Share

Jangan Biarkan Siapapun Menghambatmu

Hujan sudah turun beberapa kali, namun Putri Venibella belum mengerti alasan mengapa hujan terlambat datang. Tahun ini tidak akan ada musim salju, mungkin tahun depan. Beberapa kali ayah menyuruhnya untuk tak banyak menghabiskan waktu di luar istana. Sesekali ia mengunjungi Tuan Archernar si pembuat roti atau membantu Yavid mengelap guci dan benda pecah belah yang ada di aula dan audit istana. Ia belum boleh keluar sebelum sertifikasi master ksatria medisnya keluar. Di usia yang baru tujuh belas, ia sudah hampir mendapat gelar master dalam bidang pengobatan medis. Tak hayal, ia adalah putri raja, yang baru lahir saja masa depannya sudah diterawang oleh ahli Asimov orang-orang yang ahli dalam melihat bakat dan pandangan masa depan  akan menggunakan dominasi kekuatannya pada hal tersebut.

“Putri, sebaiknya kau letakkan saja kain lap itu. Biar aku yang membersihkan bunga dan guci ini.” Yavid adalah putri dari seorang tenaga bersih-bersih kerajaan, ibunya adalah seorang manusia yang menikah dengan laki-laki dari Klan lain, Yavid diperkenankan tinggal di istana karena Venibella suka berteman dengannya, toh juga masih ada neneknya yang juga bekerja di istana, nenek Yavid adalah penjaga toilet di lorong yang menghubungkan perpustakaan dengan salah satu bagian kerajaan.

Yavid berteman baik dengan Putri Raja di Akademi maupun di Istana. Di Akademi ia mengambil bidang tentang teknologi dan sistem lingkungan. Tenaga kebersihan di Levitasi hampir seluruhnya memiliki license. Tidak bisa dianggap main-main.

“Kau tidak bisa melarang seorang putri untuk hal ini, Yavid.” Venibella tersenyum amat manis.

“Aku hanya tak ingin Raja melihatnya.”

“Tenanglah, kau temanku. Dan ini adalah pekerjaan perempuan.” Paras dan sikap dari Putri Aldebaran ini sungguh mempesona.

Banyak hal luar biasa yang Venibella miliki. Ia masih belia namun rambutnya sudah berwarna kuning semu kebiruan menandakan jiwa yang kaya akan kekuatan. Ia banyak bepergian ke distrik-distrik milik kerajaan lain. Tidak banyak pemuda sebayanya yang bisa melakukannya, untuk dapat keluar dari Levitasi harus mempunyai kemampuan khusus.

Perbatasan antar Klan di Levitasi dipagari oleh tembok yang tidak terlihat. Hanya kekuatan tertentu yang dapat digunakan untuk menyelinap ke dalamnnya. Jangan bayangkan Levitasi sebagai tempat sempit dengan pagar keliling. Tidak ada yang tahu benar mengenai luas seluruhnya.

Sekarang batas antar Klan itu hampir tedengar seperti mitos belaka. Tak ada satupun penduduk Levis yang pernah melihatnya. Dahulu kala ada sebuah cerita tentang pemuda yang menemukan sebuah pagar tak terlihat tersebut, dengan hati dan kepalanya yang keras, pemuda itu mencoba menerobos dan kabarnya ia tak pernah kembali hingga sekarang. Namun lambat laun, entah fakta atau fiksi, kejadian itu menjelma menjadi sebuah ingatan, ingatan menjelma cerita, lalu cerita menjelma sejarah, dan sejarah menjadi legenda. Dan seperti yang kita pahami bahwa tak semua legenda akan dipercayai oleh telinga yang mendengarnya.

“Putri, bisa kau ceritakan seperti apa wujud negeri-negeri di seberang sana?” Pinta Yavid pada Venibella.

“Tentu, kau mau aku bercerita tentang negeri mana?”

“Mana saja, aku akan senang mendengarnya.” Mata Yavid berbinar-binar tidak sabaran.

“Bagaimana aku memulainya ya,” Venibella membenarkan cara duduknya.”Aku akan bercerita tentang kerajaan bagian Levis saja. Kau pasti tahu tentang kerajaan-kerajaan kecil di pinggiran Kerajaan Levis yang mempunyai raja sendiri namun masih dalam satu padu dengan Levis?”

Yavid mengangguk. Ia tentu pernah mendengarnya, warganya sering berinteraksi dan datang ke Levis.

“Sebenarnya, tak semua negeri seberang seindah cerita nenek monyang, Yavid. Memang, jika kau tau tentang cerita negara matahari timur yaitu Sun East, di sana segalanya sangat teratur dan bergantung pada teknologi canggih. Namun ada juga negeri yang masih menggunakan pengobatan peri dan percaya terhadap makhluk sesembahan, kurasa mereka tak lebih baik dari Levis. Ini hanya pendapatku saja, kau boleh tak mempercayainya. Tapi karena kau menyuruhku untuk menceritakannya, jadilah seperti itu pandanganku.” Sambil tersenyum dengan mata bulan sabitnya.

Yavid meletakkan lap sejenak, lalu melanjutkan menyemprot bunga dalam vas sambil saksama mendengarkan cerita.

“Aku pernah menyambangi negeri di luar Klan Levis, ini bukan lagi tentang kerajaan kecil, melainkan tentang Klan besar dengan rakyatnya yang suka bepergian ke Klan lain, namun mereka hanya menginjakan kaki di daerah hutannya saja, dan karena sebab itulah kita tak pernah menemukannya. Mereka memiliki rambut berwarna coklat pirang dan coklat kebiruan, sementara beberapa orang terkuat memiliki rambut berwarna putih. Beberapa kali saat ayah dan guru di Akademi menyuruhku mendalami pengobatan medis yang dilakukan para peri, namun aku tak bisa datang langsung ke Wezen Sky. Aku kecewa saat itu. Alhasil ayah menitipkanku pada klan tersebut, namanya adalah Klan Sorberu.

Aku selalu mengenakan jubah untuk menutup rambutku ketika berada di sana, jika kau ingat tokoh nenek-nenek yang memberikan apel racun pada Snow White, nah mirip itulah penampilanku. Disana, penduduk pribumi tidak hanya rambutnya saja yang coklat, tapi bola mata coklat, serta kulitnya juga coklat. Mereka akan kaget melihat pendatang baru dengan genetik  yang tidak sama dengan mereka. Apalagi kita ini yang rambutnya pirang, akan sulit mereka terima. Jadilah aku si gadis berjubah selama berbulan-bulan tinggal disana. Sesungguhnya mereka baik, namun kurasa pemikiran dari mereka saja yang belum terbuka. Tanah itu bernama Green Stone, mereka pemilik lambang bujur sangkar di Bunga Matahari kita.” Venibella menunjuk lambang Levitasi yang terdapat di guci.

“Apa lain kali aku bisa mengunjungi tempat itu?” tanya Yavid.

“Tentu bisa.” Mereka terkekeh.

Pembicaraan mereka tak usai di satu negeri. Berawal dari cerita itu lama-kelamaan alur menjadi berbelok menceritakan teman-teman di Akademi, kemudian para murid laki-laki yang gemar menitipkan hologram dan pesan singkat untuk Putri Venibella, lalu cerita tentang roti buatan Tuan Archernar yang semakin hari semakin enak dan entah bagaimana cerita bisa sampai ke seekor cicak yang meninggal di gelas kopi Raja Aldebaran tiga hari yang lalu. Memang, bercerita dengan orang dekat bisa terasa menyenangkan dan membuat perasaan lebih baik berkali-kali lipat.

 “Tapi Putri, apakah aku bisa hebat dan bersinar seperti dirimu? Lihatlah kau. Seluruh Levitasi mengakui kecerdasan dan pikiran kritismu, seluruh kesatria dan pengawal kerajan niscaya melidungimu tanpa perintah dari Raja sekalipun. Sementara aku, kelak meskipun aku telah lulus dari Akademi, aku tetaplah akan jadi penjaga kebersihan kerajaan, atau pemantau selokan dan sungai-sungai distrik apakah ada sampah daun kering yang mengambang atau tidak.”

“Mengapa bicaramu jadi murung seperti itu? Bukankan itu menyenangkan? Aku pun tak sepenuhnya senang menjadi kesatria medis dan putri mahkota, Yavid. Berapa banyak buku dan jurnal ilmiah yang harus kubaca setiap minggunya untuk mengetahui cara mengobati manusia dengan benar, belum lagi pelatihan-pelatihan yang membuat gigi gerahamku ngilu karena kurang istirahat. Juga, jam tidurku yang terganggu karena tak jarang di jam dua pagi seseorang akan membangunkanku karena saudaranya tersedak biji kenari atau aku harus membantu orang tua yang anaknya kejang-kejang dengan mata mendelik. Dan yang paling tidak mudah adalah ketika kau gagal dan takdir tengah memperkerjakan malaikat pencabut nyawa untuk melaksanakan tugas mulianya, pada saat itu aku berkali-kali menyaksikan bagaimana rambut pirang keemasan manusia perlahan menjelma merah dan pucat lalu menghitam, sebagai tanda bahwa jiwa tak sanggup lagi membersamai raga. Aku tak sekali dua kali menyaksikannya, Yavid.”

 Yavid terdiam, prihatin mendengarkan hingga tak terasa seluruh vas bunga dan guci di audit kerajaan rampung dibersihkan.

“Semua sungguh sepadan, Yavid. Dalam segala aspek, selalu ada porsi yang berbeda antara manusia satu dengan lainnya. Dan itu tentu tak boleh disamakan.”

Yavid diam setuju.

“Jangan hanya tanya bagaimana rasanya berhasil menggapai puncak mawar, tapi tanyakan juga bagaimana rasa saat mendaki duri-durinya.”

Sejenak hening, “Kau bijak sekali, Putri.”

“Tidak, Yavid. Banyak orang yang mengajariku.”

~

Seluruh komponen Akademi Super Magic Levitasi tengah serius menyiapkan acara pesta rakyat tahunan di Levis, mulai dari profesor sampai tukang bersih-bersih. Raja menyerahkan seluruh konsep acara pada profesor dan guru akademi.

Penduduk Kerajaan Capaldi dan Miguel serta sepuluh kerajaan kecil di daratan utama juga akan turut diundang untuk memeriahkan pesta rakyat. Akan banyak kerlap-kerlip bunga matahari dan kembang api untuk beberapa hari ke depan.

Aludra bersama Regor, Rigel, Vegan dan beberapa siswa laki-laki terlihat sibuk berlatih seni pertunjukan yang akan mereka tampilkan esok di hadapan orang-orang dan tamu Levis. Seluruh murid laki-laki di Akademi SML pasti amat paham bagaimana tarian ini digunakan. Profesor Alnilam meminta pada segerombol pemuda ini untuk membawakannya, mereka adalah sumber daya terbaik Akademi SML.

“Tentu aku tidak akan meminta Tuan Altair membantuku untuk mengurusi bujang-bujang seperti kalian. Beliau tengah sibuk dengan hal lain. Lagi pula orang terhormat sepertinya tak pantas disuguhi tontonan bercandaan kalian yang membuat rusa di pondoknya akan berlarian.” Profesor Alnilam membuka peti berisi samurai dan beberapa pernak-pernik.

Aludra sebagai tertua merasa bertanggung jawab untuk mengatasi kegaduhan yang teman-temannya ciptakan. Kerap ia ber-hussst beberapa kali, menyuruh diam. Vegan dan Rigel menjadi sumber kegaduhan yang amat sulit diatasi baginya. Dua orang ini memang terkenal gemar sekali mengocok perut orang-orang yang berada di sekitarnya. Hiburan bagi mereka yang menganggap bercandaan itu lucu.

Lain halnya dengan Regor si arogan dan dingin. Sesekali ia melakukan apa yang diperintahkan oleh Profesor, dan ia lebih sering tidak peduli pada saran dan permintaan teman-temannya. Ia tak banyak berteman dengan murid Akademi, dan jarang ditemukan saat jam istirahat bahkan oleh adik kadungnya sendiri. Banyak orang yang bilang jika Regor menuruni sifat ayahnya.

Rigel dan Regor adalah kakak beradik yang mempunyai kemiripan wajah sembilan puluh persen identik. Warna rambut mereka juga sama, meskipun Regor kekeh bahwa rambutnya lebih kebiruan dari pada Rigel.

Ayah mereka adalah Tuan Regulus, seorang bangsawan berasal dari Miguel yang kaya, kuat serta arogan. Banyak orang berhati-hati jika berhubungan dengan lelaki berambut lurus panjang dan selalu bepergian membawa tongkat dengan pakaian menyerupai ras yehudim.

Rigel sesungguhnya tak terlalu beda jauh dengan kakaknya. Namun ia lebih sering tertawa walaupun bercandaannya terkesan merendahkan. Kesan pandai meremehkan orang lain terpatri amat kuat pada keluarga tersebut. Tapi setidaknya selera humor Rigel tak terlalu buruk dan ia tidak bermasalah dengan pergaulan bersama teman-teman di Akademi SML.

“Tuan Aludra, kau bisa membantuku mengangkat peti yang lain.” Sebuah peti berisi perlengkapan tarian perlu diangkat oleh empat orang. Peti itu terbuat dari kayu mahoni dengan corak alami yang terbentuk dari cambium pohon semasa hidup.

Profesor Alnilam membuka dan mengeluarkan isinya. Tangannya meraih sebuah baju berwarna hitam kombinasi kuning dan merah dilengkapi mahkota untuk menutupi kepala terlihat masih rapi dan jarang dipakai. Para pria penari akan mengenakan tameng atau banyak orang menyebutnya baluse, pedang dan toho sebuah tongkat mirip dengan tombak, sebagai lambang pertahanan dari musuh.

“Aku tak akan menjelaskan terlalu banyak seperti pengantar dalam kelas, kuyakin kalian-kalian ini sudah hafal tentang materi Tari Pedang. Bahkan ada dari kalian pernah membawanya ke panggung pertunjukan. Bukan begitu Aludra?” Nada bicara Profesor Alnilam mirip seperti suara ringtone ponsel dengan yang melengking saat menyebut nama Aludra.

Aludra mengangguk, Regor tak peduli, karena Regor-pun pernah membawakannya lebih banyak dari pada Aludra. Beberapa murid terlihat mengernyitkan dahi tidak setuju. Untuk Vegan, Rigel dan beberapa murid yang lain, Tari Pedang merupakan hal yang baru. Perkara Prof Alnilam pernah memberikannya di kelas itu hal lain, ini adalah persiapan pertunjukan besar dan materi kelas adalah pelajaran, keduanya adalah hal yang berbeda. Tentu, tak semua materi yang Prof sampaikan akan meringkuk permanen di ingatan murid yang diajarnya, bahkan untuk standar murid yang cerdas seperti Vegan.

Tari pedang berasal dari pulau di sebuah belahan dunia bernama Kalimantan. Pada zaman dahulu, tarian ini dipertunjukan sebagai hiburan seusai rakyat melakukan panen padi yang berlimpah atau pada pesta-pesta pernikahan.

“Kalian bisa mengambil konstum dan pedang kalian masing-masing.” Profesor Alnilam juga turut mengenakannya. “Ada yang ingin bertanya terlebih dahulu sebelum aku memulai gerakannya?”

Salah seorang mengacungkan tangan,

“Oh ya, Vegan. Ada apa gerangan?”

“Prof, apakah pedang-pedang ini dapat melukai seserorang sungguhan?”

“Tentu, jika kalian tak berhati-hati ini dapat membunuh siapa saja jika memang diniatkan untuk membunuh. Meskipun sesungguhnya ini tak terlalu tajam. Namun begini...” Profesor mengambil salah satu pedang dan menunjukkannya, “segala sesuatu adalah tergantung dari niatnya, pedang tumpul ini sama halnya dengan pisau kecil di saku kalian tuan-tuan. Jika diniatkan untuk memotong buah, untuk meruncingkan tusuk sate, atau memotong tali, tentu itu akan berguna dan sangat membantu. Namun jika kau niatkan benda tajam mungil itu untuk melakukan hal jahat dan tidak terpuji, ia juga bisa melakukannya. Jadi semua itu kembali lagi pada yang manusia yang menggunakan. Jadilah bijak tuan-tuan muda sekalian.”

Murid-murid mengangguk, paham kemana arah pembicaraan.

“Analogikan itu pada semua benda dan semua hal, termasuk pada pedang berkilau yang kalian pegang ini.”

 Profesor mengangkat lonceng dan mendentumkannya pelan. Latihan dimulai.

~

Di tengah-tengah latihan Profesor Alnilam izin meninggalkan latihan karena urusan penting yang tiba-tiba memintanya berkumpul dengan guru-guru akademi yang lain. Profesor meminta Regor untuk bertanggung jawab atas kelas latihan kali ini, namun ia menolak dengan alasan ia juga tak bisa mengikuti kelas sampai usai. Alhasil Aludra-lah yang menggantikannya.

Bebarapa saat setelah profesor meninggalkan lapangan, latihan berjalan dengan penuh kegaduhan yang teman-teman Aludra ciptakan.

“Aludra, tidakkah kau bosan berlatih seperti ini?” Ucap Regor dengan tangan dan badan masih lihai melakukan tarian tari pedang.

“Tidak, aku tak menganggapnya serius.” Aludra mencoba membangun fokus dalam gerakan.

“Tapi bukankah kau telah melakukan ini berkali-kali? Jangan bergurau jika kau tidak bosan. Untuk berlatih dalam sekali pertunjukan saja bisa menghabiskan dua puluh sampai tiga puluh kali latihan.” Regor tertawa dengan raut meremehkan seperti biasa.

“Kau tentu lebih tahu. Kau sudah lebih banyak tampil dibanding diriku.”

“Mungkin kau ingin latihan yang lebih serius?”

Aludra mengernyitkan dahi, tak paham dengan apa yang dimaksud lawan bicaranya.

“Kau tentu sudah dengar tentang cerita kaum yang tidak menganggap bahwa darah bukanlah benda suci sehingga tidak segan baginya untuk membunuh manusia-manusia yang tak setujuan dengan misi mereka. Mereka adalah bangsa yang menyukai dingin dan kedinginan.” Regor berbicara setengah berbisik.

Aludra mengernyitkan dahi semakin dalam, tambah tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan Regor.

“Kau pasti sudah mendengarnya, wahai putra mahkota kerajaan Capaldi. Mereka akan datang mencari Diadem Levis yang melegenda itu. Sebuah hiasan kepala yang mirip seperti milik istri dari kakek Raja Aldebaran, dan kini keberadaanya entah dimana.”

Seiring tempo tarian yang semakin tinggi, bunyi sring sring yang berasal dari suara benturan pedang semakin rapat terdengar. Semakin lama, gerakan yang dilakukan Regor tak beraturan menyalahi gerakan tari yang sebenarnya.

“Aku harus lebih kuat dari sekedar berlatih sebuah tarian tidak berguna.” Regor menebaskan pedang beberapa kali ke arah Aludra yang berhasil menghindar dan menepis. “Dan kau adalah lawan yang seimbang bagiku. Kita ini berada dalam keadaan bahaya yang berkamuflase, apa kau paham? Kita merasa semua baik-baik saya padahal itu hanya tipuan. Jika bangsa itu benar datang, seluruh manusia Levis akan musnah! Dan jika kita terus berlatih hal-hal bodoh macam ini, kita tidak akan semakin kuat. Ayo bertarunglah denganku.”

Aludra terbelalak mendengar perkataan Regor beberapa detik yang lalu. Iya tentu tidak mengiyakan, namun ia dalam keadaan tidak bisa mengelak. Acungan pedang Regor hampir mengenai pelipisnya. Mau tidak mau ia harus melawan rekan gilanya ini.

Murid lain mulai bingung ketika menyadari apa yang tengah terjadi antara Regor dan Aludra, sebagian orang tertawa menganggap mereka tengah beradu gurau. Namun semakin lama tensi interaksi mulai terasa tidak normal. Ayunan pedang mereka bukan merupakan gerakan dari tarian.

Vegan mengamati dengan saksama dan mulai tahu apa yang sebenarnya tengah terjadi. Mereka bertarung sungguhan!

Vegan mencoba melerai namun keadaan sudah menjadi kerumunan melingkar yang menjadikan itu sebuah tontonan. Ia susah untuk menyelinap masuk. Vegan meneriaki mereka berdua untuk tidak bertindak gila. Rigel terlihat diam dan tak bereaksi mengamati perbuatan kakak kandungnya.

Satu tebasan mengenai paha kiri Aludra, kini tinju juga ikut serta hadir dalam pertarungan yang diiringi alunan musik meriah. Aludra terjatuh, beberapa kali menghindar dan melayangkan bogemnya ke wajah Regor yang membuat pelipisnya biru dan giginya berdarah. Kini wajah Regor terlihat tidak proporsional karena luka darah dan lebam, menghiasi wajah tampannya.

“Hei! Hentikan kawan!” Terdengar teriakan Vegan namun kalah ramai dengan suara musik dan sorak sorai penonton.

Vegan terus mencari cara untuk menghentikan pertarungan ini.

Regor memukul tengkuk dan pergelangan kaki Aludra hingga membuatnya tersungkur dan tidak bangkit lagi. Murid lain terkejut, tak percaya jika ini pertarungan sungguhan.

pleasse toksixosi no help nomersi...” Regor merapal sebuah mantra pada pedang yang digenggamnya. Dengan jarak sedekat itu, Vegan tentu mendengarnya. Ia langsung paham itu adalah mantra untuk memohon menghadirkan racun pada sebuah benda pasif.

Melihat Aludra tersungkur di tanah, Regor melompat menebaskan pedang yang sudah tidak lagi polos seperti sebelumnya. Mata pedang itu mengandung bisa kobra yang dapat mencelakai siapapun yang mengenainya. Namun Aludra bukanlah ksatria yang biasa-biasa saja, kemampuannya tidak boleh dipandang sebelah mata. Sebelum ujung pedang mengenai tubuhnya, ditangkislah pedang itu menggunakan kaki dengan sepatu boots di arahkan ke bagian pergelangan tangan Regor, lalu terlemparlah pedang berbisa yang hampir mengancap keselamatannya.

Alhasil pergelangan tangan Regor yang cidera, tulangnya mengalami dislokasi dari tempat semula. Aludra masih mengatur napas satu dua menahan sakit.

Di lain sisi, kemalangan menimpa Vegan. Pedang berbisa terlempar ke arahnya kemudian mengenai lengan dan dada, menyayat kulitnya beberapa senti dan meninggalkan luka segar yang menganga. Pendar hijau yang tadi berkilat-kilat di ujung mata pedang kini telah hilang, menyerap masuk ke tubuh Vegan.

Murid lain terkejut bukan main ketika melihat Vegan kejang-kejang seperti ikan kekurangan air, bola matanya mengerjap-ngerjap dan tubuhnya bergetar hebat. Mereka belum paham dengan apa yang terjadi, mengapa pedang yang mengenai Vegan membuatnya sekarat. Beberapa yang lain mencoba menolong namun tak mengerti harus berbuat apa.

Regor lebih terkejut karena tak menyangka pedang itu akan salah mengenai sasaran. Ia kemudian lari meninggalkan tanah lapang tempat mereka berlatih. Rigel bermaskud ingin menghampiri Vegan menjadi urung, memilih untuk mengejar saudaranya yang pergi secara tiba-tiba.

Aludra tak kalah terkejut melihat apa yang menimpa Vegan, dengan luka dan lebam di sana-sini, ia segera meminta bantuan kepada murid lain untuk membantu mengangkat tubuh Vegan yang masih bergetar. Mungkin sedikit ia tahu bagaimana cara mengobati atau setidaknya meringankan rasa sakitnya, namun melihat keadaan dirinya yang kehilangan amat banyak tenaga itu mustahil, apabila dipaksa hanya akan menjadi ajang bunuh diri baginya atau bisa jadi membunuh manusia yang seharusnya ia obati.

Sesampainya di rumah kesehatan Akademi SML, penjaganya mengatakan bahwa seluruh dokter dan perawat tengah pergi ke rumah kesehatan istana. Penjaga sempat memeriksa tubuh Vegan, namun setelah mendengar cerita Aludra dan rekan lain bahwa ia terkena mantra, penjaga angkat tangan untuk melakukan pengobatan lebih lanjut. Penjaga hanya sebagai apoteker yang paham tulisan dan resep dokter serta beberapa obat paracetamol penurun deman anak atau obat pereda nyeri datang bulan para murid perempuan.

Tak bisa berlama-lama lagi, Vegan harus segera dibawa ke rumah kesehatan istana, Biju Breimax siap mengantarnya. Tak terbayang seberapa cepat Aludra mengendarai biju perkasanya itu.

“Hai, nak” suara lelaki paruh baya menghentikan langkah mereka.

Aludra berniat ingin mengabaikannya, namun demi mengetahui siapa yang berbicara, ia segera menghentikan laju bijunya dengan wajah kalang kabut dirundung kecemasan.

“Mengapa kau terlihat terburu-buru sekali, anakku?” Tuan Altair di pinggir jalanan kota tengah menenteng beberapa potong roti dan selai coklat kacang di keranjang bambu.

“Tuan aku harus mengantar saudara ini ke Rumah Kesehatan Istana segera.”

“Apa itu Vegan?”

Aludra mengangguk,

“Sungguh?” Tuan Altair hampir tersedak ludahnya sendiri.

Aludra mengangguk pasrah.

“Demi bunga matahari kerajaan Levis, ia sekarat.” Hanya dengan melihat ia paham dengan apa yang terjadi pada Vegan. “Ini, ini racun! Siapa yang melakukan ini?” Tuan Altai menatap kedua bola mata Vegan yang mengerjap-ngerjap lemah dengan bola mata menghadap ke atas. “Segera bawa dia ke pondokku Aludra. Cepatlah!”

Aludra segera merubah haluan. Vegan diikat di bagian belakang biju supaya tidak jatuh.

“Jangan biarkan siapapun menghambatmu, Nak. Aku khawatir waktu Vegan tak banyak lagi.”

Aludra sudah menghilang bersama bijunya Breimax, menaiki angin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status