LOGINKetika Lian Yue kembali sadar, hal pertama yang ia rasakan adalah kehangatan—kehangatan yang sangat dekat, menempel di lehernya, seolah seseorang sedang bernapas di sana.
Terlalu dekat. Terlalu intim. Ia mencoba bergerak, tetapi anggota tubuhnya terasa berat, lemas, dan anehnya, bergetar halus. “Bangun. Aku tidak punya waktu melihatmu pingsan.” Mata Lian Yue terbuka dengan kejutan. Pandangannya berpusat. Ia melihat langit-langit gudang yang suram, dan kemudian, ia melihatnya. Seorang pria berdiri di tengah ruangan. Tinggi, posturnya sempurna, mengenakan jubah hitam dengan sulaman perak. Dialah pria yang ada di dalam lukisan itu—rambut hitam perak, mata merah gelap yang kini menatapnya dengan rasa ingin tahu yang dingin. Dia tampan; ketampanan yang membuat naluri Yue menjerit bahaya. Tetapi ada yang aneh. Garis-garis tubuhnya tampak transparan, tembus pandang. Dia ada di sana, namun tidak sepenuhnya nyata. “Siapa… kau?” Bisikan Yue terdengar parau dan takut. Pria itu bergerak. Gerakannya mulus, tanpa suara, seperti bayangan yang meluncur. Dalam sekejap, dia berjongkok di hadapan Lian Yue, wajahnya hanya berjarak beberapa inci dari wajahnya. Jantung Yue melonjak liar. “Aku Xuan Nightblade,” katanya. Suaranya diucapkan secara langsung di udara, tetapi ia juga bisa mendengarnya bergema jauh di dalam kepalanya, seolah pria itu berbicara langsung ke inti jiwanya. “Kaisar Iblis terakhir. Dan sekarang, kau adalah wadahku.” Yue membeku. Kata-kata itu berputar-putar di benaknya: Kaisar Iblis. Wadah. “A—apa maksudmu wadah?” Pertanyaannya tercekat di tenggorokan. Xuan Nightblade mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat. Matanya mengunci mata Yue, tatapannya begitu intens hingga rasanya Yue telanjang di hadapannya. “Kau membangunkanku dengan darahmu. Kau telah memecahkan segel para dewa yang mengikatku selama seribu tahun.” Jari-jarinya, yang tampak semi-transparan, terangkat dan menyentuh dagu Yue. Sentuhan itu seharusnya tidak terasa. Dia adalah roh. Tapi itu terasa. Sensasi panas yang membakar, aneh, dan sangat memabukkan menjalar dari dagunya, menuruni lehernya, dan menyebar ke seluruh tulang belakangnya. Itu bukan rasa sakit, tetapi getaran hasrat yang tidak pernah dipahami Yue sebelumnya. “Maka kau harus menanggungku,” lanjut Xuan, suaranya seperti sumpah kuno yang tak terhindarkan. “Energi jiwaku kini terikat pada inti spiritualmu yang kosong. Tubuhmu… kini jadi milikku untuk sementara, ruang persinggahan bagiku untuk pulih.” “Aku tidak mau—” protes Yue, mencoba menarik diri dari cengkeramannya yang tak kasat mata. Otaknya menjerit untuk menjauh, tetapi tubuhnya tidak patuh. “Terlambat, Lian Yue,” gumam Xuan. Ia tersenyum tipis—senyum predator yang tahu mangsanya sudah tertangkap. “Kau pikir kenapa tubuhmu terasa lemas? Kau baru saja menyerap sebagian kecil energi iblis yang dilepaskan. Kita berbagi napas, emosi. Bahkan desiran halus hasrat yang baru saja kau rasakan… juga kurasakan.” Wajah Yue memerah parah. Kata-kata itu, pengakuan bahwa dia merasakan getaran aneh yang sama, membuatnya merasa terhina dan sekaligus sangat terguncang. Dia merasakan hasratku? Mustahil! Aku bahkan tidak tahu apa itu hasrat! Di luar gudang, lonceng klan mulai berdentang, perlahan dan khidmat. Pukul tiga pagi—waktunya pergantian penjaga, dan hanya beberapa jam lagi menuju fajar. Malam terakhirnya telah usai. “Malam terakhir sebelum penentuan nasib, bukan?” Suara Xuan terdengar seperti bisikan gelap yang manis dan ironis, seolah dia membaca pikirannya. Ia mencondongkan tubuhnya lagi, kini telinganya berada tepat di samping telinga Yue. Sensasi dingin dan panas bercampur, membuat Yue menarik napas tajam. “Tenang saja,” bisik Xuan. “Aku tidak akan membiarkan mereka menyentuhmu. Jika ada yang mencoba menyentuh ‘wadahku’, aku akan menjamin mereka mati dengan cara yang jauh lebih mengerikan daripada yang bisa kau bayangkan.” Kalimat itu, yang diucapkan dengan nada penuh ancaman mematikan, entah mengapa menimbulkan rasa aman yang baru dan berbahaya di hati Yue. Selama delapan belas tahun, tak ada satu pun yang pernah bersuara untuknya. Tetapi pria—atau roh—ini, yang lebih menakutkan dari siapa pun di dunia, baru saja berjanji untuk menjaganya. “Pergilah. Bersiaplah untuk upacara bodohmu itu,” perintah Xuan, kini berdiri tegak. Yue berusaha bangkit. Ketika ia menyentuh lukisan yang sudah kosong itu, ia merasakan sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Di tempat yang dulu kosong, kini ada aliran energi gelap yang terasa asing, kuat, dan… adiktif. Lian Yue merangkak keluar dari gudang, tubuhnya terasa ringan sekaligus berat oleh kehadiran tak kasat mata itu. Ia bergegas kembali ke kamar sempitnya. Begitu pintu tertutup, ia langsung jatuh ke ranjang, menggigil. Xuan Nightblade. Saat ia menyebut nama itu dalam hati, sesosok bayangan hitam semi-transparan muncul di dekat kakinya. Xuan Nightblade berbaring di sampingnya, meski tubuhnya tak sepenuhnya nyata. Ia hanya mengamati Yue dengan mata merah gelapnya yang tenang. “Kau terkejut?” tanyanya. “Kau… kau selalu ada di sini?” “Tentu saja. Kita berbagi jiwa, Lian Yue. Kau adalah wadahku. Aku ada di setiap sel tubuhmu, di setiap detak jantungmu. Aku melihat apa yang kau lihat. Aku merasakan apa yang kau sentuh.” Yue memalingkan wajah, pipinya memanas. Memikirkan bahwa setiap detail menyakitkan dari hidupnya, setiap rasa malu yang ia rasakan, kini dilihat dan dirasakan oleh Kaisar Iblis ini sungguh memalukan. Tapi memikirkan potensi momen-momen intim, membuat jantungnya berdebar kencang. “Apa yang kau inginkan dariku?” tanya Yue, suaranya bergetar. “Pertama-tama? Aku ingin kau tetap hidup,” jawab Xuan, nadanya datar. “Setelah itu, aku ingin kau menguat. Semakin kuat inti spiritual terlarang yang kau bangkitkan—Shadow Moon Core—semakin cepat aku pulih dan mendapatkan kembali bentuk fisikku. Dan ketika saat itu tiba…” Ia berhenti sejenak, mata merahnya berkilat. “Aku akan menghancurkan para dewa yang menyegelku, klan rendahan ini, dan siapa pun yang berani menyebutmu tumbal.” Xuan tidak terlihat cemburu, ia terlihat dominan. Perlindungan yang ia tawarkan terasa seperti kandang yang terbuat dari baja, dingin, gelap, tetapi mutlak. Ini bukan kebaikan, ini adalah kepemilikan. Yue menatap langit-langit, membiarkan energi gelap yang baru itu merayap di bawah kulitnya. Ini adalah pertukaran yang mengerikan: kebebasannya untuk kekuatannya. Tetapi, ia sudah kehilangan kebebasan sejak ia dilahirkan sebagai "gadis tanpa bakat." Dengan Xuan Nightblade di dalam dirinya, setidaknya ia punya kesempatan untuk bertahan hidup. Fajar menyingsing. Lonceng klan berdentang lagi, menandakan dimulainya “Upacara Penentuan Nasib.” “Ayo, Wadahku,” bisik Xuan, suaranya yang hanya terdengar di dalam kepala Yue. “Saatnya melihat mata mereka terkejut.”Kamar baru Lian Yue di Sekte Bintang Surya terasa steril. Terlalu bersih, terlalu murni. Jendela kayu pinus terbuka ke arah hutan bambu yang sunyi, dan udara yang masuk membawa serta aroma segar energi spiritual. Itu adalah udara yang seharusnya menenangkan seorang kultivator. Namun, bagi Yue, udara itu terasa seperti racun yang pelan-pelan membekukan energinya. Ia mencoba tidur. Namun, bagaimana mungkin seseorang bisa terlelap saat Kaisar Iblis yang sangat posesif berbagi napas dan jantung dengan dirinya? Malam terasa panjang. Yue bolak-balik di ranjang, selimut sutra yang lembut terasa panas dan mencekik. Ia tidak hanya merasa tidak nyaman secara emosional, tetapi juga secara fisik. Energinya terus bergejolak. Satu detik ia merasa dingin luar biasa, seolah es dari Inti Bayangan Bulan sedang membekukan nadinya; detik berikutnya, ia merasa panas membara, seperti semua hasrat dan amarah yang diredam Xuan Nightblade sedang mendidih di dalam dirinya. Ini adalah efek samping dari t
Sekte Bintang Surya adalah simfoni kemurnian. Bangunan berlapis giok memantulkan cahaya matahari, aliran energi spiritual mengalir dalam formasi yang tertanam di tanah, dan para murid bergerak dengan keanggunan seorang bangsawan kultivator sejati. Bagi Lian Yue, ini adalah dunia yang benar-benar asing, dan dia adalah anomali paling gelap di dalamnya. Ji Han, dengan kesabarannya yang luar biasa, membimbing Yue menuju lapangan latihan utama. Di sana, lusinan murid sedang berlatih formasi pedang dan meditasi. Ji Han memperkenalkannya dengan singkat, menyebutnya "murid baru dengan inti energi unik," sebuah eufemisme untuk 'kekuatan iblis terlarang.' Yue merasakan tatapan murid-murid lain, campuran rasa ingin tahu, kecurigaan, dan sedikit ketakutan. Di antara mereka, ia mengenali Lian Rou—seorang gadis dari cabang klan Lian yang lebih kuat—yang menatapnya dengan kebencian murni. “Lian Yue,” kata Lian Rou dengan suara keras, “Semoga kau tidak membawa kekotoran Inti Bayangan Bulanmu k
Asrama Angin Bambu adalah kawasan elit di Sekte Bintang Surya, dikelilingi oleh pepohonan hijau menjulang yang batangnya memancarkan sedikit aura spiritual. Lian Yue ditempatkan di kamar paling ujung, sebuah ruangan kecil yang indah dengan lantai kayu mengkilap, jendelanya menghadap ke hamparan hutan yang berkabut. Ji Han, dengan sikapnya yang lembut dan penuh perhatian, membantunya meletakkan barang-barangnya. “Kamar ini adalah tempat yang sempurna untuk meditasi, Nona Lian,” kata Ji Han, suaranya tenang seperti mata air. “Energi spiritual di sini murni dan kuat. Jika Anda butuh sesuatu, jangan ragu memanggil saya. Saya tinggal dua kamar di sebelah sana.” Yue mengangguk canggung. Sejak insiden di gerbang sekte—ketika Xuan Nightblade hampir mengaum karena cemburu—ia merasa bersalah pada Ji Han, pemuda yang tidak bersalah itu. “Tentu saja dia tidak bersalah,” dengus Xuan di dalam kepala Yue, nadanya dingin dan mengejek. “Dia adalah murid inti dari sekte yang membenci semua yan
Setelah Bola Kristal meledak dalam cahaya ungu gelap yang menakutkan, suasana di Aula Utama Klan Lian berubah dari penghinaan menjadi kegilaan yang hening. Lian Yue, si gadis tanpa bakat yang ditakdirkan menjadi tumbal, kini berdiri di sana sebagai pemegang Shadow Moon Core—inti spiritual terlarang yang kekuatannya bahkan melebihi yang dimiliki oleh leluhur terkuat mereka. Keputusan para Tetua berubah dalam sekejap. “Lian Yue,” Tetua Wen—yang lima menit lalu hampir menjualnya ke Sekte Seribu Roh—berbicara dengan nada yang berubah lembut, hampir menjilat. “Engkau adalah kebanggaan klan! Kenapa kau menyembunyikan bakat luar biasa ini dari kami?” “Saya tidak menyembunyikannya, Tetua,” jawab Yue, suaranya terdengar dingin dan datar, bukan karena keberaniannya sendiri, tetapi karena Xuan Nightblade yang memberinya ketenangan dingin itu. “Aku adalah bayanganmu sekarang. Biarkan aku yang memegang kendali percakapan ini,” bisik Xuan di dalam kepalanya, suaranya tajam seperti pedang yan
Aula Utama Klan Lian dipenuhi jubah-jubah sutra dan wajah-wajah kaku. Para tetua duduk di kursi tinggi yang diukir naga, wajah mereka penuh penghakiman. Lian Yue berdiri paling belakang, di antara sekelompok gadis lain yang menunggu giliran. Ia merasakan aura Xuan Nightblade, dingin dan tenang, seperti batu giok gelap. Roh itu benar-benar ada di dalam dirinya, menyatu dengan setiap serat jiwanya. Ia tidak melihatnya, tetapi bisa merasakan keberadaannya—seperti merasakan detak jantungnya sendiri. Jiwa Xuan terasa seperti api es yang sangat kuat. Kakak sepupu Lian Yue, Lian Huayan, berdiri di barisan depan. Dia cantik, energik, dan baru saja berhasil membangkitkan Fire Essence Core yang langka. Huayan tersenyum angkuh saat namanya dipanggil, mengalirkan energi spiritualnya ke Bola Kristal Penentuan Nasib. Bola itu bersinar dengan cahaya merah keemasan yang terang. Para tetua mengangguk puas. Huayan menoleh ke belakang, melayangkan tatapan mengejek pada Yue. Gadis yang malang, Hu
Ketika Lian Yue kembali sadar, hal pertama yang ia rasakan adalah kehangatan—kehangatan yang sangat dekat, menempel di lehernya, seolah seseorang sedang bernapas di sana. Terlalu dekat. Terlalu intim. Ia mencoba bergerak, tetapi anggota tubuhnya terasa berat, lemas, dan anehnya, bergetar halus. “Bangun. Aku tidak punya waktu melihatmu pingsan.” Mata Lian Yue terbuka dengan kejutan. Pandangannya berpusat. Ia melihat langit-langit gudang yang suram, dan kemudian, ia melihatnya. Seorang pria berdiri di tengah ruangan. Tinggi, posturnya sempurna, mengenakan jubah hitam dengan sulaman perak. Dialah pria yang ada di dalam lukisan itu—rambut hitam perak, mata merah gelap yang kini menatapnya dengan rasa ingin tahu yang dingin. Dia tampan; ketampanan yang membuat naluri Yue menjerit bahaya. Tetapi ada yang aneh. Garis-garis tubuhnya tampak transparan, tembus pandang. Dia ada di sana, namun tidak sepenuhnya nyata. “Siapa… kau?” Bisikan Yue terdengar parau dan takut. Pria itu be







