Share

Lihat Aku, Suamiku!
Lihat Aku, Suamiku!
Penulis: Dewi kim

Aku lelah, aku ingin menyerah

"Mas, hari ini jadwal kontrol kandunganku. Bisakah mas saja yang memeriksaku," ucapku pada suamiku saat kami sedang sarapan. Ada sedikit ketakutan dan rasa malu saat aku mengungkap keinginanku pada mas Ghani yang tak lain adalah suamiku. 

Bagaimana tidak, suamiku yang berkerja sebagai dokter kandungan sama sekali tak mencintaiku, bahkan mungkin tak menganggapku ada. Kami menikah karena terpaksa. Mendiang istri suamiku memaksa kami menikah sebelum kematian datang menyapanya.

Mas Gani menaruh sendok yang sedang di pegang nya. Seperti biasa, dia menatapku dengan tatapan datar. 

"Pasien saya penuh. Kamu bisa periksa di rumah sakit lain," jawab suamiku acuh dan kembali menyodokan makanan kemulutnya.

Mendengar jawaban suamiku. Mataku mengembun. Jawaban yang selalu sama setiap aku mengutarakan keinginanku. Seharusnya aku tak perlu sakit hati lagi dengan jawabannya karena aku tau, pasti dia akan menjawab hal yang sama. Tapi, tetap saja, rasa sakit itu tak bisa di hindari. 

Setelah mendengar jawabannya, aku menunduk tak berani lagi menatapnya. Harga diriku seolah hilang karena mendengar jawabannya. Apa aku atau calon anakku salah jika menginginkan mas Gani suamiku yang mendampingi kami? Aku lelah Ya Allah, aku ingin menyerah.

Seperti biasa, dia pun bangkit dari duduknya dan melangkah pergi untuk bekerja tanpa mengucap satu patah kata pun padaku menegaskan bahwa aku memang istri yang tak dianggap.

Setelah mas Gani pergi, tangis yang sedari tadi aku tahan akhirnya pecah. Aku pun memilih pergi kekamar tanpa menyelesaikan sarapanku.

Aku menatap din-ding tempat Foto mendiang mba Rahma masih terpajang di din-ding kamar kami, kamar yang dulu merupakan kamar suamiku dan kamar mendiang mba Rahma.

Ingatanku kembali saat aku bertemu Mendiang mba Rahma untuk pertama kalinya. 

beberapa bulan lalu Aku baru saja tiba dari kampung ke kota. Niatku ke kota karena ingin menghampiri temanku yang menawarkan pekerjaan padaku. 

Namun, sayang. Saat aku akan menyetop angkot, aku kecopetan. Tasku dibawa oleh copet. Aku dan beberapa orang mencoba mengejar copet tersebut. Namun sayang, copet itu hilang kami tak berhasil mengejarnya.

Aku terduduk lemas di terminal. Perutku lapar, semua uang, ponsel dan alamat temanku ada di tas yang tadi di copet. 

Aku hanya bisa menangis meratapi yang terjadi. Aku bingung harus melakukan apa, ingin kembali ke kampung pun aku tak memegang uang sama sekali. 

Saat aku tertunduk dan menangis. Seseorang menepuk bahuku dari belakang. 

Aku pun menoleh kebelakang. 

"Kau tidak apa-apa, Dik?" tanya wanita yang menepuk pundaku. Wanita itu sangat cantik. Ia tersenyum kepadaku. 

"A-aku tidak apa-apa, Mba," jawabku berbohong. 

"Aku Rahma." Wanita cantik itu pun tersenyum sambil mengulurkan tangannya padaku. 

Aku pun bangkit dari duduk dan membalas uluran tangannya. 

"Aku Mahira," jawabku.

"Kau sedang mencari pekerjaan, Mahira?" tanyanya saat kami sudah berjabat tangan. 

Aku pun mengangguk ragu.

"Kau mau menjadi pengasuh anakku?" tanyanya lagi. 

"Mbak, apa Mba percaya padaku. Aku kehilangan kartu identitasku. Aku tak punya jaminan apa pun untuk ku berikan ...." perkataanku terputus saat Mba Rahma mengusap lembut pundakku. 

"Aku percaya padamu," jawab mba Rahma.

"Kalau begitu ayo ikut aku, kita pulang ke rumahku," ucap mba Rahma sambil menarik tanganku. Aku merasa pernah melihat Mba Rahma, Mencoba mengingat-ngingatnya, tapi, tetap saja aku tak ingat.

Setelah sampai di rumah mba Rahma. Mba Rahma memperkenalkan ku pada suaminya dan kepada putrinya yang bernama Dita.

Dita sangat cantik, umurnya baru saja menginjak 5 tahun.  Tak terasa aku sudah satu tahun bekerja menjadi pengasuh Dita, semua berjalan normal pada awalnya. Aku sangat menikamati peranku sebagai pengasuh. Terlebih lagi Dita anak yang manis dan penurut. Aku pun mulai menyayanginya.

Saat aku sedang menyuapi Dita, telpon rumah berdering. Betapa terkejutnya aku saat mendapat telepon dari pihak rumah sakit yang mengatakan bahwa Mba Rahma sedang di rawat.

Semua berkumpul di rumah sakit. Aku heran, kenapa aku harus ikut ke rumah sakit sedangkan Dita dititipkan pada Art dirumah. 

Saat sedang bergelut dengan pikiranku sendiri. Perawat memanggil namaku dan nama mas Gani. 

"Sayang, kenapa kau tak jujur pada Mas. Kenapa kau menyembunyikan dan menanggung semua ini sendiri," ucap mas Gani sambil menggenggam tangan mba Rahma. 

Mba Rahma pun ikut menangis. Mba Rahma menderita leukimia dan merahasiakannya dari semua orang. 

"Mas!" panggil mba Rahma. 

"Ya, Sayang."

"Bolehkah aku meminta sesuatu padamu, Mas?" tanya mba Rahma penuh harap. 

"Katakan, Sayang. Mas akan mengabulkan keinginanmu." 

"Janji?"

Mas Gani pun tersenyum dan mengangguk. 

"Aku mohon, menikahlah dengan Mahira."

Bagai tersambar petir di siang bolong. Aku sangat terkejut dengan permintaan mba Rahma. Bagaimana bisa dia memintaku menjadi madunya. Tidak, aku tidak mau. Dalam hati aku bertekad untuk menolak keinginannya. 

"Sayang, apa maksudmu. Tidak! Sampai kapan pun aku tak akan menikahinya," jawab mas Gani. Tiba-tiba mas Gani menatapku sedikit sinis. Mungkin dia menyangka aku senang dengan tawaran mba Rahma. 

Seminggu kamudian. 

Selama seminggu. Mas Gani sama sekali tak menyapaku. Dia yang biasa bertanya tentang yang dilakukan Dita padaku mendadak membuang muka jika bertemu denganku di rumah atau saat aku menemani mba Rahma di rumah sakit. 

Dan setelah seminggu berlalu, Mba Rahma kembali memanggil kami. Aku sudah akan menyiapkan jawaban untuk mba Rahma yang mengingingkan aku menikah dengan mas Gani. Tentu saja aku akan menjawab, Tidak! Aku tidak mau menikah dengan mas Gani.

Namun, betap terkejutnya aku saat melihat kondisi mba Rahma yang ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status