Share

Rasi Bintang Lyra

Senja selalu berlalu diiringi cahaya kemerahan dengan semburat emas yang membuat langit terasa megah. Beberapa hari di kota Levis, tidak serta merta membuat Shelin mudah beradaptasi. Luka-luka yang telah sembuh, bukan berarti tidak meninggalkan bekas.

Sore ini, Vegan dan Shelin banyak menghabiskan waktu di pondok Yui. Menemani Liz menyelesaikan pekerjaanya atau sekali-kali menanggapi Yui yang rewel meminta ini itu.

“Kau ingat dengan anak laki-laki yang kita temui saat ia sedang berkuda kemarin?” Vega bertanya dengan nada yang pelan.

Shelin ikut menjawab pertanyaan dengan berbisik “Iya. Kenapa?”

“Dia bernama Regor. Berhati-hatilah dengannya. Dia kuat dan...”

“Arogan?” Shelin menambahi, Vega mengangguk setuju. Kesan pertama Shelin memang begitu, tatapannya kurang ramah dan mendiskriminasi.

“Ya, Dia orang yang sangat susah diprediksi dan suka sekehendak hatinya saja. Walaupun Regor adalah temanku, tapi aku tak selalu menyukainya. Kami adalah kawan yang berkompetisi.”

“Jika tebakanku benar, sepertinya Ia juga tak menyukaimu.” Shelin berbicara masih dengan berbisik-bisik.

“Entahlah, Regor bersikap seperti itu ke semua orang. Kecuali kepada Ferari, bijunya.”

~

Semua barang yang ikut terbawa saat teleportasi bersama Vegan, berumur sangat pendek dan seperti benda rongsokan. Baterai handphone yang biasanya dapat digunakan selama seharian penuh ketika di bumi, kali ini hanya akan bertahan kurang dari satu jam.

Hal itu disebabkan karena kebutuhan energi di sini lebih banyak dibanding dari tempatnya berasal. Hipotesis sementara Shelin, Levitasi ini tak beda jauh dengan bumi kecuali urusan energi dan kecanggihan teknologi, semua yang terjadi tidak menentang logika dan hukum ilmiah sama sekali. Ia juga merasa di sini ia menjadi cepat lapar jika hanya mengandalkan roti bakar dan bakwan jagung goreng buatan Ibu yang tak sengaja ikut terbawa kesini kemarin lusa. Ia masih banyak diam, mengamati dan berjaga-jaga. Otaknya bekerja keras memahami lingkungan dan keadaan sekitar dengan saksama, rasanya ia seperti bayi yang baru lahir dan harus belajar semua mulai dari nol lagi.

Memang fantastik sekali kota ini, hampir seluruh tata letak kota dan distrik memiliki peradaban artistiknya seperti Eropa pada zaman pertengahan. Namun kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologinya sudah sangat jauh meninggalkan Amerika dan Jepang. Sumber uranium sangat melimpah sehingga memungkinkan penduduknya untuk bebas mengeksplorasi energi nuklir.

Setiap rumah tangga memiliki nuklir dan tidak membahayakan. Semua orang bijak dalam menggunakannya. Nuklir sangat menjanjikan karena dengan satu gram zat sumber radiasi semisal adalah uranium setara jumlah energi yang dihasilkan oleh 200 juta ton batu bara. Bayangkan seluruh distrik yang maju di Kota Levis mempunyai pembangkit energi sendiri-sendiri. Masyarakatnya bebas memanfaatkan sumber daya alam dengan sebaik-baiknya.

Sudah beberapa hari ini Shelin hanya menghabiskan hari bersama Yui. Sebelumnya ia tak terlalu menyukai anak kecil, namun Yui berbeda. Yui sangat cerdas untuk usianya yang baru empat tahun. Yui mengikuti kelompok belajar Visual. Menurut Liz dan Agena, kemampuannya dalam mengamati dan membaca sudah sama dengan anak yang berusia 10 tahun. Hal ini bukan tanpa alasan, Yui rutin membaca buku tebal kesukaannya di perpustakaan kerajaan yang terhubung langsung ke pondoknya.

Shelin mulai terbiasa dengan ukiran dan logo magis yang ada di seluruh tembok perpustakaan bahkan ada di jalan dan tembok rumah orang-orang Levis, logo itu berbentuk bunga matahari dengan empat pilar di dalamnya. Ada Triangel, star, heksagon dan bujur sangkar.

Sekilas, ia telah membaca buku-buku mengenai empat lambang itu. Entah mengapa rasanya bunga matahari terasa amat dekat dengannya, benar-benar tidak asing. Namun semua muncul hanya seperti perasaan-perasaan saja.

“Tuan Liz ... ” tegur Shelin dari kejauhan.

“Hai, Shelin. Sudah beberapa hari ini kau terus menghabiskan harimu di perpustakaan.”

Shelin tersenyum memperlihatkan mata dan senyum bulan sabitnya. “Aku menyukai tempat ini, Tuan.”

“Tumben, kau memanggilku. Biasanya kau hanya asik dengan buku-bukuku. Bukan dengan penjaganya. Oh ya, kau bisa memanggilku ayah, seperti Yui memanggilku, atau jika itu mengganggu kau bisa panggil aku cukup dengan Liz saja.” Liz tertawa.

“Aku mau bertanya, Liz. Apa sebenarnya arti dari bunga matahari ini dan ke empat benda di dalamnya?”

Liz agak gugup ketika ditanyai tentang Lambang kerajaan. “Mengapa kau tiba-tiba itu?”

“Ehm, aku hanya ingin tau. Bunga matahari ini ada di mana-mana. Di perpustakaan, di jalan-jalan, di tiang dekat trotoar, bahkan di toko kue milik Tuan Achernar. Semua penuh dengan lambang itu.”

Liz segera menguasai diri, “Itu lambang kerajaan, anakku. Pantas ia ada di segala tempat.”

“Iya aku tau itu. Maksudku apa makna dari lambang kerajaan itu, ada apa dengan bunga matahari, segitiga dan benda yang ada di dalamnya?”

Liz sejenak diam, tak langsung menjawab pertanyaan.

“Ayolah Liz, kau pasti tahu tentang hal itu. Kau orang terpandai di seluruh Levitasi, itu kata Vegan. Seperti wikipedia berjalan.”

“Vegan berlebihan, tapi baiklah. Nanti setelah pekerjaanku selesai akan aku ceritakan padamu. Sekarang aku harus membawa beberapa buku ke kerjaan. Akan ada pameran tiga klan. Raja Aldebaran memintaku untuk membuat arsitektur kerajaan menjadi terlihat intelekt dengan hiasan buku-buku.” Liz menghembuskan napas sebentar. “Sebenarnya aku tak rela melihat buku-buku ini hanya menjadi pajangan tanpa dibaca. Tapi karena Agena yang memintaku, aku jadi tidak sampai hati jika menolaknya.”

Shelin yang juga menyukai buku, ikut murung.

“Silahkan lanjutkan membacamu.” Liz berlalu menaiki nuiken ke lantai perpustakaan yang lebih tinggi.

Semenjak di sini Shelin pernah mendengar beberapa desas-desus jika pengunjung perpustakaannya semakin lama semakin sedikit walaupun menurut Shelin, mereka yang datang masih jauh lebih banyak dan ramai dibanding dengan perpus kampusnya. Namun mendengar kabar penurunan itu membuatnya prihatin, Shelin tidak rela melihat buku-buku akan jadi berdebu dan kehilangan pembacanya.

Sementra di pojok perpustakaan, Yui masih tenang membaca buku cerita yang ia suka, belum ada tanda-tanda ingin bertanya atau berteriak karena menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya. Anak kecil memang mempunyai dunianya sendiri, rasa ingin tahu yang besar mengenai hal-hal baru membuat anak-anak yang jenuis seperti Yui tidak bisa diam bahkan untuk beberapa menit. Ia diam hanya saat tidur saja.

Tempat favorit untuk Shelin membaca ada balkon di lantai atas, letaknya dekat dengan rak buku sains dan jurnal ilmiah, selain karena letaknya yang strategis dengan buku bacaan kesukaannya, deretan kursi di sana bersebelahan dengan jendela besar yang menghadap langung ke kota, sehingga dari sana dapat terlihat seluruh keramaian dan distrik-distrik kecil yang mengukung Kota Levis.

Pemandangan akan semakin indah saat malam hari, seperti terdapat hamparan kerlap-kerlip lampu yang berserakan di sudut-sudut kota. Tiba-tiba dari arah utara tertiup angin cukup kencang hingga menghaburkan lembar halaman buku yang tengah ia baca.

“Hallo, Nona.” Vegan menaiki biju menghampiri Shelin.

“Hentikan, aku masih remaja. Hei! Aku seperti pernah melihat benda terbang ini. Tapi di mana ya?”

“Oh ini biju milikku, namanya Pollux.”

Shelin mengangguk,

“Ini pemberian dari Putri Venibella.”

“Siapa Ratu Venibella?” selama Shelin menginjak tanah Levitasi baru sekali ini ia mendengar nama ratu.

“Penguasa kedua setelah Raja Aldebaran. Penerus tahta, beliau putri mahkota. Ia juga sepupuku.”

Shelin kembali mengangguk, paham.

“Kau mau kuajak berkeliling naik Pollux?”

Shelin ingin segera mengiyakan namun urung, Ia belum siap bertemu manusia lain selain Vegan, Yui, Liz dan Agena. Ia takut akan banyak muncul pertanyaan tentang dirinya, seperti siapa dia atau mengapa rambutnya hitam tidak seperti orang kebanyakan yang berambut pirang. “Emm, mungkin tidak sekarang, Ve.”

“Ayolah, Nona.”

Shelin masih menghadap buku, pura-pura membaca.

“Jangan abaikan aku.” Vegan mendistrikk.

Masih dengan wajah mengahadap buku, “Aku mau, tapi tidak sekarang.”

“Oh ayolah,” Vegan terus meminta. “Atau kalau itu maumu, oke tak apa. Mungkin aku harus mencari cara dulu untuk menutupi rambut hitammu itu.”

Shelin terkejut, mendengar perkataan Vegan seperti ia bisa membaca pikiran. Dan tanpa diketahui Shelin, tiba-tiba Vegan mengambil tangannya dan mengaitkan kelingkingnya kepada kelingking Shelin. “Ini adalah janji jari kelingking. Aku biasa melakukan ini dengan ibuku, dahulu saat beliau masih hidup. Katanya, jari kelingking melambangkan rasi bintang Lyra, rasi bintangku. Sehingga aku tidak boleh mengingkari janji itu. Esok aku akan temukan cara agar kau bisa berkeliling, aku janji.”

Mendengar perkataan Vegan, Shelin jadi tidak tega untuk tidak menatap wajahnya. Selain manis, perkataan barusan kembali mengejutkannya, ternyata Vegan sudah tidak mempunyai ibu. “Aku tidak akan mengingkari janji kelingking ..” janji Shelin dalam hati.

~

Terlihat Vegan menaiki nuiken memilah-milih buku di rak lantai bawah. Shelin memandanginya sebentar sambil berfikir. “Mengapa Vegan ada di saat pertama kali ia terdampar di Levitasi melalui lorong mimpi yang sudah tidak ia ketahui bagaimana kabarnya, mengapa ia juga yang menyelamatkannya dari kecelakaan truk di bumi kemudian kembali membawanya kesini?”

Dari semenjak kedatangan yang tidak dimintanya, Shelin sudah membawa segudang penuh pertanyaan, beberapa hari tinggal di sini membuat pertanyaan-pertanyaan di kepalanya meronta-ronta untuk segera dipertemukan dengan sebuah jawaban, namun semua Shelin tahan sendirian. Dengan alasan ia tak tahu harus bertanya dengan siapa, dan apabila ia sudah bertanya pun apakah jawaban yang ia terima bisa serta merta ia percaya? Shelin adalah orang yang defensif kepada siapa saja, terlebih orang asing.

Ia dulu pernah bisa kembali lagi ke bumi karena tak sengaja tertidur, dan kini ia telah tidur berhari-hari di Levitasi namun sampai saat ini Shelin masih berada di tempat yang sama.

Diam-diam Shelin membuka buku-buku mengenai teleportasi dan pemindahan benda dengan kecepatan cahaya. Semua terasa mudah dilahap logika, namun lain hal dengan cara melakukannya. Salah satu yang ia ambil adalah buku Physics Of The Impossible.

 Beberapa hal yang Shelin tahu, benda bisa berpindah dengan kecepatan kilat namun sungguh sulit di terapkan pada kehidupan nyata, bagaimana tidak? Masa’ iya Shelin harus membuat mesin jet bertenaga turbo terlebih dahulu, kuliahnya saja belum sampai sidang skripsi. Pun ia tak tahu dimana tempat ini sesungguhnya berada, apakah masih di bumi juga atau sudah berada di dimensi lain, melihat dari sisi budaya dan kebiasaan orang-orangnya memang tidak jauh berbeda dengan di bumi. Namun untuk melihat sisi kecanggihan teknologi, ilmu pengetahuan dan hampir semua orang berambut pirang, meragukan jika manusia bumi dapat memilikinya tanpa diketahui oleh negara besar seperti Amerika dan Rusia. Jika pun Levitasi ini sangat tersembunyi, harusnya ia pernah sekali atau dua kali mendengar nama tempat ini disebut. Dunia milenial tidak mungkin tidak mengetahui hal se-fantantastik Levitasi apabila ia benar berada di bumi. Sementara hanya itulah kesimpulan Shelin.

“Kau sedang membaca buku apa?” tanya Vegan tiba-tiba.

“Eh tidak, bukan apa-apa.”

Menatap menyelidik “Benarkah?” Vegan melongok ke meja yang berada di hadapan Shelin, membuat wajah mereka menjadi bersebelahan. Tentu itu membuat Shelin gugup. Gugup karena takut niatnya untuk pulang akan diketahui, bukan karena hal lain.

Di meja tegeletak banyak buku, beberapa diantaranya bertema gravitasi, kecepatan cahaya, serta energi partikel.

“Oh kau menyukai buku bacaan yang memusingkan ini ternyata. Aku pernah membacanya, mungkin kebanyakan orang di Levitasi pernah membacanya juga.”

Meski tertangkap basah namun Shelin bersyukur, Vegan tidak mengerti maksud dari mengapa ia membaca buku-buku itu.

“Ve, aku boleh bertanya?”

Vegan menoleh, “Iya tentu.”

“Mungkin ini bukan sesuatu yang penting.”

“Silahkan bertanyalah, aku dengar dari Liz dan Agena, kau memang anak yang banyak bertanya.”

“Ehm. Ini bukan maksud menyindir atau apa, tapi aku sungguh ingin tahu, mengapa semua orang di sini berambut kuning dan coklat?”

Sudah ku duga ia akan menanyakan ini,  ucap Vegan dalam hati, “Baiklah, akan aku jelaskan setahuku.” Vegan membenarkan duduknya di samping tempat duduk Shelin. “Sebenarnya, sewaktu aku menemukanmu pertama kali di mulut gua, kukira kau mayat. Karena di Levitasi memang seluruh penduduknya berambut cerah dan berwarna-warni kecuali tukang sihir, namun warna itu akan pudar menjadi hitam ketika orangnya meninggal. Seperti kehilangan energi...”

Shelin melotot, kaget. Namun ia segera menguasai dirinya dan kembali mendengarkan Vegan.

“Rambut kami ini bukan rambut biasa yang hanya digunakan sebagai penutup kepala atau sekedar gaya. Untuk beberapa orang, warna rambut juga menentukan kekuatan energi yang ia punya.”

“Sebentar, berarti rambut kalian tak hanya berwarna kuning dan coklat saja?” Shelin memotong cerita Vegan.

“Kata ibuku begitu, namun sejauh ini aku hanya pernah melihat warna biru dan merah. Selain itu hanya kuning pirang dan agak kecoklatan seperti yang kamu bilang tadi.”

“Apakah warna rambut seseorang bisa berubah?”

“Tentu saja, seiring kekuatan dan energimu bertambah, maka berubahlah warna rambutmu.”

Shelin memegang rambut hitamnya, sekarang Ia tahu alasan mengapa warnanya berbeda dengan manusia di seluruh Levitasi, “Ve, ngomong-ngomong, rambut biru dan merah yang pernah kau lihat itu milik siapa?”

“Biru adalah rambut Raja Aldebaran, konon kekuatan raja sudah melampaui manusia Levis pada umunya, tapi ada sebuah bangsa di bagian selatan yang hampir sebagian dari mereka berambut biru, mereka adalah Bangsa Peri. Kemudian, aku pernah melihat rambut dengan warna merah pada ibuku.” Vegan menghembus nafas sejenak.

“Saat ibu sakit selama berbulan-bulan, kulihat rambut yang tadinya kuning keemasan berangsur-angsur menjadi kuning pucat, kemudian orange, kemudian memerah perlahan-lahan hingga akhirnya rambutnya redup, sebelum akhirnya menjadi hitam.” Suara Vegan tercekat di akhir kalimat. Sepertinya ia belum sepenuhnya lupa dan rela atas kepergian ibu yang amat dicintainya.

“Maaf, aku tidak tahu jika itu akan membuatmu mengingat sesuatu yang sepertinya menyakitkan.” Shelin merasa bersalah karena menanyakan perkara rambut merah yang membuat Vegan ingat pada kematian ibunya.

Shelin berniat untuk memanjangkan ucapannya namun melihat Vegan yang diam dan menunduk, Shelin jadi urung. Ia tidak menyangka manusia yang biasanya sangat ceria seperti Vegan, bisa terlihat rapuh begini. “Aku minta maaf.”

“Tenang, ini bukan kesalahanmu.” Vegan sedikit menyeka ujung matanya, “Aku yang bodoh tak bisa mengendalikan diri.” Vegan berkata sambil berlalu meninggalkan Shelin yang hatinya masih mengganjal di antara rak-rak buku perpustakaan kerajaan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status