Share

BAB 04. RESMI BERCERAI

Efisiensi Bagas memang sangat hebat sebagai seorang Mayor Jendral yang mengurus perceraiannya, tidak butuh waktu lama hingga Dia dan Gina akhirnya resmi berpisah, tidak lagi terikat pernikahan seperti sebelumnya.

Bagas duduk di sebuah kursi, sedang berbicara dengan ibunya di seberang telepon.

"Kamu harusnya ceraikan dia dari dulu! Bisanya cuma buang-buang uang, istri kaya gitu enggak usah di pertahankan-"

"Bu." Bagas memperingatkan ibunya yang terus mengoceh tentang keburukan Gina padanya. "Aku sama Gina memang udah pisah, tapi dia tetep ibu dari anak-anak, ibu enggak seharusnya ngomong kaya gitu."

"Kenapa? Toh, apa yang ibu ngomongin kenyataan, kok. Nanti kalau kamu mau kirim uang buat anak-anak kamu, kirim aja lewat ibu, nanti ibu yang kasih ke mereka," ujar Ibu Bagas. Dia sedari awal tidak pernah setuju ketika putranya yang berharga memutuskan untuk menikah dengan Gina. Minah merasa bahwa Gina sangat suka membuang-buang uang. Di saat yang lain menyimpan uang untuk membeli beras, wanita itu malah menyimpan uang untuk membeli sebotol susu!

Bagas bangkit berdiri dari kursi saat pintu ruangannya tiba-tiba di ketuk, pria itu berkata pada ibunya, "Bu, aku tutup dulu teleponnya, ya."

Minah masih ingin mengoceh tentang kejelekan Gina, namun dia tahu bahwa putranya sangat sibuk, jadi dia menyetujui untuk menutup panggilan telepon. Bagas meletakan ponselnya di atas meja, berseru pada seseorang yang mengetuk pintu, "Masuk!"

Seorang tentara masuk ke dalam ruangan Bagas setelah di persilahkan, pria itu berkata pada Bagas, "Pak, anda di panggil oleh Letnan Jendral ke ruangannya!"

***

"Bu, dengar-dengar katanya Bagas cerai sama si Gina, ya?"

"Iya, Bagas akhirnya sadar juga kalau istrinya itu enggak berguna!"

Gina baru pulang dari pasar saat dia mendengar percakapan itu dari dalam sebuah rumah yang Gina tahu itu adalah rumah Bagas, alias rumah mantan ibu mertuanya. Wanita itu menghentikan langkahnya, mencoba mendengarkan lebih lanjut percakapan di dalam.

''Bagas itu sekarang udah punya calon lagi, namanya Serly, dokter militer. Seribu kali lebih baik dari pada si Gina. Bapaknya juga Letnan Jendral, emang paling serasi sama Bagas.'' terdengar suara Minah yang berkata dengan penuh rasa bangga pada lawan bicaranya di dalam.

''Wah, Bu Minah beruntung banget, bakalan punya menantu dokter,'' puji lawan bicara Minah, nama iu Bagas dengan penuh kekaguman.''Tapi bukannya Bagas punya tiga anak dari Gina, ya, Bu? Anak-anaknya bakalan tetep ikut Gina atau anak ibu?'' lanjut orang itu dengan penuh penasaran.

Minah berdecih dan menjawab, ''Mereka, mah, buang aja ke laut! Keturunannya si Gina pasti bakalan sebelas-dua belas sama emaknya, nyusahin. Beda kalau Bagas punya anak dari ibu dokter itu, pasti keturunannya juga berkualitas, berpendidikan!''

Karena tak kuasa mendengar ucapan Minah, dia pun melenggang pergi. Hati Gina sakit, hidungnya perih, sesuatu terasa mengganjal di tenggorokannya. Di sepanjang perjalanan pulang, Gina tidak bisa untuk tidak memikirkan apa yang Minah katakan tentang Bagas yang sebenarnya sudah mempunyai calon istri baru yang berprofesi sebagai dokter militer di kententaraan.

Lelaki brengsek itu, sembilan tahun lalu dia berjanji pada kakeknya untuk selalu menjaga Gina, namun ketika di hadapkan dengan seorang wanita yang lebih baik, sembilan tahun pernikahan bahkan Bagas rela korbankan. Sudah Gina duga sebelumnya, tidak mungkin Bagas menceraikan dia hanya karena merasa lelaki itu tidak punya banyak waktu untuk keluarga, pastilah ada alasan lain di baliknya dan sekarang Gina tahu mengapa.

Setibanya di rumah, Gina langsung disambut oleh ketiga anaknya yang sedang bermain di halaman rumah. Anak-anak itu berseru-seru ketika melihat Gina.

''Mah, Mama beli apa?'' tanya Ghazi yang sudah tidak sabar ingin memakan camilan yang Gina belikan di pasar.

''Kenapa Mama lama banget?'' Kali ini Gavin yang bertanya, anak itu menatap mata ibunya yang terlihat seperti habis menangis.

''Tadi soalnya ada yang ketinggalan, jadi mama harus balik lagi,'' jawab Gina, mencoba menghilangkan bekas air mata di wajahnya.

''Mah, katanya Papah ninggalin kita, ya?'' tanya Ghazi sembari menatap manik ibunya dengan nanar.

Gerakan tangan Gina yang sedang berusaha menghapus air matanya membeku di udara ketika mendengar apa yang anaknya tanyakan. ''Kamu kata siapa?'' tanya Gina.

''Kata temen-temen, banyak yang bilang, kok,'' jawab anak itu tanpa merasa ada yang salah sedikit pun.

Gavin yang melihat ibunya tiba-tiba menjadi pendiam melirik pada sang adik, menyenggol kaki Ghazi di bawah meja yang menyebabkan anak itu mengaduh pelan. ''Awh!'' Ghazi melirik kakaknya dengan sebal.

Gina menghela nafas, memperingatkan Gavin, ''Gavin...''

Tak mendapat jawaban, Gavin akhirnya kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya, dia sebenarnya tidak merasakan apa pun atas perceraian ke dua orang tuanya. Bagas jarang sekali berada di rumah, bagi Gavin, ada atau tidak adanya Bagas dalam hidupnya tidak mengubah apa pun. Hanya ada ibu dan kedua adiknya, selalu seperti ini bahkan ketika Gavin pertama kali mulai mengingat hal-hal penting.

Melihat ibunya yang beberapa minggu belakangan ini terlihat murung, Gavin tahu bahwa ini tentang kepergian ayah mereka. Gavin sejujurnya tidak mengerti apa yang harus di sedihkan sang ibu, bukankah keberadaan dia, Binar dan Ghazi seharusnya sudah cukup?

Selesainya, ketiga anaknya pergi ke kamar mereka masing-masing. Gina masuk ke dalam kamarnya, dia membuka lemari pakaian, hendak mengganti pakaiannya dengan sebuah daster yang nyaman untuk tidur. Ketika pintu lemari terbuka, Gina melihat sebuah plastik berwarna hitam yang terselip di antara tumpukan pakaian. Wanita itu mengerutkan kening, mengambil kantung keresek itu.

''Apa ini?'' tanya Gina pada dirinya sendiri. Gina mengulurkan lengannya, mengambil sesuatu dari dalam.

Sebuah pakaian tidur dewasa, Gina tiba-tiba ingat bahwa dia memang pernah membelinya. Piyama tidur itu berwarna hitam dengan kain tipis yang tembus pandang. Piyama itu di beli tiga hari saat dia tahu bahwa Bagas akan pulang setelah dua tahun lamanya. Gina duduk di tempi tempat tidur sambil memegang piyama. Gina ingat betapa bahagianya dia saat itu, betapa dia berharap kepulangan Bagas.

Gina terisak, membenamkan wajahnya pada piyama. Rasa sakit yang telah dia coba untuk hilangkan kembali muncul, rasanya sangat sakit ketika mengingat surat cerai yang Bagas berikan padanya saat itu. Air mata Gina luruh, di saat seperti ini, dia merindukan ayahnya yang telah lama pergi.

''Mama?''

Suara Gavin tiba-tiba terdengar, Gina mendongak, melihat putra sulungnya tengah mengintip dari balik pintu. Gina menyeka air matanya dengan cepat, tersenym sambil bertanya pada Gavin, ''Ada apa, Sayang?''

Gavin kecil membuka pintu, masuk ke dalam kamar sang ibu. ''Mama kenapa nangis?'' tanya Gavin saat melihat mata ibunya yang memerah.

''Mamah enggak nangis, kok.'' Gina membawa Gavin untuk duduk di sampingnya. ''Kenapa belum tidur?''

Gavin menggeleng dan menjawab dengan mulut cemberut, ''Enggak bisa tidur, Ma. Gavin mau tidur sama Mama.''

''Yaudah, sekarang ayo tidur,'' Gina membaringkan Gavin di atas tempat tidur,

Gavin menurut, abak itu menutup matanya sebentar lalu kembali membukanya. Gavin menatap sang ibu lama, membuat Gina mau tidak mau bertanya dengan heran, ''Kenapa?''

''Gavin, Ghazi sama Binar enggak pa-pa, kok, kalau enggak punya papa, Mah,'' ucap anak itu tiba-tiba yang membuat Gina terkejut.

''Kamu, kok, ngomongnya kaya gitu?'' tanya Gina kaget.

''Habis, papa gak pernah ada di rumah ini, Ma. Jadi, Mama juga gak apa-apa kan, kalau sama aku, Ghazi, dan Binar saja?''

Gina tertawa dengan hati teriris, dan perlahan menganggukkan kepalanya. Dia tidak menyangka putranya akan mengatakan hal seperti itu. Untuk sesaat Gina merasa bahwa dia adalah seorang ibu yang tidak berguna karena hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya memikirkan rasa sakitnya sendiri tanpa memikirkan perasaan anak-anaknya juga. Gina egois karena berpikir hanya dia yang merasakan sakit, tapi yang lebih sakit di sini sebenarnya adalah anak-anaknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status