Share

Bab 4

"Pilih saja yang kau suka." Hagan memegangi dua bahu Liara dari belakang. Menghadapkan perempuan itu pada rak sepatu. 

Hari ini, sebagai suami yang baik, Hagan mengajak Liara pergi belanja. Kebetulan jadwal Hagan mengontrol toko-toko cake-nya sudah selesai sore tadi. 

Menatapi jejeran high heels cantik dan terlihat mahal itu sebentar, Liara menoleh ke belakang. Tepat di luar toko yang ia dan si lelaki datangi, berdiri lebih dari lima orang bertubuh tegap dengan seragam hitam. 

Mereka itu bodyguardnya Hagan. Liara baru tahu jika lelaki itu menggunakan jasa pengamanan jika akan keluar rumah. 

"Kenapa kau berlebihan sekali? Haruskah mereka menjagamu? Kau ini siapa? Katamu kau itu hanya pemilik beberapa toko roti, kafe dan makanan pinggir jalan. Pengamananmu melebih pejabat negara." Liara menyuarakan rasa tidak nyamannya. 

"Mereka di sana untuk menjagamu. Kalau kau hilang, aku yang susah." Hagan membalas dengan candaan. Pria itu berhasil mencuri satu ciuman dari bibir istrinya yang maju satu senti. 

"Aku mau pulang saja. Hari ini jadwalku memasak makan malam." Liara yang hendak berjalan ditahan oleh Hagan. 

"Jangan seperti itu. Minimal belilah satu. Aku meluangkan waktu untuk menemanimu. Kau pulang dengan tangan kosong, aku sungguh kecewa." Pria beralis tebal itu dengan sengaja memasang wajah sedih. 

Agaknya trik tersebut berhasil, karena Liara terdengar menghela napas. 

"Aku mau sneaker. Aku tidak suka high heels." 

Sepanjang mereka di toko, Liara yang mencuri lihat pada para bodyguard itu benar-benar dibuat tak suka. Pria-pria itu terus mengawasinya dan Hagan. Membuat Liara tak nyaman karena terus dipandangi. 

"Sebenarnya, untuk apa semua penjaga itu?" Sekali lagi si perempuan bertanya. Kali ini saat mereka sudah mengantre untuk membayar belanjaan. 

"Tentu saja untuk menjaga. Siapa yang tahu ada orang jahat di dekat sini dan mereka ingin melenyapkanku." Berdiri di belakang si istri, pria itu menyandarkan dagu di bahu Liara. 

"Apa untungnya mereka melenyapkanmu?" 

"Banyak. Aku ini tampan, kaya raya. Mungkin ada yang merasa tersaingi akan kehadiranku?" Lelaki itu menegakkan tubuh, membuka kedua lengannya. Berdiri layaknya model. 

Liara menggeleng dengan dahi mengernyit. "Dan berlebihan. Mulai sekarang, aku akan menyebutmu Tuan Berlebihan." 

*** 

Setibanya mereka di rumah, Liara segera menuju dapur. Menyiapkan menu makan malam yang sudah ia rencanakan  sejak dua hari lalu. Tumis bayam dengan udang. 

Tepat saat Hagan muncul di ruang makan setelah mandi, makanan Liara pun siap. Berseri-seri, perempuan itu menyajikannya di meja. 

"Kau boleh makan duluan. Aku perlu ganti pakaian sebentar." Liara pamit ke kamar. Mengganti blouse hijaunya dengan dress putih selutut. Menatap pantulan dirinya di cermin, sorot dingin yang selama ini Liara sembunyikan tampak. 

"Selamat tinggal. Matilah dengan tenang." 

Hagan yang melihat penampilan istrinya berdecak kagum di kursi makan. Bagaimana bisa gaun sederhana tanpa hiasan mutiara atau payet itu membungkus tubuh ramping Liara begitu bagus. Manis, hangat dan juga cantik. 

"Jangan terus menatapiku. Makan makananmu." Liara mengambil tumis bayamnya. Udang di sana ia taruh di piring sebanyak mungkin, 

"Makanan ini tidak tampak enak lagi. Aku lebih ingin memakan yang lain." Hagan menopang dagu dengan dua tangan. Tak memalingkan wajah sedikit pun. 

Liara tersenyum. Ditatapnya Hagan lekat. "Terima kasih banyak. Sungguh." 

Si lelaki tertegun. Serta-merta hangat menjalar di hati. 

"Aku sangat beruntung karena sudah bertemu denganmu. Semoga kau selalu sehat." Liara mulai memakan makananya. 

Menguasai diri, Hagan berusaha tersenyum. "Kau sedang berusaha membuatku jatuh cinta, ya?" 

"Kenapa?" Liara terbatuk. Ia meneguk air banyak-banyak, kemudian melanjutkan makan. 

"Kau cantik sekali malam ini. Ditambah, kau mengucapkan terima kasih dengan cara paling manis yang pernah kudengar." Dan terasa amat tulus, sambung Hagan dalam hati. 

Lagi, si istri tersenyum. Matanya tampak memerah. "Makanlah." 

Beberapa saat berlalu, saat piring mereka sudah kosong, Hagan menghampiri Liara. Memeluk perempuan itu seraya berjalan menuju halaman belakang. 

"Kau ada rencana besok?" 

Liara menggeleng. Jalur udara masuk serasa menyempit. Bulir-bulir keringat memenuhi dahinya. 

"Bagaimana jika seharian di kamar? Aku--Liara!" 

Hagan merasa jantungnya nyaris lepas. Tubuh Liara tumbang, beruntung bisa ia tangkap. Mata perempuan itu pelan-pelan terpejam, wajah cantik tadi menjadi pucat-pasi. 

"Liara?!" 

Liara merasakan dirinya semakin sulit bernapas. Semua berputar-putar. Ia tak sanggup untuk membuka mata. 

"Panggilkan dokter! Tidak, tidak. Mobil! Siapkan mobil, aku harus ke rumah sakit!" Tergopoh-gopoh Hagan menggendong istrinya menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Ia terus memanggil nama si istri. Berharap perempuan itu membuka mata dan menjawab. 

"Liara? Apa yang terjadi padamu? Liara? Kau bisa mendengarku?" 

Di dalam mobil yang melaju sekencang yang dibisa, Hagan merasakan ketakutan melingkupi. Pria itu tak bisa berpikir. Jantungnya seperti diremas kencang menyaksikan Liara tampak kesulitan bernapas. 

"Liara? Kumohon jawab aku. Jangan seperti ini. Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu?" Pria itu mendekap perempuan dalam pangkuan. Tiba-tiba saja ia sangat takut kehilangan. 

"Ha--Hagan." 

Hagan mengusap wajah pucat itu. "Aku di sini. Kumohon bertahanlah. Kita hampir sampai." 

Liara menggeleng pelan. Bibirnya berusaha tersenyum. Perlahan, mata itu tertutup sepenuhnya. 

"Tidak, Liara! Tidak! Liara!" 

*** 

Liara keracunan. Menurut dokter, itu udang. Liara sepertinya punya alergi pada udang. 

Hagan sempat menjelaskan, bahwa Liaralah yang memasak makan malam mereka. Bagaimana mungkin perempuan itu sengaja mengolah udang. 

"Mungkin, dia tidak tahu dia alergi pada udang." Max, dokter dengan rambut berwarna Grey itu menjelaskan pada Hagan seraya mengecek selang infus. 

Hagan yang duduk lemas di kursi samping ranjang Liara mengeratkan genggaman pada tangan si istri. "Aku bingung," tuturnya pelan. 

"Bingung? Soal?" Max ikut duduk. Menyimpan dua tangan di saku jas putihnya, menatapi perempuan yang ada di hadapan. 

"Kenapa dia memasak udang?" 

Tepat setelah kalimat Hagan rampung, Liara terlihat membuka mata. Perempuan itu sadar, segera melempar senyum pada si suami. 

"Kau tidak cantik. Sungguh," komentar Hagan. Ia mencium telapak tangan Liara. Lega sekali. 

"Aku masih hidup? Kukira aku akan mati tadi. Aku tidak bisa bernapas." Liara memejam. Menenangkan diri. 

"Kau alergi udang. Kenapa kau memasak udang?" 

Mata Liara membuka lagi. Ia menatapi Hagan. "Aku alergi udang? Sungguh? Ah, padahal udang adalah makanan yang sangat ingin kucoba saat sudah punya uang." 

Max menoleh pada Hagan. "Pertanyaanmu sudah terjawab," katanya. 

"Kau tidak pernah makan udang sebelum ini?" Hagan bertanya sungguh. 

Kepala Liara bergerak ke kanan dan kiri. "Kau lupa bertemu denganku di mana?" 

Hagan mulai meyakini itu. "Kau merasa lebih baik sekarang?' 

"Sedikit pusing dan mual." 

"Sebentar lagi akan hilang. Kau sudah kuberi obat." Max menyahut. Mendapat atensi Liara, ia memperkenalkan diri. Tangannya terulur ke depan. "Aku Max. Kenalannya Hagan yang sangat penasaran padamu." 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Potato Peach
waww ku kira liara sengaja mau bunuh diri
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status