Share

Shelin

Agena telah berhasil membuatkanku pil HBS yang baunya seperti uap umbi-umbian yang baru direbus. Isinya bertekstur bulir seperti serbuk yang kasar. Kata Agena, ia membuat itu dari ekstrak kulit biji bunga matahari. Pil itu dapat membuatku kenyang lebih lama dari biasanya. Namun aku tetap disarankan untuk makan setidaknya sekali dalam sehari untuk menjaga kesehatan pencernaan, sebelum akhirnya terbiasa.

Awalnya, aku coba menelannya bulat-bulat, lambungku terasa aneh dan menolak pil itu hingga muntah-muntah, namun setelah dibantu dengan air do’a yang diberikan oleh Liz, pil berhasil dicerna oleh organ pencernaanku dengan cukup baik. Alhasil aku menjadi lupa makan dan bisa menghabiskan waktu lebih lama di perpus atau menyusuri bukit yang terletak dibelakang pondok.

Dan kemarin Liz dan Agena mengajakku bicara, mereka bermaskud memasukkanku ke Akademi jika aku berkenan.

Hari ini Yui bersekolah, semakin hari ia semakin pandai saja. Ia suka mendengarkan ceritaku mengenai hewan-hewan yang ada di bumi, aku juga mengajarinya menyanyi. Yui mudah diajari dan cepat mengerti maksud dari cerita-ceritaku. Aku mengarang saja cerita hewan itu. Ia suka segala jenis hewan seperti panda, kukang, hamster, tapi ia benci ketika aku bercerita tentang ular. Ia bilang itu bukanlah hewan yang lucu. Entah mengapa, naluriku berkata orang di sini sangat tidak menyukai ular.

Sekarang aku sendirian, menatap satu-satunya satu-satunya gunung yang terlihat di kejauhan. Itu adalah gunung yang besar, namun terlihat amat kecil dari sini, di atasnya terdapat awan altocumulus lentikular yang bentuknya seperti payung, di sampingnya berjajar bukit-bukit kecil yang menambah keagunan dari sang gunung tunggal. Seolah bukit menyembanya.

Ia nampak kokoh, sunyi dan misterius. Sesekali kicau burung melengkapi siang yang tidak begitu terik. Kulayangkan pandangan ke sisi lain dari bukit, terlihat beberapa perahu yang letaknya amat jauh dari tempatku berdiri sekarang. Cukup ramai. Para nelayan tengah menaikkan barang, ada juga yang mungkin berlabuh. Tapi tidak sedikit perahu yang hanya sekedar teronggok di bibir pantai, terlihat tidak gentar pada ombak yang setia membasahi pasir, lengkap dengan deburnya yang menenangkan.

Dalam genggamanku terdapat buku entah karya siapa, namun buku ini seperti ditulis menggunakan tangan dan tidak memiliki pemilik. Kata Liz aku bebas membawa buku apa saja yang aku suka, asalkan menulisnya di daftar peminjaman. 24 jam perpustakaan tersedia untukku.

Buku ini berjudul “Little Magic in Levis” dengan beberapa tanda heksagonal di ujung sudut sampulnya. Hipotesis sementaraku, ini adalah buku milik Klan Manusia Tengah tentu saja karena ada tanda heksagonal. Buku ini seperti buku harian, isinya tentang pemikiran pribadi si penulis mengenai apa-apa disekitarnya. Ini sangat membantu sekali bagiku mengenal Levitasi.

Diam-diam aku mempelajari tempat ini, barangkali dengan ini aku bisa menemukan cara untuk kembali ke rumah.

Dalam buku ini dituliskan “... Aku selalu sempatkan diri untuk bangun di tengah-tengah tidurku hanya untuk menguyah sebongkah roti. Sungguh ini merepotkan dengan perut yang tak berhenti meminta makan setiap dua jam sekali...”  itu sama persis sepertiku.

Dan di lembar lain, aku tahu bahwa “Energi di tempat ini sungguh besar, untuk manusia sepertiku dan dua saudariku tentu saja tidak sanggup mengandalkan kebiasaan di bumi dengan makan tiga kali sehari. Aku belum menemukan cara untuk mengatasi hal ini. Mungkin karena Levitasi bergeser sedikit dimensinya dari bumi sehingga segala yang ada di sini membutukan power yang lebih. Pernah kulihat kura-kura berjalan lebih cepat dari langkah jalan santainya seekor kucing.” Namun pada beberapa kertas ada yang sobek dan halamannya hilang. Sayang sekali.

Halaman yang sobek tepat ke-131. Di halaman itu membahas mengenai sebuah Diadem yang hilang. Diadem itu akan redup jika diminta dan akan menyala jika diminta, sebatas itu saja yang aku baca. Mungkin itu adalah batu ajaib atau semacamnya. Tapi penulis menegaskan bahwa batu itu bukan jimat atau benda aji-ajian yang biasa dimainkan para dukun dan tukang tenung, Batu Diadem itu murni. Natural dari alam.

Si penulis yang sepertinya tidak sendirian karena ia sempat menyebutkan dua saudarinya juga bercerita mengenai keinginannya untuk kembali ke bumi. Konon ia punya ayah dan ibu tengah setia menunggunya. Namun sampai setengah buku telah aku baca, sepertinya sang penulis belum berhasil menemukan metode untuk kembali ke bumi. Hal ini mengingatkanku pada diriku sendiri. Aku juga ingin pulang. Aku tidak tahu bagaimana keadaan ibu dan ayah di rumah. Mungkin orang-orang menganggapku sudah mati akibat kecelakaan dan kebakaran di hari itu. Tapi aku percaya ibu dan ayah tidak akan berhenti mencariku, meskipun aku tidak yakin mereka tak ‘kan mencari hingga ke tempat ini, namun aku percaya aku akan bisa kembali melihat mereka.

Buku bersampul cokelat lusuh yang kertasnya terbuat dari pohon akasia ini, banyak sekali memberikan pengetahuan padaku. Aku juga mengerti bahwa ternyata warna rambut dapat berubah apabila energi dalam jiwa seseorang bertambah, dalam artian aku bisa memiliki rambut berwarna kuning seperti orang Levitasi. Dan itu bisa dilatih. Mungkin besok-besok aku akan mencoba.

Aku menghabiskan hampir setengah hari hanya duduk-duduk saja di bawah Pohon Oak yang tumbuh kokoh di bukit belakang pondok. Aku mengajari Yui cara membaca huruf latin sambil merasakan angin sejuk menyapu wajahku dengan lembut, sejenak ini menenangkan sekali. Kadang aku percaya bahwa alam lebih peka dari perasaan manusia. Ia akan ikut menghujan ketika kita menangis, akan sejuk ketika hati patah, dan akan berbisik ketika kita sepi. Alam sebenarnya sangat baik, apakah padanya kita juga demikian?

~

Aku lupa janjiku dengan Liz, ia bilang akan menemuiku di senja hari. Beruntung matahari belum sampai ke peraduannya. Aku berjalan menuruni bukit dengan gaun Agena yang terseret-seret karena terlalu panjang untuk postur tubuhku. Aku beruntung diperbolehkan tinggal di pondok dengan perpustakaannya yang luas dan perlakuan Agena yang seperti kakak atau bahkan ibu bagiku.

Rambut palsu yang ia berikan juga tak menimbulkan kecurigaan warga distrik, aku terlihat sama dengan mereka. Dan aku dapat berkeliaran bebas ke seluruh penjuru Levis, mulai dari komplek pasar hingga sekolah Yui. Pernah sekali, ada seorang ibu penjual bunga di sudut kota, ia memberiku Himawari nama lain bunga matahari  ia bilang ketika melihatku mendekat ke tokonya, ia ingin sekali memberikan bunga dengan cuma-Cuma. Lalu ia memilihkanku bunga itu, ia juga berpesan agar aku kembali lagi di lain hari. Aku tentu mengiyakannya. Cerobohnya aku karena lupa menanyakan nama penjual bunga itu.

Aku ketuk pintu pondok Liz sekali, namun tak ada jawaban. Kuketuk dua kali masih belum ada jawaban juga. Ingin kulakukan sekali lagi namun ada baiknya memastikan terlebih dahulu, apakah ada orang di rumah.

Sebentar aku menjauh dan menengok ke atas, cerobong asapnya mengepul. Harusnya ada orang di rumah. Namun belum sampai ketukan pintu yang ke tiga, Yui sudah membukakan pintu untukku. Ada yang berbeda dari Yui kali ini. Wajahnya cemberut seperti habis dimarahi atau mungkin tidak dituruti ketika meminta sesuatu. Ketika aku bertanya mengapa-pun, Yui tetap tidak menjawab, hanya sesekali melirik ibu dan ayahnya yang duduk diseberang meja. Bibirnya manyun, bukannya menjengkelkan malah ia terlihat semakin menggemaskan.

“Ayo anakku, Agena sudah memasakkan hidangan yang membuat air liurku tidak sabaran.” Liz menyuruhku mengambil piring.

Aku merasakan sedikit suasana yang tidak biasa di sini. “Ehm, aku belum lapar, Liz. Dan ini belum jam makan malam.”

“Tidak apa, makanlah saja. Tidak lapar bukan berarti pencernaanmu tidak butuh asupan.” Agena menimpali.

“Bukalah tudung sajinya.” Perintah Liz namun tidak dengan nada tinggi.

Aku sebenarnya ragu-ragu, Yui masih manyun namun tidak memperhatikan kami. Aku meraih pegangan pada atas tudung saji, perlahan aku angkat dan setelah terbuka, anehnya hanya ada satu mangkuk di dalamnya.

Ada sedikit takut, namun rasa penasaranku lebih besar. Kutarik mangkuk sup dan ketika terbuka isinya, keluar semburat warna pelangi keeamasan dari sana. Aku kaget dan berteriak. Yui tercengang melihat sinar pelangi tadi, sementara Liz dan Agena mengerti apa yang terjadi.

Aku tidak meminta penjelasan apapun. Hanya bingung dan terkejut. Kulihat Agena dan Liz saling tatap satu sama lain, ada pembicaraan yang tidak terucap dalam sorot mata mereka.

“Yang barusan itu apa?” Yui bertanya padaku, juga pada Liz dan Agena.

Segera Agena mengajak Yui pergi dan meninggalkanku berdua dengan Liz di meja makan.

“Ini milikmu, Shelin.” Menyodorkan benda mirip jepit rambut dengan bentuk bunga matahari, seperti lambang Levitasi namun tanpa empat pilar Klan di dalamnya.

Benda itu berkilauan di mataku. Aku ingin langsung mengiyakan,

“Tunggu dulu, bagaimana ini bisa jadi milikku?” aku memastikan.

“Benda ini terbawa bersamamu ketika kau sampai di sini. Aku sendiri pun tidak paham bagaimana itu bisa ada padamu. Aku pernah melihat yang seperti itu namun jauh sekali sewaktu aku masih kecil. Sebenarnya aku yang seharusnya bertanya padamu, bagaimana kau bisa mendapatkan benda berkilau ini?”

Aku mematung, tak mengerti harus menjawab apa. Aku baru pertama kali melihat benda sebuah jepit bunga matahari ini, bagaimana mungkin ini adalah milikku.

“Aku menyimpannya sewaktu kau sakit dulu, dan sebelum kau hilang lalu akhirnya kembali lagi dengan luka-luka saat kau diantar oleh Vegan.”

“Aku tidak mengerti, Liz.”

“Aku percaya kau anak yang baik, Shelin. Kau tidak mungkin mengambil benda itu dari kerajaan kan?” nada bicara Liz sedikit dipelankan. “Dan setelah melihat semburat sinar tadi aku pun yakin ini memang milikmu dan kau tidak mencurinya.”

“Tidak, aku pun baru menjamah tiga ruangan diantara ratusan ruang lain yang ada dikerajaan. Mana mungkin aku berani mencuri.” Aku mengatakan yang sebenarnya.

“Iya aku juga tak percaya jika kau mencuri. Maka dari itu, aku yakin jika ini bukan milik kerajaan. Maka simpanlah ini baik-baik, aku takut jika diketahui oleh orang-orang tertentu, akan terjadi hal yang buruk. Kita tentu tak menginginkan hal buruk terjadi bukan? Sebaiknya kau menjaganya.” Liz sambil memberikanku rantai kalung. “Kau bisa membuatnya menjadi kalung atau jepit rambut. Walaupun sebenarnya, aku lebih yakin ini cocok dipakai di kepala, tapi terserah padamu. Dan jika kau ditanya seseorang tentang bagaimana kau bisa mendapatkan benda itu, bilang saja kau membelinya bersamaku dan Agena di lapak pedagang pasar pinggiran jalan.”

Apakah ini yang namnaya Diadem? Aku pernah membacanya kata itu dalam buku coklat lusuh! Aku terima kalung atau jepit bunga matahari itu dari Liz, ia terlihat amat cocok di leherku.

“Aku yakin ini bukan jepit rambut atau liontin biasa seperti yang kau kira. Meskipun aku pun belum tahu apa yang membuatnya tidak biasa. Jaga baik-baik, jangan sampai hilang, jangan berikan pada siapapun, jangan tukar dengan apapun.”

Aku mengangguk, dan Liz meninggalkanku di meja makan. Hanya tinggal aku, mangkuk dan tudung saji.

~

Tok...Tok...Tok. Aku mendengar pintu pondok diketuk. Namun aku tak terlalu penasaran dengan siapa yang melakukannya. Aku sudah tenggelam dalam buku coklat yang masih terus kubaca dan pelajari istilah-istilahnya yang baru aku tahu.

Aku sudah berada di sini lebih dari satu periode revolusi bulan mengelilingi bumi, dan belum ada tanda-tanda bagaimana aku bisa kembali ke rumah. Selama ini aku tidur di bawah sinar bulan terang yang dapat menerobos sela-sela jendela bekas kamar Agena, yang sudah tidak pakai kemudian ia menyuruhku untuk menggunakannya.

Menurut cerita Yui, kamar ini adalah kamar Agena sewaktu ia masih remaja. Agena menolak tidur di istana. Ia lebih suka menemani ibunya yang gemar merajut di pondok ini. Aneh memang, ibu Agena adalah seorang ratu tapi mengapa ia lebih senang menghabiskan waktu di sini, dari pada di istana.

Di kejauhan aku melihat pohon-pohon tenang tak bereaksi apapun meski disengat sinar matahari yang amat menyilaukan. Aku rindu hari-hari di mana ibu menyuruhku mengelap piring, membereskan kamar Dava, memarahiku apabila pulang terlalu malam tanpa ijin. Aku rindu kehidupan rumah, sejauh ini aku yakin dan tidak yakin jika Levitasi masih berada dalam satu planet dengan bumi. Mengapa? Entah, tapi aku merasa begitu. Bahkan aku juga tak yakin disini waktu berdetak selama 24 jam. Asumsiku, disini malam terasa lebih lama dari pada siang hari.

Lama kelamaan aku semakin penasaran dengan orang pemilik asli buku ini. Sudah sejak beberapa hari lalu ingin kutanyakan pada Liz, namun ia terlalu sibuk. Banyak berkas kerajaan dan pekerjaan yang harus ia urus. Pernah sekali kusambat pada Agena, namun tentu saja ia tidak tahu. Tanyakan padanya mengenai metode penyembuhan paling mujarab untuk manusia, hewan atau tumbuhan, pasti ia paham.

Buku sangat pandai menenggelamkan aku pada kalimat per kalimatnya. Entah bagaimana, buku setebal tiga inch bisa terasa amat dalam melebihi Palung Mariana di samudera sana.

Bagi kita yang suka membaca, perasaan ingin buang air kecil kadang amat mengganggu saat kita tengah asik menikmati bacaan. Tapi mau tak mau, itu harus dilakukan, ini bukan hal penting namun mendesak sehingga harus disempatkan.

Aku pernah ke sini sebelumnya, jadi tak kesulitan untuk menemukan toilet di Istana. Tapi aku lupa jalan dan lantai berapa toilet yang dulu pernah aku datangi. Kuperhatikan ada seorang laki-laki yang cukup tinggi dan gagah, atau mungkin bisa dibilang tampan, tengah duduk tak jauh dari tempatku.

“Permisi.” aku memberanikan diri untuk bertanya dengan seseorang yang berada tak jauh dariku.

Lelaki itu menengok, sebenarnya aku tak sampai hati mengganggunya membaca, ia terlihat sangat serius dengan buku di depannya.

“Apa kau tau toilet di dekat sini, Mas?”

Ia mengernyitkan jidat, dan menengok ke kanan kirinya, “Mas?”

Astaga ini bukan di rumah yang mana laki-laki dipanggil dengan sebutan mas, aku yakin mukaku merah karena malu.

“Kau bicara denganku?” lelaki ini mengenakan sweater dengan sebuah logo instansi yang sepertinya adalah sebuah sekolah atau akademi di dada kirinya.

Aku mengangguk, “Eh, tentu. Apa kau tau?”

“Kau bisa menemukannya di sana.” ia menunjuk sebuah pintu yang letaknya cukup jauh. “Namun kau akan menemukan lorong dan Museum terlebih dahulu. Di lantai ini toiletnya dipakai bersama dengan pengunjung museum...” Ia menjelaskan

Aku menengok ke arah yang ia tunjuk, “Terima kasih, baiklah.” Aku berjalan menuju pintu sambil mengingat apa yang lelaki itu katakan. Ia terlihat amat santun dan berwibawa.

“Hei!” ia menanggilku. “Siapa namamu? Apakah kita pernah bertemu denganmu sebelumnya?”

“Shelin. Ehm, entah.” Jawabku pendek, aku tidak yakin ingin mengatakan lebih banyak lagi. Aku takut menimbulkan lebih banyak pertanyaan selanjutnya.

“Perkenalkan, Aku Aludra.” Kami tidak mungkin bersalaman, jarak kami tak memungkinkan. Aku sudah tanggung melangkah sementara ia tetap duduk di kursi. “Apa kau siswi Akademi SML?”

Akademi SML? Apa itu? Aku sungguh tidak tahan ingin buang air, “Bisa kita mengobrol lain kali saja? Aku benar-benar membutuhkan toilet sekarang.” Itu sebenarnya adalah caraku untuk mengindar dari pertanyaannya.

“Oh, silahkan. Maaf karena mengganggumu.”

Aku meninggalkannya, namanya Aludra. Orang sebayaku yang kukenal dan mengenalku kedua setelah Vegan. Entah mengapa aku hampir selalu lupa untuk menanyakan nama orang terlebih dahulu. Ia terlihat baik, tampan dan pintar. Buku yang ia baca tadi juga sangat tebal.

Aku masuk ke sebuah ruangan berbentuk U melalui sebuah pintu yang seorang bernama Aludra tadi tunjukkan. Di sini terdapat beberapa orang yang tengah memotret dan memandangi gambar dan benda yang dipajang.

Ruangan yang tak terlalu luas ini berisi foto-foto seorang perempuan yang amat cantik dan terlihat berada. Tebakanku ia adalah putri atau ratu dari kerajaan Levis. Aku tak sempat melihat lama-lama, tujuanku kesini bukan ingin kunjungan. Melainkan satu yaitu toilet!

Setelah memutari setengah ruangan aku melihat plang penunjuk arah bertuliskan toilet. Aku bersyukur berkali-kali dalam hati.

Akhirnya aku dapat melepaskan sesuatu yang aku tahan bermenit-menit lamanya. Hal yang seharusnya dilepaskan memang akan terasa sangat tidak nyaman jika terus menerus ditahan, seperti air pipis misalnya.

Aku keluar dan menemukan penjaga yang terlihat sudah berusia lebih dari setengah abad dengan cara berjalannya yang tidak biasa. Kusapa wanita tua itu dan ia membalas dengan tersenyum kembali kepadaku. Aku ingat, aku pernah sekilas bertemu dengannya beberapa waktu yang lalu saat rambut pirangku baru kupakai.

“Kau sudah meletakkan koin?” tanya wanita tua padaku.

Aku mengangguk, “Dua koin perunggu.” Kataku padanya. Beruntung Agena memberiku beberapa koin untuk aku menukarkannya dengan benda yang aku suka jika turun ke daerah pertokoan.

“Terima kasih, kau bisa menambahkannya jika berkenan, jika tidakpun tak apa Nona. Penampilanmu amat rapi. Aku suka memandanginya.” Wanita tua itu memujiku.

Aku tersenyum janggal, aku tak biasa mendapat perlakuan macam itu. Apa barusan ia meminta uang lebih? Aku ingin memberinya tapi tak ada koin lebih di sakuku.

Lalu ia berjalan menuju beranda yang tak jauh dari toilet. Terlihat kaki kanannya pincang. “Aku terkena stroke sejak beberapa tahun yang lalu, nak. Sebagian tubuhku sudah susah untuk digerakkan.”

Sungguh! aku tak menanyainya apapun, namun sebagai bentuk menghargai aku menggangguk-angguk, tanda bahwa aku memperhatikan. “Semoga segera diberikan kesembuhan.” Aku berkata sambil menunduk, ibu di rumah mengajariku tata cara mendoakan seseorang bila doa itu diucapkan didepannya secara langsung.

Ia menatapku, terlihat amat meresapi perkataanku barusan.

“Nenek yang menjaga tempat ini?” tanyaku berbasa-basi, aku sudah tahu jawabannya pasti iya, karena tak ada orang lain lagi selain dirinya yang duduk di kursi dengan menagih uang pada orang yang habis buang air. Sungguh pertanyaan retorik macam ini sangat berguna untuk basa-basi.

“Iya, nak. Tak hanya menjaga, aku juga tidur di sini.” Ia menunjuk amben, sebuah tempat tidur terbuat dari kayu yang terletak di belakang kotak tempat membayar sehabis dari toilet.

Aku sedikit terkejut, seorang wanita tua tinggal di toilet sebuah kerajaan. Mungkin jika penjaganya adalah laki-laki aku tak akan terlalu terkejut, karena di kota aku pernah menemuinya beberapa kali. Dan yang membuatku nelangsa adalah karena keadaannya yang sakit.

“Siapa gerangan dirimu, Nak?”

Aku meraih tangan wanita tua itu “Saya Shelin, saya tinggal di pondok Tuan Liz.”

Ia terlihat mengingat-ingat sesuatu “Liz? Aku seperti pernah mendengarnya, apakah ia yang menjaga buku-buku? Di perpustakaan sebelah?” ia terlihat berpikir lagi “Oh iya! Tentu saja, ia adalah suami dari Agena.”

Aku masih memperhatikan nenek, seraya memperilihatkan wajah seramah mungkin.

Ia terlihat tertawa sekarang karena berhasil menemukan pikirannya sendiri “Namaku Mirach, kau bisa memanggilku Nenek Mirach. Sudah lama sekali tanganku tak dijabat oleh pengunjung toilet.” Ia tersenyum menatapku.

“Nenek sudah lama tinggal di sini?”

“Lebih dari 30 tahun, aku sudah tak punya suami, dan anak-anakku sudah punya penghidupan mereka sendiri-sendiri.”

Aku mendengarkannya dengan menatap matanya lamat-lamat, sepertinya banyak yang nenek ini simpan sendirian.

“Cucuku tinggal di Istana, ku dengar ia akrab dengan putri raja, bila kau bertemu dengannya tolong sampaikan padanya untuk lebih seringlah mengunjungiku. Aku tahu dia anak yang rajin dan sibuk, tapi aku merindukannya.”

“Tentu, esok jika aku bertemu akan aku sampaikan.”

“Namanya Yavid, gadis cantik sedikit gemuk dan badannya tak terlalu tinggi.” Nenek ini masih saja menceritakan cucunya padaku, ia juga menawariku teh namun aku menolaknya, aku penasaran dari mana ia memperoleh teh itu. Ia juga sempat mengatakan ketidak-sukaanya pada Raja Aldebaran dan anaknya, Putri Venibella. Ia menyalahkan anggota kerajaan karena menjauhkan ia dari keluarganya.

Aku tak terlalu menganggapnya serius, nenek ini berpenampilan yang menurutku sedikit menyeramkan walaupun ia ramah padaku. Tapi aku tak akan menilai seseorang hanya dari penampilannya saja.

Tak terasa malam kembali datang menyapa permukaan Levitasi. Burung hantu mulai berisik dan beberapa serangga riuh bernyanyi di mana-mana. Nenek Mirach berbicara sangat banyak sampai aku lupa apa saja yang telah ia ceritakan padaku.

“Kembalilah kapan-kapan. Aku memang pelupa, namun aku mengingat banyak hal dengan lebih baik saat bersamamu, Nak Shelin.” Ia melambaikan tangannya padaku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status