Share

Kembali lagi

Setelah dua hari Shelin absen kuliah. Kesehatannya tak bermasalah setelah kembalinya ia dari tempat antah berantah, yang seluruh manusianya berambut pirang dan berbahasa aneh.

Kemarin lusa, dengan sisa-sisa tenaga dan langkah kaki yang dipaksakan, Shelin menerjang bukit dan mendaki bebatuan untuk mencapai gua yang membawa ia ke tempat itu. Gua sunyi senyap dan ketika ia masuk sudah tak ada lorong hitam yang hadir dalam mimpi-mimpi Shelin biasanya. Entah dengan cara yang bagaimana, Shelin hanya tidak sengaja tertidur dan begitu ia bangun, sudah berada di kasur tidur kamarnya dengan pakaian koyak yang ia kenakan sewaktu di negeri aneh beberapa waktu yang lalu. Aneh memang, mungkin tak ada satupun logika yang dapat menerima penjelasan ini. Tapi ini sungguh terjadi.

Yang lebih membuatnya bertanya-tanya, ayahnya tak menanyainya berlebihan saat menemukannya di kamar. Ayah hanya terkejut kecil dan bertanya kapan Shelin masuk rumah. Ibunya pun begitu, berekspresi sedikit kesal dan mengomel agar Shelin jangan sampai lupa untuk mengabari jika ingin pulang telat. Sementara Shelin merasa telah pergi berhari-hari namun orang rumah menganggap ia hanya pergi beberapa jam saja.

Entah bagaimana ia bisa kembali pulang ke rumah.

Ibu memeganginya saat muntah-muntah di wastafel dengan mengeluarkan beberapa pil berwarna violet kebiruan dengan bau rasberi. Shelin sudah menjelaskan pada ibu dan ayahnya tentang sebuah mimpi yang terasa amat nyata, sebuah lorong, kemudian tempat bernama Levitasi dengan manusia yang seluruhnya berambut pirang, lalu seorang anak kecil bernama Yui, serta sebuah kota berlambang bunga matahari.

Ibu dan Ayah meminta Shelin untuk tak menceritakan hal ini pada siapapun bahkan pada adik lelakinya. Dan seperti yang mereka minta, Shelin pun tidak berniat menceritakan kejadian kemarin kepada siapapun. Biarlah segala rahasia tetap menjadi rahasia dan segala diam menjadi bungkam. Anggap tak pernah terjadi apa-apa.

Banyak hal yang terjadi belakangan ini membuat sistem kerja otak dan anti oksidan dalam tubuhnya terganggu. Ia sering merasa kakinya sangat lelah atau tangannya lebam kebiruan padahal baru dua menit yang lalu ia duduk dan rebahan.

Sejujurnya Shelin tidak terlalu paham bagaimana cara ia bisa tiba-tiba kembali ke rumah dengan memakai baju yang seperti di buat pada abad pertengahan. Ia mencoba menenangkan diri bahwa kejadian yang telah lalu hanya terjadi dalam otak kepalanya saja. Ingatan dan imajinasi bisa saja saling tertukar.

Pertanyaan-pertanyaan kini muncul di kepala Shelin lebih sering dari biasanya. Jika segala sesuatu terjadi karena sebuah alasan, maka kali ini alasan apa yang membawanya ke dunia yang ia singgahi kemarin, mengapa bisa sampai ke sana dan untuk tujuan apa? Siapa yang membawanya? Bagaimana bisa? Mengapa hanya ia manusia satu-satunya yang mengalami hal itu? Ibu dan ayahnya belum pernah atau bahkan terpikir saja tidak, dan mengapa sekarang ia kembali ke rumah lagi? Kemana ia harus mencari seluruh jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini? Ia tidak tahu.

~

Hari berganti, Shelin sudah kembali ke kehidupan normalnya. Ia segera berkutit dengan pekerjaan dan tugas kuliah yang semakin hari bukannya membaik, malah semakin memusingkan. Jika sudah menjadi masa lalu, mimpi dan kenyataan terasa seperti tidak ada bedanya.

“Jika terus seperti ini, jurnal laporanku tak akan kunjung selesai.” Keluh Shelin dalam hati. Tidak jauh dari rumahnya tengah ada acara hajatan tetangga yang jaraknya hanya selisih dua rumah dari rumah Shelin. Pengeras suara yang disetel rasa-rasanya memang di full-kan, sungguh sangat memekakan telinga.

Shelin berniat hendak mencari tempat pengasingan yang tepat, mungkin di beranda taman kampus atau perpustakaan. Barangkali akan ada tempat sedikit lebih tenang dari pada di selubungi suara dangdut dan gendang yang sebentar lagi membuatnya gila. Terlihat dari jendela bapak-bapak sedang menggotong beberapa kursi untuk para tamu undangan.

Shelin hanya perlu berkendara sekitar 10 menit dengan kecepatan standar untuk bisa sampai ke tempat yang ingin ia tuju. Beberapa kejadian di kampus belakangan ini membuat ia malas untuk berangkat.

Terlalu banyak berinteraksi dengan orang-orang memang dapat mengurangi kepekaan hati, mungkin ada benarnya. Terlalu banyak bicara dan tertawa membuat hatinya tidak tenang, entah mengapa.

Mulai dari sekarang ia harus pandai-pandai memposisikan diri dan membedakan kapan harus diam kapan harus peduli.

Percaya tidak percaya, Tuhan bisa membalik nasib tiga ratus enam puluh derajat dalam sekali libas. Hal itu hari ini terjadi pada Shelin. Dalam perjalanan yang tidak direncanakan, dalam jangka waktu dan tempo yang tidak sampai sepuluh menit, dengan kecepatan paling standar sebuah kendaraan roda dua, tiba-tiba muncul sebuah truk kontainer dengan berat 21.000 kilogram yang besarnya dapat disamakan dengan satu gerbong kereta api, melaju dari arah berlawanan dengan kecepatan di luar kendali.

Terlihat sang pengemudi yang panik dan badan container yang oleng. Belum sempat mengantisipasi dan sebelum sadar betul dengan apa yang terjadi, Shelin menarik gas sepeda motornya dengan kecepatan tinggi secara spontan, walaupun tidak ada harapan banyak yang akan ia dapat dengan melakukan itu. Truk sudah siap mengguling dan jatuh di atasnya seperti butir pilus yang tergerus oleh batu cadas berukuran 100 kali lebih besar dari dirinya.

Suara berdebum seperti hulubalang terdengar seperti gempa saat truk itu menghantam tanah. Sebelum tergelepar sempurna, terdengar ledakan susul-menyusul yang sungguh memekakan telinga hingga radius puluhan kilometer.

Tak ada yang mengerti, tak ada yang paham bagaimana cara menebak nasib manusia, tidak ada kendali kuasa dalam diri manusia yang dapat memutuskan nasib akan selalu baik.

Rumah warga di sekitar kecelakaan ikut terbakar, sementara pohon dan fasilitas jalan tak kalah mengenaskan. Kebakaran itu mendatangkan sembilan unit mobil pemadam kebakaran yang segera datang.

Hangus dan jelaga dimana-mana, bau tidak sedap semerbak tercium di seluruk sudut kota hingga ke kolong selokan. Kemalangan terburuk pada waktu itu menimpa pada Shelin. Tak ada yang mengetahui keberadaannya, apakah ia tertipa truk kontainer, apakah menculat ke serpihan ledakan, atau tubuhnya hangus tak tersisa akibat api dan dentuman, atau kemungkinan lain, tubuhnya tertimbun reruntuhan rumah yang letaknya sangat dekat dengan kejadian. Yang paling pasti dari semua itu adalah, sangat kecil kemungkinannya untuk tetap hidup.

Sementara di rumah, Ibu Shelin yang tengah memasak bakwan goreng kesukaannya ikut mendengar sebuah ledakan. Namun Ia tidak langsung tahu jika putrinya turut serta dalam kejadian itu. Yang ibu rasa hanya perasaan tidak enak yang entah dari mana asalnya tiba-tiba datang dan merayap di rongga dadanya.

Seorang saksi mata yang badannya hangus terkena ledakan namun masih dalam keadaan sadar, menyebutkan bahwa ia melihat seorang perempuan mengenakan kemeja putih dengan rok plikset sedang mengendarai sepeda motor ada sangat dekat dengan truk saat kejadian. Diperkirakan perempuan itu tertimbun badan kontainer yang sekarang sudah koyak seperti kaleng susu bendera yang jebol di sana sininya.

Matahari sudah tenggelam di balik cakrawala sejak satu jam yang lalu. Entah mengapa hari ini sinarnya tak secerah biasanya, tak ada senja merah jambu dengan semburat sinar keemasan yang dapat dilihat dengan mata telanjang. Awan kumulus yang bergerumul seperti bunga kol mengungkung ufuk barat langit kota.

Ibu berdiri di samping pintu pagar rumah berkali-kali menengok ke jalan raya menunggu anak gadisnya pulang. Ini kedua kalinya Shelin tidak memberi kabar ketika hendak pulang larut atau kelewat senja. Tidak seperti biasanya.

“Ayo, Bu. Masuklah, hari sudah gelap.” Tegur Ayah.

Ibu tak menghiraukan Ayah, yang ada dipikirannya saat ini hanya Shelin, Shelin dan Shelin.

“Sayang,” sambil menghampiri ibu kemudian menggandeng tangannya.

“Shelin, Yah. Ia belum juga pulang. Tak biasanya ia begini. Persaanku belum akan lega jika Shelin belum pulang.”

“Sini, duduklah dahulu.” Menuntun ibu ke beranda rumah, “Shelin sudah menjadi gadis yang mandiri dan cekatan. Ia tahu kapan dan harus melakukan apa, termasuk ketika ia tak mengabari kita, nanti bisa kita dengar penjelasannya setelah ia pulang. Bukan malah mengkhawatirkannya seperti induk ayam kepada itik-itiknya...”

Perkataan ayah tak mengubah suasana hati ibu.

“Ayo, lebih baik kita masuk rumah dahulu.”

~

Semua terjadi sangat cepat. Teriakan, kilat, dentuman, api, kemudian muncul ledakan yang susul menyusul, semua terjadi sangat sekejap namun meninggalkan jejak yang luar biasa hebat. Kota seperti habis terkena bencana alam.

Sebelum sadar betul dengan apa yang tengah terjadi, Shelin sudah pasrah dengan truk kontainer besar yang berada 30 senti di atas dan siap menggerus tempurung kepalanya ketika bersentuhan nanti. Tidak ada yang lain dipikirannya selain kepasrahan Aku tidak mungkin selamat, barangkali malaikat sudah maut sudah menggenggam namanya saat ini.

“Pejamkan matamu, pejamkan!”

Sesaat ia mendengar bisikan halus, seperti pernah ia dengar sebelumnya. Tiba-tiba waktu terasa seperti karet relativitas yang membuatnya menjadi lebih lambat.

“Aku bilang pejamkan matamu!”

Sebenarnya tanpa disuruh pun Shelin sudah akan otomatis menutup mata, bagaimana tidak, di hadapannya terpampang nyata sebuah kontainer yang bobotnya ribuan kali lebih besar dari berat badanya, siap mengguling ke arahnya saat itu juga, ini jelas bisa lebih dari sekedar menghilangkan nyawa seseorang, malah mungkin akan menghaluskan tulang-tulangnya sekaligus.

Namun sebelum dentuman yang pertama dan truk terguling sempurna, ada kilat yang lebih dulu melingkupi tubuh dan kendaraan Shelin, sambil terus berteriak pejamkan mata!

Kilatan itu sekilas berubah menjelma jubah hitam yang membungkus cahaya. Sekali lagi cahaya itu berteriak kencang “pejamkan matamu!” samar-samar ketika sampai di telinga Shelin.

Sejenak Shelin terasa didekap udara panas dan dingin secara bersamaan. Otot-ototnya tegang dan telinga sakit seperti mendengar gemuruh yang datang secara bertubi-tubi menendang telinganya. Ia tidak kuasa membuka mata, Ia sudah siap dengan segala kemungkinan yang nanti terjadi. Sesungguhnya hidup ini bukan milik makhluk, kita sebaiknya paham kemana harus pasrah dan akan menggembalikan semuanya.

~

Bagai kilat bertemu guntur, Shelin dan Vegan tersungkur di tempat awal mereka bertemu. Kepala dan lutut Vegan membentur bebatuan gua. Shelin masih dengan kendaraan roda dua yang dinaikinya, terlempar keluar menabrak dua pohon di depan mulut gua. Dagu Shelin robek menyebabkan darah segar mengucur bebas membasahi leher.

Dari kejauhan badai yang menerbangkan mereka berdua perlahan mereda masuk jauh kembali ke dalam gua, meninggalkan isak tangis Shelin yang kesakitan. Vegan merangkak mendekati Shelin dengan napas satu dua.

Semburat pendar sinar biru keluar dari telapak tangan Vegan.

prav for safery, no injuryen .. no injuryen” Vegan masih membacakan doa-doa panjang. Mantra penyembuh yang sudah lama ia pelajari.

Luka pada tubuh Shelin menghilang perlahan seiring dengan pendar biru menghilang. Ajaib, luka robek-robek dapat segera tertutup sempurna tanpa dijahit dan tidak membutuhkan waktu yang lama. Setelah keadaan lebih baik, Vegan memapah Shelin berjalan menuruni bukit berbatu. Walaupun dengan luka yang sudah tertutup, bukan berarti nyeri dan perihnya jadi kemudian hilang, beberapa luka berat masih meninggalkan lebam di beberapa sisi.

“Terima kasih.” Ucapan Shelin lirih, hampir tidak terdengar.

“Tidak usah malu-malu begitu. Santai saja denganku.” Vegan masih memapah Shelin dan sesekali menyisir rumput liar yang menghalangi jalan.

Keduanya berjalan pelan dengan menahan sakit. Vegan berbisik lirih menetralkan suasana, ia memperhatikan Shelin yang masih sangat abu-abu akibat kejadian yang menimpa mereka berdua.

Dalam hati, Shelin masih belum bisa menerima betul mengenai hal-hal yang melibatkan dirinya. Namun yang tengah terjadi saat ini, ia kembali ke tempat bernama Levitasi, sebuah tempat yang terhubung dengan lorong mimpi miliknya. Hal apa lagi yang tidak membuatnya yakin jika dunia ini nyata dan sungguhan.

“Mengapa diam saja?” Tegur Vegan,

Shelin sedikit terkejut dengan sebuah pertanyaan.

“Sepertinya kau jarang mengalami hal semacam itu sebelumnya, atau jangan-jangan memang belum pernah?”

Apa dia gila. Bagaimana mungkin aku bisa dikatakan jarang mengalami, untuk tahu dan membayangkannya saja tidak akan. Aku yakin jika aku menceritakan ini kepada seseorang atau bahkan ke profesorku di kampus, belum tentu pikiran normal manusia akan menerimanya.” Mata Shelin menatap aneh kepada Vegan, bagaimana ia bisa terlihat tenang setelah semua yang terjadi.

“Huh, kau diam lagi.” Ia membenarkan sepatu boots dan mengeluarkan sesuatu dari baliknya. “Apa kau masih ingat aku? Jika tidak, mari kita mulai lagi. Hai! Namaku Vegan. James Vegan Apostrof. Putra kebanggaan Ratu Andalusia dan Raja Betelgeuse Apostrof. Ayahku adalah kakak dari Agena dan Raja Aldebaran. Agena adalah perempuan yang menolongmu kemarin, ibunya Yui.”

Tunggu, tunggu, namanya aneh sekali. Berada di abad ke berapa aku ini?” Shelin mengangguk, menghargai.

“Giliranmu.”

Shelin menaikkan alisnya, tidak paham.

“Kau, perkenalkanlah namamu. Dan nama tengahmu, atau margamu juga bisa.”

“Oh aku Shelin, lengkapnya Bunga Shelin Edelweis Darma.”

“Hmm, Darma? Aku belum pernah mendengar nama marga itu.” Terlihat sejenak berpikir. “Dimana kerajaanmu? Atau asal klan-mu?” Vegan ingat tentang jepit yang ia lihat di kepala Shelin saat pertama kali mereka bertemu di bukit berbatu.

“Ah tidak, aku bukan dari kerajaan manapun. Aku bukan ratu atau putri.”

Vegan agak terkejut, lalu dari mana gadis ini mendapatkan jepit rambut seperti mustika, benda itu biasanya dipakai oleh permaisuri atau anak raja. Apa gadis ini pencuri? Tapi menilik dari wajahnya, sungguh tidak nampak sama sekali. Siapa ia sebenarnya.

Mereka diam dan sekitar hening. Pohon-pohon yang tinggi menguntit langkah mereka.

“Kejadian tadi aneh sekali, beruntung truk itu tak jadi menggilasku.” Shelin membuka mulut terlebih dahulu untuk pertama kalinya. Sepanjang jalan tadi selalu Vegan yang membuka obrolan terlebih dahulu.

“Oh benda besar yang hampir menumbukmu itu namanya truk?”

Shelin mengangguk.

“Di Levis tidak ada benda yang semacam itu.” Semakin lama, jalan semakin landai dan sampai ke perbatasan distrik. “Bisa kau ceritakan padaku dari mana asalmu?” tanya Vegan terus terang.

Shelin menjelaskan satu dua hal yang mungkin bisa diterima Vegan.

Sedikit paham, banyak tidaknya. Vegan tentu baru mendengar tempat bernama Semang, tempat itu tentu asing baginya.

“Bisa kau jelaskan lebih banyak lagi tentang tempat tinggalmu? Seperti apakah ia berbentuk datar atau oval.”

Shelin tertawa, Vegan terkejut melihat senyum Shelin. “Entah, banyak ilmuan yang masih mendebatkannya.”

“Bagaimana denganmu?”

“Hmm, Aku percaya jika bumi itu bulat. Hanya saja datar di permukaannya.”

Vegan berusaha mencerna.

“Bumi tidaklah sekecil biji jangung. Jangan hanya bayangkan bulat dengan segala lengkung simetrinya ya.” Shelin tersenyum dan Vegan terkejut lagi.

“Apa aku boleh bertanya?”

“Tentu.”

“Mengapa kau menyelamatkanku?”

Vegan terdiam, menarik nafas, “Kau bertanya Mengapa aku melakukannya? Entah aku juga tidak tahu.“

Shelin kecewa tak mendapat penjelasan, namun ia tak menampakkannya. “Dan satu hal lagi.”

Ekspresi Vegan mengisyaratkan kata Apa?

“Bagaimana kau melakukannya? Maksudku kilat, cahaya, suara gemuruh, badai itu. Lalu sampailah aku ke tempat ini.”

Vegan terlihat berpikir, “Mengapa aku bisa melakukannya? Em, entah aku tidak paham bagaimana cara yang tepat untuk menjelaskan padamu, itu terdengar seperti sihir.”

“Mungkin kau mau menjelaskannya padaku.”

“Aku tidak yakin logikamu akan paham seluruhnya. Tapi akan aku coba, mungkin begini, sebenarnya tidak mudah memindahkan tubuhmu dari dimensi frekuensi rendah. Nah, sementara tempat tinggalmu itu punya energi panjang gelombang tinggi namun frequensinya rendah, setidaknya lebih rendah dari pada Levitasi.”

“Di sini sebuah panjang gelombang yang dipancarkan oleh sinar terkuat pun akan jadi sangat rendah namun memiliki frekuensi yang amat tinggi. Kami biasa menggunakan sebuah sinar untuk memotong daging, menotong sayur, kebutuhan rumah tangga, besok-besok bisa kau amati ada pendar cahaya putih dari ujung mata pisau yang digunakan untuk masak-masak, kelebihannya adalah ia tak akan korosi karena ia bukan berasal dari logam. Dan pada industri besar kadang digunakan untuk kebutuhan pembangunan tata letak kota dan perkembangan teknologi. Semua itu dapat dilakukan karena kami mempunyai alat yang dapat memusatkan intensitas dari warna sinar didukung dengan mungkin lingkungan tempat dunia ini berada memiliki amplifire yang energinya mempesona. Ah! Laser, jika kau tahu prinsip kerjanya, ini kurang lebih sama.”

Shelin mengangguk seadanya, mencoba untuk paham.

Vegan melanjutkan, “Pada kasusmu, mudah saja penjelasannya. Aku membawamu dengan kecepatan hampir sama kecepatan cahaya, jika diukur dengan benda lucu yang kau naiki tadi sepeda motor  yang tak sengaja ikut terbawa ke sini, mungkin kecepatanku sekitar 300.000.000 meter per detik, dengan begitu kita akan mengalami dilatasi waktu dan kontraksi panjang yang menyebabkan massa tubuh kita akan lebih besar dari biasanya, dan waktu yang terjadi akan menjadi lebih sebentar jika dibandingkan dengan waktu yang terjadi di tempat asalmu itu.”

“Dengan perbandingan energi yang jumlahnya lebih besar dibanding tempatmu tinggal, itu tak akan terlalu sulit dilakukan. Ya, energi kami besar. Tapi akan sulit dilakukan sebaliknya, maksudku kalian akan susah jika berpindah kesini. Tapi tadi tak semudah yang aku bayangkan, aku harus benar2 memperhitungkan agar jangan sampai benda besar itu menghantammu. Dan yang tambah menyusahkan lagi adalah kau yang tak juga memejamkan mata dan mengapa kau terus memegangi benda primitif yang memiliki lampu dan dua ular hitam yang sepertinya melingkar sebagai tumpuannya. Apakah ular ini sungguh mati? Bagaimana cara membunuh ular?”

“Itu bukan ular, itu roda ban, dan benda yang kau sebut primitif itu adalah sepeda motor. Sebuah teknologi berkembang yang canggih dan dapat memindahkan manusia dari tempat satu ke tempat lain dengan waktu yang lebih singkat dari pada berjalan kaki.”

“Oh maaf. Berpindah? Menghilang seperti teleportasi?”

“Tidak, tidak. Hanya ... emm mempersingkat waktu dan menambah kecepatan. Tidak melibatkan cahaya dan teleportasi seperti yang kau pikir.”

“Oh. Konvensional.”

Hening sejenak, sambil duduk Vegan mengipas-ngipas badannya yang dipenuhi lumpur. Sebuah pendaratan yang kurang sempurna.

“Maaf sebelumnya, aku belum terlalu profesional memakai energi untuk berpindah seperti tadi apalagi mencobanya sampai ke dimensi tempatmu tinggal. Aku tak bisa memperkirakan tempat mendarat yang empuk atau setidaknya bukan benturan seperti ini. Aku diam-diam mencoba hal ini, kuharap kau tidak akan menceritakan ini kepada siapapun sebagai balasan aku telah menyelamatkanmu. Akan jadi masalah jika orang di sini tahu kalau aku coba-coba berpindah ke tempat-tempat lain di luar Levitasi. Apapun alasannya tidak akan baik akibatnya bagiku.”

Shelin mengangguk kemudian diam, ia masih mencoba mencerna penjelasan Vegan. Benar katanya tadi, secara teori memang itu terdengar sistematis namun logikanya tetap belum bisa menerima walaupun sudah dijelaskan seilmiah apapun itu. Ini adalah hal yang tak pernah ia bayangkan akan terjadi, bagaimana akan membayangkan? Terbesit di otak kecilpun tidak.

“Sebentar, lalu bagaimana caranya, maksudku jalan yang kita lalui, atau tiba-tiba kita kita bisa sampai begitu saja disini?”

Vegan mengernyitkan dahi “Astaga, kau tak paham juga dengan penjelasan panjang lebarku tadi? Tentang konsep cahaya, dilatasi waktu, perubahan panjang dan...”

“Bukan, bukan itu maksudku. Aku paham dengan yang kau jelaskan tadi, aku sedikit mempelajarinya di mata kuliah fisika modern di kampusku. Maksudku jalannya, arah, bagaimana atau dimana, bagaimana kita bisa sampai di sini? Di Levitasi.”

“Oh kalau itu aku tak tahu, ketika kau menutup mata semua terjadi begitu saja.” Jawab Vegan santai “Mungkin kelak jika Usiaku sudah seumuran paman atau ayahku jika ia masih hidup, aku akan tahu jawabannya. Sekarang ilmuku masih sangat dangkal. Hei, ternyata aku hanya sedikit lebih tua darimu dua tahun jika perbadingan waktu di sini dan di tempatmu disamakan.”

“Jika kau bisa membawaku ke sini, berarti kau bisa mengembalikanku ke tempat asalku kan?”

“Entahlah, sebenarnya aku tak sepenuhnya melakukan hal itu sendirian.”

“Tapi kau bisa, kan?”

“Terus terang saja, untuk melakukan hal semacam tadi sangat tidak mudah dan lebih besar kemungkinan untuk gagal dari pada berhasil.”

“Tapi bukan berarti itu tidak mungkin.”

“Tentu, tidak ada yang tidak mungkin. Tapi hal yang sama tidak terjadi dua kali.”

Mereka berhenti di lembah perbukitan, ada seorang lelaki menunggangi kuda gagah berwarna coklat dengan surai berwarna kuning, yang tiba-tiba muncul dari belakang batu besar. Bukit itu memang dipenuhi batu-batu dengan beragam ukuran hasil dari letusan gunung berapi.

Laki-laki itu mengenakan jaket bulu tebal seperti yang pernah Shelin lihat saat pertama kali bertemu Vegan di mulut gua. Mungkin memang kebanyakan orang di sini mengenakan busana semacam itu.

 Lelaki itu membawa alat seperti senjata laras panjang namun moncongya berbentuk seperti anak panah yang runcing. Gurat wajahnya dingin dan misterius. Tatapannya tajam dan menyelidiki. Ia tidak berkata apa-apa bahkan sekedar untuk melempar senyum pun ia tak sudi. Vegan juga tidak berkata apa-apa, tak ada sapa antara mereka berdua.

Segera Vegan membelokkan jalan dan menjauh dari orang yang terlihat tidak menyenangkan.

“Oh ya, Shelin. Ular di bumi apakah bisa dibunuh?” Vegan menanyakan pertanyaan yang sebelumnya sudah ia tanyakan.

Benak Shelin terheran-heran, “Siapa sebenarnya orang ini?”

~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status