Share

Bab 5

"Sebenarnya aku ini sepupunya Hagan."

Sore itu, Max berhasil memanfaatkan kesempatan--Hagan pulang untuk berganti pakaian.

Selama Liara dirawat, tiga hari penuh Hagan tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik. Membuat Max kelimpungan untuk mencari celah demi bisa melampiaskan rasa penasaran.

"Sepupu?" Di atas ranjangnya, Liara mengernyitkan dahi. "Kata Hagan kalian kenalan." Ia juga ingat perjumpaan pertama dengan Max kemarin. Pria itu juga menyebut diri sebagai kenalan.

Pria berambut abu-abu itu mengangguk. "Jadi, biarkan aku bertanya beberapa hal padamu."

Max memulai. Pertama ia ingin memvalidasi bahwa benar Liara adalah istri Hagan. Si perempuan mengamini, Max terperangah.

"Kenapa bisa?" tanya pria itu dengan suara tidak santai.

Mana bisa Max bersikap tenang. Selama yang ia kenal, Hagan bukanlah pria seperti pada umumnya. Maksudnya, lelaki itu normal, suka wanita, hanya saja pernikahan? Rasanya sulit dipercaya jika saja Max tidak mendengar langsung dari mulut Liara.

Liara menggeleng dan mengangkat bahu untuk pertanyaan barusan. Ia juga tidak mengerti mengapa Hagan bersedia menikahinya.

"Kalian tinggal di mana?" Max mendekatkan kursi.

"Di rumah Hagan." Liara menyebutkan alamat. Perempuan itu heran saat mendapati mulut Max menganga lebar.

"Gila." Max menyandarkan punggung. "Hagan sudah gila atau bagaimana?"

Mengabaikan respon Max, Liara bertanya, "Kenapa Hagan menyebutmu kenalan dan bukannya sepupu? Kalau aku boleh tahu."

Cerita itu mengalun dari mulut Max. Bagaimana sejak ibunya meninggal, Hagan mengubah sikap menjadi antipati pada semua orang, termasuk keluarga. Pria itu menjauh. Mengabaikan semua aturan dan perintah Orlando,

"Dia membuat dunianya sendiri. Kami dianggap bukan siapa-siapa." Max mengangguk pelan. "Tapi, tetap saja itu bukan alasan mengapa ia menyembunyikan pernikahan kalian, 'kan? Bagaimana pun, dia sulung dari seorang Orlando Arsenio."

"Siapa Orlando Arsenio." Nama belakang sama, Liara menerka itu adalah salah satu kerabat Hagan.

"Ayahnya Hagan. Pemilik usaha retail terbesar di negeri ini."

Kali ini Liara yang tercengang. "Dia memang orang kaya sejak lahir," komentarnya.

Kepala Max mengangguk. "Namun, kekayaannya sekarang murni hasil kerja Hagan sendiri. Dia sudah lama tidak menggunakan uang ayahnya."

Sempurna sekali sosok Hagan Arsenio itu, puji Liara. Mandiri.

"Hagan mencintaimu?" Pertanyaan pamungkas tersuarakan, Max menatap perempuan di depannya tak sabar.

Tawa Liara terdengar. "Tentu saja tidak. Sebenarnya, kami punya semacam perjanjian. Yang jelas, bukan cinta alasan mengapa kami menikah."

Satu alis Max meninggi. Ia ragu akan jawaban barusan. Tiga hari Liara dirawat, Max tidak buta hingga melewatkan sorot khawatir dari cara Hagan memandang si perempuan.

Apalagi saat pria datang membawa Liara yang pingsan. Hagan bahkan harus dipegangi Pak Rayi dan dua orang keamanan agar tidak ikut masuk ke ruang perawatan. Belum pernah Max melihat sepupunya sepanik itu sejak Tere meninggal.

"Kau tidak mencintainya." Itu mungkin, kata Max dalam hati. "Tapi Hagan?" Apa lagi yang bisa dijadikan alasan seorang pria rela menjaga seorang perempuan 24 jam jika bukan menyangkut perasaan?

"Ngomong-ngomong, di mana Hagan? Dia tidak datang hari ini?"

Max memandangi perempuan itu lekat. Lima puluh satu persen ia yakin Hagan menganggap Liara istimewa. "Dia pulang beberapa saat lalu. Berganti pakaian."

Liara mengangguk saja. "Aku sudah boleh pulang, 'kan? Sudah tidak pusing atau mual."

"Kau masih belum sepenuhnya pulih. Sehari lagi, mungkin."

"Aku ingin pulang. Tetap di sini hanya akan membuang uang Hagan."

"Aku tidak keberatan." Hagan yang beberapa saat lalu sudah berada di depan pintu melangkah masuk. Lelaki dengan jaket kain berwarna hitam itu menatap tajam pada Liara. "Dokter bilang satu hari lagi, maka kau harus di sini satu hari lagi."

"Aku ingin pulang. Sore ini? Aku pulang sore ini. Oke."

Max tersenyum melihat sikap Liara. Berani sekali perempuan itu memberi perintah. Tak kalah lucu, alih-alih menunjukkan dominasi, sepupunya malah terlihat mengernyitkan dahi.

"Liara."

"Oh, ya, ampun." Max menutup mulut dengan tangan. Ia menatap geli pada Hagan yang barusan bersuara. Manis sekali. Bukankah seharusnya pria itu membentak. Lazimnya yang ia lakukan saat seseorang membantah perintahnya.

Melirik bengis pada si sepupu, Hagan kembali fokus pada si istri. Ia meraih tangan Liara. "Satu hari lagi. Aku tidak ingin ambil risiko jika terjadi sesuatu yang buruk padamu."

Si perempuan berdecak, bersungut sembari merebahkan kepala ke tempat tidur. "Berlebihan. Kau mulai lagi, Hagan. Aku ingin pulang. Sore ini juga. Kalau kau tidak mau memberi tumpangan di mobilmu, aku naik ambulans saja."

Hagan menoleh pada Max. Tatapannya tajam. "Lakukan tugasmu sebagai dokter. Jelaskan padanya agar mau tinggal sehari lagi."

Liara langsung duduk tegak. "Percuma. Aku tidak akan mengubah keputusan. Aku ingin pulang, Hagan. Tolong."

Tertunduk, si pria menghela napas. "Baiklah." Ia berujar setengah mendesis karena menahan amarah. "Kau pulang sore ini juga. Dengan syarat. Jika merasakan sesuatu yang tidak baik, segera beritahu aku."

"Hm. Terserahmu." Liara mengangguk asal, kemudian melengkungkan bibir.

Selagi Liara berganti pakaian di dalam sana, Max mengambil kesempatan lagi untuk menuntaskan rasa ingin tahu.

"Apa tujuanmu menikahi dia?"

Hagan tidak langsung bersuara, hanya menoleh sesaat pada Max, lalu memandangi pintu ruang rawat di depan mereka.

"Kau sengaja ingin membuatnya dimangsa Redrick, setelahnya baru kau akan menikahi perempuan yang benar-benar kau cintai. Kalau ada." Max mengutarakan asumsinya.

Dua tangan Hagan terkepal. "Kalau sampai ada orang lain yang tahu soal Liara dan itu darimu, aku benar-benar akan menghabisimu.'

Tawa Max menyembur. "Mereka sudah tahu, Hagan. Redrick mengirimiku pesan tadi. Salah satu mata-matanya berhasil mengikutimu ke sini."

"Sialan," Hagan memaki dengan gigi rapat. Ia yakin hal seperti ini akan terjadi, tetapi tidak menyangka akan secepat ini.

Pria itu lantas berdiri, membuka pintu ruangan demi memeriksa keberadaan Liara di dalam. Pada perempuan yang sedang mengenakan kaus, ia tersenyum.

"Aku hanya ingin memastikan kau tidak pingsan." Usai berkata demikian, Hagan kembali menutup pintu, duduk lagi di sebelah Max.

Max tersenyum takjub. "Liara," katanya penuh arti. "Jadi, aku salah tebak? Kau sungguh mencintainya?"

Wajah Hagan tampak kaku. Dua tangannya saling meremas. Jawaban untuk tanya barusan tidak bisa ia temukan. Yang jelas, ia yakin akan sangat marah bila Redrick berusaha menyakiti Liara.

"Jangan katakan apa-apa, pada siapa pun." Hagan akhirnya bersuara. Tak lama, wajah tegangnya dihiasi senyum. Liara sudah muncul di hadapan.

"Ayo pulang. Aku bosan di sini." Mengamit lengan lelaki itu, Liara mulai berjalan cepat.

Hagan memegangi lengan Liara untuk menariknya agar berhenti berjalan. "Tas pakaianmu."

Liara menepuk dahi. Berbalik untuk mengambil tas hitamnya dari perawat tadi.

Hagan mengambil tas itu dari Liara. Menggenggam pergelangan perempuan itu erat.

"Liara." Max menghampiri Liara, berdiri di depan perempuan itu seraya merogoh saku. Satu pisau lipat ia keluarkan dari sana untuk diberikan pada Liara.

"Apa ini?"

"Pisau."

Mengamati benda kecil itu, Liara tak paham. "Kenapa kau memberikan ini padaku?"

"Karena kau harus melindungi Hagan mulai sekarang." Ia tertawa setenang mungkin.

"Melindungi dari siapa? Kenapa?"

"Melindungi dia dari orang jahat. Karena kurasa, dia sudah punya kelemahan sekarang." Tersenyum penuh arti, Max menatapi Liara baik-baik. Sekarang presentasi itu bukan 51, tetapi sudah 55%.

Kesal, Hagan menarik rambut abu-abu sepupunya. "Orang jahat kepalamu. Kau harus mengobati diri sendiri mulai sekarang. Bicaramu asal."

Max merintih, berusaha melepaskan jerat jari Hagan dari helai rambut. "Usiamu sudah 34 tahun, Hagan! Masih suka menarik rambutku! Lepas, sialan! Aku ini dokter sekarang!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status