Share

BAB 05. DIUSIR

"Mbak sebaiknya segera keluar dari rumah ini, karena Tante Minah sudah menyerahkan rumah ini ke kami."

Dua hari setelah pertemuan Gina dengan mertua, tiba-tiba Gina kedatangan beberapa orang tamu yang mengaku sebagai sepupu dari Bagas.

"Ini rumah saya, kenapa saya harus keluar?" tanya Gina kepada wanita di seberangnya. Gina tidak menyangka, pihak dari Bagas akan datang dan dengan tidak tahu malu menyuruhnya pergi.

"Mbak, kan, sudah bercerai sama Mas Bagas, jadi ini bukan rumah milik Mbak lagi. Tolong minggir, kami mau masuk!" Wanita itu kemudian masuk ke dalam rumah dengan paksa, diikuti oleh dua anak kecil dan satu pria dewasa.

Gina menarik wanita berpakaian ketat itu, menghentikannya untuk masuk. "Pergi atau saya lapor kepala desa buat usir kalian!"

Dua anak dari wanita itu dengan senang masuk ke dalam rumah, tertawa melihat rumah yang begitu bagus akan mereka tempati.

"Ma! Ma! Aku mau tidur di kamar sendiri!" ujar salah satu anak dengan riang.

"Iya, Sayang, mulai sekarang kamu dan adik kamu tidur di kamar yang beda," balas si wanita dengan senyum, mereka bahkan tidak menghiraukan apa yang Gina katakan.

"Rumah ini atas nama saya, dan Mas Bagas sudah bilang akan memberikannya untuk saya dan anak-anak!” ucap Gina Kembali, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.

Suara ribut di dalam rumah itu membuat orang-orang di sekitar melaporkan keributan ke kepala desa.

"Ada apa ini?!" tanya kepala desa saat dirinya masuk ke dalam rumah.

"Pak! Mereka mau mengusir saya dari rumah saya sendiri-"

"Bu Gina," panggil kepala desa pada Gina. "Bu Gina sekarang sudah bukan lagi istri pak Bagas, kenapa ibu suka sekali membuat keributan seperti ini?" Kepala desa itu menghela nafas, menatap Gina seolah dia adalah pembuat masalah.

Gina menatap pria tua di hadapannya dengan kaget. "Apa maksud Bapak?! Mereka maksa masuk ke dalam rumah, masa saya harus diam aja?!"

"Pak kepala desa, maaf telah membuat keributan. Tapi, saya di suruh bu Minah buat pindah ke sini, katanya setelah Mbak Gina bukan lagi istri mas Bagas, rumah ini bukan milik dia lagi," ucap wanita yang tadi bertengkar dengan Gina. Dia maju menghampiri kepala desa, tersenyum dengan lembut.

Kepala desa melihat keluarga yang berpakaian bagus segera tersenyum, lalu dia mengetahui bahwa pasangan suami-isteri itu berasal dari kota, senyumnya menjadi semakin dalam. Jarang ada tamu dari kota yang datang ke desa mereka.

"Gina, udahlah. Tanah ini memang di beli oleh Bagas, Bagas itu anaknya bu Minah, yang lebih berhak dari pada kamu. Jadi sebaiknya kamu yang mengalah dan pindah," ujar kepala desa pada Gina.

Gina benar-benar tidak tahu harus berkata dan bereaksi bagaimana. Melihat sekelompok orang menatapnya tajam seolah menginginkan dia pergi, Gina kehilangan kata-katanya. Dada Gina sesak bukan main, rasa sakit menyebar membuatnya hampir tidak bisa menahan denyutan yang terus-menerus terasa. Semua orang di sini, menatapnya seolah dia adalah penjahat yang datang dan merusak rumah orang lain.

Lelah, Gina merasa bahwa dia ingin semuanya selesai, dia ingin menyerah. Sembilan tahun menikah dengan Bagas, meskipun Gina tidak pernah hidup kekurangan, tapi bukannya tidak sulit untuk mengurus tiga anak sendirian tanpa suami yang menemani. Bahkan saat terbanyak di kehamilan Gina, dia sendiri.

Pada intinya adalah, sejak kakeknya pergi dari dunia ini, dia benar-benar sendirian. Bagas berbohong, pria itu berbohong padanya dengan mengatakan bahwa 'ada dia di sini'. Namun nyatanya apa? Pria itu tidak hadir di saat-saat paling rendah dalam hidup Gina.

**

'Mah kita pergi sekolah dulu, ya,'' ucap seorang remaja berusia 14 tahun pada ibunya yang sedang membereskan peralatan bekas sarapan mereka.

Wanita yang di panggil ibu itu tersenyum dan mengangguk. ''Hati-hati di jalan, jagain adek kamu ya, Vin.''

Gavin mengangguk, mengajak kedua adiknya pergi. Gina menatap kepergian anak-anaknya cukup lama, tidak terasa waktu berlalu begitu cepat, empat tahun berlalu sejak perceraiannya dengan mantan suami. Gavin sekarang berusia 14 tahun, tumbuh menjadi seorang remaja yang bertanggung jawab dan selalu dapat Gina andalkan. Anak keduanya Ghazi berusia 10 tahun dan Binar berusia 7 tahun, tahun ini. Gina tidak menyangka bahwa dia bisa melewati masa-masa tersulit dalam hidupnya.

''Udah jam segini ternyata.'' Gina buru-buru membereskan cuciannya, setelah itu dia mengambil tas selempang kecil yang tergeletak di atas meja makan, bergegas keluar dari rumah untuk pergi bekerja.

Selama empat tahun belakangan, keadaan ekonomi Gina sangatlah sulit. Bagas tidak pernah mengirimkan dia uang sepeser pun, melanggar janji yang pernah pria itu buat. Gina menjual semua yang bisa dia jual, semua hartanya, barang-barang berharga untuk biaya pendidikan putra dan putrinya.

Sejak kejadian di mana dia di usir dari rumahnya sendiri, Gina membawa pergi putra-putrinya dari kampung itu, mengontrak sebuah rumah yang kecil di desa lain. Sekarang ini Gina bekerja di sebuah rumah makan kecil-kecilan di pinggiran jalan, membuang semua ego dan gengsi untuk anak-anaknya.

''Aduh, kenapa baru datang, Mbak. Ini warung rame banget dari tadi,'' ujar seorang wanita yang lebih muda dari Gina dengan nada bicara yang cukup tidak menyenangkan.

''Tadi harus ngurusin anak-anak dulu mau sekolah, Sri. Jadi agak telat sedikit,'' balas Gina, dia kemudian memulai pekerjaannya.

''Yang bener aja, bilang aja mau kerja enak,'' cibir wanita bernama Sri itu.

Gina hanya menggelengkan kepalanya, dia sudah terbiasa dengan sindiran yang sering Sri lontarkan padanya. Gina juga tidak bisa melawan karena Sri adalah keponakan pemilik warteg tempat dia bekerja sekarang. Pembeli lalu berdatangan, kebanyakan adalah pekerja toko atau tukang bangunan yang sengaja datang untuk sarapan. Gina sibuk selama dua jam hingga akhirnya pembeli berkurang dan dia bisa istirahat sebentar.

''Om-om yang itu ganteng banget gak, sih?'' tanya seorang siswi SMA yang duduk bersama satu temannya tidak jauh dari Gina.

''Yang mana?'' tanya temannya, celingak-celinguk mencari keberadaan 'om-om' yang di tunjuk.

''Itu, loh. Di seberang, yang pake baju resmi gitu.'' gadis itu mencoba mengarahkan temannya, lalu melanjutkan dengan nada sedikit kecewa, ''Yah, yah. Kayaknya mau pergi, udah masuk mobil.''

Gina menguping percakapan mereka secara tidak sengaja, lalu dia menoleh, ikut penasaran dengan siapa yang gadis SMA itu maksud. Wanita itu ikut celingak-celinguk, kemudian tatapannya bertabrakan dengan manik mata hitam seorang pria yang duduk di dalam mobil. Tubuh Gina membeku seketika.

“Bagas?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status