Share

Rahasia apa

Sore itu, aku baru pulang dari pengajian. Kulihat motor Bagas ada di depan rumah. Aku pikir, mungkin, Wita dan cucu-cucuku ikut berkunjung dan sudah menungguku di dalam. Namun, baru saja kaki ini melangkah, lamat-lamat  terdengar suara Dini. Kuhentikan langkahku dan berdiri di ambang teras. 

"Gas, kenapa, kamu gak seperti dulu lagi? Sikapmu juga sangat berubah," Dini bertanya. 

"Maaf, Din. Kita bukan siapa-siapa lagi. Kamu, harusnya bisa menjaga kepercayaan suamimu. Mas Imron sangat menyayangimu. Seharusnya kamu bersyukur. Dia lelaki yang baik dan soleh," ucap Bagas. 

Aku tercenung. Sebenarnya ada hubungan apa Bagas dan Dini. Kenapa, Bagas ngomong seperti itu. Apa mungkin sebelum ini mereka sudah saling mengenal. 

"Aku tau, mas Imron baik, bahkan sangat baik, malah. Tapi, hubungan ini, sebenarnya aku tidak menginginkannya," ujar Dini. 

"Sudahlah, Din. Coba, kamu belajar menerima, dengan apa yang sudah kamu dapatkan dan jalani dengan ikhlas," ucap Bagas. 

"Gak, aku tetap gak terima! Istrimu itu yang menyebabkan semua kekacauan ini. Kalau dia tidak muncul dihidup ki—"

"Cukup, Din! Jangan, kau bawa-bawa Wita dalam permasalahan ini. Justru aku sangat bersyukur, bisa bertemu Wita. Dan dia tidak melakukan kesalahan apapun! Berhenti menyalahkan orang lain, hanya untuk menutupi kesalahanmu!"

"Gak usah membela perempuan itu di depanku, Gas. Aku tak sudi. Aku akan berusaha, mendapatkan yang seharusnya jadi milikku, apa pun caranya!" ucap Dini emosi. 

Aku bingung, sebenarnya mereka membicarakan tentang apa. Aku mencoba untuk berpura-pura tidak mendengar. Kembali kulangkahkan kaki dan mengucapkan salam. 

"Assalamu'alaikum," ucapku 

Wa'alaikumsalam," jawab Bagas. 

"Eh, Mak baru pulang, ya?" tanya Bagas salah tingkah. 

"Iya, baru saja pulang dari pengajian. Kamu, sendirian, Gas, Wita mana? tanyaku. 

"Wita di rumah, Mak. Bagas cuma mampir sebentar, sekalian mau ke bengkel di ujung gang. Ada titipan Wita untuk Mak." Bagas menyodorkan bungkusan kepadaku. 

Kuterima bungkusan dari Bagas. Kubuka, ternyata kue lapis kesukaanku. Aku tersenyum. Ah, Wita. Anak itu selalu begitu. Kulirik Dini yang berdiri tak jauh dariku. Wajahnya masih terlihat kesal dan emosi. 

"Mak, Bagas langsung, ya! Keburu bengkelnya tutup," pamit Bagas. 

"Eh, iya, Gas. Bilang makasih ke Wita ya," ucapku. 

"Iya, Mak!" ucap Bagas. 

Bagas mencium tanganku kemudian berlalu menuju motornya. Kuantar Bagas ke depan. Tak lama bunyi motor menjauh. Setelah kepergian Bagas, kupanggil Dini. Ada banyak hal yang harus kutanyakan pada Dini. 

"Din, mak mau bicara sebentar," pintaku. 

"Mak, mau ngomong apa?! Kalau mau ngomong masalah Wita, Dini gak mau! 

"Duduk dulu, Din!" pintaku lagi. 

  

Dini menghempaskan badannya dengan malas. 

"Mau ngomong apa lagi sih, Mak?" tanya Dini ketus. 

"Mak, mau nanya. Dua hari yang lalu, mak ada nemuin bungkus obat. Pas mak cek, ternyata itu pil kb. Kenapa, kok bisa ada pil kb di tong sampah? Apa itu punya kamu, Din?"

"Eh, itu, bu— bukan, Mak!" jawab Dini terbata-bata. 

"Lantas, punya siapa? Di rumah ini, cuma ada kamu sama Mak. Makanya, Mak nanya sama kamu."

"Mak ini, udah dibilangin, bukan punya Dini! Kok, masih nanya juga! Ternyata, Mak, orangnya ngeselin juga, ya, sama kayak Wita!" ucap Dini ketus. 

Selalu begitu. Setiap aku bertanya, atau meminta, jawabannya selalu kasar. Ada benarnya juga, apa yang Wita bilang, mungkin Dini gak pernah diajari sopan santun. Dan herannya, kenapa selalu Wita  dibawa-bawa. Dini seperti dendam pada Wita. 

"Ya, sudahlah kalau begitu, mak mau ke kamar dulu." ujarku. Aku berlalu meninggalkan Dini yang masih terlihat kesal. 

Aku duduk di sisi ranjang. Kulirik bungkusan pil kb yang kutemukan tempo hari. Aku berpikir keras. Sepertinya tadi, Dini menjawab dengan terbata-bata. Aku rasa dia berbohong. Untuk menutupi kebohongannya, dia malahan nyolot padaku. Namun, apa alasannya, sampe Dini meminum pil kb. Bukankah dia berharap agar bisa cepat hamil. Dan itu juga, selama ini dijadikannya alasan, agar tidak membantuku dalam pekerjaan rumah tangga. Menantuku itu lama-lama penuh dengan misteri. 

Ah, iya, lupa. Kenapa, tadi aku tak bilang pada Bagas, kalau ada yang mau aku omongin. 

Kuambil gawai dan menghubungi nomor Bagas. Tapi, nomornya tidak aktif. Kucoba sekali lagi, menghubungi Bagas, masih sama, tidak aktif juga. Ya, sudahlah nanti saja kuhubungi lagi. 

Kuputuskan untuk memasak saja, kebetulan lauk siang tadi sudah habis. Daripada tambah pusing kepalaku. Gegas kusiapkan segala  bahan masakan. Rencana, aku akan memasak yang praktis saja, sambel ayam. 

"Mak, masak apa?" Tiba-tiba Dini menghampiriku. 

"Masak sambel ayam," ucapku singkat. 

"Dini gak mau sambel ayam! Maunya gulai ayam."

Aku hentikan kegiatanku menyiapkan bahan masakan. Kupandangi wanita yang belum genap setahun menjadi menantuku ini. 

"Kamu, kalau mau masak ayam gulai, masak sendiri! Mulai hari ini, kamu urus urusanmu sendiri! Mak gak mau lagi diperintah-perintah seperti babu!" ucapku ketus. 

Kulihat Dini membelalakkan matanya. Mungkin tak percaya, aku akan membalasnya seperti itu. Enak saja dia, sudah menjelek-jelekkan anakku, terus masih seenak perutnya memerintah aku. Gak sudi lagi aku. 

"Waw, surprise! Mertuaku sekarang sudah menunjukkan powernya!" ucap Dini sembari bertepuk tangan. 

Kulanjutkan pekerjaanku. Tak kugubris keberadaan Dini lagi. 

"Mak, emang Mak gak kuatir. Bagaimana seandainya Dini cerita ke Mas Imron, kalau Mak yang sangat disayang dan dihormatinya itu telah menyiksa istrinya yang cantik ini," ucap Dini dengan senyum mengejek. 

"Mak, dak mempan lagi dengan ancaman itu. Mak percaya pada Imron. Dia dak akan langsung terpengaruh dengan omonganmu yang ngelantur itu," ucapku lagi. 

"Huh! Percaya diri sekali, Mak mertuaku ini! Makan masih numpang dengan anak saja, masih bersikap angkuh!"

Aku tersenyum. Sepertinya Dini sangat kesal dengan ucapanku. Biar saja dia tahu. Hewan saja tidak akan sudi kalau anaknya diusik. Begitu pun aku. Gak akan kubiarkan siapa pun, menyakiti anakku, apapun alasannya. Apalagi emang kenyataannya Wita tidak bersalah. 

"Oke, Mak! Kalau, Mak memang akan bersikap seperti ini seterusnya, jangan salahkan, jika Dini berbuat hal yang bahkan gak pernah Mak pikirkan."

"Mak, dak takut! Sudah cukup, Mak selama ini mengalah dan bersabar, dengan sikap dan tindakanmu. Berharap kamu akan sadar. Namun kayaknya sia-sia. Bukannya sadar, malah kamu terus-terusan berbuat masalah. Mak dak ngerti dendam apa kamu sama Wita. Yang pasti, Mak akan tetap membela Wita. Mak akan mati-matian berusaha walaupun yang mak hadapi menantu mak sendiri."

Wajah Dini memerah menahan marah. Kedua tangannya mengepal. 

"Mak sama anak, sama saja. Nyusahin orang dan bikin orang kesel terus. 

Dini berbalik badan dan meninggalkanku. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku. Terbayang langsung wajah Imron. Aku sangat merasa bersalah padanya. Maafin, makmu Nak. Mak sudah cukup bersabar menghadapi istrimu. Mak harus bersikap tegas pada istrimu. Semoga kau mengerti. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status