Home / Romansa / Liara / Bab 10

Share

Bab 10

Author: Sinda
last update Last Updated: 2021-07-09 19:38:19

Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar.

Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati.

Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi.

Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih.

"Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk.

"Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan.

"Kau mau membunuh mereka semua?" Liara memberi usapan di kepala Hagan. Ia pikir, pria itu pasti sedikit tidak nyaman dengan kadaan ini.

"Maaf. Maaf karena aku tidak bisa melakukan apa-apa." Hagan benar-benar merasa putus asa. Semua kekuasaannya tak berarti apa-apa tadi. Bahkan untuk menyusul Liara ke sana saja, ia tak mampu.

"Aku senang kau tidak melakukan apa-apa. Jangan berlebihan."

"Aku sungguh minta maaf. Kau bisa saja celaka tadi. Aku minta maaf, sungguh. Aku memang tidak berguna. Aku ini memang tidak berguna."

Usapan Liara berhenti, perempuan itu memukul punggung si lelaki. "Kau mau mulai lagi? Kubilang tidak masalah. Berhentilah seperti ini atau aku akan pergi lagi menemui Redrck."

Seketika Hagan merapatkan bibir. Ia menyembunyikan wajahnya di bahu Liara.

"Tidak masalah, Hagan. Ini sudah benar. Jangan Biarkan Redrick menganggap bahwa aku bisa ia gunakan untuk menekanmu melakukan apa yang dia mau."

Max yang baru saja datang dari dalam rumah ikut-ikutan memeluk Liara. "Kau hidup, Liara? Bagiamana bisa kau keluar dari sana dalam keadaan hidup?"

Cerita bagaimana Liara bisa keluar dari sekapan Redrick diceritakan si perempuan di ruang tidur. Pada Hagan dan Max yang memaksa diizinkan masuk.

Mendengar cerita tersebut, Hagan dan Max saling melempar tatapan cukup lama. Terkejut, terheran-heran. Mereka tak menyangka semua kebetulan yang Liara alami benar adanya.

"Sebenarnya, siapa Redrick?" Liara duduk, menunggu jawaban Hagan. "Aku tidak berhak tahu?" sambungnya kala mendapati orang yang ia tanyai tampak ragu buka suara.

"Dia berhak tahu, Hagan." Max memberi saran. Lelaki itu berdiri, undur diri dari kamar.

Selepas sepupunya pergi, Hagan naik ke ranjang. Memeluk Liara dalam posisi berbaring. "Maafkan aku," ulangnya lagi.

"Siapa Redrick? Dia orang jahat?"

"Dia adik tiriku." Hagan mengambil napas untuk memulai cerita.

Redrick itu adalah anak dari Anjani, istri kedua Orlando, ayahnya Hagan. Hubungan mereka tak baik, karena ibunya Redrick berniat menguasai Orlando dan semua aset pria itu.

"Saat SMA, aku keluar dari rumah Papa. Aku tidak suka serumah dengan mereka yang suka cari muka dan selalu berusaha meenjatuhkanku di depan Papa."

Di usia belia Hagan bekerja keras untuk bisa menghidupi dirinya sendiri. Bekerja paruh waktu agar bisa lulus SMA. Ia sudah menjadi karyawan di salah satu perusahaan saat kuliah strata satu dengan jurusan bisnis.

Saat dirinya sudah sukses dan namanya mulai dikenali orang-orang, Orlando yang bangga tanpa pikir panjang langsung mengumumkan bahwa besar kemungkinan pewaris utama dari perusahaan gerai ritel yang dipunyai keluarga Arsenio akan diwariskan pada anak kandungnya. Bukan Redrick atau Max yang merupakan anak dari adiknya Orlando.

"Sebenarnya aku tidak ingin harta Papa. Membuat muak harus berurusan dengan orang-orang seperti Redrick dan ibunya. Namun, aku berpikir lagi. Kasihan sekali Orlando jika jerih payahnya selama ini harus berakhir di tangan orang-orang ilcik itu."

Mencerna beberapa saat kisahnya Hagan, Liara mengangguk paham. Perempuan itu menunjukkan rasa simpatinya dengan menepuk-nepuk bahu si lelaki.

"Itulah kenapa aku keberatan kau mengurusi orang tua tirimu."

"Adikku tidak jahat," balas Liara. "Jadi, kau akan apa sekarang?"

"Tentu saja merencanakan balas dendam. Aku ingin sekali mematahkan tangannya." Tangan Hagan mengusap rambut Liara. "Maafkan aku."

"Oke. Kumaafkan. Berhenti mengulang-ulang itu terus."

Lalu, Hagan teringat cerita si istri tadi. Tentang surat cinta. Setengah membentak, ia bertanya, "Kau sungguh mengirimi surat cinta padanya?"

Liara mengangguk tenang. "Beruntung sekali aku ini."

"Kau akan jadi sial jika mengaku benar-benar menyukainya." Hagan menajamkan pandangan, mencengkeram pergalagynan tangan Liara erat.

"Sebenarnya, tidak begitu ...." Perempuan itu tersenyum.

"Kau benar-benar menyukainya?" Hagan duduk. Wajahnya merah padam. "Liara?"

Menepuk sisi ranjang yang ditinggalkan Hagan, Liara berujar, "Dengarkan aku dulu."

***

"Jangan biarkan dia bangkit dari tempat tidur. Kakinya terluka." Hagan berkacak pinggang saat mengumandangkan perintah itu di depan para asisten rumah tangganya.

Orang-orang itu mengangguk patuh, ia beralih pada jejeran para pengawal baru. "Pasang mata kalian, jika kalian tak mau berakhir sama seperti teman kalian kemarin."

"Baik, Tuan." Serentak tiga pria bertubuh tegap itu menjawab.

"Perhatikan seisi rumah. Ikuti Liara ke mana pun, kecuali kamar dan toilet tentu saja."

Usai briefing singkat itu, Hagan berjalan menuju kamar. Di sampingnya, Arjuna, si kepala pengamanan di rumah mengikuti.

"CCTV, alat komunikasi, pakai dengan benar. Aku tidak akan mentolerir jika kalian melakukan kesalahan lagi."

Arjuna mengangguk saja. Ia tetap berdiri di depan pintu kamar si boss hingga pintu itu ditutup dari dalam.

"Kau sungguh akan mengurungku di sini, Hagan?" Di atas tempat tidur, Liara yang duduk bersila memajukan bibir bawahnya.

Beberapa saat lalu suaminya itu memberikan perintah. Liara tak boleh turun dari tempat tidur, jika bukan untuk ke kamar kecil. Makan, menonton dan membaca dilakukan dan harus dilakukan di atas tempat tidur.

Alasannya? Karena luka kecil di kaki dan siku Liara.

"Kakimu sakit, Liara. Jangan membantahku." Hagan memegangi lengan Liara, menatapi wajah perempuan itu dari jarak setengah jengkal.

"Ini sama saja dengan penyekapan," protes si istri.

Terserah bagaimana Liara menyebutnya, Hagan tidak peduli. Ia hanya ingin perempuan itu aman. "Aku akan berangkat kerja. Kau mau terus memperlihatkan wajah merengut seperti ini?"

Tanpa izin, pria itu mengecup bibir sang istri. Berulang kali, sebelum akhirnya melakukan lebih.

Mendapat celah untuk memperjuangkan kebebasannya, Liara menarik Hagan hingga pria itu dan dirinya terjatuh di ranjang. Sengaja ia mengalungkan tangan dan kaki di tubuh si pria.

"Mencoba merayuku?" Hagan yang paham akan gerakan tangan dan kaki Liara memutus kontak bibir mereka.

"Memangnya aku apa? Seharian di atas tempat tidur? Yang benar saja." Jika yang diancam dipotong bukan gajinya bulan ini, tentu Liara tak akan ambil pusing dan membantah perintah Hagan ini. Namun, dia bisa apa jika yang menjadi taruhan adalah uang bulanannya?

"Sehari saja. Istirahat, di sini. Kau baru saja melewati fase diculik, Liara."

"Aku tidak sekarat." Liara mendorong dada pria itu. Tampaknya, triknya tidak berhasil.

Hagan mencium kening Liara. Pamit untuk bekerja, kemudian beranjak dari kasur.

"Hagan? Ke gazebo belakang juga tidak boleh?"

Pria itu berbalik dengan senyum di wajah. "Tidak. Tidak ke mana pun. Diam di sini, sampai aku pulang."

"Oh, baiklah Tuan Berlebihan!" Kesal Liara. Ia menarik selimut lumayan kasar.

"Aku pergi dulu. Hati-hati di rumah."

"Terserah!"

Sebelum Hagan menutup pintu dari luar, pria itu mendengar istrinya berteriak.

"Hati-hati!"

Masih ada nada kesal, tetapi Hagan amat senang mendengarnya. Mendadak ia merasa menjadi suami bahagia yang menikahi perempuan tepat.

Sebenarnya sudah sejauh apa Liara mengusik dunia Hagan?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Liara    Flashback Chapter (31 part 2)

    Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be

  • Liara    Bab 59

    Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka

  • Liara    Bab 58

    Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha

  • Liara    Bab 57

    Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia

  • Liara    Bab 56

    Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.

  • Liara    Bab 55

    Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j

  • Liara    Bab 54

    Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it

  • Liara    Bab 53

    Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 

  • Liara    Bab 52

    Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status