Hari ini, sebagai suami yang baik, Hagan mengajak Liara pergi belanja. Kebetulan jadwal Hagan mengontrol toko-toko cake-nya sudah selesai sore tadi.
Menatapi jejeran high heels cantik dan terlihat mahal itu sebentar, Liara menoleh ke belakang. Tepat di luar toko yang ia dan si lelaki datangi, berdiri lebih dari lima orang bertubuh tegap dengan seragam hitam.
Mereka itu bodyguardnya Hagan. Liara baru tahu jika lelaki itu menggunakan jasa pengamanan jika akan keluar rumah.
"Kenapa kau berlebihan sekali? Haruskah mereka menjagamu? Kau ini siapa? Katamu kau itu hanya pemilik beberapa toko roti, kafe dan makanan pinggir jalan. Pengamananmu melebih pejabat negara." Liara menyuarakan rasa tidak nyamannya.
"Mereka di sana untuk menjagamu. Kalau kau hilang, aku yang susah." Hagan membalas dengan candaan. Pria itu berhasil mencuri satu ciuman dari bibir istrinya yang maju satu senti.
"Aku mau pulang saja. Hari ini jadwalku memasak makan malam." Liara yang hendak berjalan ditahan oleh Hagan.
"Jangan seperti itu. Minimal belilah satu. Aku meluangkan waktu untuk menemanimu. Kau pulang dengan tangan kosong, aku sungguh kecewa." Pria beralis tebal itu dengan sengaja memasang wajah sedih.
Agaknya trik tersebut berhasil, karena Liara terdengar menghela napas.
"Aku mau sneaker. Aku tidak suka high heels."
Sepanjang mereka di toko, Liara yang mencuri lihat pada para bodyguard itu benar-benar dibuat tak suka. Pria-pria itu terus mengawasinya dan Hagan. Membuat Liara tak nyaman karena terus dipandangi.
"Sebenarnya, untuk apa semua penjaga itu?" Sekali lagi si perempuan bertanya. Kali ini saat mereka sudah mengantre untuk membayar belanjaan.
"Tentu saja untuk menjaga. Siapa yang tahu ada orang jahat di dekat sini dan mereka ingin melenyapkanku." Berdiri di belakang si istri, pria itu menyandarkan dagu di bahu Liara.
"Apa untungnya mereka melenyapkanmu?"
"Banyak. Aku ini tampan, kaya raya. Mungkin ada yang merasa tersaingi akan kehadiranku?" Lelaki itu menegakkan tubuh, membuka kedua lengannya. Berdiri layaknya model.
Liara menggeleng dengan dahi mengernyit. "Dan berlebihan. Mulai sekarang, aku akan menyebutmu Tuan Berlebihan."
***Setibanya mereka di rumah, Liara segera menuju dapur. Menyiapkan menu makan malam yang sudah ia rencanakan sejak dua hari lalu. Tumis bayam dengan udang.
Tepat saat Hagan muncul di ruang makan setelah mandi, makanan Liara pun siap. Berseri-seri, perempuan itu menyajikannya di meja.
"Kau boleh makan duluan. Aku perlu ganti pakaian sebentar." Liara pamit ke kamar. Mengganti blouse hijaunya dengan dress putih selutut. Menatap pantulan dirinya di cermin, sorot dingin yang selama ini Liara sembunyikan tampak.
"Selamat tinggal. Matilah dengan tenang."
Hagan yang melihat penampilan istrinya berdecak kagum di kursi makan. Bagaimana bisa gaun sederhana tanpa hiasan mutiara atau payet itu membungkus tubuh ramping Liara begitu bagus. Manis, hangat dan juga cantik.
"Jangan terus menatapiku. Makan makananmu." Liara mengambil tumis bayamnya. Udang di sana ia taruh di piring sebanyak mungkin,
"Makanan ini tidak tampak enak lagi. Aku lebih ingin memakan yang lain." Hagan menopang dagu dengan dua tangan. Tak memalingkan wajah sedikit pun.
Liara tersenyum. Ditatapnya Hagan lekat. "Terima kasih banyak. Sungguh."
Si lelaki tertegun. Serta-merta hangat menjalar di hati.
"Aku sangat beruntung karena sudah bertemu denganmu. Semoga kau selalu sehat." Liara mulai memakan makananya.
Menguasai diri, Hagan berusaha tersenyum. "Kau sedang berusaha membuatku jatuh cinta, ya?"
"Kenapa?" Liara terbatuk. Ia meneguk air banyak-banyak, kemudian melanjutkan makan.
"Kau cantik sekali malam ini. Ditambah, kau mengucapkan terima kasih dengan cara paling manis yang pernah kudengar." Dan terasa amat tulus, sambung Hagan dalam hati.
Lagi, si istri tersenyum. Matanya tampak memerah. "Makanlah."
Beberapa saat berlalu, saat piring mereka sudah kosong, Hagan menghampiri Liara. Memeluk perempuan itu seraya berjalan menuju halaman belakang.
"Kau ada rencana besok?"
Liara menggeleng. Jalur udara masuk serasa menyempit. Bulir-bulir keringat memenuhi dahinya.
"Bagaimana jika seharian di kamar? Aku--Liara!"
Hagan merasa jantungnya nyaris lepas. Tubuh Liara tumbang, beruntung bisa ia tangkap. Mata perempuan itu pelan-pelan terpejam, wajah cantik tadi menjadi pucat-pasi.
"Liara?!"
Liara merasakan dirinya semakin sulit bernapas. Semua berputar-putar. Ia tak sanggup untuk membuka mata.
"Panggilkan dokter! Tidak, tidak. Mobil! Siapkan mobil, aku harus ke rumah sakit!" Tergopoh-gopoh Hagan menggendong istrinya menuju mobil yang sudah terparkir di depan rumah. Ia terus memanggil nama si istri. Berharap perempuan itu membuka mata dan menjawab.
"Liara? Apa yang terjadi padamu? Liara? Kau bisa mendengarku?"
Di dalam mobil yang melaju sekencang yang dibisa, Hagan merasakan ketakutan melingkupi. Pria itu tak bisa berpikir. Jantungnya seperti diremas kencang menyaksikan Liara tampak kesulitan bernapas.
"Liara? Kumohon jawab aku. Jangan seperti ini. Kau kenapa? Apa yang terjadi padamu?" Pria itu mendekap perempuan dalam pangkuan. Tiba-tiba saja ia sangat takut kehilangan.
"Ha--Hagan."
Hagan mengusap wajah pucat itu. "Aku di sini. Kumohon bertahanlah. Kita hampir sampai."
Liara menggeleng pelan. Bibirnya berusaha tersenyum. Perlahan, mata itu tertutup sepenuhnya.
"Tidak, Liara! Tidak! Liara!"
***
Liara keracunan. Menurut dokter, itu udang. Liara sepertinya punya alergi pada udang.
Hagan sempat menjelaskan, bahwa Liaralah yang memasak makan malam mereka. Bagaimana mungkin perempuan itu sengaja mengolah udang.
"Mungkin, dia tidak tahu dia alergi pada udang." Max, dokter dengan rambut berwarna Grey itu menjelaskan pada Hagan seraya mengecek selang infus.
Hagan yang duduk lemas di kursi samping ranjang Liara mengeratkan genggaman pada tangan si istri. "Aku bingung," tuturnya pelan.
"Bingung? Soal?" Max ikut duduk. Menyimpan dua tangan di saku jas putihnya, menatapi perempuan yang ada di hadapan.
"Kenapa dia memasak udang?"
Tepat setelah kalimat Hagan rampung, Liara terlihat membuka mata. Perempuan itu sadar, segera melempar senyum pada si suami.
"Kau tidak cantik. Sungguh," komentar Hagan. Ia mencium telapak tangan Liara. Lega sekali.
"Aku masih hidup? Kukira aku akan mati tadi. Aku tidak bisa bernapas." Liara memejam. Menenangkan diri.
"Kau alergi udang. Kenapa kau memasak udang?"
Mata Liara membuka lagi. Ia menatapi Hagan. "Aku alergi udang? Sungguh? Ah, padahal udang adalah makanan yang sangat ingin kucoba saat sudah punya uang."
Max menoleh pada Hagan. "Pertanyaanmu sudah terjawab," katanya.
"Kau tidak pernah makan udang sebelum ini?" Hagan bertanya sungguh.
Kepala Liara bergerak ke kanan dan kiri. "Kau lupa bertemu denganku di mana?"
Hagan mulai meyakini itu. "Kau merasa lebih baik sekarang?'
"Sedikit pusing dan mual."
"Sebentar lagi akan hilang. Kau sudah kuberi obat." Max menyahut. Mendapat atensi Liara, ia memperkenalkan diri. Tangannya terulur ke depan. "Aku Max. Kenalannya Hagan yang sangat penasaran padamu."
"Sebenarnya aku ini sepupunya Hagan."Sore itu, Max berhasil memanfaatkan kesempatan--Hagan pulang untuk berganti pakaian.Selama Liara dirawat, tiga hari penuh Hagan tak meninggalkan perempuan itu barang sedetik. Membuat Max kelimpungan untuk mencari celah demi bisa melampiaskan rasa penasaran."Sepupu?" Di atas ranjangnya, Liara mengernyitkan dahi. "Kata Hagan kalian kenalan." Ia juga ingat perjumpaan pertama dengan Max kemarin. Pria itu juga menyebut diri sebagai kenalan.Pria berambut abu-abu itu mengangguk. "Jadi, biarkan aku bertanya beberapa hal padamu."Max memulai. Pertama ia ingin memvalidasi bahwa benar Liara adalah istri Hagan. Si perempuan mengamini, Max terperangah."Kenapa bisa?" tanya pria itu dengan suara tidak santai.Mana bisa Max bersikap tenang. Selama yang ia kenal, Hagan bukanlah pria seperti pada umumnya. Maksudnya, lelaki itu norma
"Dari mana kau tahu Max sepupuku?" Pertanyaan itu terlontar saat Hagan sedang menyiapkan makan makan untuk Liara di meja."Dia yang memberitahu. Kenapa kau menyebut sepupumu kenalan? kau memang tidak ingin mengenalkan kerabatmu padaku?" Liara menatap senang pada hidangan di depan mata. Sesuai permintaannya, hari ini menu santapan sederhana, sup ikan dan telur dadar.Hagan meletakkan sendok. Ini sedikit rumit.""Tidak masalah jika tak ingin cerita," kata Liara sebelum mengunyah."Hubunganku dengan mereka, keluargaku, tidak begitu baik." Hagan memulai. Entah kenapa ia merasa bukan masalah untuk bercerita sedikit pada Liara.Si perempuan mengangguk. Menanti cerita selanjutnya."Satu-satunya yang dekat denganku adalah Max. Karena itu aku lebih suka menyebutnya kenalan."Ada kerutan samar di dahi Liara. Tidak paham."Terkadang, orang yang kita pikir bisa dipercaya, kerabat sendiri, ada
"Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan."Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas."Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin."Salah siapa aku tidak bisa menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara."Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang t
"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara."Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang."Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri."Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara."Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya."Maniak," ejek Max."Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah.Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli.
Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telep
Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar. Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati. Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi. Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih. "Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk. "Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan. "Kau m
Langkah Hagan lebar dan terlihat tergesa melewati pintu kediaman Orlando. Pria itu tak peduli pada beberapa orang yang menunduk sekaligus menyapa. Lelaki itu buru-buru, perlu sesegera mungkin menuntaskan amarah.Orang yang dicarinya terlihat. Sedang duduk santai dengan segelas minuman merah di tangan. Tidak lagi berjalan, Hagan berlari menghampiri.Bukan rindu, Hagan menerjang cepat ke arah Redrick, semata-mata karena tinjunya sudah tidak sabar. "Sialan." Dingin dan tajam sapaan itu mengalun dari ulut Hagan. Bersamaan dengan tinju luma jari yang mendarat di pipi si adik tiri. Hagan berdiri tegak, sementara lawan sudah tersungkur ke atas sofa."Huft! Kau mengujiku rupanya." Hagan menggerakkan leher ke kanan dan kiri. Bersiap untuk aksi selanjutnya.Malam ini, Hagan sudah begitu baik meluangkan waktu untuk memberikan sedikit kejutan pada Redrick. Sayang sekali jika hanya satu pukulan, 'kan?
Turun dari mobilnya, Hagan dan Liara langsung disambut manager hotel. Karena sudah tahu maksud kedatangan Hagan, mereka segera diarahkan menuju lift.Dalam lift tersebut, Hagan tak henti mencuri lirik pada Liara yang hari ini menggunakan setelan santai. Jeans biru dengan atasan tank top hitam dilapisi kemeja flanel.Si pria memang heran mengapa dengan pakaian sederhana begitu, istrinya masing saja tampak cantik dan mengundang. Namun, bukan itu hanya itu penyebab mengapa sejak tadi ia menatapi Liara saksama.Sebelum mereka ke sini, karena Liara bilang ingin melihat pemandangan dari atas gedung tinggi, Hagan menyaksikan sesuatu yang berhasil membuatnya tidak senang.Saat tidur siang tadi, Liara bermimpi. Hagan yang memang sedang mendapat jahat libur melihat istrinya menangis dalam tidur.Tidak terisak, tetapi terasa amat pilu kala Hagan melihat sendiri bulir bening itu jatuh dari ujung mata Liara. Membuat si pria bertany