"Gue ingin senja ini tak berakhir, walaupun itu tidak mungkin. Ah... paling tidak gue sudah menikmati moment bersama seseorang yang ku puja dalam hatiku, meski hanya sekejap," ucap Uci dalam hati, masih bersender di pundak Rio menikmati jingganya senja di pantai.
Kini senja seakan tersapu oleh malam, bintang dan bulan menggantikan keindahan langit. Dua insan itu pun beranjak pulang, bergandengan tangan menapaki pasir putihnya pantai.
Sesampainya di depan rumah Uci,
"Terima kasih, Mas. Hari ini begitu spesial buatku." Tangan Uci menggenggam tangan Rio dan satu kecupan dilayangakan bibir Uci menuju bibir Rio. Rona wajah Uci mulai memerah karena malu akan kelakuannya, langsung membuka pintu mobil dan berpamitan tanpa melihat wajah Rio karena saking groginya.
Rio hanya terpaku akan sekilas kecupan Uci padanya. Antara senang dan bingung karena baru kali pertamanya Rio bersentuhan bibir dengan seorang gadis. Rio masih memandangi punggung gadis yang menjadi cium
Siang ini wajah Uci tampak murung, baru saja menerima pesan dari Rio. Bahwa Rio hari ini tidak bisa menjemputnya, menyarankan Uci sementara pulang menggunakan ojek online. Walaupun tadi pagi saat mengantar Uci, Rio pun sudah mengatakan akan hal itu.Namun, Uci tak bertanya lebih jauh. Dirinya seakan tak enak hati dan sempat berfikiran Rio serasa menghindar darinya sejak kecupannya malam itu. Sempat mengutuk dirinya mengapa melakukan hal tersebut.Bunyi panggilan telepon gudang membuyarkan lamunan Uci. Mendapat kabar bahwa pesanan salah satu toko ada kekeliruan, Uci meminta maaf akan hal itu, walau sempat mendapat amarah dari salah satu karyawan toko dikarenakan barang tersebut adalah pesanan salah satu langganan."Ada apa, Ci?" tanya puji, sekilas mendengar percakapan Uci dibentak oleh salah satu karyawan toko."Itu tadi gue keliru mengirim barang, besok paling dikembalikan,""Hari ini lo
Hiruk pikuk terlihat di stasiun kota, ada yang berpergian adapula yang sekedar menjemput sanak saudara dari luar kota. Para pedagang asongan pun tak mau kalah, jikalau ada kerumunan para penumpang ataupun sanak saudara yang menjemput mereka langsung melancarkan aksinya, menjajakkan barang dagangannya. Rio pun begegas mencari keberadaan orang tuanya. Terlihat sepasang paruh baya sedang berjalan di peron, nampaknya baru saja turun dari salah satu gerbong kereta api. Rio pun menarik bibirnya ke atas, tersenyum melihat kedatangan orang tuanya dan segera menghampiri. "Maaf, Bu." Salam Rio tatkala menghmpiri ibu dan bapaknya di Stasiun. Membungkukkan badan dan meraih tangan sang ibu, mencium punggung telapak tangan tersebut. "Ibu kangen, Le," ucap Bu Ita selaku ibu dari Rio. Bu Ita merangkul putra bungsunya dan mengecup keningnya, matanya berkaca-kaca karena lama tak jumpa. "Udah, Bu. Jangan nangis, malu ah," balas Rio sembari mengusap buliran air mata, kel
Dalam perjalanan mengantar Uci ke gudang, Rio banyak bercerita tentang pamannya. Doni, dibalik sikap baiknya pamannya, Doni adalah seorang cassanova. Suka berganti-ganti pasangan, hingga sang istri tak tahan dan menggugat cerai.Uci terheran, antara percaya dan tidak percaya. Namun. dirinya juga ingat nasehat Puji tempo lalu yang berkata, "Hati-hati pada Pak Doni, sepertinya dia menyukaimu."Sesampainya di depan gerbang gudang, Rio memandang Uci sembari berkata, "Nanti pulangnya tunggu aku ya? Aku jemput kamu."Uci merasa ada yang aneh dari sikap Rio, menganggap lebih over protectif dari biasanya. "Ia, Mas. Kalau Mas ada perlu biar aku naik gojek aja, nggak papa ko," ucap Uci tak ingin merepotkan Rio terus."Pokoknya nanti aku jemput!""Eh...." Uci terheran akan sikap Rio, antara senang dan sungkan jikalau Rio memaksa menjemput dirinya. "Ya, udah. Aku masuk dulu, terima kasih," lanjut Uci berpamitan.Namun, saat Uci hendak membuka pintu mobi
Setibanya Rio di rumah, dirinya langsung masuk ke dalam kamar. Berpamitan pada kedua orang tuanya tuk beristirahat. Bu Ita memandang Rio dengan tatapan menyelidik, mengetahui benar ada yang disembunyikan anak lelakinya. Namun, masih belum memiliki kesempatan bercakap atau sekedar bertanya karena kesibukan Rio. Setibanya di kamar Rio langsung menghubungi Uci, meneleponnya karena ada rasa tak enak akan keadaan Uci. Dirinya pun belum memberi kabar tidak dapat menjemputnya, pada hal tadi pagi sudah berjanji akan menjemput. Lama Rio menghubungi Uci, berkali-kali namun tak ada jawaban sambungan ponselnya terhubung, hanya nada tunggu yang didengrnya. Rio mulai cemas dan gusar, tanpa berfikir panjang Rio menyambar jaket yang baru dilepasnya dan keluar dari kamar. Bu Ita heran melihat Rio tergesa, melihatnya sedikit berlari ke garasi dan menyalakan mobil. Dirinya mengikuti tetapi tak sempat bertanya ke mana anaknya itu pergi, Rio sudah melaju dengan mobil birunya keluar dari halaman rumah d
Rio pun pamit pada Bu Darmi. Setelah masuk dalam mobil raut muka Rio seakan penuh kebencian terhadap pamannya, karena kejadian yang menimpa pada Uci. Tanpa berfikir panjang, Rio menstarter mobilnya dan melaju menuju rumah pamannya untuk menuntaskan kemarahannya malam itu juga. Mobilnya melesat kencang tanpa menghiraukan gulitanya malam, karna bulan dan bintang tertutup kabut. Lolongan hewan malam pun tak mengurungkan niat Rio untuk memberi perhitungan pada pamannya. Setibanya di rumah Doni, dirinya hendak mendobrag pintu utama dengan kepalan tangannya, berkali-kali meninju papan jati tersebut dengan keras sambil berteriak memanggil pamannya. Security yang awalnya bersikap manis terhadap Rio terkaget, pasalnya dirinya mengira Rio datang seperti biasa mengunjungi tuannya. "Buka pintunya!" seru Rio sambil menggedor pintu. "Paman! Di mana kau?!" lanjut ucap Rio hampir mendobrag pintu rumah Doni dengan kepalan tangannya. Priittt....
Semalaman Rio tak dapat memejamkan matanya, pikirannya melayang akan keadaan Uci, khawatir terhadap dirinya. Serta memikirkan apa yang akan diperbuatanya, agar Doni mendapat ganjaran yang setimpal. Berkas sinar sang mentari menyelinap, memaksa menembus jendela kaca yang berbalut tirai tipis. Rio dengan malasnya membuka tirai tersebut, membiarkan sinar mentari menguasai kamarnya. Dirinya bergegas mandi, dan bersiap ke kantor, walau telah bersiap masih nampak kantung mata yang menyerupai mata panda, karna semalaman matanya tak dapat dipejamkan. Saat sarapan bersama, tak banyak yang mereka bertiga bicarakan. Saling sibuk dengan hidangan atau mungkin dengan pikiran masing-masing. Ya, Pak Teguh sudah mengetahui cerita tentang Uci dari istrinya tadi pagi. Namun, dirinya masih menghargai Rio dan ingin mengetahui sejauh mana anaknya melangkah terlebih dahulu. Rio terlihat buru-buru menghabiskan sarapannya, setelah meneguk segelas susu kemudian berpamitan pada
Di parkiran, Mytha langsung melaju berbelok arah menuju tempat kendaraan beroda dua berjejer."Myth, tunggu," panggil Rio tatkala Mytha mulai melangkah mendekati motor maticnya.Perempuan berhidung mancung dan bermata coklat itu pun berbalik badan, memutar tubuh menghadap si penyapa."Bareng aku aja," ajak Rio, menatap intens wajah Mytha."Aku pakai motorku saja, Mas. Biar ngga repot dan lebih leluasa.""Baiklah kalau begitu." Rio menutup pembicaraan dan dijawab oleh anggukan singkat Mytha.Meskipun memakai kendaraan mereka sendiri-sendiri, tujuan mereka satu yakni ke rumah Uci.Setibanya di rumah Uci, Mytha mengetuk pintu kemudian berlanjut berucap salam, "Assalamu'alaikum.""W*'alaikumsalam," jawab Bu Darmi dari dalam rumah dan segera membukakan pintu. Sedetik setelah membukakan pintu, Bu Darmi memeluk Mytha, menangis tersedu meluapkan isi hatinya.Mytha mengerti akan kegundahan Bu Darmi, walau belum ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut beliau, hanya isak tangis yang semakin m
Terlihat jendela kamar Uci dari semalam belum dibuka, Mytha mulai membuka tirai berwarna merah muda yang menyelimuti jendela kamar Uci. Sirkulasi udara pun mulai berganti, hawa sejuk mulai memasuki ruangan kamar. Sinar mentari dengan lancangnya langsung menerangi sebagian ruangan. Mytha mulai berbalik badan dan menghampiri Uci, mulai merapikan tatanan rambut sahabatnya yang terlihat acak-acakan, bisa dipastikan dari semalam. Sementara di luar ruangan, Rio dan Bu Darmi sedang berbincang langkah apa yang akan ditempuh untuk menyelesaikan permasalahan yang tengah ditimpa Uci. "Maaf, Bu. Uci dari semalam belum diapa-apain kan? Maksudnya belum mandi atau bersih-bersih badan?" tanya Rio sedikit menyelidik akan keadaan Uci. "Belum, Nak Rio. Ibu tidak berani dan kasihan melihat sikap labil yang sedang Uci," jawab Bu Darmi. "Ibu hanya menemaninya dan menenangkannya hingga Uci tertidur. Jendela kamar pun sengaja tidak Ibu buka, takut Uci histeris." Ceri