dengan semuanya, kami pun melakukan perjalanan kembali ke Jakarta.

*****

“Terimakasih Pak Reyhan, Bu Freya. Hati-hati dijalan.” ucap Karina yang sudah berada di depan rumahnya.

Aku dan Reyhan mengangguk lalu melanjutkan perjalanan. Ya, kami mengantar Karina sampai ke rumahnya. Lalu abru, Reyhan mengantarku pulang.

“Rey, semalam Kei telfon gue berkali-berkali. Tapi tadi pagi gue telfon balik nggak bisa.”

“Lo udah coba w******p dia?”

“Udah. Cuman centang satu doang. Gue khawatir.” ujarku.

“Tenang dulu. Siapa tau dia lagi ketemu klien, jadi ponselnya mati. Lo bersih-bersih, istirahat dulu aja sambil terus coba cari tau kabar pacar lo.”

Aku mengangguk namun tetap tidak menghilangkan rasa khawatirku. Entah mengapa perasaanku tidak enak.

Sampai di depan rumahku, aku sedikit terkejut namun cepat tergantikan rasa lega saat melihat mobil Kei yang terparkir di halam rumahku.

“Tuh, orang yang lo cari-cari.” ucap Reyhan saat melihat mobil Kei.

“Makasi ya, Rey. Lo hati-hati pulangnya.”

“Iya bawel. Dah, masuk sana lo.” Aku mengangguk lalu segera masuk kedalam rumahku.

Saat masuk, aku cukup terkejut karena kondisi rumahku yang gelap. Hanya cahaya remang-remang dari televise yang menyala. Aku segera mencari keberadaan Kei.

“Kei, aku pulang.” namun tak ada sahutan darinya.

Sampai tiba-tiba…

“ASTAGA KEI!” teriakku histeris karena menemukannya terkapar di kamar mandi kamarku dengan keadaan yang mengenaskan.

Badannya basah kuyup dengan shower kamar mandi yang maish setia mengguyur tubuhnya.

“Kei bangun. Kei.” aku menepuk-nepuk pelan pipinya.

Kei pun perlahan membuka matanya. Ada apa dengan dirinya. Matanya merah seperti habis menangis. Bibirnya sangat pucat.

“Ayo ganti baju dulu. Kamu basah kuyup, Sayang.” aku berusaha membantu Kei bangun.

Mendudukkannya di sofa kamarku. Lalu mencari bajunya yang ada beberapa di lemariku.

“Ini kamu ganti baju dulu. Keringin badan dulu. Nanti kamu sakit, Kei.”

“Frey— kenapa kamu tega?” ucapnya lirih sambil menatapku sendu.

“Aku nggak ngerti maksud kamu, Kei. Kamu mending ganti baju dulu.”

“Kamu kenapa tega selingkuh dibelakang aku, Freya?”

Kali ini aku benar-benar terkejut, selingkuh? What the hell?!

“Kei kamu ngelindur? Aku selingkuh? Nggak mungkin dong, Kei.”

“Lalu ini apa?” ia menunjukkan layar ponselnya ke arahku. Mataku membulat sempurna. terkejut melihat foto yang ditunjukkan Kei kepadaku.

“Ini— ini nggak seperti yang kamu pikir Kei!”

“Ini—“

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status