Share

Bab 10

Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar.

Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati.

Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi.

Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih.

"Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk.

"Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan.

"Kau mau membunuh mereka semua?" Liara memberi usapan di kepala Hagan. Ia pikir, pria itu pasti sedikit tidak nyaman dengan kadaan ini.

"Maaf. Maaf karena aku tidak bisa melakukan apa-apa." Hagan benar-benar merasa putus asa. Semua kekuasaannya tak berarti apa-apa tadi. Bahkan untuk menyusul Liara ke sana saja, ia tak mampu.

"Aku senang kau tidak melakukan apa-apa. Jangan berlebihan."

"Aku sungguh minta maaf. Kau bisa saja celaka tadi. Aku minta maaf, sungguh. Aku memang tidak berguna. Aku ini memang tidak berguna."

Usapan Liara berhenti, perempuan itu memukul punggung si lelaki. "Kau mau mulai lagi? Kubilang tidak masalah. Berhentilah seperti ini atau aku akan pergi lagi menemui Redrck."

Seketika Hagan merapatkan bibir. Ia menyembunyikan wajahnya di bahu Liara.

"Tidak masalah, Hagan. Ini sudah benar. Jangan Biarkan Redrick menganggap bahwa aku bisa ia gunakan untuk menekanmu melakukan apa yang dia mau."

Max yang baru saja datang dari dalam rumah ikut-ikutan memeluk Liara. "Kau hidup, Liara? Bagiamana bisa kau keluar dari sana dalam keadaan hidup?"

Cerita bagaimana Liara bisa keluar dari sekapan Redrick diceritakan si perempuan di ruang tidur. Pada Hagan dan Max yang memaksa diizinkan masuk.

Mendengar cerita tersebut, Hagan dan Max saling melempar tatapan cukup lama. Terkejut, terheran-heran. Mereka tak menyangka semua kebetulan yang Liara alami benar adanya.

"Sebenarnya, siapa Redrick?" Liara duduk, menunggu jawaban Hagan. "Aku tidak berhak tahu?" sambungnya kala mendapati orang yang ia tanyai tampak ragu buka suara.

"Dia berhak tahu, Hagan." Max memberi saran. Lelaki itu berdiri, undur diri dari kamar.

Selepas sepupunya pergi, Hagan naik ke ranjang. Memeluk Liara dalam posisi berbaring. "Maafkan aku," ulangnya lagi.

"Siapa Redrick? Dia orang jahat?"

"Dia adik tiriku." Hagan mengambil napas untuk memulai cerita.

Redrick itu adalah anak dari Anjani, istri kedua Orlando, ayahnya Hagan. Hubungan mereka tak baik, karena ibunya Redrick berniat menguasai Orlando dan semua aset pria itu.

"Saat SMA, aku keluar dari rumah Papa. Aku tidak suka serumah dengan mereka yang suka cari muka dan selalu berusaha meenjatuhkanku di depan Papa."

Di usia belia Hagan bekerja keras untuk bisa menghidupi dirinya sendiri. Bekerja paruh waktu agar bisa lulus SMA. Ia sudah menjadi karyawan di salah satu perusahaan saat kuliah strata satu dengan jurusan bisnis.

Saat dirinya sudah sukses dan namanya mulai dikenali orang-orang, Orlando yang bangga tanpa pikir panjang langsung mengumumkan bahwa besar kemungkinan pewaris utama dari perusahaan gerai ritel yang dipunyai keluarga Arsenio akan diwariskan pada anak kandungnya. Bukan Redrick atau Max yang merupakan anak dari adiknya Orlando.

"Sebenarnya aku tidak ingin harta Papa. Membuat muak harus berurusan dengan orang-orang seperti Redrick dan ibunya. Namun, aku berpikir lagi. Kasihan sekali Orlando jika jerih payahnya selama ini harus berakhir di tangan orang-orang ilcik itu."

Mencerna beberapa saat kisahnya Hagan, Liara mengangguk paham. Perempuan itu menunjukkan rasa simpatinya dengan menepuk-nepuk bahu si lelaki.

"Itulah kenapa aku keberatan kau mengurusi orang tua tirimu."

"Adikku tidak jahat," balas Liara. "Jadi, kau akan apa sekarang?"

"Tentu saja merencanakan balas dendam. Aku ingin sekali mematahkan tangannya." Tangan Hagan mengusap rambut Liara. "Maafkan aku."

"Oke. Kumaafkan. Berhenti mengulang-ulang itu terus."

Lalu, Hagan teringat cerita si istri tadi. Tentang surat cinta. Setengah membentak, ia bertanya, "Kau sungguh mengirimi surat cinta padanya?"

Liara mengangguk tenang. "Beruntung sekali aku ini."

"Kau akan jadi sial jika mengaku benar-benar menyukainya." Hagan menajamkan pandangan, mencengkeram pergalagynan tangan Liara erat.

"Sebenarnya, tidak begitu ...." Perempuan itu tersenyum.

"Kau benar-benar menyukainya?" Hagan duduk. Wajahnya merah padam. "Liara?"

Menepuk sisi ranjang yang ditinggalkan Hagan, Liara berujar, "Dengarkan aku dulu."

***

"Jangan biarkan dia bangkit dari tempat tidur. Kakinya terluka." Hagan berkacak pinggang saat mengumandangkan perintah itu di depan para asisten rumah tangganya.

Orang-orang itu mengangguk patuh, ia beralih pada jejeran para pengawal baru. "Pasang mata kalian, jika kalian tak mau berakhir sama seperti teman kalian kemarin."

"Baik, Tuan." Serentak tiga pria bertubuh tegap itu menjawab.

"Perhatikan seisi rumah. Ikuti Liara ke mana pun, kecuali kamar dan toilet tentu saja."

Usai briefing singkat itu, Hagan berjalan menuju kamar. Di sampingnya, Arjuna, si kepala pengamanan di rumah mengikuti.

"CCTV, alat komunikasi, pakai dengan benar. Aku tidak akan mentolerir jika kalian melakukan kesalahan lagi."

Arjuna mengangguk saja. Ia tetap berdiri di depan pintu kamar si boss hingga pintu itu ditutup dari dalam.

"Kau sungguh akan mengurungku di sini, Hagan?" Di atas tempat tidur, Liara yang duduk bersila memajukan bibir bawahnya.

Beberapa saat lalu suaminya itu memberikan perintah. Liara tak boleh turun dari tempat tidur, jika bukan untuk ke kamar kecil. Makan, menonton dan membaca dilakukan dan harus dilakukan di atas tempat tidur.

Alasannya? Karena luka kecil di kaki dan siku Liara.

"Kakimu sakit, Liara. Jangan membantahku." Hagan memegangi lengan Liara, menatapi wajah perempuan itu dari jarak setengah jengkal.

"Ini sama saja dengan penyekapan," protes si istri.

Terserah bagaimana Liara menyebutnya, Hagan tidak peduli. Ia hanya ingin perempuan itu aman. "Aku akan berangkat kerja. Kau mau terus memperlihatkan wajah merengut seperti ini?"

Tanpa izin, pria itu mengecup bibir sang istri. Berulang kali, sebelum akhirnya melakukan lebih.

Mendapat celah untuk memperjuangkan kebebasannya, Liara menarik Hagan hingga pria itu dan dirinya terjatuh di ranjang. Sengaja ia mengalungkan tangan dan kaki di tubuh si pria.

"Mencoba merayuku?" Hagan yang paham akan gerakan tangan dan kaki Liara memutus kontak bibir mereka.

"Memangnya aku apa? Seharian di atas tempat tidur? Yang benar saja." Jika yang diancam dipotong bukan gajinya bulan ini, tentu Liara tak akan ambil pusing dan membantah perintah Hagan ini. Namun, dia bisa apa jika yang menjadi taruhan adalah uang bulanannya?

"Sehari saja. Istirahat, di sini. Kau baru saja melewati fase diculik, Liara."

"Aku tidak sekarat." Liara mendorong dada pria itu. Tampaknya, triknya tidak berhasil.

Hagan mencium kening Liara. Pamit untuk bekerja, kemudian beranjak dari kasur.

"Hagan? Ke gazebo belakang juga tidak boleh?"

Pria itu berbalik dengan senyum di wajah. "Tidak. Tidak ke mana pun. Diam di sini, sampai aku pulang."

"Oh, baiklah Tuan Berlebihan!" Kesal Liara. Ia menarik selimut lumayan kasar.

"Aku pergi dulu. Hati-hati di rumah."

"Terserah!"

Sebelum Hagan menutup pintu dari luar, pria itu mendengar istrinya berteriak.

"Hati-hati!"

Masih ada nada kesal, tetapi Hagan amat senang mendengarnya. Mendadak ia merasa menjadi suami bahagia yang menikahi perempuan tepat.

Sebenarnya sudah sejauh apa Liara mengusik dunia Hagan?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status