Share

Bab 6

"Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja. 

"Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar. 

Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit." 

"Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah. 

"Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara. 

Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya. 

"Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan." 

Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham. 

"Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, adalah orang yang memiliki kemungkinan paling besar untuk mengkhianati. Karena itu, menyebut Max kenalan, aku berharap dia tidak akan menusukku dari belakang." 

Ada jeda beberapa saat untuk Liara bisa mencerna kalimat itu. Ia bahkan sampai harus berhenti makan sejenak. Setelah paham, ia menepuk bahu Hagan pelan. 

"Kau benar. Hidupmu rumit. Maaf, aku tidak tertarik untuk tahu lebih jauh." 

Tanggapan yang berhasil membuat Hagan mengulas senyum. Lebih baik seperti itu. Lebih baik untuk Liara. 

Usai makan, hagan mengikuti Liara yang katanya ingin duduk sebentar di ruang TV. Memandangi perempuan itu beberapa saat, Hagan mendekat dan membawa Liara dalam pelukan. 

"Kau sudah benar-benar sehat?" 

Pertanyaan yang bisa Liara mengerti. Perempuan itu berpindah duduk jadi di atas pangkuan Hagan. Kembali sibuk dengan tontonan. 

"Jawab aku. Jangan menggoda, jika kau masih merasa kurang sehat." Hagan menghidu aroma di tengkuk Liara. Dengan cepat hasratnya terkumpul di level mendesak. 

Liara memutar tubuh. Menetap mata dan bibir Hagan bergantian. Tingkahnya itu disambut Hagan dengan sebuah ciuman menggebu. 

Panas. Menggebu. Hagan ingin memberitahu betapa ia rindu pada Liara. 

"Jangan di sini." Liara yang bisa menebak akan sejauh apa kegiatan ini berhasil menginterupsi Hagan yang terus mendesakkan diri padanya. Perempuan itu hendak turun dari pangkuan Hagan, tetapi kaki lebih dahulu ditangkap. "Kau kuat menggendongku?" 

Hagan menuntun agar dua tungkai Liara menggantung di pinggang. Pria itu berdiri, kemudian berjalan menuju kamar mereka. "Aku bisa melakukan apa pun untukmu, Liara. Kau hanya perlu mengatakannya." 

***

Hagan sedang tidak rumah. Pria itu bilang akan mengurus sesuatu. Liara berpikir cepat, satu keputusan ia mabil. 

Perempuan itu akan pergi. Izin pada Hagan bisa dilakukan sambil jalan. 

Bersiap beberapa menit, Liara butuh waktu banyak untuk bisa memberi pengertian pada supir yang Hagan siapkan untuk mengantar. Perempuan itu tak perlu diantar. 

"Dengar. Aku jamin Hagan tidak akan marah padamu. Aku hanya sebentar dan tidak butuh kau antar. Mengerti? Jangan mendebatku lagi." 

Berlari, Liara meninggalkan kediaman Hagan. Perlu berjalan selama 20 menit untuk bisa mendapat taksi. Di taksi itu, Liara mulai memikirkan alasan yang tepat untuk nanti disuarakan pada orang yang akan ditemui. 

Berita bahwa Liara meninggalkan rumah Hagan terima setengah jam setelahnya. Liara sendiri yang menghubunginya. 

Marah? Tentu. Hagan uring-uringan membayangkan Liara seorang diri di luar sana. Parahnya, istrinya itu tak memberitahu pergi ke mana. 

"Kalian semua memang tidak becus!" murka pria itu pada supir dan beberapa penjaga rumah. 

Tak bisa melakukan apa-apa, ia berusaha menenangkan diri. "Jika terjadi sesuatu pada Liara, kalian semua bersiaplah pergi ke akhirat." Rahangnya mengeras mengatakan itu. 

***

Matahari sudah sepenuhnya tenggelam kala Hagan terbangun dari tidurnya. Dalam posisi duduk di sofa, ia menilik jam di dinding. 

"Liara sudah pulang?" 

Tiga pria di depannya yang sejak tadi berdiri semakin menunduk. Si supir bahkan sudah gemetar. 

Bangkit berdiri, seketika wajah Hagan diliputi kecemasan. Ia menghubungi nomor Liara. 

"Nomor yang Anda tuju--" 

Benda pipih itu Hagan lempar ke dinding, berubah bentuk menjadi kepingan di lantai. 

"Sialan! Apa yang harus kulakukan sekarang? Apa yang harus kulakukan?!" 

Api amarah menyala-nyala di mata Hagan. Ponsel Liara tidak aktif. Sudah selarut ini, perempuan itu belum pulang. Sudah pasti Redrick sedang beraksi. 

Hagan sungguh menyesal sudah membiarkan Liara pergi seorang diri. Harusnya ia berusaha mencegah, meminta perempuan itu pulang. Atau, ia sendiri yang menyusul. 

"Berengsek!" Hagan membalik meja kaca di depannya. Napasnya terburu-buru. "Kalian bertiga, keluar sekarang juga!" 

Tak ada yang bisa dilakukan karena Hagan yakin Liara sudah ada di tangan Redrick, maka pria itu memilih mengurusi tiga orang bodoh yang berada di depan mata. 

Sebentar lagi, orangnya Redrick pasti menghubungi dan menawarkan kesepakatan atas keselamatan Liara. Hagan sudah menebak semua ini. Otak Redrcik memang hanya selicik dan sejahat itu. 

Di depan rumahnya, Hagan berdiri dengan sebilah pisau dapur di tangan. Di depan pria itu, menghadap pada tanaman hias hijau, tiga calon mangsanya berdiri gemetar. 

"Aku benar-benar akan mengirim kalian ke akhirat." 

Tak bisa Hagan bayangkan apa yang saat ini tengah Liara alami. Apa Redrick tengah memukuli perempuan itu? Atau .... 

Ia memejam. Seluruh tubuh terasa kaku membayangkan nasib Liara. Tak sabar ia menanti seseorang berlari menghampirinya dan memberitahu bahwa Redrick menghubungi. 

Pisau di tangan Hagan pegang dengan ibu jari dan telunjuk. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk melempar benda tajam itu ke arah tengkorak kepala salah satu pria di depan, saat dilihatnya sebuah mobil memasuki halaman rumah. 

Hagan mengenali mobil itu hingga tangannya kembali di sisi tubuh. Milik Max. Sedetik kemudian, pria itu menyeringai. Apa Max akhirnya memutuskan bekerja sama dengan Redrick? Si dokter datang untuk menjadi perantara? 

"Kau mau membunuh mereka?" Max mengelak lemparan pisau yang nyaris mengenai wajahnya. "Sialan." 

"Di mana Liara? Aku tidak akan mengampunimu, sungguh!" Napas cepat-cepat Hagan terhenti sejenak saat matanya mendapati sosok itu. Liara. 

Perempuan itu utuh. Tidak terluka. Tengah berjalan ke arahnya dengan dahi berlipat. Hagan bisa merasakan matanya panas. Pandangannya kabur oleh jejak genangan di sana. Dadanya yang semula terasa sakit dan sesak mulai membaik. 

Liara di sini. Di hadapannya. Dan perempuan itu baik-baik saja. 

Tiga pria di depan Hagan jatuh terduduk ke tanah. Memegangi dada masing-masing, mulut mereka bergerak-gerak mengucapkan rasa terima kasih. 

"Ada apa?" Liara yang baru saja bertanya ditarik Hagan ke dalam pelukan. "Kau kenapa?" Bisa perempuan itu rasakan detak jantung suaminya tidak normal. 

"Kau baik-baik saja? Kau terluka? Mereka melukaimu? Aku berjanji akan menghabisi mereka." Hagan mendekap tubuh Liara sekuat yang dibisa. Bertubi-tubi ia mencium puncak kepala Liara. 

"Siapa yang melukaiku? Siapa yang mau kau habisi?" 

Mengabaikan pertanyaan itu, Hagan berjalan cepat menuju Max. Satu tarikan, ia mencengkeram kerah kemeja si sepupu. "Akhirnya, kau memutuskan jadi pengkhianat?" Satu tinju mendarat di wajah muluas Max. 

"Hei! Apa maksudmu? Kenapa kau ingin membunuhku?" Max yang tersungkur berusaha menghindar dari Hagan yang tampak menyeramkan. Mata pria itu merah, penuh amarah. 

Hagan berhasil meraih Max. Berkali-kali ia memukul si sepupu. Liara yang menyaksikan itu berusaha menghentikan perkelahian yang didominasi suaminya. 

"Hagan! Kenapa kau memukulnya? Berhenti, Hagan!" Usaha Liara menjauhkan Hagan dari atas tubuh Max sia-sia. Perempuan itu terhempas ke belakang oleh tepisan kuat si aktor laga. 

"Kau ingin menyakiti Liara? Sejak dulu aku sudah menebak kau hanya kaki-tangan Redrick. Bajingan! Selama ini kau hanya berpura-pura padaku!" 

Melihat wajah penuh darah Max, Liara menghampiri Hagan sekali lagi. Memegangi lengan pria itu kuat, ia berusaha menarik. Sayang, tenaga tidak cukup kuat. Hempasan Hagan membuat Liara mundur jauh ke belakang, tak sengaja tersandung dan berakhir dengan kepala membentur bak keramik tanaman hias. 

"Nyonya!" 

Teriakan beberapa asisten rumah tangga menarik atensi Hagan. Saat menoleh, ia terperanjat. Liara sudah tersungkur di tanah. Perempuan itu memegangi pelipis. Ada cairan merah yang menetes dari tangan Liara. 

"Liara!" Hagan berlari ke sana. "Kau berdarah, Liara." Ia menjambak rambutnya sendiri. "Aku--aku melukaimu. A-aku melukaimu." 

Mendengar suara bergetar itu, Liara mengangkat wajahnya. Betapa ia terkejut akan raut pucat Hagan. 

"Aku melukaimu. Aku melukaimu. Aku akan membunuhmu. Aku akan menyakitimu." 

Seperti orang linglung, pria itu memukuli kepala. Tatapannya tak fokus. 

"Hagan!" Liara memegangi tangan si lelaki, menjauhkannya dari kepala. "Aku baik-baik saja. Lihat, aku baik-baik saja. Kau tidak sengaja mendorongku." 

Hagan meronta, hendak memukuli kepalanya lagi, Liara mendekap si pria erat. "Hagan!" Ia memanggil dengan suara keras. Meski dilanda kebingungan akan kekacauan yang ada, Liara berusaha menenangkan Hagan yang terlihat tidak baik. 

"Aku akan menyakitimu. Aku akan membuatmu mati." 

Itu bukan ancaman. Liara yakin itu ungkapan rasa takut. Namun, kenapa? Kenapa Hagan bereaksi begini? 

"Aku baik-baik saja. Hagan,lihat wajahku. Aku baik-baik saja." Mencoba tersenyum, Liara memegangi dua sisi wajah lelaki itu. 

"Kau berdarah. Aku akan menyakitimu. Kau akan terluka karenaku." Lelaki itu meronta, berusaha memukuli kepalanya lagi. 

"Hagan!" Mengerahkan seluruh tenaga untuk berteriak, Liara berhasil membuat Hagan terdiam. "Aku baik-baik saja! Berhenti seperti ini, kau membuatku takut!" Lekat ia tatapi dua mata pria itu. Perlahan, sorot di sana kembali tenang. 

Hagan menarik Liara untuk dipeluk. "Jangan takut. Aku di sini. Maafkan aku." Ia menatap nyalang pada Max yang terduduk tak jauh dari sana. 

Helaan napas lega terdengar dari mulut Liara. "Kau benar-benar membuatku takut, Hagan." 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status