Share

BAB 04. RESMI BERCERAI

Author: Zii_Alpheratz
last update Huling Na-update: 2024-01-26 08:18:54

Efisiensi Bagas memang sangat hebat sebagai seorang Mayor Jendral yang mengurus perceraiannya, tidak butuh waktu lama hingga Dia dan Gina akhirnya resmi berpisah, tidak lagi terikat pernikahan seperti sebelumnya.

Bagas duduk di sebuah kursi, sedang berbicara dengan ibunya di seberang telepon.

"Kamu harusnya ceraikan dia dari dulu! Bisanya cuma buang-buang uang, istri kaya gitu enggak usah di pertahankan-"

"Bu." Bagas memperingatkan ibunya yang terus mengoceh tentang keburukan Gina padanya. "Aku sama Gina memang udah pisah, tapi dia tetep ibu dari anak-anak, ibu enggak seharusnya ngomong kaya gitu."

"Kenapa? Toh, apa yang ibu ngomongin kenyataan, kok. Nanti kalau kamu mau kirim uang buat anak-anak kamu, kirim aja lewat ibu, nanti ibu yang kasih ke mereka," ujar Ibu Bagas. Dia sedari awal tidak pernah setuju ketika putranya yang berharga memutuskan untuk menikah dengan Gina. Minah merasa bahwa Gina sangat suka membuang-buang uang. Di saat yang lain menyimpan uang untuk membeli beras, wanita itu malah menyimpan uang untuk membeli sebotol susu!

Bagas bangkit berdiri dari kursi saat pintu ruangannya tiba-tiba di ketuk, pria itu berkata pada ibunya, "Bu, aku tutup dulu teleponnya, ya."

Minah masih ingin mengoceh tentang kejelekan Gina, namun dia tahu bahwa putranya sangat sibuk, jadi dia menyetujui untuk menutup panggilan telepon. Bagas meletakan ponselnya di atas meja, berseru pada seseorang yang mengetuk pintu, "Masuk!"

Seorang tentara masuk ke dalam ruangan Bagas setelah di persilahkan, pria itu berkata pada Bagas, "Pak, anda di panggil oleh Letnan Jendral ke ruangannya!"

***

"Bu, dengar-dengar katanya Bagas cerai sama si Gina, ya?"

"Iya, Bagas akhirnya sadar juga kalau istrinya itu enggak berguna!"

Gina baru pulang dari pasar saat dia mendengar percakapan itu dari dalam sebuah rumah yang Gina tahu itu adalah rumah Bagas, alias rumah mantan ibu mertuanya. Wanita itu menghentikan langkahnya, mencoba mendengarkan lebih lanjut percakapan di dalam.

''Bagas itu sekarang udah punya calon lagi, namanya Serly, dokter militer. Seribu kali lebih baik dari pada si Gina. Bapaknya juga Letnan Jendral, emang paling serasi sama Bagas.'' terdengar suara Minah yang berkata dengan penuh rasa bangga pada lawan bicaranya di dalam.

''Wah, Bu Minah beruntung banget, bakalan punya menantu dokter,'' puji lawan bicara Minah, nama iu Bagas dengan penuh kekaguman.''Tapi bukannya Bagas punya tiga anak dari Gina, ya, Bu? Anak-anaknya bakalan tetep ikut Gina atau anak ibu?'' lanjut orang itu dengan penuh penasaran.

Minah berdecih dan menjawab, ''Mereka, mah, buang aja ke laut! Keturunannya si Gina pasti bakalan sebelas-dua belas sama emaknya, nyusahin. Beda kalau Bagas punya anak dari ibu dokter itu, pasti keturunannya juga berkualitas, berpendidikan!''

Karena tak kuasa mendengar ucapan Minah, dia pun melenggang pergi. Hati Gina sakit, hidungnya perih, sesuatu terasa mengganjal di tenggorokannya. Di sepanjang perjalanan pulang, Gina tidak bisa untuk tidak memikirkan apa yang Minah katakan tentang Bagas yang sebenarnya sudah mempunyai calon istri baru yang berprofesi sebagai dokter militer di kententaraan.

Lelaki brengsek itu, sembilan tahun lalu dia berjanji pada kakeknya untuk selalu menjaga Gina, namun ketika di hadapkan dengan seorang wanita yang lebih baik, sembilan tahun pernikahan bahkan Bagas rela korbankan. Sudah Gina duga sebelumnya, tidak mungkin Bagas menceraikan dia hanya karena merasa lelaki itu tidak punya banyak waktu untuk keluarga, pastilah ada alasan lain di baliknya dan sekarang Gina tahu mengapa.

Setibanya di rumah, Gina langsung disambut oleh ketiga anaknya yang sedang bermain di halaman rumah. Anak-anak itu berseru-seru ketika melihat Gina.

''Mah, Mama beli apa?'' tanya Ghazi yang sudah tidak sabar ingin memakan camilan yang Gina belikan di pasar.

''Kenapa Mama lama banget?'' Kali ini Gavin yang bertanya, anak itu menatap mata ibunya yang terlihat seperti habis menangis.

''Tadi soalnya ada yang ketinggalan, jadi mama harus balik lagi,'' jawab Gina, mencoba menghilangkan bekas air mata di wajahnya.

''Mah, katanya Papah ninggalin kita, ya?'' tanya Ghazi sembari menatap manik ibunya dengan nanar.

Gerakan tangan Gina yang sedang berusaha menghapus air matanya membeku di udara ketika mendengar apa yang anaknya tanyakan. ''Kamu kata siapa?'' tanya Gina.

''Kata temen-temen, banyak yang bilang, kok,'' jawab anak itu tanpa merasa ada yang salah sedikit pun.

Gavin yang melihat ibunya tiba-tiba menjadi pendiam melirik pada sang adik, menyenggol kaki Ghazi di bawah meja yang menyebabkan anak itu mengaduh pelan. ''Awh!'' Ghazi melirik kakaknya dengan sebal.

Gina menghela nafas, memperingatkan Gavin, ''Gavin...''

Tak mendapat jawaban, Gavin akhirnya kembali melanjutkan pekerjaan rumahnya, dia sebenarnya tidak merasakan apa pun atas perceraian ke dua orang tuanya. Bagas jarang sekali berada di rumah, bagi Gavin, ada atau tidak adanya Bagas dalam hidupnya tidak mengubah apa pun. Hanya ada ibu dan kedua adiknya, selalu seperti ini bahkan ketika Gavin pertama kali mulai mengingat hal-hal penting.

Melihat ibunya yang beberapa minggu belakangan ini terlihat murung, Gavin tahu bahwa ini tentang kepergian ayah mereka. Gavin sejujurnya tidak mengerti apa yang harus di sedihkan sang ibu, bukankah keberadaan dia, Binar dan Ghazi seharusnya sudah cukup?

Selesainya, ketiga anaknya pergi ke kamar mereka masing-masing. Gina masuk ke dalam kamarnya, dia membuka lemari pakaian, hendak mengganti pakaiannya dengan sebuah daster yang nyaman untuk tidur. Ketika pintu lemari terbuka, Gina melihat sebuah plastik berwarna hitam yang terselip di antara tumpukan pakaian. Wanita itu mengerutkan kening, mengambil kantung keresek itu.

''Apa ini?'' tanya Gina pada dirinya sendiri. Gina mengulurkan lengannya, mengambil sesuatu dari dalam.

Sebuah pakaian tidur dewasa, Gina tiba-tiba ingat bahwa dia memang pernah membelinya. Piyama tidur itu berwarna hitam dengan kain tipis yang tembus pandang. Piyama itu di beli tiga hari saat dia tahu bahwa Bagas akan pulang setelah dua tahun lamanya. Gina duduk di tempi tempat tidur sambil memegang piyama. Gina ingat betapa bahagianya dia saat itu, betapa dia berharap kepulangan Bagas.

Gina terisak, membenamkan wajahnya pada piyama. Rasa sakit yang telah dia coba untuk hilangkan kembali muncul, rasanya sangat sakit ketika mengingat surat cerai yang Bagas berikan padanya saat itu. Air mata Gina luruh, di saat seperti ini, dia merindukan ayahnya yang telah lama pergi.

''Mama?''

Suara Gavin tiba-tiba terdengar, Gina mendongak, melihat putra sulungnya tengah mengintip dari balik pintu. Gina menyeka air matanya dengan cepat, tersenym sambil bertanya pada Gavin, ''Ada apa, Sayang?''

Gavin kecil membuka pintu, masuk ke dalam kamar sang ibu. ''Mama kenapa nangis?'' tanya Gavin saat melihat mata ibunya yang memerah.

''Mamah enggak nangis, kok.'' Gina membawa Gavin untuk duduk di sampingnya. ''Kenapa belum tidur?''

Gavin menggeleng dan menjawab dengan mulut cemberut, ''Enggak bisa tidur, Ma. Gavin mau tidur sama Mama.''

''Yaudah, sekarang ayo tidur,'' Gina membaringkan Gavin di atas tempat tidur,

Gavin menurut, abak itu menutup matanya sebentar lalu kembali membukanya. Gavin menatap sang ibu lama, membuat Gina mau tidak mau bertanya dengan heran, ''Kenapa?''

''Gavin, Ghazi sama Binar enggak pa-pa, kok, kalau enggak punya papa, Mah,'' ucap anak itu tiba-tiba yang membuat Gina terkejut.

''Kamu, kok, ngomongnya kaya gitu?'' tanya Gina kaget.

''Habis, papa gak pernah ada di rumah ini, Ma. Jadi, Mama juga gak apa-apa kan, kalau sama aku, Ghazi, dan Binar saja?''

Gina tertawa dengan hati teriris, dan perlahan menganggukkan kepalanya. Dia tidak menyangka putranya akan mengatakan hal seperti itu. Untuk sesaat Gina merasa bahwa dia adalah seorang ibu yang tidak berguna karena hanya memikirkan dirinya sendiri, hanya memikirkan rasa sakitnya sendiri tanpa memikirkan perasaan anak-anaknya juga. Gina egois karena berpikir hanya dia yang merasakan sakit, tapi yang lebih sakit di sini sebenarnya adalah anak-anaknya.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Letnan Jendral, Rebut Kembali Hati Mantan Istrimu   BAB. KEHAMILAN [END]

    "Na, kenapa muka kamu pucat banget, kamu masih sakit?" tanya Dimas ketika dia melihat wajah Aina yang tampak tidak sehat.Aina menoleh ketika mendengar suara bertanya Dimas, dia menggelengkan kepalanya dan menjawab, "Saya enggak pa-pa, kok, Pak!" Bibir pucat Aina terangkat, dia mencoba untuk baik-baik saja.Kening Dimas bertaut, masih merasa khawatir bahkan jika Aina berkata bahwa dia baik-baik saja. "Kamu sudah periksa ke rumah sakit?" tanya Dimas lagi."Saya cuma masuk angin, enggak perlu ke rumah sakit.""Kamu terlalu keras kepala, Na. Jangan sepelekan penyakit bahkan kalau pun itu hanya masuk angin. Saya antar kamu ke rumah sakit sekarang!" ujar Dimas dengan nada sedikit memaksa.Aina enggan, mereka masih berada di tempat kerja dan beberapa karyawan memperhatikannya. Dia takut jika Dimas mengantarnya ke rumah sakit di tengah jam kerja, pria itu akan terseret gosip karenanya. Karena Aina tahu betul jika beberapa karyawan sering memperhatikan dia dan bergosip secara diam-diam."Engg

  • Letnan Jendral, Rebut Kembali Hati Mantan Istrimu   BAB. APA HUBUNGANNYA?

    Aina sedang duduk di atas tempat tidur saat bel pintu apartemen berdering. Aina yang sedang cemas menunggu kepulangan Gavin langsung berdiri, bergegas keluar dari kamar untuk membuka pintu.Ketika pintu apartemen dibuka, Aina melihat Gavin yang sedang di papah oleh seorang wanita yang Aina tahu dia berjama Celine."Gavin kenapa?" tanya Aina, sedikit panik melihat Gavin yang tampak tidak sadarkan diri."Gavin Mabuk, tolong minggir dulu, biar gue yang antar dia ke kamarnya!" Celine mendorong Aina ke samping, lalu dia bergegas masuk dengan susah payah. "Di mana kamar Gavin?" tanya Celine."Dudukkan di sofa aja," ujar Aina.Celine mendudukkan Gavin yang mabuk di atas sofa, wanita itu membuka jaket yang Gavin kenalan dan menyuruh Aina yang sedari tadi hanya berdiri dan menatap dari samping, "Buatin air hangat pake madu dan jeruk!"Meski hatinya merasa tidak nyaman melihat Celine yang begitu merawat Gavin, tapi dia tetap sigap melakukan hal yang Celine minta. Dia bergegas pergi ke dapur, me

  • Letnan Jendral, Rebut Kembali Hati Mantan Istrimu   BAB 89. KURANG AJAR

    Aina pulang ke apartemen. Saat dia membuka pintu dan masuk, Aina meletakan barang-barang yang dia beli, dia bahkan tidak sempat membereskan semua itu karena Aina langsung pergi ke dalam kamar mandi dan muntah lagi.Hoek, hoek, hoek.Terengah-engah, Aina menopang tubuhnya pada pinggiran wastafel. Dia berkumur, mencuci mulut dan wajahnya agar terlihat segar. Aina lalu mendongak, menatap wajah pucat nya di cermin. Pantulan dirinya di cermin terlihat sangat kuyu dengan wajah yang basah oleh air dan rambut acak-acakan.Menghela nafas, Aina keluar dari kamar mandi, dia mengganti pakaiannya dengan kaus dan celana pendek sebelum akhirnya berbaring di tempat tidur untuk menenangkan rasa mual di perutnya. Aina berharap bahwa setelah dia bangun nanti, rasa mual itu akan menghilang.***Gavin kembali ke apartemennya setelah menginap di rumah usai ulang tahun bunga, adiknya yang terakhir. Dia menekan serangkaian kata sandi, dan ketika pintu dibuka, Gavin masuk ke dalam apartemen.Suasana hening mem

  • Letnan Jendral, Rebut Kembali Hati Mantan Istrimu   BAB 88. MUAL

    Aina berdiri di trotoar, menunggu kendaraan umum yang lewat. Wanita itu celingak-celinguk, menunggu dengan cemas. Hari sudah menunjukan pukul tujuh malam, namun dia belum juga mendapati kendaraan yang lewat karena memang hujan deras baru yang diiringi oleh suara petir saja mereda. "Na, kamu mau bareng aja sama saya?" Dimas yang menghampiri Aina bertanya pada wanita itu."Enggak usah, pak. Saya bisa nunggu sebentar lagi, kok." Aina menggeleng, menolak sambil tersenyum."Kalau begitu saya temenin kamu nunggu, ini udah malem, enggak baik perempuan di pinggir jalan kaya gini." Dimas menawarkan diri."Tapi-" Aina ingin menolak, dia merasa tidak enak pada Dimas. Bagaimanapun pria itu juga pasti punya kesibukan setelah ini."Jangan nolak. Saya enggak terima penolakan." Dimas bersikukuh untuk menemani Aina.Pada akhirnya Aina dengan pasrah membiarkan Dimas menemaninya. Wanita itu sedari tadi mengguncang ponsel yang ada dalam genggamannya, menghubungi Gavin berulang kali untuk meminta jemput.

  • Letnan Jendral, Rebut Kembali Hati Mantan Istrimu   BAB 87. KENAPA BUKAN AKU?

    "Kamu pulang?" sapa Aina ketika dia melihat Gavin yang masuk ke dalam apartemen.Gavin mengangguk, dia membuka jaket yang dia kenakan, melemparnya ke atas sofa dengan sembarangan. "Gue lapar, ada makanan?" tanya Gavin.Aina bangkit berdiri dari sofa, dia berjalan ke arah dapur sambil menjawab, "Ada, makan sekarang apa mandi dulu?" tanya Aina."Makan sekarang," jawab Gavin.Mengangguk, Aina mengambil piring dan menyiapkan makanan untuk Gavin. Pria itu duduk di atas meja makan sambil menunggu Aina selesai menyiapkan makanan. Setelah makanan tersaji di hadapannya, Gavin mulai melahap makanannya."Perempuan yang sama kamu tadi siapa?" tanya Aina, dia bertanya dengan hati-hati agar Gavin tidak marah."Temen, kenapa?" Gavin balik bertanya tanpa menatap Aina."Enggak, keliatannya akrab banget sama kamu. Tadi kamu nelepon aku pake nomor dia?"Mengangguk, Gavin mendongak menatap wanita itu. "Kenapa, sih?" tanya Gavin.Kepala Aina menggeleng, dia menuangkan air putih ke dalam gelas dan menaruhn

  • Letnan Jendral, Rebut Kembali Hati Mantan Istrimu   BAB 86. WANITA ITU SIAPA?

    "Vin...ugh." Aina melenguh saat Gavin mengecupi di sepanjang lehernya hingga akhirnya pria itu berhenti pada dadanya yang ranum.Rasa geli menyebar ke seluruh tubuh Aina, apalagi saat bibir Gavin dengan rakus mengisap pucuk dadanya bergantian. Aina mengelus rambut kepala Gavin, membuat pria wajah pria itu terbenam di sana.Tubuh keduanya sama-sama bugil, saling mengerat satu sama lain. Keringat mereka membanjiri tubuh, ac yang tergantung di dinding sama sekali tidak mempengaruhi suhu panas di antara keduanya."Baring!" titah Gavin pada Aina.Mengangguk, Aina berbaring di atas tempat tidur sambil membuka ke dua kakinya. Nafas Gavin memberat melihat wanita itu menatapnya dari bawah dengan ekspresi yang begitu provokatif."Emh..." Aina tersentak, Gavin memasuki dirinya secara tiba-tiba.Kegiatan yang biasa mereka lakukan setiap malam jika Gavin memintanya, Aina hanya menurut, bagaimana pun menurutnya Gavin adalah pria yang baik yang banyak membantunya di saat dia kesulitan. Aina sama sek

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status