Share

Dini gosipin Wita

Pagi ini, sengaja aku belanja di tukang sayur keliling. Kebetulan hanya sayur dan bumbu saja yang belum ada. 

"Eh, Mak Esah. Udah lama, gak kelihatan belanja di sini? tanya Bu Leli, tetangga depan rumahku. 

" Iya, Bu, cuma beli sayur aja," jawabku basa-basi. 

Sebenarnya aku malas menanggapi omongan Bu Leli. Soalnya, dia terkenal akan gosipnya. Aku berusaha menghindar dengan orang yang satu ini. Bisa merusak iman dan ibadah kalau bergaul lama-lama dengan Bu Leli. Apalagi, aku ini sudah berumur. 

"Eh, Mak Esah, mau nanya nih, kemarin lusa, saya ada dengar suara berantem di rumah Mak Esah. Siapa yang berantem, Mak?" tanya Bu Leli sambil berbisik. 

Kan, benar langsung kepo aja, nih orang. Gak liat situasi, pokoknya, pengen tau urusan orang. Terus nanti digosipin ke sana ke mari. 

"Bu Leli, salah denger kali, gak ada yang bertengkar, kok," jawabku lagi sambil memilih-milih sayur. 

"Gak mungkin, Mak. Lah, wong, bu Romlah sebelah rumah Mak, denger juga, kok!" Bu Leli bicara sambil bibirnya dimiring-miringkan ke kanan dan ke kiri. 

Si Romlah, setali tiga uang dengan Bu Leli. Kelompok tukang gosip dan ghibah. Kenapa, mereka ini gak tobat-tobat. 

"Gak, Bu Leli. Mungkin suara tivi kali."  Aku masih berusaha mengelak. 

Ah, Mak Esah, gak asyik. Jujur aja napa?" Bibir Bu Leli manyun. "Tapi, bay de wey bas wey, Dini kemarin ikut belanja di sini lho, Mak! Ih, menantu Mak itu, selain pinter dan cantik, ramah lagi. Beruntung, Imron dapetin Dini jadi istri. Karena, kan kalau dilihat, Imron mah sebenarnya kurang serasi sama Dini." Bu Leli tersenyum mengejek. 

Belum tahu, dia. Kalau penampilan dan fisiknya tak seindah perilakunya. 

"Dini, belanja di sini?," tanyaku heran. 

" Iya, Dini belanja, dan dia juga ngomong sesuatu, Mak!" ucap Bu Leli. 

"Sesuatu? Tentang apa?" tanyaku penasaran. 

"Nah, Mak Esah, kepo juga, kan? Bu Leli tersenyum, sambil menyenggol- nyenggol lenganku. 

Aku hanya tersenyum dan masih sibuk memilih-milih sayur. 

"Dini bilang, kalau dia gak akur sama Wita. Anak Mak, si Wita itu kasar, barbar, gak cocok sama Bagas, yang lembut dan penyayang. Kasihan, Bagas harus menikah dan menghabiskan hidup bersama Wita. Seharusnya, Bagas bisa dapat yang lebih baik lagi, Dini ngomong gitu, Mak."

Hah, aku terkejut mendengar penuturan Bu Leli. Sampai hati, Dini menjelekkan Wita, saudara iparnya sendiri. Benci boleh, tapi gak patut rasanya menjatuhkan ipar di depan orang lain. Kupingku terasa panas mendengar ucapan Bu Leli. 

"Mak, pasti gak percaya, dengan omongan saya ini. Banyak saksinya, Mak. Ada Romlah, bu rt sama si Kang Ujang juga dengar, ya, Kang?" tanya Bu Leli pada tukang sayur. 

Kang Ujang hanya menggeleng-gelengkan kepalanya sambil mengangkat kedua tangannya tanda tak mau ikut campur. 

"Ih, Kang Ujang, mah, sama dengan Mak Esah, gak asyik," ucap Bu Leli kesal. 

Aku terdiam. Mungkinkah Dini berkata seperti itu. Tapi, bisa jadi karena selama ini, Dini dan Wita memang tidak pernah akur. 

"Kalau, Mak gak percaya sama saya, Mak, bisa tanyakan kepada yang ada di sini, waktu itu. Atau tanya langsung sama Dini. Tapi, Mak, ini saya minta maaf dulu, ya! Saya perhatikan, waktu itu, setiap Dini menyebut nama Bagas, wajahnya berubah, mmm  … seperti bersinar-sinar gitu," tutur Bu Leli. 

Untuk kedua kalinya aku terkejut. Tidak bisa dibiarkan. Kusudahi acara belanjaku dan berpamitan pada Bu Leli. Aku harus bertanya pada Dini apa maksud ucapannya. 

Sesampainya aku di rumah, kutarok belanjaanku ke dapur. Ku temui Dini yang sedang menonton tivi. 

"Din, kemarin kamu belanja?" tanyaku sembari duduk di sebelahnya. 

" Iya, emang kenapa, Mak?" Dini balik bertanya. 

"Apa benar, kamu bilang pada Bu Leli dan yang lain  kalau Wita itu kasar?" tanyaku pelan. 

Dini tersenyum tipis. Dapat kutangkap, hatinya seperti bahagia mendengar berita ini. 

" Udah nyampek ke Mak, ya, gosip tentang Wita?" Dini bertanya lagi. 

"Jadi … jadi beneran, kamu ngomong gitu ke tetangga?! Dan yang tentang Bagas, itu juga bener kamu yang ngomong?" tanyaku dengan nada agak tinggi. 

"Bener, ada yang salah?" tanya Dini tanpa perasaan bersalah. 

"Salah! Sangat salah! Seharusnya, kamu tidak pantas ngomong seperti itu! Wita itu keluargamu juga, adik suamimu! Apalagi, yang kamu bilang ke orang-orang itu, gak bener semuanya!" ucapku emosi. 

"Halah, Mak! Keluarga yang mana? Toh, Dini gak pernah tuh, menganggap Wita sebagai keluarga.  

Astaghfirullah, jahat sekali lidah menantuku ini. Entah apa maunya, padahal, Wita selama ini gak pernah berkata kasar. Baru sekali itu, Wita main tangan padanya, dia tega mengatakan yang tidak- tidak pada tetangga. 

"Sekarang, mak mau tau, kenapa, kamu menjelek-jelekkan Wita? Sampe ngomong, Bagas perlu dikasihani, karena beristrikan Wita, maksud kamu, apa?!"

Dini tersenyum sinis memandangku. Ya, tuhan beginikah sebenarnya sifat asli menantuku. Selain pintar berpura-pura, hatinya juga sangat jahat. Lidahnya tak pernah mengeluarkan kata-kata yang baik. 

"Mak, gak perlu tau, alasan Dini melakukan itu semua. Yang perlu, Mak pahami, Dini cuma mau merebut, apa yang seharusnya, sudah menjadi hak Dini."

"Hak apa? Hak apa yang sudah Wita ambil dari kamu. Selama ini, Wita gak pernah ngomong kasar sama kamu."

"Sudahlah, Mak! Jangan terus membela anak perempuan Mak itu! Mak gak tau, hatinya sebenarnya jahat. Dia tega merebut, apa yang pernah jadi milik Dini! Dan dia sudah menampar Dini. Gak akan pernah Dini maafkan dan lupakan semua perbuatan Wita!" Dini berucap dengan nada tinggi dan napas memburu. 

Aku terdiam merenungkan ucapan Dini. Bingung sekaligus kesal dengan semua perlakuan dan sikapnya. Apa maksudnya? Dan apa yang pernah Wita rebut dari Dini. Setauku, sebelumnya, mereka tidak saling mengenal. Kupijit-pijit pelipisku, mencerna kata tiap kata dari mulut Dini. 

"Minggir, Mak! Dini mau ke kamar. Tensi jadi naik, kalau ngomongin Wita! Dini berlalu di depanku tanpa melirikku. 

Aku hanya mengurut dada meredam kekesalan. Banyak sekali teka-teki pada diri menantuku itu. Dan terlihat sekali kebenciannya pada Wita. Kepalaku rasanya mau pecah memikirkannya. Kupikir masa tuaku akan tenang dan tidak ada masalah. Tapi ternyata, bertubi-tubi masalah datang, semenjak Dini berada di rumah ini. 

Harus bagaimana aku menghadapi masalah ini. Ngomong sama Wita, aku kuatir, dia bertambah emosi. Dengan Imron, ah, sangat tidak mungkin. 

Pekerjaannya saja sudah menyita waktu. Dan tidak mungkin aku harus menambah beban pikirannya. Sama Bagas. Apa harus aku ceritakan pada Bagas. Rasa- rasanya, dia orang yang tepat, untuk tempatku berbagi. Bagas juga orangnya lebih bisa menahan emosi dan sabar. 

Mungkin ini cara terbaik. Aku tidak bisa berpikir dan bertindak sendiri. Harus ada orang yang menolongku dan itu Bagas. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status