Share

Bab 8

Penulis: Sinda
last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-09 19:36:08

"Oh, sialan." Max mengumpat ketika sampai di ruang TV dan menemukan Hagan sedang bermesraan dengan Liara. 

"Kalian merusak pagiku!" Pria dengan piyama biru itu sengaja mendorong tubuh Hagan dari atas Liara. Dirinya sendiri mengambil tempat di sofa ukuran satu orang. 

"Ini rumahku, terserahku. Kalau tidak suka, aku tidak keberatan kau pergi." Hagan memilih ikut berbaring bersama Liara. Ia memeluk sang istri. 

"Kau tidak sarapan?" Wajahnya dipaksa menempel di dada Hagan, Liara bersuara. 

"Sebenarnya aku lebih ingin memakanmu. Tapi, karena kau sedang datang bulan. Biarkan aku memelukmu saja. Sarapan, sebentar lagi." Tangan pria itu menggosok lembut punggung istrinya. 

"Maniak," ejek Max. 

"Daripada menyimpang seperti seseorang?" balas Hagan tak mau kalah. 

Sejenak ruangan itu diisi oleh aksi saling mengejek dari Hagan dan Max. Liara hanya memilih menjadi pendengar dan sesekali tertawa geli. 

Kemudian, Biru, salah satu asisten di rumah itu datang. Membawa satu kantung belanjaan kepada Hagan. 

Benda itu Hagan berikan pada Liara. Ponsel dan juga pengisi daya cadangan. Pria itu tak ingin kejadian seperti kemarin terulang. 

"Ponselku masih bagus." Liara menatap kotak ponsel di pangkuan dengan raut tak nyaman. Ia kembalikan pada si lelaki di samping, tetapi benda itu malah dikembalikan lagi. 

"Kau ingin pamer kalau kau itu banyak uang?" canda Liara. 

Angkuh si lelaki mengangguk. Ia menjabarkan kekayaan. Mulai dari tiga mobil yang ada di garasi. Harga rumah yang mereka tempati sekarang, yang biaya membangunnya lebih dari 7 milyar. Rumah lainnnya yang Hagan sewakan, juga beberapa dibiarkan kosong dan satu unit apartemen di daerah elit. 

"Kau perampok atau pengedar obat?" Si istri mulai penasaran akan sumber semua aset yang disebut-sebut Hagan tadi. 

Tak suka dituduh, Hagan menyebut sumber-sumber uangnya. Toko-toko roti dan kuenya yang berjumlah lebih dari 50 outlet. Belum warung makan pinggir jalan, lalu beberapa investasi di perusahan-perusahaan besar. 

Mendengar itu semua, Liara berdecak kagum. "Oke. Aku mengakui kalau kau itu super kaya."

"Tolong. Ikuti saja mauku. Oke?" Hagan berucap tegas. Pria itu kemudian mengangkat tubuh Liara agar duduk di pangkuannya. 

"Oh, si bajingan ini. Haruskah kau pamer di depanku?" Max lagi-lagi menyuarakan protes. Bukan pada sesumbarnya Hagan atas semua aset yang dimiliki, tetapi karena sepupunya itu terang-terangan menunjukkan keintiman dengan Liara. 

Si sepupu tidak peduli. Seolah ingin memanas-manasi, ia malah memagut bibir Liara beberapa saat. Tak hanya sampai di sana, tangan bahkan sempat menjamah beberapa titik di tubuh si perempuan. Membuat grafik ketegangan di sana naik beberapa saat. 

Apa yang Hagan mau didapat. Max memilih angkat kaki, tentu saja sembari memaki. 

Tinggal mereka berdua saja, Hagan menyandarkan kepala Liara di dadanya. Teratur usapan tangannya membelai punggung si perempuan. 

"Dengarkan aku baik-baik." Pria itu memulai pembicaraan ke arah yang serius. 

Liara menegakkan punggung untuk melihat raut wajah Hagan. Pria itu memasang ekspresi sungguh. 

"Pada siapa pun, jangan beritahu kalau kau itu istri dari Hagan Arsenio." Ada sesal di sorot mata Hagan saat mengatakan itu. 

"Aku kira apa. Tentu. Bukan masalah." Liara kembali merebahkan kepala di bahu Hagan. Perempuan itu cukup sadar diri. Meski mereka menikah, tak pernah Liara harapkan sesuatu yang lain selain kucuran dana dari Hagan. Apa untungnya status jika tak mendapat uang. 

Hagan melingkupi tubuh Liara dengan dua lengannya. Mendekap erat dengan perasaan tak karuan. Entah mengapa pria itu merasa bersalah harus mengatakan hal barusan. 

*** 

Liara datang ke ruang TV dengan segelas susu hangat coklat. Pelan, seraya tersenyum manis, ia berikan susu tadi pada Max. 

Melirik tak ramah, Max bersin. "Apa ini semacam permintaan maaf?" Ia mencicipi susu tadi. "Apa aku anak kecil?" 

Tepat setelah berucap, lelaki dengan jaket hitam itu mendapat lemparan bantal. Dari Hagan yang sudah menyusul istrinya duduk di sofa. 

"Jangan banyak tingkah." Hagan memicing tak senang. Sudah bagus Liara mau memaafkan si sepupu. Mengapa Max malah bertingkah seakan Liara yang salah. 

Sore tadi terjadi sesuatu yang lucu. Berdua saja dengan Liara di rumah, Max menawarkan diri mengajari si perempuan berenang. 

Sedang tidak melakukan apa-apa dan memang tidak bisa berenang, Liara menerima tawaran itu. 

Awalnya semua baik-baik saja, sampai tiba-tiba saja sikap Max berubah. Pria itu menggoda Liara. 

Max memojokkan Liara ke dinding kolam renang, mengusap bahu istri dari sepupunya itu. 

Liara tentu terkejut. Ia menghindar dan meminta Max tidak kurang ajar. 

Max tidak membiarkan wanita itu naik. Mengungkung tubuh Liara yang berpegangan padanya karena tak bisa berenang, ia semakin kurang ajar menyentuh lengan polos Liara yang siang itu mengenakan kaus tipis tanpa lengan. 

"Aku bisa membayar lima kali lipat dari Hagan. Jadilah teman tidurku, tinggalkan Hagan." 

Mendengar itu, Liara tak tampak marah. Tenang, perempuan itu menantang Max. "Baik. Tapi aku perlu memastikan satu hal. Tanggalkan bawahanmu." 

Merasa rencananya berhasil, tanpa ragu Max melepas satu-satunya kain yang melekat di tubuh. 

Liara mengambil benda itu, ia lempar ke atas kolam renang. Kemudian, perempuan itu ikut naik. 

"Lima kali lipat?" tanyanya seraya menenteng celana Max dengan ujung telunjuk. 

Max yang masih di dalam air mengangguk. "Dia terlalu kaku, 'kan?" 

Wajah Liara seketika memancarkan aura dingin. Datar, ditatapnya Max dari atas kolam. "Maaf. Tapi aku tidak berminat." Perempuan itu pergi membawa celana Max juga handuk. 

Terjebak di dalam kolam cukup lama, Max baru keluar dari sana ketika mentari sudah pulang. Bersamaan dengan pulangnya Hagan. 

Saat Hagan pulang, barulah Liara tahu apa yang coba dilakukan Max. Semacam tes kesetiaan. Liara jadi tidak enak hati karena sempat tak suka pada Max dan membiarkan pria itu berjam-jam di dalam kolam. 

Susu hangat barusan adalah bentuk permintaan maaf Liara. 

"Kalau kalian ingin bermesraan lagi, jangan di sini. Ini malam terakhir di sini, aku mau menonton." Max yang sudah memilih film memasukkan kepingan kaset ke dalam player. 

"Aku ikut menonton." Liara melempar tawa pada Max yang melirik kesal. 

Suara dari pengeras suara menguasai tempat itu beberapa saat. Liara terlihat antusias, sementara Hagan hanya sibuk memerhatikan perempuan itu. 

"Aku hanya tak ingin Hagan patah hati karena perempuan." Max buka suara. "Aku mengujimu, ingin lihat apa Redrick punya kesempatan menjadikanmu anak buahnya." 

"Harusnya jangan lima kali lipat. Sepuluh atau dua puluh kali lipat, mungkin hasilnya akan berbeda." Di ujung kalimat Liara meringis karena bahunya digigit Hagan. "Siapa itu Redrick?" si perempuan menjadi penasaran. 

"Bukan siapa-siapa. Nonton saja." Hagan membuat kepala Liara lurus ke arah layar, sementara ia memeluk perempuan itu dari samping. 

Liara kembali menoleh pada Hagan. "Kau juga tidak percaya padaku, ya? Hingga mengizinkan dia melakukan itu?" 

"Dia yang memaksa." Hagan menunjuk Max dengan dagu. "Tujuannya menginap di sini adalah untuk memata-mataimu." 

"Kau percaya padaku?" Menangkup dua sisi wajah lelaki itu, Liara membuat mata mereka beradu. "Kau percaya padaku?" ulangnya sungguh. 

Percaya pada orang lain? Hagan tak pernah melakukannya sepenuh hati. Termasuk pada Max atau Orlando. 

"Aku percaya padamu." Kalimat itu meluncur begitu saja dari bibir Hagan. Dirinya mendapat keyakinan itu dari cara mata Liara menatapnya. 

Di depan Hagan, Liara tersenyum. "Jangan lakukan itu. Jangan percaya siapa pun,kecuali dirimu." 

"Termasuk kau?" Hagan meraih wajah Liara yang akan berpaling darinya. Sekali lagi ia tatapi dua mata berwarna madu itu. 

"Hm. Termasuk aku. Jangan percaya padaku." 

Lucu sekali. Saat Liara meragukan dirinya sendiri, Hagan malah merasa bisa memercayai perempuan itu. Perasaannya yakin pada Liara. Untuk apa pun yang sudah mereka lewati satu bulan ini dan apa yang nantinya yang akan terjadi. 

Hagan tersenyum teduh. "Aku percaya padamu," ulangnya sebelum menempelkan bibir ke bibir Liara. 

"Kalian mulai lagi?!" Max menggebrak meja. Hagan akhirnya membuat jarak dengan istrinya dan melotot padanya. "Aku ingin menonton. Ini bahkan bukan film romantis." 

Suasana kembali kondusif. Mereka bertiga kembali menonton. Sebenarnya hanya Max dan Liara saja yang sungguh-sungguh mengikuti cerita. Sebab Hagan lebih sibuk dengan bahu dan leher Liara. 

"Apa seseorang sungguh bisa mati jika memotong nadinya seperti itu?" 

Max menengok pada Liara. Perempuan itu menatap penuh minat pada tayangan di depan mereka. Si pemeran utama sedang menyayat pergelangan tangan saat ini. 

"Tentu bisa, jika kau memotong di titik yang tepat. Mau mencobanya?" 

"Aku harus memotongnya di mana? Harus memotong di mana agar bisa mati?" Perempuan itu mencondongkan tubuh ke arah Max, menanti jawaban dengan tidak sabar. 

Max terdiam. Ia menemukan sesuatu di cara Liara menatap. Kosong? Putus asa? Entah. 

Hagan pun bereaksi tak jauh berbeda. Suara Liara saat bertanya tadi membuatnya berpikir bahwa perempuan itu berniat menghabisi seseorang. 

Laki-laki itu memasang raut marah pada Max. "Kau membawa pengaruh buruk untuknya." Hagan membawa Liara dalam gendongan. "Tonton film itu sendiri." Ia pun berlalu dari sana bersama sang istri. 

Di sofanya, Max mengernyitkan dahi. "Caramu bertanya seolah ingin melenyapkan seseorang, Liara," monolognya seraya menghentikan film. 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Liara    Flashback Chapter (31 part 2)

    Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be

  • Liara    Bab 59

    Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka

  • Liara    Bab 58

    Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha

  • Liara    Bab 57

    Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia

  • Liara    Bab 56

    Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.

  • Liara    Bab 55

    Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j

  • Liara    Bab 54

    Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it

  • Liara    Bab 53

    Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 

  • Liara    Bab 52

    Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status