Share

4. sudah ku duga

"Hahaha, berprasangka buruk katamu Mas? Apa kamu lupa Mas, aku sudah hidup bersama mu hampir delapan tahun ini. Jadi, sedikit banyak nya aku hapal dengan karakter kamu. Apalagi saat kamu bersikap manis seperti ini, sudah pasti tentu kamu memiliki maksut lain!" Ucapku dengan intonasi penuh penegasan.

Mas Danu hanya diam, tak menjawab. Bahkan untuk menatap ku saja, dia tak berani.

"Apa ini tentang biaya pernikahan Kaila?" Tanya ku lagi untuk memastikan.

Dia hanya mengangguk menjawab pertanyaan ku, dan baru mengangkat wajahnya seraya melihatku.

"Sudah ku duga!" Jawab ku singkat.

"Lit, kenapa sih kamu masih bersikeras tak mau membantu biaya pernikahan Kaila? Toh biayanya juga dibuat patungan. Bukan kita sendriri yang nangung. Kamu tuh istriku, dan sudah masuk dalam keluarga besar ini. Jadi, jika ada kesulitan, harusnya kamu mau berbagi untuk meringankan beban kita!" Kini, gantian Mas Danu yang bersuara sedikit keras.

Ku sunggingkan senyum sinis padanya. Percuma juga aku berkata, toh pasti dia juga tak mau kalah.

"Kenapa kamu diam saja? Jawab, punya mulut kan?" Bentaknya.

Astaga, nih orang benar-benar kelewat jahat.

"Sekarang maumu, aku harus bagaimana Mas?"  Tanya ku santai sambil meneguk air putih

"Ya kamu cari jalan keluar kek, gimana kita bisa dapetin uang buat Kaila."

"Ngimpi Mas, Mas... Toh si pengantin nya aja gak ada usaha untuk cari modal buat nikahanya, kenapa juga aku yang ikut mikir? Lagian, salah dia sendiri yang sudah menghabiskan uang dari si Gandi untuk hal yang tak penting. Dan satu lagi, kan kamu juga sudah memberikan nafkah pada Ibu, yang jauh lebih besar lima kali lipat daripada untuk ku. Buktinya, beliau saja tak punya uang. Apalagi aku Mas, yang hanya kau jatah sebulan cuman sejuta. Lagian nih ya, laba hasil jualan online ku juga hanya berapa sih Mas? Tetap tak sebanding dengan jatah bulanan yang kau berikan pada Ibu, meskipun itu sudah ditambah jatah bulanan darimu."

"Dan kau masih menyuruhku untuk berpikir lagi mencari uang tambahan biaya pernikahan adikmu? Ya Allah Mas, hati dan pikiran mu itu terbuat dari apa sih!"

Kutelungkupkan kedua tangan ku menutupi wajah. Jujur saja, ku tak mampu membendung rasa sedih dan kecewa yang kini hinggap dihati.

"Tapi kan kamu punya Emas-emasan Lit! Apa salahnya sih, kalau kamu jual dulu. Toh nanti juga aku ganti." 

"Hahahaha!" Mendengar ucapanya yang sama sekalibtak masuk akal ini, membuat ku langsung terbahak.

"Kenapa kamu tertawa? Kamu meremehkan ku?" Mas Danu memasang wajah tak sukanya.

"Kalau memang tak mau diremehkan, ya usaha sendiri dong Mas. Kamu kan ada bpkb mobil. Kenapa itu tak kau gadaikan saja? Perlu kamu ingat Mas, sampai kapan pun, aku tetap tak akan mau memberikan perhiasan ini padamu!" Jawab ku begitu lantang membuat mata  Mas Danu membulat sempurna.

"Kenapa kamu jadi pelit gini sih Lit, sama keluarga ku?" 

Allah ya karim... Kenapa suamiku ini tak sadar juga sih? Dan malah selalu menyalahkan ku?

"Apa aku tak salah dengar Mas? Bukanya kebalikan nya ya?" Ucapku sinis 

"Maksut kamu berkata seperti ini apa, Lit?"

Lagi-lagi aku menyunggingkan semyum sinis. Entah Mas Danu pura-pura tidak tau, atau memang dia melupakan kejadian waktu itu.

"Apa kamu lupa kejadian tiga tahun lalu Mas? Saat Ica hendak menikah, Ibu meminta bantuan kita untuk menambah biaya pernikahan Ica. Padahal Ibu bilang, Ibu berhutang, dan akan membayarnya setelah acara selesai. Tapi apa respon mu? Kamu bersikap masa bodoh, dan sama sekali tak mau tau. Padahal Ibu sangat berharap padaku, agar aku bisa menolong nya."

"Kamu tau, pikiran ku saat itu, kamu memiliki uang tabungan lebih yang bisa aku gunakan untuk membantu beliau. Tapi nyatanya apa? Kamu sama sekali tak peduli." Air mata kembali menggenang dipelupuk mata.

****

Sakit, hanya kata itu yang bisa ku ungkapkan kala mengingat hari itu. Meskipun ku tau calon suami Ica kaya, dan mau membantu setengah biaya pernikahan, tapi Ibu juga harus mencari biaya separuhnya juga.

Lagian, pada saat itu Ica hanya bekerja sebagai pelayan dirumah makan yang sudah tentu gajinya tak seberapa. Kalaupun dia memiliki tabungan, pastinya tak bakal bisa sebanyak Kaila yang mungkin gajinya tiga kali lipat dari gaji Ica dulu.

Tapi sayang, hanya karena gaya hidup yang terlalu dipaksakan, akhirnya malah menyusahkan orang lain.

"Kenapa kamu malah mengungkit masalah yang sudah berlalu sih? Kan kamu juga tadi dengar sendiri, jika uang gajiku aku berikan pada Ibu. Ya wajar saja dong, jika aku tak punya tabungan. Lagian kan Ica adik kamu. Ya berarti itu bukan tanggung jawab ku Lit!"

Memang jika seseorang sudah mati rasa, apaapun yang dikatakan, tak pernah memperhatikan perasaan orang lain yang sedang diajak bicara 

"Ooh, begitu ya! Baiklah, aku paham Mas. Kaila juga bukan adik kandung ku Mas. Jadi, dia bukan tanggung jawab ku. Selamat berbingung-bingunh ria!"

Suara deritan kursi yang ku geser memecah keheningan yang seketika terjadi diantara kami.

"Lit, jangan gitu dong. Ok, aku akui dulu aku salah. Tapi jangan gitu juga dong Lit. Apa kamu tega, lihat aku pusinh sendiri?"

Langkah ku pun terhenti dan ku balikkan badan menghadapnya.

"Kamu dulu saja tega Mas, kenapa aku tidak?" Senyum sinis ini lagi-lagi terukir diwajah. Lalu kembali ku palingkan muka, berjalan kembali menyusul Arina yang ada didepan.

"Lit... Tunggu Liit!" Mas Danu masih terus sjaa memanggilku.

.

.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status