"Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.
Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan.
"Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas.
"Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin.
"Salah siapa aku tidak bisa menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara.
"Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.
Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang terlambat karena ponsel mati kehabisan daya.
Perempuan itu bertemu Max di jalan, menerima tawaran tumpangan dan menyebabkan Hagan salah paham.
"Maafkan aku, Max. Sungguh." Liara menatap iba pada pria itu. Wajahnya yang tampan babak belur karena Hagan.
"Bukan salahmu, Sayang."
"Mana pisauku tadi." Hagan dicegah Liara berdiri. "Berhenti memanggilnya seperti itu." Ia menunjuk penuh ancaman pada Max.
"Tidak akan," bantah Max yakin. "Kau tidak akan bisa melarangku untuk yang satu ini. Mulai hari ini aku akan memanggil Liara begitu." Sungguh-sungguh Max berucap.
"Berhati-hatilah," balas Hagan.
***
Hagan keluar dari kamarnya sekitar pukul dua dini hari. Pria itu hanya melirik pada Max yang masih duduk di ruang TV. Si sepupu meminta kompensasi dari luka-lukanya dengan menginap beberapa hari di sini.
"Perlu obatmu?" Max buka suara lebih dulu.
"Aku masih punya." Hagan menatapi ponsel. Fokus di sana beberapa saat, kemudian menyadari dirinya tengah ditatapi si sepupu.
"Liara." Kembali si rambut abu-abu menyebut nama itu dengan nada yakin. "Dia memang berbeda."
Hagan menyandarkan kepala ke sofa. Menatapi layar TV yang gelap. Pikirannya berkelana.
"Aku suka caranya memanggil namamu. Tidak ada rasa takut, sedikit mendominasi, tapi penuh perasaan." Max mengungkit apa yang ia lihat tadi. Saat Liara menyadarkan Hagan hanya dengan meneriakkan nama sepupunya itu.
"Aku juga." Hagan berucap pelan.
Dua pria itu sama-sama terkejut hari ini. Untuk pertama kalinya Hagan bisa ditenangkan tanpa harus memberinya obat tidur. Liara hanya menyebut nama pria itu dan Hagan kembali bisa menguasai diri.
"Jadi, bagaimana? Dia akan semakin terancam sekarang. Redrick tak akan tinggal diam saat tahu rivalnya akhirnya punya kelemahan."
Pria satunya memejam. "Aku tahu, berengsek." Itulah mengapa tadi Hagan pergi untuk menemui Farhan. Salah satu kenalannya di bidang jasa penyedia pengawal. Hagan langsung mempekerjakan lima orang hanya untuk Liara.
"Aku masih penasaran. Kenapa Liara? Di mana kau bertemu dengannya? Apa selama ini kau menyembunyikannya dariku juga?" Max mencoba mengorek informasi. Tidak mungkin Hagan mengenal Liara baru sebentar. Melihat seberapa kuatnya pengaruh perempuan itu pada si sepupu.
"Aku juga tidak tahu. Awalnya aku hanya ingin menjadikannya pengganti Jesi." Siapa sangka di pagi harinya Hagan malah ingin memiliki Liara seutuhnya. Mengikat hubungan mereka dalam sebuah pernikahan, lupa sejenak pada Redrick yang masih terobsesi melenyapkannya.
Si lawan bicara menjentikkan jari. "Cinta. Seratus persen!"
Hagan tak membalas. Ia masih memejam dan sibuk dengan pikiran sendiri. Pria itu bahkan hampir tertidur saat suara Max kembali terdengar.
"Kau tahu Liara memberikan semua uangnya pada adiknya?"
Mata Hagan terbuka. Ia ingat pembicaraan singkat mereka di hotel waktu itu. Pria itu mengangguk.
"Adik tirinya." Max tersenyum. "Istrimu itu sedikit gila, kupikir. Untuk apa dia membiayai adik tirinya, menghidupi orang tua tirinya yang pernah mengusirnya dari rumah."
Hagan menegakkan punggung. Tanpa sadar tangannya mengepal. "Dari mana kau tahu? Berusaha membohongiku?"
Kepala Max menggeleng. "Aku mengorek sedikit cerita saat perjalanan pulang."
Darah Hagan membeku mendengar itu. Untuk apa Liara melakukan semua itu? Jadi, perempuan itu menjual diri padanya, bersedia dijadikan istri demi orang tua tiri yang jahat tadi?
"Dia benar-benar gila," komentar Hagan seraya berusaha memahami. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, otak tak kunjung bisa mengerti.
"Dia orang paling bodoh yang pernah kutemui. Karena itu, mulai hari ini aku akan memanggilnya Liara Sayang."
Kali itu Hagan tak mendebat. Pria itu lebih ingin memikirkan apa motif Liara melakukan semua pengorbanan itu.
***
"Pergilah dari sini. Kau merusak pemandangan."
Sepulangnya dari kegiatan mengontrol toko-tokonya, Hagan berdecak tak senang saat disuguhi kehadiran Max di ruang tamu.
Pria itu melempar tubuh ke sofa. "Di mana Liara?" tanyanya pada salah seorang asisten rumah tangga yang mengantar teh.
"Sejak tadi Nyonya di kamar, Tuan."
"Sejak kapan?"
Max mengedikkan bahu melihat tingkah si sepupu. Sejak kapan seperhatian itu pada orang lain?
"Permisi, Tuan. Seorang kurir datang membawakan pesanan Nyonya." Salah seorang pegawai lagi datang menghampiri Hagan ke ruang tamu. Dua buah kotak di tangan ia taruh ke atas meja.
Hagan dan Max saling bertukar pandang. Pemikiran mereka sama. Pelan-pelan keduanya menegakkan punggung, mengamati kotak tadi.
Hagan lebih dulu bertindak. Ia menarik lem yang membungkus kotak. "Siapa yang mengirimi ini? Apa Liara sering menerima kiriman seperti ini?"
"Dua hari lalu, Tuan," jawab si pegawai tenang. "Biasanya saya langsung mengantarnya ke kamar Nyonya. Namun, karena sejak siang Nyonya tidak keluar kamar, saya jadi tidak berani datang ke sana."
Kotak tadi terbuka lebar, Hagan mendesah lega. Bukan sesuatu buruk seperti bangkai binatang, boneka berdarah-darah atau peledak. Isi dua kotak itu adalah buku.
"Ini milik Liara?" tanyanya kembali pada sang asisten rumah.
Pria dengan tubuh tinggi, yang membawa kotak tadi ke dalam rumah, mengangguk. "Nyonya memang sering belanja buku, Tuan."
Hagan mengernyit melihat semua buku tadi. "Untuk apa dia membawa semua dongeng ini?"
"Novel cinta." Si sepupu meralat. "Kau tidak akan paham." Max menyahut. Hendak mengambil salah satu buku, tangannya ditepis Hagan.
Si tuan rumah bangkit berdiri, membawa kardus tadi menuju kamar utama di rumah mereka.
"Perutku sakit sekali."
Tepat setelah pintu dibuka, Hagan mendengar istrinya meringis seraya mengucapkan kalimat tadi. Cepat langkah si pria menuju tempat tidur.
"Apa yang sakit? Kau sakit?" Hagan menyibak selimut Liara. Bisa dilihatnya wajah sang istri lesu dan sedikit pucat.
Liara menggeleng. "Sudah pulang sejak tadi?" Ia menilik ke isi kardus yang dibawa Hagan. "Ini bukuku, ya?"
Ditanggapi Hagan dengan anggukan. "Kau sakit? Kau terlihat pucat, Liara."
"Biasa. Perutku sakit sekali. Hari pertama."
Ada kerutan di dahi Hagan. "Kenapa tidak beritahu, Max? Biar aku panggilkan."
Liara mencegah lelaki itu bangkit. "Ini wajar. Aku sedang datang bulan."
"Tidak perlu dokter atau obat? Apa sesakit itu? Apa tidak seharusnya kau dapat transfusi darah?"
Liara tertawa saja. Ia menggeleng seraya mulai mengeluarkan buku-buku dari kardus.
"Kau suka buku?" Hagan mengambil kesimpulan itu karena dilihatnya raut wajah si perempuan begitu senang hanya karena memandangi buku-buku tadi. Hagan kira Liara malah sudah melupakannya, sebab si istri sudah sibuk membaca salah satu novelnya.
Cukup lama diabaikan, Hagan mengingatkan Liara akan kehadirannya dengan mencuri satu kecupan di pipi si perempuan. "Aku masih di sini kalau kau lupa."
"Maaf. Jadi, apa?" Menutup buku, Liara memberi atensi penuh pada si lelaki.
"Kau punya adik?" Liara mengangguk, Hagan membasahi bibir. Ragu melanjutkan. "Berapa usianya?"
"Kelas satu SMA, sedang melaksanakan ujian kenaikan kelas."
Pria di sana menyentuh acak buku-buku. "Orang tuamu? Kau tinggal bersama mereka." Saat mendongak, tatapannya bertubrukan dengan Liara. Hagan bisa menangkap jika perempuan itu mengerti arah konversasi yang sedang coba dibuat.
Liara menekuk lutut di depan dada. "Kau dengar cerita dari Max?"
Hagan mengangguk mantap.
"Bagian mana yang ingin kau dengar lagi? Atau ada hal lain yang ingin kau ketahui?"
Niatnya terbaca dengan baik, si lelaki tidak lagi sungkan. Semua rasa ingin tahu dituntaskan. Mengapa Liara mau membiayai orang tua tirinya adalah yang paling utama.
"Ini bukan sesuatu yang menarik, aku sudah peringatkan kau." Liara memulai penjelasan. "Aku baru tahu kalau aku bukan anak kandung mereka seminggu sebelum aku melamar kerja di Paradise Club. Dan, ya, mereka meminta aku membayar kembali semua biaya yang dihabiskan untuk membesarkanku sejak usia dua bulan."
Mendengar langsung dari Liara membuat Hagan semakin tak senang. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk menyewa beberapa orang menghajar ayah dan ibu tiri si istri.
Apa semua orang di dunia ini pamrih? Tak adakah rasa kasih? Yang lain harus dapat keuntungan dari yang lain?
"Mereka memintaku keluar dari rumah."
"Mengusir," Hagan menimpali.
Mengangguk, Liara melanjutkan. "Dan, ya, itu karena mereka sedang mengalami kesulitan. Ayahnya Tatiana sudah dipecat dari pekerjaannya."
"Lalu kau membantu mereka? Membayar uang sekolah adik tirimu dan biaya hidup orang tuanya?"
"Adikku itu baik. Dia selalu membelaku jika Ibunya menyalahkanku." Perempuan itu memutar memori. "Aku pernah dikurung di gudang selama seminggu karena gajiku dari kerja paruh waktu semasa sekolah kuhabiskan untuk biaya sekolah seluruhnya. Tatiana yang diam-diam mengantar makanan ke gudang. Kalau tidak karena dia, aku pasti sudah mati."
Tatapan Hagan diselimuti amarah. "Dan kau masih mau membantu mereka?"
"Aku harus mengganti kerugian mereka selama hampir 20 tahun." Liara baru bisa menghidupi dirinya di usia 21 tahun. Karenanya, perempuan ini merasa wajib membayar kembali uang orang tua Tatiana. Ia tak mau berutang budi.
"Mereka minta berapa?"
Kembali memasang raut tenang, Liara melempar senyum penuh arti. "Kau mau membayarkannya? Baik sekali, tapi tidak. Terima kasih." Perempuan itu meringis. Nyeri di bawah perut semakin menjadi.
"Aku ingin kau memutuskan hubungan dengan mereka." Hagan berucap terus-terang. Ia hanya khawatir orang tua Liara mengambil kesempatan untuk menjadikan anak tiri mereka ini sebagai sapi perah.
"Tidak bisa. Aku menyayangi Tatiana. Artinya, aku tetap harus berhubungan dengan mereka. Tenang saja. Aku bisa mengurus ini." Liara tak sanggup duduk lagi. Ia berbaring, memejam menahan rasa tak nyaman itu.
"Kau yakin tidak butuh obat, Liara? Apa sesakit itu?" Si lelaki memegangi wajah Liara. Cemas ia menatap ke sana.
"Ini biasa terjadi di hari pertama. Jangan berlebihan." Ia membuka mata. "Kau sudah baik-baik saja? Kau tidak akan melempar pisau ke kepala orang lagi, 'kan?"
Hagan mengangguk. "Aku ingin menghancurkan kepala orang tua tirimu." Laki-laki itu melengkungkan bibir saat mendengar tawa Liara mengalun. Bagus sekali.
"Jika kau terus seperti ini, aku akan besar kepala, Hagan. Aku akan mengira kau benar-benar memperlakukanku sebagai istri dan bukan pe*a*ur."
Senyum di wajah Hagan memudar. "Kau memang istriku." Ia tidak terima Liara menyebut dirinya seperti tadi. Ia tak pernah menatap Liara sama seperti Jesi. Sekali pun tidak.
"Pembohong. Aku hargai itu." Liara menyampingkan tubuh, menaikkan selimut. "Aku boleh tidur?"
"Apa boleh buat? Aku sedang tak bisa melakukan hal lain."
"Terima kasih." Liara mulai memejam. Saat kantuknya mulai datang, perempuan itu merasakan sesuatu yang hangat menyentuh kening. Lalu, Hagan berbisik di telinga.
"Kau memang istriku. Jangan pernah meragukan itu. Sekali lagi aku mendengar kau menyebut dirimu seperti tadi, jangan marah jika aku menghukummu."
Merasa ada terpaan napas Hagan mengenai ujung bibirnya, Liara kembali membuka mata. Tersenyum miring, sengaja perempuan itu mengecup lama si suami. Ia tersenyum puas saat Hagan meringis dan mengumpat.
"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara."Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang."Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri."Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara."Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya."Maniak," ejek Max."Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah.Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli.
Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telep
Hagan sudah bersiap di belakang kemudi. Pedal gs ia injak kuat-kuat. Membuat tiga pria di depannya semakin terlihat gemetar. Tidak ada jalan lain. Bila Hagan tak melampiaskan amarah ini dengan membunuh tiga pengawal Liara yang tidak becus, maka dirinyalah yang akan mati. Mengarahkan lampu ke tiga calon korban yang akan dilenyapkan, Hagan menarik tuas gigi. Sudah akan menginjak gas, suara kalyson sebuah taksi yang memasuki area halaman rumah mencuri atensi. Taksi itu akan ikut Hagan tabrak jika saja Liara tak keluar dari sana. Hagan mendorong pintu mobilnya kasar, lalu berlari menuju si perempuan yang berjalan tertatih. "Kau mau melenyapkan orang lagi?" Perempuan itu langsung ditarik Hagan untuk dipeluk. Ia lumayan tersentak karena eratnya laki-laki itu memeluk. "Ini benar kau? Kau sungguh pulang dalam keadaan utuh?" Memastikan yang di depannya benar Liara, Hagan menyentuh wajah, tangan dan kaki perempuan itu. Liara di depan matanya tidak hilang, ia kembali memberi dekapan. "Kau m
Langkah Hagan lebar dan terlihat tergesa melewati pintu kediaman Orlando. Pria itu tak peduli pada beberapa orang yang menunduk sekaligus menyapa. Lelaki itu buru-buru, perlu sesegera mungkin menuntaskan amarah.Orang yang dicarinya terlihat. Sedang duduk santai dengan segelas minuman merah di tangan. Tidak lagi berjalan, Hagan berlari menghampiri.Bukan rindu, Hagan menerjang cepat ke arah Redrick, semata-mata karena tinjunya sudah tidak sabar. "Sialan." Dingin dan tajam sapaan itu mengalun dari ulut Hagan. Bersamaan dengan tinju luma jari yang mendarat di pipi si adik tiri. Hagan berdiri tegak, sementara lawan sudah tersungkur ke atas sofa."Huft! Kau mengujiku rupanya." Hagan menggerakkan leher ke kanan dan kiri. Bersiap untuk aksi selanjutnya.Malam ini, Hagan sudah begitu baik meluangkan waktu untuk memberikan sedikit kejutan pada Redrick. Sayang sekali jika hanya satu pukulan, 'kan?
Turun dari mobilnya, Hagan dan Liara langsung disambut manager hotel. Karena sudah tahu maksud kedatangan Hagan, mereka segera diarahkan menuju lift.Dalam lift tersebut, Hagan tak henti mencuri lirik pada Liara yang hari ini menggunakan setelan santai. Jeans biru dengan atasan tank top hitam dilapisi kemeja flanel.Si pria memang heran mengapa dengan pakaian sederhana begitu, istrinya masing saja tampak cantik dan mengundang. Namun, bukan itu hanya itu penyebab mengapa sejak tadi ia menatapi Liara saksama.Sebelum mereka ke sini, karena Liara bilang ingin melihat pemandangan dari atas gedung tinggi, Hagan menyaksikan sesuatu yang berhasil membuatnya tidak senang.Saat tidur siang tadi, Liara bermimpi. Hagan yang memang sedang mendapat jahat libur melihat istrinya menangis dalam tidur.Tidak terisak, tetapi terasa amat pilu kala Hagan melihat sendiri bulir bening itu jatuh dari ujung mata Liara. Membuat si pria bertany
Baru saja menutup pintu mobil, Hagan menoleh pada istrinya yang memegangi lengan. Sedikit kuat cengkeraman tangan Liara itu."Aku perlu ke toilet." Liara menggigit bibir. Satu tangannya memegangi perut yang terasa mulas.Hagan turun lagi, membatalkan niatnya untuk segera pulang. "Apa makananmu tadi pedas sekali?""Sepertinya." Liara melompat dari mobil. Sudah akan berlari masuk ke dalam resto yang beberapa saat lalu ia datangi bersama Hagan, perempuan itu menoleh pada sang suami. "Aku hanya sebentar. Jangan suruh mereka mengikuti." Tunjuknya pada para pengawal yang sudah turun dari mobil satunya.Perutnya semakin melilit, perempuan itu berlari menuju toilet resto.Menghela napas saja, Hagan memutuskan tak memberi perintah apa-apa pada tiga pengawal Liara yang sudah siap sedia di samping mobil.Menunggu selama lima menit di depan resto, Hagan mulai cemas. Berulang kali ia menengok ke arah resto, tetap
Liara sedang mengaduk susu hangat buatan Biru saat merasa tubuhnya dibalik. Hagan muncul di depan wajah, perempuan itu lumayan terkejut.Pasalnya, sejak kemarin, tepatnya setelah pertemuan Liara dan Redrick, si pria tak keluar kamar satu kali pun. Menolak makan, tidak pergi bekerja, hanya berbaring dan memeluk dirinya. Baru beranjak jika perlu ke kamar kecil."Kau mau makan sesuatu?" Sudah lewat jam makan siang memang, tetapi Liara tetap ingin berusaha membujuk. Hagan bisa sakit jika terus-terusan begini.Mengangkat tubuh Liara untuk duduk di atas meja bundar di belakang mereka, Hagan menyelipkan diri di antara kaki perempuan itu. Membuat tangan Liara mengalung di leher, ia memeluk pinggang si istri erat."Hagan? Kau sudah melakukan ini sejak kemarin. Apa memelukku bisa membuatmu kenyang?"Berdeham saja, lelaki itu memejam. Wajahnya sudah bersembunyi di bahu Liara."Kau su
"Susu, Liara?" Hagan memasang tersenyum termanis pada sosok perempuan di depannya. Ia hanya dilempari tatapan datar oleh orang itu. Sudah dua hari Liara seperti ini. Terus mendiamkannya, kecuali saat mereka di ranjang. Agaknya, si istri masih marah karena insiden susu dingin kemarin. Hagan sudah melakukan segala cara untuk membuat Liara bicara padanya. Namun, semuanya gagal. Hanya berakhir seperti ini. Liara tidak pura-pura tak melihatnya. Perempuan itu menanggapi ucapan Hagan, tetapi hanya sebatas melirik sebentar. Mengangguk, berdeham atau menggeleng. Paling jauh, menjawab dengan kata 'entah'. Liara hanya bersikap sewajarnya saat Hagan meminta jatah. Dan hal itu membuat si lelaki semakin merasa tak nyaman. Selama ini, perempuan itu memang tak banyak bicara. Namun, tidak seperti ini. Dingin. Liara kerap menatapnya dengan sorot malas dan muak. Dan asa tahu saja, Hagan ti