"Sebenarnya aku ini sepupunya Hagan."
Sore itu, Max berhasil memanfaatkan kesempatan--Hagan pulang untuk berganti pakaian.
Selama Liara dirawat, tiga hari penuh Hagan tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik. Membuat Max kelimpungan untuk mencari celah demi bisa melampiaskan rasa penasaran.
"Sepupu?" Di atas ranjangnya, Liara mengernyitkan dahi. "Kata Hagan kalian kenalan." Ia juga ingat perjumpaan pertama dengan Max kemarin. Pria itu juga menyebut diri sebagai kenalan.
Pria berambut abu-abu itu mengangguk. "Jadi, biarkan aku bertanya beberapa hal padamu."
Max memulai. Pertama ia ingin memvalidasi bahwa benar Liara adalah istri Hagan. Si perempuan mengamini, Max terperangah.
"Kenapa bisa?" tanya pria itu dengan suara tidak santai.
Mana bisa Max bersikap tenang. Selama yang ia kenal, Hagan bukanlah pria seperti pada umumnya. Maksudnya, lelaki itu normal, suka wanita, hanya saja pernikahan? Rasanya sulit dipercaya jika saja Max tidak mendengar langsung dari mulut Liara.
Liara menggeleng dan mengangkat bahu untuk pertanyaan barusan. Ia juga tidak mengerti mengapa Hagan bersedia menikahinya.
"Kalian tinggal di mana?" Max mendekatkan kursi.
"Di rumah Hagan." Liara menyebutkan alamat. Perempuan itu heran saat mendapati mulut Max menganga lebar.
"Gila." Max menyandarkan punggung. "Hagan sudah gila atau bagaimana?"
Mengabaikan respon Max, Liara bertanya, "Kenapa Hagan menyebutmu kenalan dan bukannya sepupu? Kalau aku boleh tahu."
Cerita itu mengalun dari mulut Max. Bagaimana sejak ibunya meninggal, Hagan mengubah sikap menjadi antipati pada semua orang, termasuk keluarga. Pria itu menjauh. Mengabaikan semua aturan dan perintah Orlando,
"Dia membuat dunianya sendiri. Kami dianggap bukan siapa-siapa." Max mengangguk pelan. "Tapi, tetap saja itu bukan alasan mengapa ia menyembunyikan pernikahan kalian, 'kan? Bagaimana pun, dia sulung dari seorang Orlando Arsenio."
"Siapa Orlando Arsenio." Nama belakang sama, Liara menerka itu adalah salah satu kerabat Hagan.
"Ayahnya Hagan. Pemilik usaha retail terbesar di negeri ini."
Kali ini Liara yang tercengang. "Dia memang orang kaya sejak lahir," komentarnya.
Kepala Max mengangguk. "Namun, kekayaannya sekarang murni hasil kerja Hagan sendiri. Dia sudah lama tidak menggunakan uang ayahnya."
Sempurna sekali sosok Hagan Arsenio itu, puji Liara. Mandiri.
"Hagan mencintaimu?" Pertanyaan pamungkas tersuarakan, Max menatap perempuan di depannya tak sabar.
Tawa Liara terdengar. "Tentu saja tidak. Sebenarnya, kami punya semacam perjanjian. Yang jelas, bukan cinta alasan mengapa kami menikah."
Satu alis Max meninggi. Ia ragu akan jawaban barusan. Tiga hari Liara dirawat, Max tidak buta hingga melewatkan sorot khawatir dari cara Hagan memandang si perempuan.
Apalagi saat pria datang membawa Liara yang pingsan. Hagan bahkan harus dipegangi Pak Rayi dan dua orang keamanan agar tidak ikut masuk ke ruang perawatan. Belum pernah Max melihat sepupunya sepanik itu sejak Tere meninggal.
"Kau tidak mencintainya." Itu mungkin, kata Max dalam hati. "Tapi Hagan?" Apa lagi yang bisa dijadikan alasan seorang pria rela menjaga seorang perempuan 24 jam jika bukan menyangkut perasaan?
"Ngomong-ngomong, di mana Hagan? Dia tidak datang hari ini?"
Max memandangi perempuan itu lekat. Lima puluh satu persen ia yakin Hagan menganggap Liara istimewa. "Dia pulang beberapa saat lalu. Berganti pakaian."
Liara mengangguk saja. "Aku sudah boleh pulang, 'kan? Sudah tidak pusing atau mual."
"Kau masih belum sepenuhnya pulih. Sehari lagi, mungkin."
"Aku ingin pulang. Tetap di sini hanya akan membuang uang Hagan."
"Aku tidak keberatan." Hagan yang beberapa saat lalu sudah berada di depan pintu melangkah masuk. Lelaki dengan jaket kain berwarna hitam itu menatap tajam pada Liara. "Dokter bilang satu hari lagi, maka kau harus di sini satu hari lagi."
"Aku ingin pulang. Sore ini? Aku pulang sore ini. Oke."
Max tersenyum melihat sikap Liara. Berani sekali perempuan itu memberi perintah. Tak kalah lucu, alih-alih menunjukkan dominasi, sepupunya malah terlihat mengernyitkan dahi.
"Liara."
"Oh, ya, ampun." Max menutup mulut dengan tangan. Ia menatap geli pada Hagan yang barusan bersuara. Manis sekali. Bukankah seharusnya pria itu membentak. Lazimnya yang ia lakukan saat seseorang membantah perintahnya.
Melirik bengis pada si sepupu, Hagan kembali fokus pada si istri. Ia meraih tangan Liara. "Satu hari lagi. Aku tidak ingin ambil risiko jika terjadi sesuatu yang buruk padamu."
Si perempuan berdecak, bersungut sembari merebahkan kepala ke tempat tidur. "Berlebihan. Kau mulai lagi, Hagan. Aku ingin pulang. Sore ini juga. Kalau kau tidak mau memberi tumpangan di mobilmu, aku naik ambulans saja."
Hagan menoleh pada Max. Tatapannya tajam. "Lakukan tugasmu sebagai dokter. Jelaskan padanya agar mau tinggal sehari lagi."
Liara langsung duduk tegak. "Percuma. Aku tidak akan mengubah keputusan. Aku ingin pulang, Hagan. Tolong."
Tertunduk, si pria menghela napas. "Baiklah." Ia berujar setengah mendesis karena menahan amarah. "Kau pulang sore ini juga. Dengan syarat. Jika merasakan sesuatu yang tidak baik, segera beritahu aku."
"Hm. Terserahmu." Liara mengangguk asal, kemudian melengkungkan bibir.
Selagi Liara berganti pakaian di dalam sana, Max mengambil kesempatan lagi untuk menuntaskan rasa ingin tahu.
"Apa tujuanmu menikahi dia?"
Hagan tidak langsung bersuara, hanya menoleh sesaat pada Max, lalu memandangi pintu ruang rawat di depan mereka.
"Kau sengaja ingin membuatnya dimangsa Redrick, setelahnya baru kau akan menikahi perempuan yang benar-benar kau cintai. Kalau ada." Max mengutarakan asumsinya.
Dua tangan Hagan terkepal. "Kalau sampai ada orang lain yang tahu soal Liara dan itu darimu, aku benar-benar akan menghabisimu.'
Tawa Max menyembur. "Mereka sudah tahu, Hagan. Redrick mengirimiku pesan tadi. Salah satu mata-matanya berhasil mengikutimu ke sini."
"Sialan," Hagan memaki dengan gigi rapat. Ia yakin hal seperti ini akan terjadi, tetapi tidak menyangka akan secepat ini.
Pria itu lantas berdiri, membuka pintu ruangan demi memeriksa keberadaan Liara di dalam. Pada perempuan yang sedang mengenakan kaus, ia tersenyum.
"Aku hanya ingin memastikan kau tidak pingsan." Usai berkata demikian, Hagan kembali menutup pintu, duduk lagi di sebelah Max.
Max tersenyum takjub. "Liara," katanya penuh arti. "Jadi, aku salah tebak? Kau sungguh mencintainya?"
Wajah Hagan tampak kaku. Dua tangannya saling meremas. Jawaban untuk tanya barusan tidak bisa ia temukan. Yang jelas, ia yakin akan sangat marah bila Redrick berusaha menyakiti Liara.
"Jangan katakan apa-apa, pada siapa pun." Hagan akhirnya bersuara. Tak lama, wajah tegangnya dihiasi senyum. Liara sudah muncul di hadapan.
"Ayo pulang. Aku bosan di sini." Mengamit lengan lelaki itu, Liara mulai berjalan cepat.
Hagan memegangi lengan Liara untuk menariknya agar berhenti berjalan. "Tas pakaianmu."
Liara menepuk dahi. Berbalik untuk mengambil tas hitamnya dari perawat tadi.
Hagan mengambil tas itu dari Liara. Menggenggam pergelangan perempuan itu erat.
"Liara." Max menghampiri Liara, berdiri di depan perempuan itu seraya merogoh saku. Satu pisau lipat ia keluarkan dari sana untuk diberikan pada Liara.
"Apa ini?"
"Pisau."
Mengamati benda kecil itu, Liara tak paham. "Kenapa kau memberikan ini padaku?"
"Karena kau harus melindungi Hagan mulai sekarang." Ia tertawa setenang mungkin.
"Melindungi dari siapa? Kenapa?"
"Melindungi dia dari orang jahat. Karena kurasa, dia sudah punya kelemahan sekarang." Tersenyum penuh arti, Max menatapi Liara baik-baik. Sekarang presentasi itu bukan 51, tetapi sudah 55%.
Kesal, Hagan menarik rambut abu-abu sepupunya. "Orang jahat kepalamu. Kau harus mengobati diri sendiri mulai sekarang. Bicaramu asal."
Max merintih, berusaha melepaskan jerat jari Hagan dari helai rambut. "Usiamu sudah 34 tahun, Hagan! Masih suka menarik rambutku! Lepas, sialan! Aku ini dokter sekarang!"
"Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja."Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar.Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit.""Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah."Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara.Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya."Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan."Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham."Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, ada
"Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan."Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas."Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin."Salah siapa aku tidak bisa menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara."Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang t
"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara."Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang."Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri."Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara."Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya."Maniak," ejek Max."Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah.Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli.
Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telep
Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar. Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati. Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi. Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih. "Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk. "Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan. "Kau m
Langkah Hagan lebar dan terlihat tergesa melewati pintu kediaman Orlando. Pria itu tak peduli pada beberapa orang yang menunduk sekaligus menyapa. Lelaki itu buru-buru, perlu sesegera mungkin menuntaskan amarah.Orang yang dicarinya terlihat. Sedang duduk santai dengan segelas minuman merah di tangan. Tidak lagi berjalan, Hagan berlari menghampiri.Bukan rindu, Hagan menerjang cepat ke arah Redrick, semata-mata karena tinjunya sudah tidak sabar. "Sialan." Dingin dan tajam sapaan itu mengalun dari ulut Hagan. Bersamaan dengan tinju luma jari yang mendarat di pipi si adik tiri. Hagan berdiri tegak, sementara lawan sudah tersungkur ke atas sofa."Huft! Kau mengujiku rupanya." Hagan menggerakkan leher ke kanan dan kiri. Bersiap untuk aksi selanjutnya.Malam ini, Hagan sudah begitu baik meluangkan waktu untuk memberikan sedikit kejutan pada Redrick. Sayang sekali jika hanya satu pukulan, 'kan?
Turun dari mobilnya, Hagan dan Liara langsung disambut manager hotel. Karena sudah tahu maksud kedatangan Hagan, mereka segera diarahkan menuju lift.Dalam lift tersebut, Hagan tak henti mencuri lirik pada Liara yang hari ini menggunakan setelan santai. Jeans biru dengan atasan tank top hitam dilapisi kemeja flanel.Si pria memang heran mengapa dengan pakaian sederhana begitu, istrinya masing saja tampak cantik dan mengundang. Namun, bukan itu hanya itu penyebab mengapa sejak tadi ia menatapi Liara saksama.Sebelum mereka ke sini, karena Liara bilang ingin melihat pemandangan dari atas gedung tinggi, Hagan menyaksikan sesuatu yang berhasil membuatnya tidak senang.Saat tidur siang tadi, Liara bermimpi. Hagan yang memang sedang mendapat jahat libur melihat istrinya menangis dalam tidur.Tidak terisak, tetapi terasa amat pilu kala Hagan melihat sendiri bulir bening itu jatuh dari ujung mata Liara. Membuat si pria bertany
Baru saja menutup pintu mobil, Hagan menoleh pada istrinya yang memegangi lengan. Sedikit kuat cengkeraman tangan Liara itu."Aku perlu ke toilet." Liara menggigit bibir. Satu tangannya memegangi perut yang terasa mulas.Hagan turun lagi, membatalkan niatnya untuk segera pulang. "Apa makananmu tadi pedas sekali?""Sepertinya." Liara melompat dari mobil. Sudah akan berlari masuk ke dalam resto yang beberapa saat lalu ia datangi bersama Hagan, perempuan itu menoleh pada sang suami. "Aku hanya sebentar. Jangan suruh mereka mengikuti." Tunjuknya pada para pengawal yang sudah turun dari mobil satunya.Perutnya semakin melilit, perempuan itu berlari menuju toilet resto.Menghela napas saja, Hagan memutuskan tak memberi perintah apa-apa pada tiga pengawal Liara yang sudah siap sedia di samping mobil.Menunggu selama lima menit di depan resto, Hagan mulai cemas. Berulang kali ia menengok ke arah resto, tetap