Share

Bab 7

"Aku nyaris mati hanya karena kau salah paham? Bajingan, kau Hagan." Memegangi pipinya yang bengkak, di sofa ruang tamu, Max menatap si sepupu frustrasi.

Tebakan Hagan salah. Max tidak bersekutu dengan Redrick. Setidaknya bukan sekarang. Pria itu bisa muncul bersamaan dengan Liara, karena mereka tak sengaja bertemu di jalan.

"Kau yakin tidak perlu dokter, Max?" Liara yang duduk di samping Hagan bertanya cemas.

"Aku dokter, Sayang." Ucapan barusan dihadiahi lemparan gunting oleh Hagan. Max kembali sibuk merawat lukanya sendiri dengan bantuan cermin.

"Salah siapa aku tidak bisa  menghubungimu?" Hagan protes kala sikapnya barusan dilempari pelototan oleh Liara.

"Aku sudah bilang, baterai ponselku habis." Inilah sebab utama petaka malam ini.

Liara pergi menemui adiknya. Karena itu tak ingin diantar supir, takut Tatiana curiga. Ia tidak bisa memberitahu Hagan akan pulang terlambat karena ponsel mati kehabisan daya.

Perempuan itu bertemu Max di jalan, menerima tawaran tumpangan dan menyebabkan Hagan salah paham.

"Maafkan aku, Max. Sungguh." Liara menatap iba pada pria itu. Wajahnya yang tampan babak belur karena Hagan.

"Bukan salahmu, Sayang."

"Mana pisauku tadi." Hagan dicegah Liara berdiri. "Berhenti memanggilnya seperti itu." Ia menunjuk penuh ancaman pada Max.

"Tidak akan," bantah Max yakin. "Kau tidak akan bisa melarangku untuk yang satu ini. Mulai hari ini aku akan memanggil Liara begitu." Sungguh-sungguh Max berucap.

"Berhati-hatilah," balas Hagan.

***

Hagan keluar dari kamarnya sekitar pukul dua dini hari. Pria itu hanya melirik pada Max yang masih duduk di ruang TV. Si sepupu meminta kompensasi dari luka-lukanya dengan menginap beberapa hari di sini.

"Perlu obatmu?" Max buka suara lebih dulu.

"Aku masih punya." Hagan menatapi ponsel. Fokus di sana beberapa saat, kemudian menyadari dirinya tengah ditatapi si sepupu.

"Liara." Kembali si rambut abu-abu menyebut nama itu dengan nada yakin. "Dia memang berbeda."

Hagan menyandarkan kepala ke sofa. Menatapi layar TV yang gelap. Pikirannya berkelana.

"Aku suka caranya memanggil namamu. Tidak ada rasa takut, sedikit mendominasi, tapi penuh perasaan." Max mengungkit apa yang ia lihat tadi. Saat Liara menyadarkan Hagan hanya dengan meneriakkan nama sepupunya itu.

"Aku juga." Hagan berucap pelan.

Dua pria itu sama-sama terkejut hari ini. Untuk pertama kalinya Hagan bisa ditenangkan tanpa harus memberinya obat tidur. Liara hanya menyebut nama pria itu dan Hagan kembali bisa menguasai diri.

"Jadi, bagaimana? Dia akan semakin terancam sekarang. Redrick tak akan tinggal diam saat tahu rivalnya akhirnya punya kelemahan."

Pria satunya memejam. "Aku tahu, berengsek." Itulah mengapa tadi Hagan pergi untuk menemui Farhan. Salah satu kenalannya di bidang jasa penyedia pengawal. Hagan langsung mempekerjakan lima orang hanya untuk Liara.

"Aku masih penasaran. Kenapa Liara? Di mana kau bertemu dengannya? Apa selama ini kau menyembunyikannya dariku juga?" Max mencoba mengorek informasi. Tidak mungkin Hagan mengenal Liara baru sebentar. Melihat seberapa kuatnya pengaruh perempuan itu pada si sepupu.

"Aku juga tidak tahu. Awalnya aku hanya ingin menjadikannya pengganti Jesi." Siapa sangka di pagi harinya Hagan malah ingin memiliki Liara seutuhnya. Mengikat hubungan mereka dalam sebuah pernikahan, lupa sejenak pada Redrick yang masih terobsesi melenyapkannya.

Si lawan bicara menjentikkan jari. "Cinta. Seratus persen!"

Hagan tak membalas. Ia masih memejam dan sibuk dengan pikiran sendiri. Pria itu bahkan hampir tertidur saat suara Max kembali terdengar.

"Kau tahu Liara memberikan semua uangnya pada adiknya?"

Mata Hagan terbuka. Ia ingat pembicaraan singkat mereka di hotel waktu itu. Pria itu mengangguk.

"Adik tirinya." Max tersenyum. "Istrimu itu sedikit gila, kupikir. Untuk apa dia membiayai adik tirinya, menghidupi orang tua tirinya yang pernah mengusirnya dari rumah."

Hagan menegakkan punggung. Tanpa sadar tangannya mengepal. "Dari mana kau tahu? Berusaha membohongiku?"

Kepala Max menggeleng. "Aku mengorek sedikit cerita saat perjalanan pulang."

Darah Hagan membeku mendengar itu. Untuk apa Liara melakukan semua itu? Jadi, perempuan itu menjual diri padanya, bersedia dijadikan istri demi orang tua tiri yang jahat tadi?

"Dia benar-benar gila," komentar Hagan seraya berusaha memahami. Namun, sekeras apa pun ia mencoba, otak tak kunjung bisa mengerti.

"Dia orang paling bodoh yang pernah kutemui. Karena itu, mulai hari ini aku akan memanggilnya Liara Sayang."

Kali itu Hagan tak mendebat. Pria itu lebih ingin memikirkan apa motif Liara melakukan semua pengorbanan itu.

***

"Pergilah dari sini. Kau merusak pemandangan."

Sepulangnya dari kegiatan mengontrol toko-tokonya, Hagan berdecak tak senang saat disuguhi kehadiran Max di ruang tamu.

Pria itu melempar tubuh ke sofa. "Di mana Liara?" tanyanya pada salah seorang asisten rumah tangga yang mengantar teh.

"Sejak tadi Nyonya di kamar, Tuan."

"Sejak kapan?"

Max mengedikkan bahu melihat tingkah si sepupu. Sejak kapan seperhatian itu pada orang lain?

"Permisi, Tuan. Seorang kurir datang membawakan pesanan Nyonya." Salah seorang pegawai lagi datang menghampiri Hagan ke ruang tamu. Dua buah kotak di tangan ia taruh ke atas meja.

Hagan dan Max saling bertukar pandang. Pemikiran mereka sama. Pelan-pelan keduanya menegakkan punggung, mengamati kotak tadi.

Hagan lebih dulu bertindak. Ia menarik lem yang membungkus kotak. "Siapa yang mengirimi ini? Apa Liara sering menerima kiriman seperti ini?"

"Dua hari lalu, Tuan," jawab si pegawai tenang. "Biasanya saya langsung mengantarnya ke kamar Nyonya. Namun, karena sejak siang Nyonya tidak keluar kamar, saya jadi tidak berani datang ke sana."

Kotak tadi terbuka lebar, Hagan mendesah lega. Bukan sesuatu buruk seperti bangkai binatang, boneka berdarah-darah atau peledak. Isi dua kotak itu adalah buku.

"Ini milik Liara?" tanyanya kembali pada sang asisten rumah.

Pria dengan tubuh tinggi, yang membawa kotak tadi ke dalam rumah, mengangguk. "Nyonya memang sering belanja buku, Tuan."

Hagan mengernyit melihat semua buku tadi. "Untuk apa dia membawa semua dongeng ini?"

"Novel cinta." Si sepupu meralat. "Kau tidak akan paham." Max menyahut. Hendak mengambil salah satu buku, tangannya ditepis Hagan.

Si tuan rumah bangkit berdiri, membawa kardus tadi menuju kamar utama di rumah mereka.

"Perutku sakit sekali."

Tepat setelah pintu dibuka, Hagan mendengar istrinya meringis seraya mengucapkan kalimat tadi. Cepat langkah si pria menuju tempat tidur.

"Apa yang sakit? Kau sakit?" Hagan menyibak selimut Liara. Bisa dilihatnya wajah sang istri lesu dan sedikit pucat.

Liara menggeleng. "Sudah pulang sejak tadi?" Ia menilik ke isi kardus yang dibawa Hagan. "Ini bukuku, ya?"

Ditanggapi Hagan dengan anggukan. "Kau sakit? Kau terlihat pucat, Liara."

"Biasa. Perutku sakit sekali. Hari pertama."

Ada kerutan di dahi Hagan. "Kenapa tidak beritahu, Max? Biar aku panggilkan."

Liara mencegah lelaki itu bangkit. "Ini wajar. Aku sedang datang bulan."

"Tidak perlu dokter atau obat? Apa sesakit itu? Apa tidak seharusnya kau dapat transfusi darah?"

Liara tertawa saja. Ia menggeleng seraya mulai mengeluarkan buku-buku dari kardus.

"Kau suka buku?" Hagan mengambil kesimpulan itu karena dilihatnya raut wajah si perempuan begitu senang hanya karena memandangi buku-buku tadi. Hagan kira Liara malah sudah melupakannya, sebab si istri sudah sibuk membaca salah satu novelnya.

Cukup lama diabaikan, Hagan mengingatkan Liara akan kehadirannya dengan mencuri satu kecupan di pipi si perempuan. "Aku masih di sini kalau kau lupa."

"Maaf. Jadi, apa?" Menutup buku, Liara memberi atensi penuh pada si lelaki.

"Kau punya adik?" Liara mengangguk, Hagan membasahi bibir. Ragu melanjutkan. "Berapa usianya?"

"Kelas satu SMA, sedang melaksanakan ujian kenaikan kelas."

Pria di sana menyentuh acak buku-buku. "Orang tuamu? Kau tinggal bersama mereka." Saat mendongak, tatapannya bertubrukan dengan Liara. Hagan bisa menangkap jika perempuan itu mengerti arah konversasi yang sedang coba dibuat.

Liara menekuk lutut di depan dada. "Kau dengar cerita dari Max?"

Hagan mengangguk mantap.

"Bagian mana yang ingin kau dengar lagi? Atau ada hal lain yang ingin kau ketahui?"

Niatnya terbaca dengan baik, si lelaki tidak lagi sungkan. Semua rasa ingin tahu dituntaskan. Mengapa Liara mau membiayai orang tua tirinya adalah yang paling utama.

"Ini bukan sesuatu yang menarik, aku sudah peringatkan kau." Liara memulai penjelasan. "Aku baru tahu kalau aku bukan anak kandung mereka seminggu sebelum aku melamar kerja di Paradise Club. Dan, ya, mereka meminta aku membayar kembali semua biaya yang dihabiskan untuk membesarkanku sejak usia dua bulan."

Mendengar langsung dari Liara membuat Hagan semakin tak senang. Ia sudah mengambil ancang-ancang untuk menyewa beberapa orang menghajar ayah dan ibu tiri si istri.

Apa semua orang di dunia ini pamrih? Tak adakah rasa kasih? Yang lain harus dapat keuntungan dari yang lain?

"Mereka memintaku keluar dari rumah."

"Mengusir," Hagan menimpali.

Mengangguk, Liara melanjutkan. "Dan, ya, itu karena mereka sedang mengalami kesulitan. Ayahnya Tatiana sudah dipecat dari pekerjaannya."

"Lalu kau membantu mereka? Membayar uang sekolah adik tirimu dan biaya hidup orang tuanya?"

"Adikku itu baik. Dia selalu membelaku jika Ibunya menyalahkanku." Perempuan itu memutar memori. "Aku pernah dikurung di gudang selama seminggu karena gajiku dari kerja paruh waktu semasa sekolah kuhabiskan untuk biaya sekolah seluruhnya. Tatiana yang diam-diam mengantar makanan ke gudang. Kalau tidak karena dia, aku pasti sudah mati."

Tatapan Hagan diselimuti amarah. "Dan kau masih mau membantu mereka?"

"Aku harus mengganti kerugian mereka selama hampir 20 tahun." Liara baru bisa menghidupi dirinya di usia 21 tahun. Karenanya, perempuan ini merasa wajib membayar kembali uang orang tua Tatiana. Ia tak mau berutang budi.

"Mereka minta berapa?"

Kembali memasang raut tenang, Liara melempar senyum penuh arti. "Kau mau membayarkannya? Baik sekali, tapi tidak. Terima kasih." Perempuan itu meringis. Nyeri di bawah perut semakin menjadi.

"Aku ingin kau memutuskan hubungan dengan mereka." Hagan berucap terus-terang. Ia hanya khawatir orang tua Liara mengambil kesempatan untuk menjadikan anak tiri mereka ini sebagai sapi perah.

"Tidak bisa. Aku menyayangi Tatiana. Artinya, aku tetap harus berhubungan dengan mereka. Tenang saja. Aku bisa mengurus ini." Liara tak sanggup duduk lagi. Ia berbaring, memejam menahan rasa tak nyaman itu.

"Kau yakin tidak butuh obat, Liara? Apa sesakit itu?" Si lelaki memegangi wajah Liara. Cemas ia menatap ke sana.

"Ini biasa terjadi di hari pertama. Jangan berlebihan." Ia membuka mata. "Kau sudah baik-baik saja? Kau tidak akan melempar pisau ke kepala orang lagi, 'kan?"

Hagan mengangguk. "Aku ingin menghancurkan kepala orang tua tirimu." Laki-laki itu melengkungkan bibir saat mendengar tawa Liara mengalun. Bagus sekali.

"Jika kau terus seperti ini, aku akan besar kepala, Hagan. Aku akan mengira kau benar-benar memperlakukanku sebagai istri dan bukan pe*a*ur."

Senyum di wajah Hagan memudar. "Kau memang istriku." Ia tidak terima Liara menyebut dirinya seperti tadi. Ia tak pernah menatap Liara sama seperti Jesi. Sekali pun tidak.

"Pembohong. Aku hargai itu." Liara menyampingkan tubuh, menaikkan selimut. "Aku boleh tidur?"

"Apa boleh buat? Aku sedang tak bisa melakukan hal lain."

"Terima kasih." Liara mulai memejam. Saat kantuknya mulai datang, perempuan itu merasakan sesuatu yang hangat menyentuh kening. Lalu, Hagan berbisik di telinga.

"Kau memang istriku. Jangan pernah meragukan itu. Sekali lagi aku mendengar kau menyebut dirimu seperti tadi, jangan marah jika aku menghukummu."

Merasa ada terpaan napas Hagan mengenai ujung bibirnya, Liara kembali membuka mata. Tersenyum miring, sengaja perempuan itu mengecup lama si suami. Ia tersenyum puas saat Hagan meringis dan mengumpat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status