Share

Bab 8

"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara. 

"Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang. 

"Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri. 

"Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara. 

"Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya. 

"Maniak," ejek Max. 

"Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah. 

Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli. 

Kemudian, Biru, salah satu asisten di rumah itu datang. Membawa satu kantung belanjaan kepada Hagan. 

Benda itu Hagan berikan pada Liara. Ponsel dan juga pengisi daya cadangan. Pria itu tak ingin kejadian seperti kemarin terulang. 

"Ponselku masih bagus." Liara menatap kotak ponsel di pangkuan dengan raut tak nyaman. Ia kembalikan pada si lelaki di samping, tetapi benda itu malah dikembalikan lagi. 

"Kau ingin pamer kalau kau itu banyak uang?" canda Liara. 

Angkuh si lelaki mengangguk. Ia menjabarkan kekayaan. Mulai dari tiga mobil yang ada di garasi. Harga rumah yang mereka tempati sekarang, yang biaya membangunnya lebih dari 7 milyar. Rumah lainnnya yang Hagan sewakan, juga beberapa dibiarkan kosong dan satu unit apartemen di daerah elit. 

"Kau perampok atau pengedar obat?" Si istri mulai penasaran akan sumber semua aset yang disebut-sebut Hagan tadi. 

Tak suka dituduh, Hagan menyebut sumber-sumber uangnya. Toko-toko roti dan kuenya yang berjumlah lebih dari 50 outlet. Belum warung makan pinggir jalan, lalu beberapa investasi di perusahan-perusahaan besar. 

Mendengar itu semua, Liara berdecak kagum. "Oke. Aku mengakui kalau kau itu super kaya."

"Tolong. Ikuti saja mauku. Oke?" Hagan berucap tegas. Pria itu kemudian mengangkat tubuh Liara agar duduk di pangkuannya. 

"Oh, si bajingan ini. Haruskah kau pamer di depanku?" Max lagi-lagi menyuarakan protes. Bukan pada sesumbarnya Hagan atas semua aset yang dimiliki, tetapi karena sepupunya itu terang-terangan menunjukkan keintiman dengan Liara. 

Si sepupu tidak peduli. Seolah ingin memanas-manasi, ia malah memagut bibir Liara beberapa saat. Tak hanya sampai di sana, tangan bahkan sempat menjamah beberapa titik di tubuh si perempuan. Membuat grafik ketegangan di sana naik beberapa saat. 

Apa yang Hagan mau didapat. Max memilih angkat kaki, tentu saja sembari memaki. 

Tinggal mereka berdua saja, Hagan menyandarkan kepala Liara di dadanya. Teratur usapan tangannya membelai punggung si perempuan. 

"Dengarkan aku baik-baik." Pria itu memulai pembicaraan ke arah yang serius. 

Liara menegakkan punggung untuk melihat raut wajah Hagan. Pria itu memasang ekspresi sungguh. 

"Pada siapa pun, jangan beritahu kalau kau itu istri dari Hagan Arsenio." Ada sesal di sorot mata Hagan saat mengatakan itu. 

"Aku kira apa. Tentu. Bukan masalah." Liara kembali merebahkan kepala di bahu Hagan. Perempuan itu cukup sadar diri. Meski mereka menikah, tak pernah Liara harapkan sesuatu yang lain selain kucuran dana dari Hagan. Apa untungnya status jika tak mendapat uang. 

Hagan melingkupi tubuh Liara dengan dua lengannya. Mendekap erat dengan perasaan tak karuan. Entah mengapa pria itu merasa bersalah harus mengatakan hal barusan. 

*** 

Liara datang ke ruang TV dengan segelas susu hangat coklat. Pelan, seraya tersenyum manis, ia berikan susu tadi pada Max. 

Melirik tak ramah, Max bersin. "Apa ini semacam permintaan maaf?" Ia mencicipi susu tadi. "Apa aku anak kecil?" 

Tepat setelah berucap, lelaki dengan jaket hitam itu mendapat lemparan bantal. Dari Hagan yang sudah menyusul istrinya duduk di sofa. 

"Jangan banyak tingkah." Hagan memicing tak senang. Sudah bagus Liara mau memaafkan si sepupu. Mengapa Max malah bertingkah seakan Liara yang salah. 

Sore tadi terjadi sesuatu yang lucu. Berdua saja dengan Liara di rumah, Max menawarkan diri mengajari si perempuan berenang. 

Sedang tidak melakukan apa-apa dan memang tidak bisa berenang, Liara menerima tawaran itu. 

Awalnya semua baik-baik saja, sampai tiba-tiba saja sikap Max berubah. Pria itu menggoda Liara. 

Max memojokkan Liara ke dinding kolam renang, mengusap bahu istri dari sepupunya itu. 

Liara tentu terkejut. Ia menghindar dan meminta Max tidak kurang ajar. 

Max tidak membiarkan wanita itu naik. Mengungkung tubuh Liara yang berpegangan padanya karena tak bisa berenang, ia semakin kurang ajar menyentuh lengan polos Liara yang siang itu mengenakan kaus tipis tanpa lengan. 

"Aku bisa membayar lima kali lipat dari Hagan. Jadilah teman tidurku, tinggalkan Hagan." 

Mendengar itu, Liara tak tampak marah. Tenang, perempuan itu menantang Max. "Baik. Tapi aku perlu memastikan satu hal. Tanggalkan bawahanmu." 

Merasa rencananya berhasil, tanpa ragu Max melepas satu-satunya kain yang melekat di tubuh. 

Liara mengambil benda itu, ia lempar ke atas kolam renang. Kemudian, perempuan itu ikut naik. 

"Lima kali lipat?" tanyanya seraya menenteng celana Max dengan ujung telunjuk. 

Max yang masih di dalam air mengangguk. "Dia terlalu kaku, 'kan?" 

Wajah Liara seketika memancarkan aura dingin. Datar, ditatapnya Max dari atas kolam. "Maaf. Tapi aku tidak berminat." Perempuan itu pergi membawa celana Max juga handuk. 

Terjebak di dalam kolam cukup lama, Max baru keluar dari sana ketika mentari sudah pulang. Bersamaan dengan pulangnya Hagan. 

Saat Hagan pulang, barulah Liara tahu apa yang coba dilakukan Max. Semacam tes kesetiaan. Liara jadi tidak enak hati karena sempat tak suka pada Max dan membiarkan pria itu berjam-jam di dalam kolam. 

Susu hangat barusan adalah bentuk permintaan maaf Liara. 

"Kalau kalian ingin bermesraan lagi, jangan di sini. Ini malam terakhir di sini, aku mau menonton." Max yang sudah memilih film memasukkan kepingan kaset ke dalam player. 

"Aku ikut menonton." Liara melempar tawa pada Max yang melirik kesal. 

Suara dari pengeras suara menguasai tempat itu beberapa saat. Liara terlihat antusias, sementara Hagan hanya sibuk memerhatikan perempuan itu. 

"Aku hanya tak ingin Hagan patah hati karena perempuan." Max buka suara. "Aku mengujimu, ingin lihat apa Redrick punya kesempatan menjadikanmu anak buahnya." 

"Harusnya jangan lima kali lipat. Sepuluh atau dua puluh kali lipat, mungkin hasilnya akan berbeda." Di ujung kalimat Liara meringis karena bahunya digigit Hagan. "Siapa itu Redrick?" si perempuan menjadi penasaran. 

"Bukan siapa-siapa. Nonton saja." Hagan membuat kepala Liara lurus ke arah layar, sementara ia memeluk perempuan itu dari samping. 

Liara kembali menoleh pada Hagan. "Kau juga tidak percaya padaku, ya? Hingga mengizinkan dia melakukan itu?" 

"Dia yang memaksa." Hagan menunjuk Max dengan dagu. "Tujuannya menginap di sini adalah untuk memata-mataimu." 

"Kau percaya padaku?" Menangkup dua sisi wajah lelaki itu, Liara membuat mata mereka beradu. "Kau percaya padaku?" ulangnya sungguh. 

Percaya pada orang lain? Hagan tak pernah melakukannya sepenuh hati. Termasuk pada Max atau Orlando. 

"Aku percaya padamu." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Hagan. Dirinya mendapat keyakinan itu dari cara mata Liara menatapnya. 

Di depan Hagan, Liara tersenyum. "Jangan lakukan itu. Jangan percaya siapa pun,kecuali dirimu." 

"Termasuk kau?" Hagan meraih wajah Liara yang akan berpaling darinya. Sekali lagi ia tatapi dua mata berwarna madu itu. 

"Hm. Termasuk aku. Jangan percaya padaku." 

Lucu sekali. Saat Liara meragukan dirinya sendiri, Hagan malah merasa bisa memercayai perempuan itu. Perasaannya yakin pada Liara. Untuk apa pun yang sudah mereka lewati satu bulan ini dan apa yang nantinya yang akan terjadi. 

Hagan tersenyum teduh. "Aku percaya padamu," ulangnya sebelum menempelkan bibir ke bibir Liara. 

"Kalian mulai lagi?!" Max menggebrak meja. Hagan akhirnya membuat jarak dengan istrinya dan melotot padanya. "Aku ingin menonton. Ini bahkan bukan film romantis." 

Suasana kembali kondusif. Mereka bertiga kembali menonton. Sebenarnya hanya Max dan Liara saja yang sungguh-sungguh mengikuti cerita. Sebab Hagan lebih sibuk dengan bahu dan leher Liara. 

"Apa seseorang sungguh bisa mati jika memotong nadinya seperti itu?" 

Max menengok pada Liara. Perempuan itu menatap penuh minat pada tayangan di depan mereka. Si pemeran utama sedang menyayat pergelangan tangan saat ini. 

"Tentu bisa, jika kau memotong di titik yang tepat. Mau mencobanya?" 

"Aku harus memotongnya di mana? Harus memotong di mana agar bisa mati?" Perempuan itu mencondongkan tubuh ke arah Max, menanti jawaban dengan tidak sabar. 

Max terdiam. Ia menemukan sesuatu di cara Liara menatap. Kosong? Putus asa? Entah. 

Hagan pun bereaksi tak jauh berbeda. Suara Liara saat bertanya tadi membuatnya berpikir bahwa perempuan itu berniat menghabisi seseorang. 

Laki-laki itu memasang raut marah pada Max. "Kau membawa pengaruh buruk untuknya." Hagan membawa Liara dalam gendongan. "Tonton film itu sendiri." Ia pun berlalu dari sana bersama sang istri. 

Di sofanya, Max mengernyitkan dahi. "Caramu bertanya seolah ingin melenyapkan seseorang, Liara," monolognya seraya menghentikan film. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status