"Sebenarnya, apa Mak?" desak Imron.
"Mas, maaf, saya ikut campur!" Bagas menyela ucapan Imron.
"Ya, Gas. Bicaralah, mas juga sudah pusing ini."
"Gini aja, Mas. Kita gak perlu lagi cari apa masalahnya. Yang jelas, itu sudah terjadi. Saya yakin, itu hanya salah paham saja. Sekarang ini, sebaiknya kita sudahi saja. Saya akan meminta Wita, minta maaf pada Mbak Dini dan saya janji, Wita gak akan mengulangi perbuatannya lagi," ucap Bagas lagi.
Wita mendelik ke arah Bagas tanda tak setuju. Yang ditatap terlihat santai.
"Huh, enak saja hanya minta maaf! Kamu gak tau, Gas, istrimu itu bar-bar, kek preman pasar! Aku gak terima, hanya dengan permintaan maaf saja," timpal Dini.
"Heh, kamu pikir, aku sudi apa minta maaf sama kamu!" balas Wita.
"Bunda! Jaga sikap! tegur Bagas pada Wita.
Wita terdiam dan menunduk.
"Sudahlah, Nak. Dak usah diperpanjang lagi. Jangan bertengkar lagi, cukup!" ucapku.
"Ya, sudahlah, Mak. Imron juga gak mau gara-gara ini, bikin pertengkaran saja. Din, kalau emang, kamu gak terima, mas yang minta maaf sama kamu, atas nama Wita! Bagaimanapun, Wita adik mas, saudara mas."
"Mas, jangan kek gitu, Mas," ucap Wita lirih.
"Bunda, minta maaf gih, sama Mbak Dini," pinta Bagas.
Wita hanya menunduk lalu menghela napas.
"Maaf, Mbak! ucap Wita tak rela.
"Gak denger, kamu ngomong apa?" ujar Dini ketus.
"Aku, minta maaf!" ulang Wita.
"Oke, karena aku adalah ipar yang baik hati, aku akan maafin kamu, tapi inget, jangan kurang ajar lagi, kamu!" Dini tersenyum mengejek.
"Mas, Wita minta maaf juga sama Mas. Semoga suatu saat nanti, Mas ngerti, kenapa Wita kek gini. Wita sama Mas Bagas pamit dulu, kuatir anak-anak nyariin," pamit Wita.
"Ya, Dek. Mas juga minta maaf, jika ada sikap dari Dini yang tidak berkenan dihati kamu," ucap Imron.
Dini memanyunkan bibirnya, mendengar Imron berkata seperti itu.
Aku merasa lega. Setidaknya pertengkaran yang kukuatirkan tidak terjadi. Memang masih terlihat di wajah Wita dan Dini ketidakpuasan, tapi mungkin karena memandang Imron, mereka berusaha meredamnya.
Wita dan Bagas pun pamit. Tinggal kami bertiga. Tak lama, Imron masuk ke kamar, ingin mandi katanya.
Aku dan Dini masih duduk di ruang tamu.
"Mak, Dini cuma mau bilang, Mak jangan pernah ngomong macam-macam tentang Dini, sama Mas Imron! Kalau gak, Wita yang akan Dini buat sengsara!" ancam Dini pelan.
Aku mengernyitkan keningku. Kenapa, jadi Wita yang dibawa-bawa, apa maksud Dini.
"Maksud kamu, apa Din? Kenapa, Wita yang jadi sasaran kamu?" tanyaku penasaran.
"Jujur, Mak, Dini gak suka sama Wita. Sikapnya kelewatan dan gak sopan sama Dini. Bagas, salah pilih istri sepertinya."
Aku terkejut dengan ucapan Dini. Dak salah, bukannya dia sendiri, yang tidak sopan dan sudah kelewat batas. Kenapa juga bawa-bawa Bagas.
"Terserah, kamu Din! Mak mau ke kamar dulu!" ucapku.
Aku beranjak meninggalkan Dini seorang diri. Tak kuhiraukan, ucapannya yang ngelantur itu. Biarlah dia mau bilang apa. Aku hanya bisa berdoa, semoga anak-anakku, selalu akur dan rumah tangganya langgeng.
***
Hari ini, hari kedua Imron di rumah. Dini dan Imron berpamitan tadi ingin makan di luar. Imron mengajakku serta, tapi, aku menolak. Biarlah mereka memiliki waktu pribadi berdua, aku tidak mau mengganggu.
Setelah solat isya dan mengaji sebentar, kuputuskan untuk beristirahat saja. Hari ini cukup melelahkan. Ada dan tidak ada Imron, semuanya aku yang mengerjakan. Dini akan berpura-pura kecapekan dan menyuruh aku berbohong di depan Imron, agar aku menyuruhnya istirahat. Jadi, dia tetap terhindar dari pekerjaan di rumah ini. Dan entah kenapa, bodohnya aku mengikuti kemauan Dini.
Beruntung tadi Imron membantu. Anakku itu memang tidak segan-segan melakukan pekerjaan rumah tangga. Dari dulu, kedua anakku memang sudah kuajari untuk tidak berpangku tangan.
Baru saja mataku terpejam, tiba-tiba tenggorokanku terasa kering. Gegas kuambil gelas di atas nakas. Ternyata airnya kosong. Aku beranjak dari pembaringan lalu keluar menuju dapur.
Kuambil air dari dispenser, dan meneguknya. Saat ingin mengisi air kembali, mataku mendapati bungkusan obat di tong sampah.
Kuambil bungkusan itu. Kubaca keterangannya. Aku terkejut. Bukannya ini pil kb. Tapi, siapa yang meminum ini. Dini, kan ingin hamil, gak mungkin dia minum obat ini.
Pikiranku jadi tak tentu. Kusimpan bungkusan itu. Besok akan kutanyakan pada Dini. Kenapa bisa ada pil kb di tong sampah.
Aku kembali ke kamar. Kepalaku tiba-tiba pusing memikirkan temuanku tadi.
Drrt drrt drrt. Gawaiku bergetar. Kulihat ada panggilan masuk. Ternyata Wita.
"Assalamu'alaikum, Nduk." Kujawab panggilan dari Wita.
"Wa'alaikumsalam, Mak. Mak dah tidur? Wita ganggu Mak, ya?"
"Belum, mak belum tidur. Nih, tadi habis ambil air di dapur. Tenggorokan mak kerasa kering gitu".
"Ooh, banyak minum memang, Mak kalau tenggorokan terasa kering," balas Wita.
"Ada apa, Nduk? Tumben nelpon malam-malam," tanyaku.
" Gak, Mak. Cuma mau nanya kabar, Mak aja. Wita juga sekalian mau curhat sama, Mak,"
Curhat, tumben Wita mau curhat. Biasanya jarang sekali, dia seperti ini. Sebenarnya ada apa.
"Curhat apa, Nduk? Tumben?" tanyaku lagi.
"Mak, Mas Imron dan Dini ada di rumah, gak?" Wita balik bertanya.
"Dak ada, mereka berdua keluar sehabis isya tadi. Ada apa sih, Nduk," tanyaku penasaran.
"Anu, Mak. Entah ini perasaan Wita saja, atau memang karena Wita sudah gak respek sama Dini. Tapi, Wita kepikiran. Wita perhatikan, ketika kita ngumpul kemarin, pandangan Dini tu gak lepas dari Mas Bagas. Padahal, ada Mas Imron di sebelah nya. Wita sebenarnya gak mau suudzon, Mak. Tapi kelihatan banget, kayak tertarik gitu," jelas Wita.
Kuingat kejadian kemarin. Memang seingatku Dini duduk berhadapan dengan Bagas. Tapi aku tidak terlalu memperhatikan pandangan Dini.
"Mmm … mungkin itu perasaanmu saja, Wit. Dak usah terlalu dipikirkan. Berbaik sangka saja pada Allah. Dan banyakin berdoa. Jadi pikiran kita tu, gak negatif terus," nasehatku.
"Iya, Mak. Mungkin ini perasaan, Wita saja. Mak, sehatkan?"
"Alhamdulillah, sehat," jawabku.
"Alhamdulillah, kalau, Mak sehat. Makasih ya, Mak. Hati Wita agak tenang jadinya."
"Iya, Wit, sama-sama. Kalau kamu ada masalah apa, jangan sungkan bilang ke Mak, ya."
"Iya, Mak. Mak, udah dulu, ya. Wita mau bikinin susu Zakia dulu. Assalamu'alaikum," ucap Wita.
"Iya, Nduk. Wa'alaikumsalam." jawabku.
Telepon dimatikan. Jadi bertambah masalah yang mengganggu pikiranku. Akhirnya kurebahkan tubuhku diranjang.
***
Pagi tadi, setelah sarapan, Imron pamit berangkat kerja lagi. Dini, setelah mengantar kepergian Imron tadi, tidak keluar dari kamar.
Aku memilih mencuci piring bekas sarapan tadi. Sambil mencuci piring, baru aku teringat pil kb semalam. Gegas aku ke kamar dan mengambil bungkusan obat itu.
Sesaat aku akan mengetuk pintu kamar Dini, terdengar Dini lagi berbicara ditelepon. Niat hati tidak bermaksud menguping, tapi, Dini menyebut nama Bagas dan Wita. Ku dengar dengan seksama apa yang dibicarakannya. Dini menyebut, akan membalas dan membuat Wita menderita karena sudah merebut apa yang seharusnya dia miliki. Aku tidak tau dia berbicara dengan siapa.
Niatku ingin menanyakan pil KB tadi kuurungkan. Kepalaku tiba- tiba pusing. Kenapa, Dini kelihatan dendam sekali pada Wita. Apa yang sebenarnya terjadi. Apa maksud Dini. Berbagai pertanyaan bermunculan di pikiranku.
Aku harus cari cara untuk mengetahuinya. Sebelum, Dini melakukan perbuatan yang bisa merugikan Wita. Aku gak mau, Wita menderita.
Sepulangnya Imron dan Nabila dari rumah sakit, mereka memutuskan untuk mengadakan acara lamaran. Setelah surat cerai resmi keluar baru mereka akan menikah. Sore ini akan diadakan acara lamaran Imron untuk Nabila. Persiapan lamaran dan make up diserahkan Nabila pada EO milik temannya sendiri. Rumah Nabila sudah dirias sedemikian rupa. Tenda dengan warna biru dan silver telah berdiri tegak di depan rumah Nabila. Kursi yang sudah dilapisi kain putih berjejer rapi. Semua tampak sibuk dengan urusan masing-masing. Nabila sedang berada di kamarnya. Setelah dirias dengan konsep flawless menambah kesan anggun. Kebaya sederhana warna biru berpayet dipadu padan dengan kain batik abu serta hijab biru, begitu sempurna di tubuh Nabila. Lastri menemani Nabila yang sedang menunggu kedatangan rombongan Imron. "Kak, cakep banget, ih! Jadi pingin cepat dilamar juga!" goda Lastri. "Bilang sama A' Gilang, kapan mau bawa aku ke penghulu, A'!" Nabila balik menggoda. "A' Gilang bilang secepatnya dia ma
Sementara Dini dan Erik kabur. Mereka menuju apartemen Erik. Untuk sementara mereka bersembunyi. Jangan sampai tertangkap. Mereka berdua duduk di sofa. Erik mengambil botol air mineral di atas meja. Membuka tutupnya dan menyerahkannya ke Dini. Dini menerima botol tersebut dan meneguknya. "Kira-kira kita bakal ketangkep gak, Rik?" tanya Dini cemas. "Mudah-mudahan gak!" jawab Erik santai. Erik kemudian menatap Dini yang kembali meneguk air mineral. Erik menelan ludah melihat Dini. Tiba-tiba hasratnya kembali menggebu. Dia ingin meminta jatah pada Dini. "Din!" Erik merangkul bahu Dini dan mendekat. "Ya!" jawab Dini. Dipalingkan wajahnya ke Erik. Sepertinya dia bernapsu nih. Apa kujalani saja rencanaku. Bagas dan Nabila tidak berhasil. Mungkin ini bisa berhasil, pikir Dini. "Kamu mau apa?" tanya Dini selembut mungkin. Baju atasannya dibukanya satu kancing untuk memancing Erik. "Aku pingin kamu, Din! Setidaknya kalau kita dipenjara pun, aku tidak terbayang-bayang kamu, Din.""Kamu
"Erik kembalikan hijabku!" seru Nabila. Dia merasa geram dan marah namun tidak berdaya. "Oh, no! Kamu sangat cantik tanpa hijab bikin aku tambah berhasrat ingin segera menyentuhmu." ujar Erik. "Akan aku patahkan tulangmu kalau sampai kau berani menyentuhku!" Nabila dengan mata nyalang menatap Erik. "Huh …aku takut!" jawab Erik. Anak buahnya ikut tertawa mendengar ancaman Nabila. "Teruskan Bos! Buka satu persatu! Kami ingin menikmatinya juga," ucap Si Botak. Dini ikut tertawa. Tangannya memegang ponsel siap memvideokan aksi Erik. Ini bakalan menyenangkan, pikir Dini. Imron akan sangat menderita, menonton calon istrinya ternoda dan harus mati mengenaskan. "Gunting mana?" tanya Erik. Sigap Si Gondrong menyerahkan gunting yang tadi dipakai untuk memotong tali. Erik mendekati Nabila kemudian menggunting bagian bawah gamisnya. Sehingga gamis yang dipakai Nabila hanya menutupi separuh pahanya saja. Untuk sekian kali Erik terpana. Benar-benar mulus. "Erik!" teriak Nabila. Matanya me
Dini menarik napas dan membuangnya kasar. Dia meraih ponsel kemudian menghubungi Erik. "Halo, Din!" Erik menjawab panggilan Dini. "Rik, jalankan rencana selanjutnya, secepatnya. Aku gak mau lihat keluarga mereka terlalu lama bahagia!" perintah Dini. "Siap, Sayang! Apapun yang kamu mau, aku akan lakukan. Kamu tunggu beritanya ya, Sayang.""Oke, aku tunggu!" jawab Dini. Dia menutup panggilan sepihak. Hatinya masih diselimuti kekesalan. Beruntung sekali Bagas. Padahal, renacanya sudah sangat matang. Siapa sangka rumah itu terpasang CCTV. Dan dia akhirnya terbebas dari tuduhan. "Sialan!" Kembali Dini melempar barang, kali ini bantal yang jadi sasaran. Aku akan membuat mereka menderita. Akan kubuat mereka merasakan apa yang selama ini aku rasakan, batin Dini. ***Pagi ini, Nabila ada janji meeting dengan Tuan Darren. Melanjutkan pembicaraan mereka pada meeting pertama. Saat akan mengisi bensin, Ical kebelet ke toilet. Mobil di parkir di bahu jalan. Memang tempat ini masih kelihatan
"Ya sudah, siang ini kita makan di luar ya, Mas yang traktir!" ajak Imron. "Siap, Mas!" jawab Wita. Mak Esah dan Bu Erna tersenyum. Hati mereka berdua merasa lega karena masalah Bagas telah terselesaikan. Imron pamit duduk di teras. Dia berencana akan mengajak Abil dan Ical sekalian untuk makan bersama. Dikeluarkannya ponsel dari dalam sakunya dan menekan nomor Nabila. "Halo, assalamu'alaikum!" jawab Nabila. "Wa'alaikummusalam, lagi di mana, Bil?" tanya Imron. "Mmm …aku …aku eh kamu udah nyampe belum?" Nabila mengalihkan pertanyaan Imron. "Aku udah nyampe dan udah tau semuanya!" jawab Imron."Maaf ya! Aku cuma gak mau kamu kuatir!""Iya, tapi lain kali cerita aja gak papa, kok. Aku juga bukan orang yang panikan gitu!" ujar Imron. "Iya, maaf lagi ya!" Nabila memohon maaf lagi. "Iya, aku maafin, jadi sekarang kamu sebenarnya di mana?" tanya Imron lagi. Nabila menghela napas. Dia sebenarnya tidak ingin masalah ini diketahui Imron. Tapi setelah dipikir-pikir sebaiknya Imron juga
"Apalagi sih, Bu? Kok hobi banget cari masalah sama keluarga kita?!" ujar Wita. "Siapa juga yang mau cari masalah? Keluarga kalian itu dari awal sudah bermasalah!" sahut Bu Leli. "Terus urusan Ibu apa buat keributan di sini?" tanya Wita dengan nada geram. Dia sudah benar-benar gak tau lagi mau ngomong apa sama manusia satu ini. Hobi banget cari perkara. "Saya mewakili warga di sini meminta kalian untuk pindah! Kami tak sudi bertetangga dengan orang kriminal!" ujar Bu Leli dengan lantang. "Siapa yang kriminal? Kasus suami saya masih diselidiki polisi! Belum ada keputusan kalau suami saya jadi tersangka! Jadi Ibu jangan asal tuduh! Ibu kayaknya perlu dikasih pelajaran nih, biar mulutnya gak asal mangap!" Emosi Wita mulai terpancing. Bu Erna merangkul menantunya itu dan berusaha menyabarkan. "Halah, alasan saja bilangnya belum ada keputusan! Jelas-jelas Bagas sudah ditahan, mau ngelak bagaimana lagi?!" sahut Bu Leli"Iya benar! Kalau emang tidak bersalah gak mungkin sampai hari ini