Share

BAB 03. MANTAN MERTUA

"Udah denger belum? Katanya si Gina di ceraikan pak Bagas!"

Seroang wanita setengah baya berbisik pada ibu-ibu lainnya.

"Iya, kemaren saya denger si Gina jerit-jerit enggak mau di ceraikan!" timpal yang lain.

"Mampus deh itu perempuan, salah siapa jadi istri boros banget! Denger-denger, dia pakai semua uang pak Bagas buat renovasi rumahnya!"

"Iya? Pantas aja! Gak mungkin kan cewek kampungan macam dia bisa renovasi pakai uang sendiri! Pasti dia manfaatin pak Bagas, tuh! Ketawa deh Saya paling kenceng. Tau rasa emang. Enggak becus gitu jadi istri, pastinya pak Bagas juga udah dapet yang lebih baik dari si Gina."

Para ibu-ibu itu sibuk bergosip sambil berbelanja pada tukang sayur keliling. Setiap hari selalu ada yang mereka gosipkan, namun hari ini sangat spesial karena berita mencengangkan, yaitu tentang Bagas yang menceraikan Gina sudah tersebar hingga ke kampung seberang.

Banyak orang yang kasihan pada Gina, namun tidak sedikit pula yang mencela dengan kata-kata mengejek. Mentertawakan nasib malang Gina.

Gina sedang berada di dalam rumah saat itu, dia duduk di meja makan, menatap anak-anak yang makan dengan sangat lahap. Kemarin saat mereka mendengar Gina dan Bagas bertengkar, setelah kepergian Bagas, Gina berusaha keras untuk menenangkan putra-putrinya. Untungnya Binar dan Ghazi masih sangat kecil untuk mengerti apa yang terjadi, berbeda dengan Gavin yang sudah di usia di mana dia mungkin sedikit paham apa itu perceraian dan apa yang terjadi jika ke dua orang tuanya bercerai.

"Kalian makan, ya, Mamah mau ke belakang dulu," ujar Gina pada anak-anaknya.

Ketiganya mengangguk, Gina berdiri dari kursi, berjalan ke belakang rumah meninggalkan ketika anaknya. Wanita itu menatap langit yang tampak mendung, lalu tatapannya beralih pada pakaian yang sedang dijemur di luar. Dia dengan cepat mengambil semua pakaian yang sudah kering itu, lalu membawanya ke dalam sebelum hujan deras turun.

Masih pukul tujuh pagi, namun langit benar-benar tidak bersahabat hari ini. Bahkan para ibu-ibu yang sedang berbelanja di tukang sayur dan sibuk bergosip langsung bubar begitu hujan deras turun.

Gina masuk ke dalam kamar, tanpa sengaja melihat potret pernikahannya sembilan tahun lalu dengan Bagas. Dalam potret, dia yang mengenakan sebuah gaun pengantin berwarna putih tampak tersenyum dengan enggan ke arah kamera. Dan bagas berdiri menjulang di sebelahnya, menatap kameramen dengan ekspresi acuh.

Potret itu mengingatkan Gina kembali bahwa mereka menikah bukan karena cinta, melainkan wasiat dari Kakek Gina yang memohon pada Bagas agar Bagas mau bertanggung jawab atas Gina sebelum Kakek Gina meninggal.

Saat itu Bagas masih seorang Letnan dua dan Kakek Gina juga dulunya adalah pensiunan tentara. Singkat cerita, Bagas mempunyai hutang budi pada Kakek Gina, pada saat Kakek Gina memintanya bertanggung jawab atas Gina, Bagas tanpa berpikir langsung menyetujuinya.

Pernikahan mereka bertahan hingga sembilan tahun dan di karuniai tiga orang anak, namun sebentar lagi ikatan itu akan terputus karena perceraian. Gina duduk di tepi tempat tidur, menangis lagi.

"Mamah! Mamah!" suara teriakan Gavin terdengar dari luar pintu. Gina, dengan cepat menghapus air matanya, menatap putranya yang masuk ke dalam kamar.

"Ada apa, sayang?" tanya Gina.

Gavin tampak menatap sang ibu dengan ragu. "Itu… ada nenek di depan, Ma," ucap Gavin, memberitahukan Gina.

Gina tiba-tiba bangkit berdiri, dia tidak tau apa tujuan ibu mertuanya datang.

"Kenapa ibu datang?" tanya Gina saat melihat Minah yang tampak celingak-celinguk melihat isi rumah.

"Kenapa? Saya enggak boleh datang ke rumah yang anak saya beli?!" ketus Minah pada Gina.

Gina menatap mertuanya itu dengan ekspresi datar. "Bukan itu, tapi enggak biasanya ibu datang dan masuk ke dalam rumah," balas Gina.

Minah tampak mendengus, dia dengan penuh semangat memegang beberapa pajangan di dalam rumah. "Cih, bagus ya rumahnya sekarang? Pasti uang Bagas kamu hambur-hamburkan untuk renovasi rumah ini, kan!?" Minah lalu menoleh pada Gina. "Untung aja sebentar lagi Bagas resmi cerai sama kamu!"

Telapak tangan Gina terkepal erat mendengar perkataan Minah. Apa maksudnya dia menghambur-hamburkan uang bagas? Memang, Bagas kerap memberikan uang bulanan untuknya. Tapi, hampir semua dari uang itu dia pakai untuk biaya makan, dan juga sekolah anak-anaknya. Belum lagi, sering kali uang itu diambil oleh ibu tirinya.

Gina hanya menyimpan uang yang dia dapatkan dari bisnis kecil miliknya, dan mencoba membiayai renovasi rumahnya sedikit demi sedikit.

"Akhirnya Bagas sadar juga! Kamu emang perempuan enggak guna. Udah di kasihani, tapi sama sekali enggak bisa nyenengin laki-laki. Oh, setelah kamu dan Bagas bercerai, rumah ini bakalan di tempati sama sepupu Bagas yang datang dari kota buat pindah. Kamu sebaiknya cepet beres-beres."

"Bu!" Gina memprotes dengan tidak terima. Dia tidak menyangka Minah akan menyuruhnya pergi dari rumah ini.

"Kenapa?! Kamu keberatan?! Memangnya saya nanya pendapat kamu! Kalau udah cerai dari Bagas kamu itu bukan siapa-siapa Bagas lagi! Kamu mau terus memanfaatkan anak saya?!"

Gina gemetar karena marah, dadanya pengap karena emosi yang coba dia tahan. "Itu bukan hak ibu juga buat ngambil rumah ini dari aku! Mas Bagas sendiri yang bilang kalau rumah milik aku!" Sampai mati pun Gina tidak akan membiarkan rumah ini di ambil oleh Minah!

"Saya ibunya Bagas, saya berhak mengatur urusan Bagas! Pokoknya kamu udah harus pergi dari sini sebelum sepupu Bagas yang dari kota datang, kalau enggak kamu yang akan saya usir paksa!"

"Aku enggak bisa, Bu! Ibu seharusnya juga mempertimbangkan anak-anak, nanti anak-anak mau tinggal di mana kalau harus pergi dari rumah ini?"

"Bukannya kamu jalang? Bagas aja berhasil kamu rayu. Setelah cerai sama Bagas udah pasti kamu bakal cari koban selanjutnya!" sindir Minah.

"Nenek jahat! Nenek jahat!" Ghazi yang sedari tadi berada di kamar tiba-tiba berlari, tangan kecilnya memukuli Minah.

"Eh, dasar kamu anak sialan!" Minah dengan kejam menendang tubuh kecil itu.

"Ghazi!" Gina menjerit kaget, putranya terbanting hingga membentur tembok. Dia buru-buru menghampiri anak itu.

"Huaaaa, sakit, Ma! Sakit!" Ghazi menangis.

"Apa yang Ibu lakuin?!" Gina sangat marah hingga dia berteriak pada Minah.

"Memangnya salah saya?! Anak sialan kamu itu yang duluan mukul saya!" Minah tidak terima saat Gina berteriak seperti itu padanya.

"Ghazi itu masih kecil, Bu! Enggak seharusnya ibu tendang kaya tadi!"

"Memangnya saya peduli?! Pokoknya saya datang ke sini cuma mau ngasih tau itu ke kamu! Awas kalau kamu enggak pergi!" Setelah mengatakan itu Minah berbalik, mengambil payungnya dan keluar dari rumah.

Air mata Gina luruh, tubuhnya gemetar karena emosi yang tidak bisa dia keluarkan. Hidungnya perih, tenggorokannya terasa tersumbat hingga dia merasa sulit untuk menelan. Ghazi di pelukannya masih menangis, mengatakan bahwa punggungnya sakit karena terbentur dinding.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status