Berantakan. Kacau. Agaknya dua kata itu masih kurang pantas diberikan atas pemadangan di ruang tamu kediaman Hagan malam ini.
Sofa terbalik. Meja juga bergeser jauh dari tempat seharusnya. Di lantai, tiga orang pria bertubuh tegap berlutut menunggu nasib.
Hagan murka. Liara, istrinya masih belum ada di rumah, padahal sekarang sudah hampir tengah malam. Bukan pergi menemui sang adik, melainkan diculik.
Tadinya, Liara ada di rumah sakit. Entah bagaimana ceritanya, perempuan itu mengalami kecelakaan, terserempet mobil. Para bodyguard membawa Liara ke rumah sakit. Saat Hagan berhasil sampai di sana, sang istri sudah tak ada.
Hilang tanpa jejak. Penjaga Liara yang Hagan tugaskan berada di samping si perempuan setiap detik kecolongan, tak tahu kapan orang yang harusnya mereka jaga keluar dari kamar rawat.
Tak lama, setelah menyusuri setiap sudut di rumah sakit dan masih tidak menemukan yang dicari, Hagan mendapat telepon. Dari Redrick.
Adik tirinya itu memberitahu bahwa ia sudah menawan satu orang perempuan. Ciri-ciri yang disebutkan persis Liara. Dan pria itu meminta tebusan.
Bukan satu miliar. Redrick ingin Hagan menyerahkan semua harta miliknya. Dengan kata lain, saat nanti Orlando mengumumkan pewaris dari PT. Afla Tijaya, Hagan harus menolak.
Hagan sudah bisa menebak itu. Sejak dulu, hubungannya dengan istri ayahnya dan juga saudara tirinya ini memang tidak baik. Sejak dulu tidak gentar atas semua ancaman Redrick, kali ini pun Hagan bertindak serupa. Tak akan ia biarkan Redrick menikmati semua dengan mudah. Dia bukan keturunan Arsenio.
Tak mau menyerah pada ancaman Redrick, Hagan juga tak ingin Liara terluka. Bingung harus bagaimana, pria itu memutuskan untuk melampiaskan rasa marah dulu. Alhasil, ruang tamu dan beberapa pengawal menjadi sasaran.
"Biar aku yang ke sana." Max yang sudah datang sejak tadi angkat bicara.
Hagan menggeleng. Di sofanya, lelaki itu mengepalkan tangan di atas lutut. Giginya bergemelatuk, mata merah itu menyorot penuh murka pada pengawal yang berlutut.
Hagan berjanji akan melenyapkan semua orang itu, jika samaupi terjadi sesuatu pada Liara.
Tak lama, ponsel pria itu bergetar. Panggilan video, dari Redrick. Hagan menggeser sofa untuk menampilkan latar belakang dinding dan bukan ruang tamu yang sudah seperti kapal pecah."Kau keras kepala sekali?" Di layar, Redrick tampak tertawa. Ia mengarahkan ponsel pada tempat tidur yang dihuni Liara. "Katakan sesuatu padanya, Sayang."
Mata Hagan membola melihat istrinya jadi pesakitan di sana. Liara terikat, dua tangannya di belakang. Sudah pasti tidak bisa bergerak atau lari, karena kakinya juga bernasib sama.
"Katakan sesuatu pada suamimu, Sayang," ulang Redrick.
Liara yang tampak tenang mendengkus. "Aku sudah bilang, aku ini bukan istri orang yang kau sebut tadi. Berapa kali harus kujelaskan? Aku bukan istri siapa pun."
Buku jemari Hagan memutih akibat kepalan yang semakin mengerat.
"Jangan berbohong, Sayang. Kau tingggal di rumahnya."
Liara menggeleng. "Mungkin orang yang kau sebut itu adalah salah satu klienku. Aku sudah bilang, aku ini wanita panggilan. Aku memang sering bertemu pria-pria kaya."
Redrick tertawa. "Apa ini, Hagan? Dia lebih suka menyebut dirinya wanita malam daripada istrimu." Tawa pria itu seketika berhenti. "Datang secepatnya ke sini dan setujui tawaranku, atau ...." Ia mendekat pada Liara dan menjambak rambut perempuan itu. "Aku akan melakukan sesuatu yang jahat padanya."
Tak memindahkan tatap dari layar, Hagan merasa tubuhnya bergetar penuh amarah. Ia bersumpah akan mematahkan tangan Redrik setelah ini.
"Kau sia-sia mengacam dia." Liara melirik ke arah kamera ponsel. "Dia tak akan datang dan menuruti kemauanmu, karena aku ini bukan istrinya. Sudahlah, lepaskan saja aku. Kau hanya melakukan hal sia-sia."
Redrick yang merasa rencananya tak berhasil mematikan panggilan video. Ia menatap Liara geram. "Kau kira bisa lepas setelah bersikap sepeti ini? Aku bukan orang bodoh."
Senyum muncul di wajah si tawanan. "Kau orang bodoh. Buktinya, kau salah memilih sandera. Aku bukan orang yang bisa membuatmu mendapatkan apa yang kau inginkan. Laki-laki itu tidak menganggapku siapa-siapa."
"Kau berani sekali untuk ukuran perempuan. Aku bisa saja membunuhmu di sini." Redrick mengingatkan bahwa ada senjata tajam, para pengawalnya dan juga senjata api di kamar itu. Ia mampu melenyapkan Liara kapan saja.
"Aku tidak takut mati. Kalau pun aku mati, tidak akan ada yang rugi." Perempuan itu menatap tepat ke mata Redrick. Memberitahu bahwa ia sungguh tak masalah pada kematian.
"Kau sungguh bukan istri Hagan?" Redrick mulai goyah.
"Aku ini wanita malam, Tuan."
Meneliti tubuh liyara dari ujung kepala hingga ujung kaki, Redrick menyangsikan hal itu. Alisnya menukik. "Sungguh? Tubuhmu biasa saja."
"Kau sudah merasakannya?" balas Liara tak mau kalah. "Sudahlah. Lepaskan saja aku. Aku masih punya pekerjaan yang harus kulakukan. Kenapa aku harus terjebak di situasi tidak menguntungkan begini?" Berpura bersungut tak peduli, otak Liara mulai mencari cara lain agar bsa lolos dari tempat itu tanpa bantuan Hagan.
Perempuan itu meringis. "Tuan, bisakah kau lepas ikatan kakiku? Lututku terluka. Sebelum kau bawa ke sini, aku nyaris mati dilindas mobil."
Si pria melihat luka lecet di lutut Liara. Ada perban kecil di siku gadis itu. Lama menimbang, Redrick akhirnya melepaskan ikatan kaki dan tangan Liara. Toh, perempuan itu tak akan bisa ke mana-mana. Rumah ini terpencil dan di luar ada lebih dari dua puluh orang preman yang ia sewa untuk berjaga.
"Sakit?" Redrick mengamati raut wajah Liara yang sedang meniup luka di lututnya.
"Tentu saja. Kau tidak lihat ini berdarah lagi?"
Kembali mengamati wajah Liara, Redrick semakin lama semakn merasa familiar dengan wajah perempuan itu. Sepertinya ia pernah melihat Liara sebelum ini. Tapi, di mana?
"Kenapa terus menatapku? Aku sedang tidak ingin merayumu hari ini." Liara yang sadar dirinya ditatapi menengok balik dengan sorot tajam.
"Wajahmu seperti tak asing." Redrick memegangi dagu Liara, memutar wajah perempuan itu ke kanan dan kiri. Memastikan yang dirasa.
Liara tersenyum. "Kita satu sekolah saat SMA, Redrick Sekala. Kau tidak ingat aku?"
Mata Redrick membola. Ia sungguh terkejut. "Kau siapa?" Ia tidak ingat pernah melihat murid seperti Liara di sekolah SMA-nya dulu. "Jangan coba menipuku. Kau tidak mungkin bisa masuk ke sekolahku. Katamu kau wanita malam."
Redrick bersekolah di SMA Langit Biru. Salah satu yayasan milik keluarga Arsenio. Biaya di sana jelas tidak murah, mana mungkin orang seperti Liara bisa masuk ke sana. Beasiswa? Perempuan itu tidak terlihat pintar.
"SMA Harapan. Kau pernah di sana selama enam bulan. Ah, ingatanmu payah, Kak Redrick."
Kali ini kerutan muncul di dahi Redrick. Apa yang Liara katakan benar. Ia memang pernah bersekolah di SMA Harapan selama setengah semester sebelum pindah ke SMA Langit Biru.
"Jadi, kau sungguh mengenaliku?"
Liara mengangguk. Kalau tidak, mana mungkin ia seberani ini. Tiba-tiba perempuan itu ingin memanfaatkan cerita lama untuk bisa lari dari sini hidup-hidup.
"Kenapa bisa kenal aku?" Redrick semakin penasaran. Dulu, ia tidak begitu terkenal di SMA Harapan. Tidakykaya, tidak juga tampan, apalagi pintar.
"Bagaimana bisa tidak kenal? Kau selalu bernyanyi di bawah pohon mangga dengan gitar tiap jam istirahat."
Liara tidak berbohong. Ia memang sering menontoni Redrick diam-diam dulu. Suara pria itu bagus dan permainan gitarnya lumayan.
Cukup lama memaadangi Liara, Redrick menghela napas. "Kenapa jadi seperti ini?" katanya kecewa.
"Kau mengharapkan apa memangnya? Sudah kubilang, ini sia-sia. Lepaskan saja aku. Anggap saja kau berbaik hati pada salah satu fansmu."
Bibir si lelaki melengkung. "Fans? Aku bahkan tidak mengenalimu."
"Kau bilang tidak asing dengan wajahku."
Decakan lolos dari mulut Redrick. Ini benar-benar tidak sesuai degan yang diharapkan. Harusnya penuh drama dan kengerian, scene penculikan ini malah terkesan santai dan tenang.
"Jadi, bagaimana? Kau akan melepaskanku atau tidak? Kau bahkan tidak memberiku makan. Penculik macam apa kau ini?"
Tidak ada rasa takut di mata Liara. Redrick pikir itulah yang menyebakan dirinya mau melakukan konversasi dengan perempuan itu.
"Apa aku harus membeberkan aibku yang satu itu, baru kau akan melepaskanku?" Siapa tahu ia iba, pikir Liara. Sedapat mungkin ia harus mencegah Hagan turun tangan.
Atensi Redrick terkumpul lagi. "Aib apa?"
Menarik napas, Liara berkata, "Aku pernah mengirmi surat cinta padamu. Yang sampulnya biru. Kau juga tidak ingat itu?"
Benar-benar kebetulan luar biasa. Redrick mengingat yang satu itu. Ketika itu ia duduk di kelas XI. Sebuah surat cinta bersampul biru dengan tanda hati di sudut atanya menghuni laci meja di pagi hari.
Sampai tadi, ia tak tahu siapa yang mengirimkan. Namun, ia masih ingat betapa manis dan hangatnya kalimat-kalimat di surat itu. Dan mengetahui bahwa si pengimiri adalah Liara, semakin tak berarutanlah susana hati si pria.
"Itu sungguh kau?"
Liara menggaruk pelipis, berusaha mengingat salah satu kalimat di surat itu. "Jika saja kau tahu bahwa ada satu orang yang di dunia ini yang selalu merindukanmu, apa yang akan kau lakukan?"
Redrcik semakin menekuk dahi. Ini bertamabh rumit. Memang Liaralah pengirim surat tersebut. "Kau membuat kepalaku sakit, Liara."
"Kau membuat tangan dan kakiku sakit." Liara memperlihatkan pergelangan tangannya yang memerah. "Ini perih, asal kau tahu," sambungnya.
Redrick memaksa otaknya bekerja. Apa yang harus dilakukan? Jelas, keinginnannya untuk menghabisi Liara tidak sebanyak sebelum ia tahu bahwa perempuan itu adalah mantan adik kelas. Redrick juga bingung mengapa dirinya bisa goyah secepat ini.
Selagi Redrick berpikir, Liara memilih berbaring di ranjang itu. "Sudahlah. Kalau kau memang tidak mau berubah pikiran, aku bisa apa. Biarkan saja aku mati kelaparan di sini."
Redrick menarik tangan Liara, hingga perempuan itu kembali duduk. "Kau pulang saja. Tampaknya, Hagan juga tak merespon ancamanku sebagaimana mestinya."
Liara tidak sengaja terjaga saat melihat Hagan akhirnya masuk ke ruangan mereka. Entah siapa yang memberikan ide agar ia dan si lelaki disatukan seperti ini. Benar kata Max, seolah mereka punya ikatan batin yang kuat, hingga sakit saja harus bersamaan. Hagan berjalan tertatih, membuat Liara mau tak mau menatap pria itu agak lama. Di saat itu ia melihat luka memar di sekitar wajah suaminya. Tadi, Hagan diajak keluar oleh Red, 'kan? Apa dua saudara beda ibu itu bertengkar? Karena apa? Penasaran, tapi Liara ingat dirinya sedang marah. Berusaha tidak peduli, Liara spontan turun dari ranjang rawatnya demi mencegah Hagan yang terhuyung jatuh ke lantai. Menopang tubuh pria itu, Liara bisa merasakan suhu di sana sedikit lebih tinggi dari harusnya. Mereka berpandangan. Entah apa arti sorot mata pria di sampingnya, Liara mengabaikan itu dan mulai memapah. membantu Hagan hingga naik ke atas ranjang. Berdiri di sana, Liara be
Susana rumah sore itu terasa mencekam bagi Hagan. Berjalan dengan langkah pelan dan hati-hati, laki-laki itu berharap semoga dirinya bisa lolos dari ini.Ruang tamu aman. Hanya ada Nia yang menyambutnya di sana."Tuan, di ruang TV." Nia memberitahu dengan suara pelan.Hagan menarik napas, membuangnya perlahan. Ia mengangguk lalu menuju ruangan yang Nia sebutkan tadi. Jantungnya mulai bertalu-talu. Perasaan cemas menyergap seketika. Tidak habis melakukan kejahatan, tetapi ia seolah akan menerima hukuman mati.Semua ini bermula tadi pagi. Liara yang resmi ia persunting dua minggu lalu meminta izin untuk jalan-jalan sendirian. Kebetulan, perempuan itu sudah mahir mengendarai motor. Hagan mengizinkan.Tanpa Liara ketahui, Hagan mengirim dua pengawal. Mengikuti Liara dan menjaga perempuan itu dari jauh. Sialnya, pengawal yang Hagan suruh terlalu ceroboh. Mungkin, karena takut melakukan kesalahan dan mendapat hukuman, mereka
Tak sabar menunggu lebih lama, Hagan akhirnya mengetuk pintu toilet di hadapannya. Tidak hanya sekali, tetapi berulang kali, lumayan keras. Lebih mirip gedoran daripada ketukan sepertinya. "Liara? Kau baik-baik saja? Kenapa lama sekali?" Hanya berselang sekitar beberapa sekon, pintu itu terbuka. Liara menampakkan diri. Sudah mengganti piyama rumah sakit dengan kemeja, ada kerutan tak senang di dahi perempuan itu. "Kenapa kau berisik sekali?" Liara hanya berganti baju dan buang air kecil sebentar. Apa Hagan harus menggedor-gedor pintu seperti tadi? "Kau lama dan tidak menyahut saat aku panggil. Aku kira terjadi sesuatu yang--" "Apa?" Liara memotong. Perempuan itu berjalan menuju ranjang. Duduk di tepiannya dan bersedekap. "Apa? Kali ini apa isi asumsimu?" Ini bukan pertama kalinya Hagan bersikap berlebihan begini. Pria itu semakin menjadi setelah Liara sadar dari koma. Bahkan untuk jalan-jalan saja Ha
Hagan tidak jadi menyebut dunia ini kejam dan keji. Liara sudah bangun dari tidur panjang dan dokter berkata, hasil pemeriksaan perempuan itu baik saja.Pagi ini, usai sarapan dan mengganti pakaian si mantan istri, Hagan mengajak Liara jalan-jalan ke taman. Sesuai dugaannya, perempuan itu senang karena akhirnya bisa menghirup udara di alam terbuka.Mereka duduk di salah satu bangku. Memandangi tumbuhan hijau dan beberapa bunga di sana. Tidak banyak bicara, hanya sesekali saling bertukar pandang dan senyuman.Sebenarnya, Hagan betah-betah saja dalam suasana hening demikian, Ia juga jadi lebih fokus memandangi wajah Liara. Namun, perempuan itu sepertinya ingin membicarakan beberapa hal.Liara membuka konversasi dengan topik yang serius. Anjani. Belum apa-apa, Hagan sudah melihat tangan perempuan itu bergetar.Pertama, Liara menceritakan mengapa Hagan tak bisa menemukan salah satu dari orang yang menyekap dan memukuli Lia
Hagan kembali ke rumah sakit sekitar pukul dua siang. Pria itu meninggalkan Liara beberapa jam untuk mengemasi barang-barang perempuan itu dari rumah sewa. Ia membawa semuanya ke rumah lama mereka.Apa pun yang terjadi nanti. Entah Liara akan setuju atau tidak, Hagan ingin perempuan itu tinggal bersamanya. Lebih bagus, jika mereka menikah lagi.Tidak langsung ke kamar rawat Liara, Hagan menyempatkan diri untuk duduk di taman rumah sakit. Menghirup udara bebas beberapa saat, kebetulan cuaca tidak terlalu terik hari ini."Paman pemarah!"SUara cempreng itu membuat Hagan menoleh ke kiri. Ada Liara, yang kecil. Tengah berlari ke arahnya dengan balon di tangan.Hagan mengulas senyum, tetapi sebisa mungkin memasang ekspresi garang."Namaku Hagan. Bukan Paman pemarah," protesnya seraya membantu Liara itu naik ke bangku."Paman dokter berkata, aku bisa memanggilnya paman pemarah." gadis itu tersenyum.
Orlando menghela napas. Ini yang kesepuluh kali. Pria tua itu menatapi mantan menantunya yang masih belum terjaga itu dengan bahu merosot.Hari ini ia berkunjung lagi. Menjenguk Liara, berharap kedatangannya kali ini disambut oleh perempuan yang pernah menjadi istri dari anaknya."Dia pasti sadar. Tidak lama lagi." Ia berusaha memberi semangat pada sang anak yang duduk di sisi ranjang satunya.Hagan yang meletakkan kepala di samping lengan Liara mengaminkan, tanpa suara. Pria itu lelah, bahkan untuk sekadar menegakkan punggung untuk bertatap muka dengan sang ayah.Hagan bicara parau. "Liara mencintaiku, Pa. Dia mencintaiku, ternyata."Orlando mengulas senyum sebisanya. Bukan hanya keadaan Liara yang belum kunjung sadar dari koma, situasi Hagan juga tak kalah menyedihkan sekarang ini.Anaknya itu kusut dan kacau. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin jelas. Bukan hanya karena sering tidak tidur, tetapi j
Hagan tak pernah tahu betapa terpuruknya Orlando kala Tere meninggal dulu. Ia juga mengira bahwa kehilangan sang ibu adalah hal paling buruk yang bisa dunia siapkan.Sekarang, lelaki itu penasaran bagaimana Orlando bisa tidak gila setelah ditinggal Tere. Dan ternyata, dunia kembali memberikannya hal tidak baik.Saat ini. Hagan tengah berusaha tetap hidup dan waras selagi dirinya menghadapi kemalangan yang seakan tak mau sudah.Lima hari lebih Hagan terus-terusan ada di ruangan rawat ini. Menatapi perempuan yang terbaring di ranjang itu. Dan apa? Tak ada perubahan yang terjadi.Liara masih mendiamkannya. Perempuan itu masih tidur dengan pulas, seolah memang tak ingin diganggu lagi.Ini tidak baik. Hagan nyaris hilang akal karena setiap hari bicara sendiri. Saat ia bertanya pada dokter, dokter hanya memintanya bersabar menunggu Liara membaik.Semua orang gila karena menyuruh Hagan tenang. Sudah bagus pria it
Liara meminta bertemu dengan Anjani. Untuk terakhir kali, sebelum mereka mengeksekusi rencana yang wanita itu buat. Mereka sudah membicarakannya dua hari lalu.Anjani memang seserius itu untuk melenyapkan Hagan. Tak main-main, wanita itu akan menggunakan arsenik. Wanita itu juga telah memberikan detil rencana pada si anak.Akan diatur pertemuan untuk Hagan dan Liara besok. Di salah satu resto, racun itu akan dicampur dengan makanan atau minuman Hagan. Mungkin mereka perlu menumbalkan salah seorang pelayan resto, tetapi itu tak masalah.Menyetujui ajakan bertemu, Liara diminta Anjani datang ke rumah pribadi wanita itu. Liara sampai di sana sekitar pukul dua siang. Liara sudah sengaja tidak masuk kerja demi menyiapkan perjumpaan terakhir mereka sebelum hari penting."Aku hanya ingin melihat Ibu sebelum besok. Besok hari besar untukku." Liara memeluk Anjani erat. Setelahnya, ia duduk dan mengeluarkan kotak bekal dari tas belanja. 
Hagan menatap nyalang pada semua pelayan yang berkumpul di ruang tamu. Pria itu marah."Kalian semua menganggap aku lelucon?"Dilempari sorot seolah akan dikuliti, semua pelayan itu menunduk. Hanya Biru yang sedikit berani menghampiri."Kau yang akan kubunuh pertama kali." Hagan menendang tulang kering pengawalnya itu.Bayangkan, ini masih pukul tujuh pagi dan Hagan sudah dibangunkan. Bukan untuk sesuatu yang penting seperti ada gempa, ada tsunami atau ada atraksi dinosuarus. Hagan dibangunkan hanya untuk membukakan pintu.Meringis, Biru berusaha berdiri tegak. "Ada tamu, Tuan. Tamu itu meminta Anda yang membukakan pintu."Kerutan di dahi lebar Hagan makin banyak. Matanya semakin merah. Rahang licinnya terlihat mengeras."Siapa?" Tangan pria itu mencengkeram leher Biru. Mencekik si pengawal beberapa saat. "Siapa, Biru? Siapa yang datang, hingga kau bersedia diminta membangunkanku hanya untuk m