Home / Romansa / Liara / Bab 6

Share

Bab 6

Author: Sinda
last update Huling Na-update: 2021-07-09 16:44:31

"Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja. 

"Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar. 

Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit." 

"Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah. 

"Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara. 

Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya. 

"Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan." 

Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham. 

"Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, adalah orang yang memiliki kemungkinan paling besar untuk mengkhianati. Karena itu, menyebut Max kenalan, aku berharap dia tidak akan menusukku dari belakang." 

Ada jeda beberapa saat untuk Liara bisa mencerna kalimat itu. Ia bahkan sampai harus berhenti makan sejenak. Setelah paham, ia menepuk bahu Hagan pelan. 

"Kau benar. Hidupmu rumit. Maaf, aku tidak tertarik untuk tahu lebih jauh." 

Tanggapan yang berhasil membuat Hagan mengulas senyum. Lebih baik seperti itu. Lebih baik untuk Liara. 

Usai makan, hagan mengikuti Liara yang katanya ingin duduk sebentar di ruang TV. Memandangi perempuan itu beberapa saat, Hagan mendekat dan membawa Liara dalam pelukan. 

"Kau sudah benar-benar sehat?" 

Pertanyaan yang bisa Liara mengerti. Perempuan itu berpindah duduk jadi di atas pangkuan Hagan. Kembali sibuk dengan tontonan. 

"Jawab aku. Jangan menggoda, jika kau masih merasa kurang sehat." Hagan menghidu aroma di tengkuk Liara. Dengan cepat hasratnya terkumpul di level mendesak. 

Liara memutar tubuh. Menetap mata dan bibir Hagan bergantian. Tingkahnya itu disambut Hagan dengan sebuah ciuman menggebu. 

Panas. Menggebu. Hagan ingin memberitahu betapa ia rindu pada Liara. 

"Jangan di sini." Liara yang bisa menebak akan sejauh apa kegiatan ini berhasil menginterupsi Hagan yang terus mendesakkan diri padanya. Perempuan itu hendak turun dari pangkuan Hagan, tetapi kaki lebih dahulu ditangkap. "Kau kuat menggendongku?" 

Hagan menuntun agar dua tungkai Liara menggantung di pinggang. Pria itu berdiri, kemudian berjalan menuju kamar mereka. "Aku bisa melakukan apa pun untukmu, Liara. Kau hanya perlu mengatakannya." 

***

Hagan sedang tidak rumah. Pria itu bilang akan mengurus sesuatu. Liara berpikir cepat, satu keputusan ia mabil. 

Perempuan itu akan pergi. Izin pada Hagan bisa dilakukan sambil jalan. 

Bersiap beberapa menit, Liara butuh waktu banyak untuk bisa memberi pengertian pada supir yang Hagan siapkan untuk mengantar. Perempuan itu tak perlu diantar. 

"Dengar. Aku jamin Hagan tidak akan marah padamu. Aku hanya sebentar dan tidak butuh kau antar. Mengerti? Jangan mendebatku lagi." 

Berlari, Liara meninggalkan kediaman Hagan. Perlu berjalan selama 20 menit untuk bisa mendapat taksi. Di taksi itu, Liara mulai memikirkan alasan yang tepat untuk nanti disuarakan pada orang yang akan ditemui. 

Berita bahwa Liara meninggalkan rumah Hagan terima setengah jam setelahnya. Liara sendiri yang menghubunginya. 

Marah? Tentu. Hagan uring-uringan membayangkan Liara seorang diri di luar sana. Parahnya, istrinya itu tak memberitahu pergi ke mana. 

"Kalian semua memang tidak becus!" murka pria itu pada supir dan beberapa penjaga rumah. 

Tak bisa melakukan apa-apa, ia berusaha menenangkan diri. "Jika terjadi sesuatu pada Liara, kalian semua bersiaplah pergi ke akhirat." Rahangnya mengeras mengatakan itu. 

***

Matahari sudah sepenuhnya tenggelam kala Hagan terbangun dari tidurnya. Dalam posisi duduk di sofa, ia menilik jam di dinding. 

"Liara sudah pulang?" 

Tiga pria di depannya yang sejak tadi berdiri semakin menunduk. Si supir bahkan sudah gemetar. 

Bangkit berdiri, seketika wajah Hagan diliputi kecemasan. Ia menghubungi nomor Liara. 

"Nomor yang Anda tuju--" 

Benda pipih itu Hagan lempar ke dinding, berubah bentuk menjadi kepingan di lantai. 

"Sialan! Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang harus kulakukan?!" 

Api amarah menyala-nyala di mata Hagan. Ponsel Liara tidak aktif. Sudah selarut ini, perempuan itu belum pulang. Sudah pasti Redrick sedang beraksi. 

Hagan sungguh menyesal sudah membiarkan Liara pergi seorang diri. Harusnya ia berusaha mencegah, meminta perempuan itu pulang. Atau, ia sendiri yang menyusul. 

"Berengsek!" Hagan membalik meja kaca di depannya. Napasnya terburu-buru. "Kalian bertiga, keluar sekarang juga!" 

Tak ada yang bisa dilakukan karena Hagan yakin Liara sudah ada di tangan Redrick, maka pria itu memilih mengurusi tiga orang bodoh yang berada di depan mata. 

Sebentar lagi, orangnya Redrick pasti menghubungi dan menawarkan kesepakatan atas keselamatan Liara. Hagan sudah menebak semua ini. Otak Redrcik memang hanya selicik dan sejahat itu. 

Di depan rumahnya, Hagan berdiri dengan sebilah pisau dapur di tangan. Di depan pria itu, menghadap pada tanaman hias hijau, tiga calon mangsanya berdiri gemetar. 

"Aku benar-benar akan mengirim kalian ke akhirat." 

Tak bisa Hagan bayangkan apa yang saat ini tengah Liara alami. Apa Redrick tengah memukuli perempuan itu? Atau .... 

Ia memejam. Seluruh tubuh terasa kaku membayangkan nasib Liara. Tak sabar ia menanti seseorang berlari menghampirinya dan memberitahu bahwa Redrick menghubungi. 

Pisau di tangan Hagan pegang dengan ibu jari dan telunjuk. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk melempar benda tajam itu ke arah tengkorak kepala salah satu pria di depan, saat dilihatnya sebuah mobil memasuki halaman rumah. 

Hagan mengenali mobil itu hingga tangannya kembali di sisi tubuh. Milik Max. Sedetik kemudian, pria itu menyeringai. Apa Max akhirnya memutuskan bekerja sama dengan Redrick? Si dokter datang untuk menjadi perantara? 

"Kau mau membunuh mereka?" Max mengelak lemparan pisau yang nyaris mengenai wajahnya. "Sialan." 

"Di mana Liara? Aku tidak akan mengampunimu, sungguh!" Napas cepat-cepat Hagan terhenti sejenak saat matanya mendapati sosok itu. Liara. 

Perempuan itu utuh. Tidak terluka. Tengah berjalan ke arahnya dengan dahi berlipat. Hagan bisa merasakan matanya panas. Pandangannya kabur oleh jejak genangan di sana. Dadanya yang semula terasa sakit dan sesak mulai membaik. 

Liara di sini. Di hadapannya. Dan perempuan itu baik-baik saja. 

Tiga pria di depan Hagan jatuh terduduk ke tanah. Memegangi dada masing-masing, mulut mereka bergerak-gerak mengucapkan rasa terima kasih. 

"Ada apa?" Liara yang baru saja bertanya ditarik Hagan ke dalam pelukan. "Kau kenapa?" Bisa perempuan itu rasakan detak jantung suaminya tidak normal. 

"Kau baik-baik saja? Kau terluka? Mereka melukaimu? Aku berjanji akan menghabisi mereka." Hagan mendekap tubuh Liara sekuat yang dibisa. Bertubi-tubi ia mencium puncak kepala Liara. 

"Siapa yang melukaiku? Siapa yang mau kau habisi?" 

Mengabaikan pertanyaan itu, Hagan berjalan cepat menuju Max. Satu tarikan, ia mencengkeram kerah kemeja si sepupu. "Akhirnya, kau memutuskan jadi pengkhianat?" Satu tinju mendarat di wajah muluas Max. 

"Hei! Apa maksudmu? Kenapa kau ingin membunuhku?" Max yang tersungkur berusaha menghindar dari Hagan yang tampak menyeramkan. Mata pria itu merah, penuh amarah. 

Hagan berhasil meraih Max. Berkali-kali ia memukul si sepupu. Liara yang menyaksikan itu berusaha menghentikan perkelahian yang didominasi suaminya. 

"Hagan! Kenapa kau memukulnya? Berhenti, Hagan!" Usaha Liara menjauhkan Hagan dari atas tubuh Max sia-sia. Perempuan itu terhempas ke belakang oleh tepisan kuat si aktor laga. 

"Kau ingin menyakiti Liara? Sejak dulu aku sudah menebak kau hanya kaki-tangan Redrick. Bajingan! Selama ini kau hanya berpura-pura padaku!" 

Melihat wajah penuh darah Max, Liara menghampiri Hagan sekali lagi. Memegangi lengan pria itu kuat, ia berusaha menarik. Sayang, tenaga tidak cukup kuat. Hempasan Hagan membuat Liara mundur jauh ke belakang, tak sengaja tersandung dan berakhir dengan kepala membentur bak keramik tanaman hias. 

"Nyonya!" 

Teriakan beberapa asisten rumah tangga menarik atensi Hagan. Saat menoleh, ia terperanjat. Liara sudah tersungkur di tanah. Perempuan itu memegangi pelipis. Ada cairan merah yang menetes dari tangan Liara. 

"Liara!" Hagan berlari ke sana. "Kau berdarah, Liara." Ia menjambak rambutnya sendiri. "Aku--aku melukaimu. A-aku melukaimu." 

Mendengar suara bergetar itu, Liara mengangkat wajahnya. Betapa ia terkejut akan raut pucat Hagan. 

"Aku melukaimu. Aku melukaimu. Aku akan membunuhmu. Aku akan menyakitimu." 

Seperti orang linglung, pria itu memukuli kepala. Tatapannya tak fokus. 

"Hagan!" Liara memegangi tangan si lelaki, menjauhkannya dari kepala. "Aku baik-baik saja. Lihat, aku baik-baik saja. Kau tidak sengaja mendorongku." 

Hagan meronta, hendak memukuli kepalanya lagi, Liara mendekap si pria erat. "Hagan!" Ia memanggil dengan suara keras. Meski dilanda kebingungan akan kekacauan yang ada, Liara berusaha menenangkan Hagan yang terlihat tidak baik. 

"Aku akan menyakitimu. Aku akan membuatmu mati." 

Itu bukan ancaman. Liara yakin itu ungkapan rasa takut. Namun, kenapa? Kenapa Hagan bereaksi begini? 

"Aku baik-baik saja. Hagan,lihat wajahku. Aku baik-baik saja." Mencoba tersenyum, Liara memegangi dua sisi wajah lelaki itu. 

"Kau berdarah. Aku akan menyakitimu. Kau akan terluka karenaku." Lelaki itu meronta, berusaha memukuli kepalanya lagi. 

"Hagan!" Mengerahkan seluruh tenaga untuk berteriak, Liara berhasil membuat Hagan terdiam. "Aku baik-baik saja! Berhenti seperti ini, kau membuatku takut!" Lekat ia tatapi dua mata pria itu. Perlahan, sorot di sana kembali tenang. 

Hagan menarik Liara untuk dipeluk. "Jangan takut. Aku di sini. Maafkan aku." Ia menatap nyalang pada Max yang terduduk tak jauh dari sana. 

Helaan napas lega terdengar dari mulut Liara. "Kau benar-benar membuatku takut, Hagan." 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Liara    Flashback Chapter (31 part 2)

    Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be

  • Liara    Bab 59

    Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka

  • Liara    Bab 58

    Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha

  • Liara    Bab 57

    Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia

  • Liara    Bab 56

    Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.

  • Liara    Bab 55

    Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j

  • Liara    Bab 54

    Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it

  • Liara    Bab 53

    Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 

  • Liara    Bab 52

    Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status