Langkah Hagan lebar dan terlihat tergesa melewati pintu kediaman Orlando. Pria itu tak peduli pada beberapa orang yang menunduk sekaligus menyapa. Lelaki itu buru-buru, perlu sesegera mungkin menuntaskan amarah.
Orang yang dicarinya terlihat. Sedang duduk santai dengan segelas minuman merah di tangan. Tidak lagi berjalan, Hagan berlari menghampiri.
Bukan rindu, Hagan menerjang cepat ke arah Redrick, semata-mata karena tinjunya sudah tidak sabar.
"Sialan." Dingin dan tajam sapaan itu mengalun dari ulut Hagan. Bersamaan dengan tinju luma jari yang mendarat di pipi si adik tiri. Hagan berdiri tegak, sementara lawan sudah tersungkur ke atas sofa.
"Huft! Kau mengujiku rupanya." Hagan menggerakkan leher ke kanan dan kiri. Bersiap untuk aksi selanjutnya.
Malam ini, Hagan sudah begitu baik meluangkan waktu untuk memberikan sedikit kejutan pada Redrick. Sayang sekali jika hanya satu pukulan, 'kan? Itu tidak setimpal untuk perbuatan si adik tiri pada Liara.
Mengusap sudut bibirnya yang sobek, Redrick tertawa. Ia berdiri dan menatap Hagan puas. "Jadi, dia benar istrimu?"
"Apa? Siapa yang kau maksud?" Hagan mengambil dua langkah maju, mengangkat kaki kanannya dan menampar wajah Redrick dengan itu.
Lagi, si lelaki dengan kaus hijau jatuh ke tanah.
"Aku rindu padamu. Jadi, aku berkunjung. Kudengar Papa sedang tidak di rumah, jadi, mari kita saling melepas rindu, Adik." Tak membiarkan lawannya waktu untuk bersiap. Ia tarik rambut Redrick hingga merak sama-sama berdiri. Kali ini perut menjadi sasaran pukulan Hagan.
Berkelahi adalah cara paling ampuh untuk menylesaikan masalah. Hagan yakin itu akan bekerja pada redrick, maka ia pun habishabisan. Sudah lama tidak meggunakan otot-ototnya, Hagan berhasil membuat lawan berkali-kali roboh. Sementara dirinya hanya mendapat dua pukulan balasan do pipi dan pelipis.
Napas terengah-engah, Hagan menatap puas pada Redrick yang tergolek di lantai. "Kau bukan lawan setimpal untukku. Jangan coba mengusikku atau ibumu akan kubuat kehialangan anak yang sangat ia banggakan."
Meludah, Redrick berusaha duduk. Semua tulang tubuhnya teras remuk. "Kenapa kemarin tidak kau jemput saja dia? Aku sempat ragu kalau dia memang istrimu."
"Kau ini bicara apa?" Hagan masih bersikeras pada skenario awal. Ia memang akan memberi sedikit pelajaran pada Redrick, tetapi tak akan secara gamblang mengakui Liara. Meski cara ini sebenarnya juga sudah menjelaskan segalanya.
"Apa dia benar-benar lihai melayanimu? Sampai-sampai kau repot datang kemari." Redrick menyeringai kala melihat dua tangan kakak tirinya terkepal.
"Kuulangi. Jangan mengusikku apalagi sampai membuatku kesal. Kau tidak akan bisa melakukan apa-apa, jika ku benar-benar bertindak." Jelas, semua ini ada di tangan Hagan. Harta yang sangat ingin Redrick kuasai adalah mutlak miliknya. Selama ini, si adik tiri merasa punya kesempatan merebut semata-mata karena Hagan berkata akan menolak semua yang diwariskan Orlando.
"Satu kata saja keluar dari mulutku, maka mimpimu dan ibumu akan hancur. Jadi ... ja-ngan me-ngu-sik-ku." Kata per kata hagan tekankan. Wajahnya yang memancarkan aura dingin dan mendominasi berhasil membuat Redrick mengeraskan rahang, merasa terancam, mungkin.
"Oh, astaga! Redrick!"
Jeritan tak merdu itu membuat Hagan menoleh. Rupanya ia sudah terlalu lama di sini. Orlando dan Anjani baru saja pulang.
"Apa yang terjadi? Kau mau membunuh adikmu, Hagan?" Anjani yang sudah berjongkok di dekat putranya tampak berang luar biasa. Anaknya babak belur.
Menatap datar pada Anjani, Hagan memutar tumit. Langkahnya cepat menuju pintu, tetapi seketika berhenti karena ditahan Orlando.
"Jelaskan. Kau pikir bisa pergi setelah melakukan semua ini?" Orlando mengabaikan decakan malas dari putranya. Pria itu meminta Anjani memanggil dokter, sementara dirinya menggiring hagan ke ruang kerja.
Hagan tidak gentar. Ia tahu bagaimana Orlando. Pria itu tak pernah main tangan, kecil kemungkinan ia akan dipukul sebagai hukuman mengajar Redrick.
"Jelaskan. Mengapa kau memukul Redrick?"
Berdiri di depan meja kerja ayahnya, Hagan membalas tatapan pria berusia 70 tahun itu tak kalah tajam.
"Pertengkaran anak lelaki biasa." Hagan menyatukan kesepuluh jemari di depan paha. Rautnya tenang, tatapannya datar, tetapi menantang.
Orlando terbahak. "Kau masih menganggap dirimu anak-anak?" Pria itu menggebrak meja di hadapan. "Tak pernah pulang, sekalinya berkunjung malah menghajar orang. Kau masih ingin bermain-main, Hagan? Kau tidak lihat semua rambut di kepala Papamu ini sudah memutih."
Si anak merespon kalimat tadi dengan merotasi bola mata. Lagi, topik yang sama. Hagan melakukan apa, Orlando membahas apa.
"Sampai kapan Papa akan menunggu? Aku ingin bersantai di sisa umurku ini, Hagan. Aku muak dengan semua urusan pekerjaan."
Selalu begini. Orlando akan menceritakan rasa lelahnya, minta dikasihani, lalu pada akhirnya akan mengeluarkan pertanyaan pamungkas.
"Apa kau sudah siap mengurusi Afla?"
Selalu sama, Hagan kali ini juga membalas dengan gelengan. Orlando mendesah kecewa, lalu mereka pun saling berpandangan sengit lagi.
"Sebenarnya apa maumu, Hagan?"
"Tidak tahu," balas si putra santai. "Apa sesi ini sudah selesai? Aku lelah."
"Bertahun-tahun aku membangun bisnis ini, Hagan. Apa tidak bisa kau hargai itu sedikit saja?"
Memulai dari usaha dagang kecil, Orlando menekuni bisnisnya sepenuh hati. Afla berkembang. Tidak hanya menjadi distributor bahan-bahan kebutuhan sehari-hari masyarakat, sekarang mereka bahkan sudah merambah ke ritel alat kesehatan.
Besar keinginan Orlando untuk bisa mewariskan semua itu pada Hagan. Sebagai pemilik sekaligus pemegang saham terbesar. Namun, si anak malah ogah-ogahan.
Kalau saja Hagan tak berhasil dengan bisnisnya sendiri, jika saja cabang Marvelous Hag tidak ada di mana-mana, mungkin si ayah akan menyeret putranya untuk terjun ke Afla sejak dulu.
"Berikan saja pada Redrick. Papa tidak lihat dia menginginkan hingga hampir gila?"
Sekali lagi Orlando memukul meja. Sungguh sulit membuat anaknya itu paham. "Kepalamu masih sekeras batu."
Mengangkat bahu tak peduli, Hagan pamit. Namun, langkah pria itu terhenti saat ayahnya kembali bersuara. Tentang sesuatu yang bukan menyangkut Afla.
"Dia cantik."
Hagan menoleh ayahnya dengan lipatan di dahi.
"Senyumnya mirip Tere. Tulus dan hangat. Apa karena itu kau memilihnya?" Orlando mengeluarkan secarik foto dari laci. Menatapinya dengan raut senang.
Berjalan cepat ke arah sang ayah, Hagan merampas foto tadi. Bertapa ia terkejut saat melihat gambar Liara di sana.
Untuk sebentar pria itu lupa akan semua hal, selain senyuman yang Liara tunjukkan di foto tadi.
Istrinya itu sedang di sebuah pinggiran jalan. Memegang kantungan plastik, tampak seperti sedang memanggil seseorang.
Hagan terkesima. Sebelum ini, tak pernah ia lihat Liara tersenyum sebagaimana di gambar itu. Liara cantik, Hagan menyadari itu di waktu pertama mereka menghabiskan malam. Namun, lengkungan bibir si perempuan di foto yang Orlando punya ini istimewa.
"Dari mana Papa mendapat foto ini? Papa memata-matai Liara?"
"Nama yang cantik," balas Orlando. Pria itu menopang dagu dengan kedua tangan. "Bagaimana bisa aku tidak penasaran saat anakku menikahi seorang perempuan?"
Orlando tak pernah benar-benar melepaskan Hagan. Ada stau orang yang ia tempatkan di sekitar Hagan demi bisa mendapat semua informasi dari tentang anaknya tersebut. Dan berita soal Liara, diperoleh dari kaki tangannya itu.
Awalnya, sungguh Orlando murka. Sebagai pewaris dari perusahaan sebesar Afla, harusnya Hagan menikahi paling tidak putri dari seorang konglomerat. Namun, setelah mendengar beberapa hal tentang Liara dan melihat perempuan itu lewat foto, Orlando pun mengubah pemikiran.
"Jangan sentuh Liara. Aku sungguh tidak akan diam jika Papa mengusiknya." Hagan menyimpan foto tadi ke dalam saku. "Aku serius," imbuhnya lebih sungguh.
Tawa Orlando terdengar. Kali ini adalah tawa karena bahagia. Sudah lama sekali ia tak melihat si anak bertindak normal begini. Melindung apa yang menjadi miliknya. Meski sikap itu sekaligus menampar Orlando dengan kenyataan bahwa perempuan bernama Liara tadi jauh lebih berharga di mata Hagan daripada Afla.
"Kapan-kapan, bawa dia kemari. Ayah mertuanya ini ingin bertemu."
Hagan menggeleng cepat. "Banyak ular di sini. Liara tak akan tahan. Aku pergi dulu, jangan lupa. Jangan ganggu Liara."
Orlando mengangguk-angguk seraya melambai. Untuk pertama kalinya, pertemuan ia dan sang anak berakhir dengan lumayan baik.
***
Tiba di rumah rumah, Hagan langsung mengkonfirmasi foto tadi pada Liara.
"Ini sungguh kau? Di mana? Kau sedang memanggil siapa?"
Dibangunkan hanya demi sebuah foto, Liara tak tahan jika tak memarahi Hagan. Perempuan itu menggigit lengan sang suami kuat, hingga Hagan meringis.
"Setelah mengurungku di sini, kau pulang dan menggangu tidur hanya karena foto?"
Hagan mengusap-usap bekas gigitan Liara. "Jawab aku. Ini sungguh kau?"
Mengambil gambar tadi, Liara memerhatikan. "Iya. Ini aku. Dari mana kau dapat?"
"Kau sedang apa di pinggir jalan? Sedang memanggil siapa?"
"Bertemu Tatiana. Aku memanggilnya usai membelikan sup buah." Si perempuan menatap wajah Hagan agak lama. "Kau kenapa?" Mata pria itu tampak sedikit bengkak. Ada luka di ujung mulutnya.
Menggeleng saja, Hagan mengambil alih foto. Menatapi lekat, ia tersenyum. Menertawai diri sendiri. Kalau saja Liara tahu apa yang terjadi padanya di mobil selama perjalanan pulang tadi, mungkin perempuan itu akan mengejeknya.
Hagan menangis. Air mata tumpah begitu saja karena memandangi foto Liara. Mungkin karena belum pernah melihat Liara menampilkan senyuman seperti di foto, karenanya tidak menyadari. Orlando benar. Entah bagaimana bisa, senyuman Liara ini sungguh serupa dengan Tere, mendiang ibu Hagan.
"Jadi, apa aku sudah boleh bebas sekarang?"
Suara Liara menarik Hagan dari lamunan. "Kau mau apa?"
"Ke gazebo belakang sekarang juga. Aku sesak napas di sini seharian."
Hagan memeriksa siku dan lutut Liara. "Sudah tidak sakit? Kau minum obat dan vitamin yang Max berikan?"
Liara mengangguk. "Aku boleh keluar?"
"Coba tersenyum padaku. Yang paling bagus, tunjukkan padaku."
Agar keinginannya segera terkabul, perempuan itu menurut saja. Tersenyum semanis yang dibisa pada lelaki di depan.
"Tidak. Bukan begitu. Yang seperti di foto ini."
Mengembuskan napas hingga bibirnya sedikit bergetar, Liara memejam. Mengingat perjumpaannya dengan Tatiana kemarin, lalu begitu saja bibir melengkung.
Hagan yang menyaksikan itu kembali berkaca-kaca. Hangat dan tulus. Persis seperti Tere.
Rasa senang itu Hagan tunjukkan dengan mencium si perempuan. Semua terasa jauh lebih baik karena rasa manis Liara masih saja mampu membuat Hagan melayang.
Pagutan itu sudah semakin jauh, Liara mendorong bahu Hagan. "Apa kau baru akan membiarkanku ke gazebo besok pagi?"
Tak merasa bersalah, Hagan mengangguk. Ia merapatkan diri pada Liara, membuat perempuan itu merasakan dirinya yang sudah membara di bawah sana.
"Kau menyuruhku tersenyum bukan sebagai syarat agar aku bisa ke sana sekarang?" Liara mulai tak sabar.
Hagan tertawa lagi. "Baik-baik. Ayo ke sana." Pria itu berjongkok di bawah ranjang, memunggungi Liara. "Ayo naik."
"Aku berat, Hagan. Kau yakin sanggup menggendongku?" Liara naik ke punggung Hagan. Mengalungkan tangan erat di leher si pria.
"Tunggu sampai kita selesai dari gazebo. Akan kutunjukkan bahwa aku bahkan bisa membolak-balik tubuhmu tanpa kesulitan." Oh, sungguh Hagan tak sabar untuk itu.
Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be
Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka
Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha
Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia
Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.
Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j
Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it
Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 
Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m