Share

Senja dan fajar

Yui menemukan sesuatu yang berbeda di ruang perpustakaan ayahnya, dengan penuh semangat ia berlari dan berteriak, “Ayah! Ayah! Aku melihat sesuatu di atas sini.”

“Ada apa, Yui? Ayah sedang membersihkan rumah laba-laba.”

“Yui melihat ratu, yah. Ratu! Seperti dalam buku cerita.”

“Kau tidak perlu berbicara keras-keras seperti itu, sayang. Ayah tahu buku yang kau ceritakan semalam memang sangat menarik.”

“Bukan, Ayah. Bukan itu. Aku tidak sedang membaca buku sekarang, aku melihatnya sungguhan.” Sambil menunjuk-nunjuk ke arah yang ia maksud. Yui telihat tidak sabar ingin ayahnya segera kemari. “Lihat yah, lihat!”

Liz mendongak ke atas, menatap wajah putra kecilnya yang masih berusia empat tahun.

“Bisa cepat sedikit, Yah? Ratu ini memakai mahkota bagus di rambutnya.” Anak menggemaskan ini diam sejenak. “Ayah, mengapa rambut ratu ini tak seperti kita? Cepat Ayah, sepertinya ia tertidur sangat lelap.”

Seiring nuiken atau tangga portabel berjalan, Liz memutarkan pandangannya menyisir seluruh sisi perpustakaan yang masih sepi. Jarinya memencet beberapa tombol untuk mengantur kapan nuiken akan berjalan dan kapan berhenti.

“Yah, mengapa gaun Ratu ini koyak? Apa ratu tak punya gaun lain?” tanya Yui polos.

Setelah sampai di atas, Liz terkejut bukan kepalang. Di sudut bangku baca tengah tergeletak gadis dengan rambut seluruhnya gelap dengan kulit pucat dan denyut jantung yang melemah. Mayat siapa ini!

“Astaga! Yui, apa yang telah terjadi dengan gadis ini? Cepat panggil Ibumu atau siapapun yang ada dibawah. Dan jangan dulu beri tahu pengawal.”

Yui yang tadinya semangat ingin ayahnya melihat ratu berambut hitam, sekarang menjadi bingung karena sang ayah malah terkejut. Tanpa disuruh dua kali, Yui segera lari dengan polos ke pondok untuk memanggil Ibunya yang sedang bersiap-siap pergi ke Rumah Sakit istana.

Liz memegang tangan gadis itu rasanya sudah sedingin Es. Sinar matanya redup dan nafasnya patah-patah. Benar yang dikatakan putranya, gadis ini memiliki rambut berwarna hitam legam tak ada sehelaipun yang berwarna coklat apalagi kuning pirang. Gaun gadis ini telah koyak seperti habis diserang beruang atau serigala hutan. Ia pun tak memakai alas kaki. Bagaimana cara gadis ini bisa sampai ke perpustakaannya, gerbang perpustakaan belum dibuka.

Ketika diamati lebih saksama, ada sesuatu yang berkilauan di kepala gadis ini. Awalnya, Liz tidak berani menyentuh hiasan kepala tersebut. Pantas saja Yui menyebut ia ratu, mungkin karena jepit rambut di kepalanya dan gaun yang ia kenakan memang mirip seperti gaun putri. Tapi jelas ia bukan ratu atau permaisuri kerajaan. Ia kenal semua keluarga kerajaan sampai ke pembantu-pembantunya. Bagaimana tidak? Agena istri Liz  merupakan kakak dari Raja seluruh penguasa Levis, manusia nomor satu di Daratan Utama.

Tiba-tiba sang gadis terbatuk-batuk, tanpa pikir panjang Liz membacakan lirih sebuah mantra “prav for safery, no poassong is posion, no woands, no injuryen ...” berulang-ulang.

Seperti sebuah sihir, tak butuh waktu lama, nafas gadis berangsur-angsur membaik, hembusannya yang sedikit terdengar panjang dan tenang.

Sekilas Liz meraba kembali rambut sang gadis dan ia merasakan energi di dalamnya. Tak ada beda dari bau dan tekstur, hanya warnanya saja yang berbeda. Namun setelah ia mencoba menggenggamnya lebih lama, ia merasakan perbedaan energi yang terdapat dalam rambut gelap itu, semacam ada aliran darah dan denyut nadi yang terasa dari setiap helai rambutnya. Ia sangat yakin jika gadis ini bukan pribumi distrik atau penjuru Levitasi.

Demi segala rasa penasaran yang ada, Liz mencoba memberanikan diri memegang hiasan kepala yang sedikit banyak mirip lambang kerajaan tersemat di rambut sang gadis, namun itu bisa berarti apa saja, banyak yang seperti ini di pasaran. Namun karena berkilau, dilepaskannya hiasan kepala yang sama menawannya dengan sepuluh berlian.

Nama gadis ini terukir di bagian belakang jepit rambut dengan menggunakan aksara elvitas. Tertulis jelas berbunyi Shelin.

Manusia mana yang tak akan tergiur untuk memilikinya. Kelihatannya perhiasan ini asli, Liz paham betul bagaimana bentuk perhiasan asli dengan yang bukan. Liz kembali bertanya-tanya, siapakah anak gadis berambut hitam ini.

Dan dengan diam-diam ia mengantongi hiasan kepala itu pada saku depan miliknya. Tidak ada yang tahu. Liz akan menyerahkan itu pada istrinya.

~

“Cepat nuiken, ayo lebih cepat lagi...” Yui berbisik, menuruni nuiken dengan tergesa-gesa. Ia benar-benar tak paham mengapa ayah malah berkata gadis cantik yang berambut hitam itu hampir meninggal Yui sempat mengira rambut hitam itu adalah imitasi. Ia hanya terlihat seperti habis hujan-hujanan, dan itulah yang membuat kulitnya pucat dan badannya basah, tak lebih. Yui suka sekali dengan jepit rambut berkilau-kilau yang tersemat di rambutnya, seperti kepunyaan ratu. Memang aneh, gaunnya ratu koyak, mungkin karena tersangkut nuiken atau terlalu bersemangat saat bermain. Tapi terlepas dari semuanya, mungkin Yui menyukai sang gadis karena baunya enak, seperti bau marshmelow atau mungkin gula-gula.

Setelah sampai dibawah, “Ibu.. Ibu..”

“...Yaa?” dari arah yang jauh, suara sahutan ibu terdengar samar-samar.

Yui segera berlari ke sumber suara “Ibu, ayah butuh bantuan ...”  Yui segera menceritakan tentang apa yang terjadi di perpustakaan kerajaan.

Demi mendengar perkataan putranya yang menceritakan gadis berambut hitam, jepit berkilau dan hampir meninggal, Agena segera menghambur keluar dari dapur berlari menuju perpustakaan.

Yui juga bercerita kepada Agena tentang sang gadis yang kulitnya pucat dan tubuhnya yang basah seperti habis bermain air hujan. Agena panik mendengarnya, dibawalah seutas handuk hangat dan baju miliknya.

Agena tak sempat menanyakan apa-apa lagi pada Yui. Ia masih terlalu kecil untuk paham terhadap sebuah kejadian, dengan suaranya yang menggemaskan, cerita yang seram pun akan jadi menyenangkan untuk didengar karena pembawaannya yang polos dan lucu.

Yui mengamati ibunya yang segera berlari meninggalkannya. Dalam hati Yui, “mengapa orang dewasa mudah sekali panik? tidak Ayah tidak Ibu, sama saja.” sambil berjalan-jalan di antara lorong, ia masih memikirkan tentang ratu rambut hitam itu, mengapa ia berbeda. Tak pernah Yui melihat rambut semacam itu, semua tetangganya pirang bahkan boneka milik teman-teman perempuannya di Akademi pun begitu. Ia berhenti di jendela dan melongok keluar menatap matahari yang belum ada sejengkal di atas perbukitan Bilbelonia.

Wajar apabila anak seumur Yui banyak menyimpan pertanyaan sederhana tentang mengapa matahari tetap terbit meski kadang Yui tak suka panas di siang hari, atau mengapa ketika Yui ingin matahari hadir saat hujan agar ada pelangi, malah sang matahari tak kunjung muncul.

Sedang enak-enak bersenandung riang sambil menjemur kulitnya yang halus dan wangi, Yui melihat orang yang ia kenal tengah berlari-lari menuju halaman pondok ayahnya dengan napas tergesa-gesa dan badan yang kotor, tak salah lagi orang itu adalah Vegan.

Tuh kan, orang dewasa gampang sekali panik, tergesa-gesa, dan sekarang dengan badan yang kotor pula. Apa tidak takut dimarahi? Coba kalo Yui yang seperti itu, pasti ibu sudah berceloteh panjang lebar menyuruh untuk segera mandi dan ganti baju yang bersih. Sebenarnya ada apa sih dengan dunia orang dewasa?

“Hai! Vegan.” Teriak Yui dari atas jendela, “Kau mencari ayah?” sambil melambai-lambaikan tangan.

Vegan menengok ke sumber suara, “Hai! Yui, iya. Dimana Tuan Liz?”

Dengan suara yang menggemaskan Yui menjawab “Ayah sedang di ruang buku, dengan Ibu juga.”

“Apa mereka sibuk?”

“Entah, ini masih pagi. Ibu biasanya memanggang roti dan menyiapkan secangkir teh sebelum pergi ke istana. Namun ada gadis seperti ratu di ruang buku kami, jadi ibu tak melakukan itu pagi ini.”

“Ada apa Ratu gadis pagi-pagi ke pondokmu?” Vegan melangkan mendekati pintu dan bermaksud akan membukanya .

“Bukan Ratu yang di istana, ini Ratu yang lain, Ve.” Sambil tertawa.

Belum selesai memutar gagang pintu, ia terhenti setelah mendengar celoteh Yui barusan. Ah imajinasi anak kecil “Apa aku boleh masuk?”

“Tentu, dengan seizin ayahku.” Yui menuntun Vegan ke arah pepustakaan untuk menemui ayahnya.

Vegan menggandeng tangan Yui yang sedang antusias, anak kecil jika suasana hatinya sedang baik memang terlihat selalu bersemangat, ibarat baterai selalu 100 persen.

Mulut Yui masih saja bersenandung lagu kanak-kanak yang diajarkan ibunya dan guru-guru yang ada di Akademi. Di Levis sejak anak usia dua tahun sudah ada sekolahnya, mereka mulai diajari minat bakat untuk mengentahui potensi anak dari sedini mungkin. Uniknya di kota ini adalah anak seusia Yui sudah diajari cara pengobatan medis. Menurut sebagian besar penduduk, menyelamatkan diri sendiri adalah yang paling penting. Diri sendiri adalah tanggung jawab pribadi, karena pada dasarnya manusia lahir dalam keadaan sendiri dan mati pun sendirian, manusia dilarang terlalu tergantung dengan keberadaan orang lain.

“Kau tidak berangkat ke Akademi, Yu?” Tanya Vegan pada Yui.

“Entah, aku ingin ke sekolah. Tapi ayah tengah sibuk mengurusi gadis tadi, mungkin ia tak akan sempat mengantarku.”

“Apa ratu itu sangat penting hingga tak ada waktu barang sebentar saja, untuk mengantarmu? Ia ‘kan bisa naik biju.” Biju adalah sebuah alat seperti kendaraan yang dipakai oleh Ksatria dan sebagian orang di Levitasi.

Yui menggeleng, tidak tahu “Tanyakan saja pada ayah, Ve. Aku juga tidak tahu mengapa ia belum mengantarku.”

Begitu sampai di aula perpustakaan, Vegan segera melihat sinar berpendar berwarna biru di lantai tiga, cahayanya menyelip di antara rak-rak buku yang berjejer rapi. Sinar itu berasal dari telapak tangan Tuan Liz. Ia segera paham mengapa Tuan Liz belum mengantar Yui ke sekolah.

Sinar biru adalah cahaya yang dikeluarkan salah satunya oleh mantra penyembuh, pancarannya agak menyilaukan namun jika terkena kulit akan terasa sejuk menghangatkan tidak gerah ataupun panas. Mantra ini dipelajari manusia Levitasi, terutama mereka yang bekerja ataupun bersekolah di bidang medis dan penyembuhan.

Di samping Tuan Liz, Agena duduk bersila kaki sambil berkali-kali mengusapkan handuk ke wajah orang yang tengah beri mantra penyembuh.

Vegan penasaran dengan apa yang sebenarnya tengah mereka lakukan. Wajah mereka agak terlihat cemas, sampai Agena ikut melafal mantra, entah sekedar mengingatkan Liz supaya tak lupa atau mungkin menguatkan. Agena adalah dokter yang handal.

Cahaya biru yang menyilaukan, membuat Vegan tak dapat melihat langsung siapakah yang tengah diobati oleh Liz dan Agena. Vegan dan Yui hanya duduk di kursi pada meja baca menunggu sampai pengobatan selesai. Liz sempat melirik ke arah mereka berdua namun tak berkata apa-apa. Agena juga tak mengusir. Itu pertanda bahwa mereka diijinkan berada disitu.

Cukup lama, Yui bosan hingga akhirnya lebih memilih memilah buku untuk ia baca. Vegan masih tertegun menyaksikan Liz mengobati pasiennya meskipun Liz bukan seorang dokter atau tabib kerajaan.

Tujuan Vegan datang ke pondok Liz adalah ingin menanyakan kejadian yang ia alami semalam. Menurutnya, Ayah Yui adalah orang terpandai ketiga di seluruh Kota Levis setelah almarhum ayahnya dan Tuan Altair. Liz bagaikan wikipedia berjalan, ia tahu definisi dari hampir segala hal mungkin ini sedikit berlebihan, tapi menurut pendapat pribadi Vegan begitu, ia sangat cerdas. Tak dipungkiri karena Liz adalah penjaga perpustakaan kerajaan terbesar di seluruh kota, atau mungkin di seluruh Daratan Utama. Rumahnya pun tak ada sekat dengan perpustakaan, jadi dapat dikatakan perpustakaan adalah tempat tinggalnya. Kegilaannya dalam membaca tak dapat ditandingi siapapun. Baginya Liz lebih bijak dari Raja Aldebaran.

Mungkin Liz mengerti dengan fenomena suara gemuruh, gadis berambut gelap dan kekuatan yang dapat dikeluarkannya. Seharusnya ia membawa gadis itu langsung ke hadapan Liz agar ia dapat langsung percaya dan paham mengenai rasa ingin tahunya, namun Vegan lebih dulu kehilangan sang gadis.

Ia yakin sekali gadis itu turun ke desa untuk mampir salah satu rumah atau ia bersembunyi di ladang seseorang untuk mencari ganjalan perut. Gadis berambut hitam tak mungkin ke pusat kota, tenaganya tak akan cukup, semalam saja ia sudah lari terpincang-pincang seperti tak kuasa berdiri.

Vegan masih mengamati dengan saksama kecanggihan pengobatan yang konon diwariskan oleh bangsa peri. Memang kelihatan spektakuler, dan ini ilmiah bukan berupa sihir dukun.

~

Liz sudah memberikan tanda-tanda bahwa pengobatan hampir selesai. Tangan dan kaki pasiennya terlihat sudah tak pucat lagi. Vegan sekejap mengamati gaun yang dikenakan pasien Liz, terlihat koyak, kotor dan rusak di sana sini. Seperti tak asing, namun Vegan tak yakin.

Vegan mendekatkan wajahnya, hanya sedikit lebih dekat. Namun Liz segera mengibas-ibaskan tangannya, menyuruh untuk jangan terlalu dekat. Vegan teramat sangat penasaran, jadilah ia menyetuh rambut sang gadis dan Liz terkejut, sehingga secara tak sengaja berhentilah Liz dalam membaca matra penyembuh. Alhasil, hilanglah pendar sinar biru dari tangannya dan membuat pasien terbatuk-batuk seperti ingin muntah. Pegobatan belum rampung dilakukan, namun mantra sudah berhenti menimbulkan respon penolakan oleh tubuh pasien. Kulit pasien mendadak merah dan tak kunjung berhenti dengan batuknya.

Liz menatap tajam ke arah Vegan. Ia yang tak paham dengan apa yang terjadi, merasa bersalah, Ia segera melepaskan tangannya dari rambut sang gadis. Dan terlihatlah semuanya. Benar gadis itu adalah yang ia temui semalam, penampilannya lebih buruk dengan baju koyak dan kotornya. Dan kini keadaannya juga bertambah buruk lagi karena ia mengganggu pengobatan Liz pada sang gadis.

Semua panik, Yui yang tadinya sedang asik membaca, lari khawatir terjadi hal yang buruk dengan ratu rambut hitamnya itu.

“Buat dia rebahan, beri ruang yang luas baginya bersentuhan dengan udara.” Agena mencoba mengeluarkan kemampuannya.

Tanpa disuruh dua kali, Vegan segera membantu mengangkat badan gadis berambut hitam dengan sigap.

Yui yang cemas segera bertanya, “Apa dia baik-baik saja?”

Ibunya mengangguk,

“Tapi ia terlihat ingin muntah.”

“Berdo’alah Yui, semoga teman barumu ini baik-baik saja.” Ucap Agena bermaksud menenangkan.

Liz mencoba tetap tenang, ia melafalkan kalimat-kalimat baru, sebuah pendar sinar violet keluar dari telapak tangannya dan kemudian ditakupkan kedua sinar itu ke wajah gadis.

Dan batuknya pun berhenti, warna kulitnya kembali normal dan nafasnya terdengar lebih baik. Namun kesadarannya belum sepenuhnya pulih, hanya terdengar rintihan sesekali dan tarikan nafas yang panjang.

“Ayo, bawa gadis ini ke ruangan lain supaya ia bisa tidur dengan bantalan yang lebih nyaman.”

~

“Aku merasa terbangun dengan senja berada di timur, mendengar dan mengerti beberapa pembicaraan saat aku tertidur. Aku mengerti saat cangkir dituang air teh dan 3 bongkah gula batu yang perempuan itu masukkan ke dalam teh yang sepertinya dibuat untukku, aku merasakan anak kecil memegangi rambutku, dan terus-menerus memegangnya. Aku dapat melihat sinar senja menerobos kelopak mataku. Aku dapat melihat dengan mata tertutup.”

“Banyak sekali yang tidak aku mengerti. Mengapa aku dibaringkan di tempat tidur ini? Mengapa anak laki-laki itu tak beranjak dari duduknya dan terus menungguiku? Siapa anak kecil itu terlihat sangat peduli padaku, menyuapi aku air dan memberiku selimut. Siapa mereka? Di mana ini?”

Jari Shelin bergerak-gerak, sepertinya kesadarannya mulai pulih setelah pengobatan peri yang hampir gagal tadi. Secara teknis, pengobatan peri dapat langsung menyembuhkan. Dan karena alasan itulah pengobatan peri sejatinya digunakan untuk pengobatan para tenaga medis pada waktu peperangan. Namun jika gagal, akibatnya akan lebih menyakitkan atau bisa jadi bukan kesembuhan yang di dapat melainkan kematian.

Vegan yang melihat itu langsung berteriak pelan, “Yui, kemari. Lihat Ia mulai siuman.”

Dengan wajah bersemangat, Yui berlari kecil mendekat ke ranjang tidur Shelin.

Dengan mata yang perlahan mulai mengerjap-ngerjap, Shelin membuka matanya dengan sedikit terkejut. Mata mereka saling berpandangan satu sama lain. Shelin masih terasa sangat lemas, pendengarannya pun agak terganggu. Ia tak dapat menangkap apa yang dua manusia katakan di depannya. Kepalanya terasa berat seperti habis naik biang lala.

~

Orang-orang sekitar terus berbicara dalam bahasa yang tidak Shelin mengerti. Beberapa hal yang terjadi dengan ganjil dan mengerikan bagi Shelin. Ia tak tahu dimana ini dan siapa orang-orang itu. Dan sekarang ia tengah melahap makanan yang rasanya entah manis atau asin, karena kadang-kadang terasa hambar. Shelin mencoba mencubit dirinya sendiri berkali-kali berharap segera terbangun dari mimpi kali ini. Ini pasti tak jauh dari mimpi-mimpi lorongnya.

Satu-satunya hal yang Shelin inginkan saat ini hanya pulang, terbangun dari mimpinya.

Setelah lama hanya berdiam ditempat tidur, aktivitasnya hanya seputar membuka mata, duduk, menangkap pembicaraan orang-orang yang entah siapa dengan isyarat gerak tubuh. Shelin seperti orang tuli, karena mendengarpun ia tak paham apa yang mereka katakan. Satu-satunya hal yang ia syukuri saat ini adalah oksigen masih lancar keluar masuk di dalam paru-parunya.

Tak banyak yang sanggup ia lakukan, tenaganya tak kunjung pulih dan penglihatannya kadang kabur. Luka lecet di lutut dan sikunya pun kadang terasa sakit walaupun darah dan lebamnya sudah bersih. Ia juga kesulitan mencerna makanan berat yang orang-orang rumah ini beri.

“Oh sungguh aku ingin pulang,”

Seorang anak kecil dan remaja laki-laki terus menungguinya sepanjang hari, hanya sekali-kali saja mereka bercanda dan keluar dari kamar untuk kemudian kembali lagi.

“Kelak jika energiku tengah pulih, aku akan kembali ke lorong itu. Untuk pulang.” Ucap Shelin pada dirinya sendiri. Gadis berambut hitam kembali terlelap. Benar-benar lelap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status