Banyak kata terlontar.Banyak jalan diarahkan.Aku hanya menunduk dan menemukan bayanganku di daratan.Bahagia dapat berdiri tanpa sandaran.Kata didengar telinga.Jalan dilampaui kaki.Namun, suka-suka hati dan pikirku ingin mendengar dan melampaui yang mana.***Untuk kedua kawanku bernama mata....Janganlah kau sebegitu percayanya dengan apa yang kau lihat!Tempat-tempat itu....Kota-kota itu....Bagaimana jika hanya fatamorgana?Tak masalah jika kebangkitanmu tidak sempurna dan penuh goyah.Daripada kau terus terperosok di titik itu.Dunia ini penuh gravitasi.Jatuh itu ke bawah.Penangkalnya hanya....Bangkit!Karena bayanganmu di bawah kaki sana berharap kau ta
Permainan catur tak berpapan…. Apakah permainan bisa dilanjutkan jika papannya tak ada? Menurutku, tak masalah. Selama ada pion, kekuatan apa pun bisa dihimpun. Tak hanya dihimpun. Bisa juga dilawan. Pertanyaannya sekarang, siapa yang ingin dilawan? Apakah kawan? Bisa jadi. Karena bagaimana pun juga, permainan catur tak serupa dengan permainan dunia. Warnanya bukan putih suci, maupun hitam pekat seperti pada pion catur. Wajar jika jadi banyak kerancuan prasangka. -Kang Jang Hyuk- *** Ruang tamu kantor pemerintah Hindia Belanda kedatangan tamu sore ini. Bukanlah suatu hal yang kelewat membanggakan bagi calon dokter bernama lengkap Fadjar WongsoTjitro atas kehadirannya di ruangan berubin tegel ini. Pemuda asli pribumi ini justru begitu was-was. Dia merasa wajib untuk memenuhi panggilan dari pemerintah pusat, tetapi dia sendiri ketakutan akan sesuatu yang hendak disampaikan kepadanya. Derit pintu memancing Fadjar untuk menoleh ke arah pintu masuk. Seorang pelayan pribumi b
Kedua mata Fadjar hanya tertuju pada sorot mata Jang Hyuk yang datar. Bibir kelu dalam beberapa detik. Rasa-rasanya, berbagai kata dan percakapan dapat menyudutkan setiap langkah. Fadjar lebih memilih untuk membiarkan Jang Hyuk bercerita banyak. “Apa tanggapan je sejauh ini?” Jang Hyuk masih berbicara dalam Bahasa Belanda yang mulai dicampur bahasa Indonesia. Dia melontarkan kalimat tanya seperti ini karena dapat membaca situasi. Dia sadar jika Fadjar enggan membuka mulut untuk sementara waktu. Tentu saja dia merasa dirugikan. Bagaimana pun caranya, dokter muda itu harus membuka mulut saat ini juga. “Hmm,” Fadjar menurunkan pandangnya, “tanggapan apa?” kemudian, dia kembali menatap Jang Hyuk. Jang Hyuk membuka mulut, tetapi tak ada kata yang terlontar. Dia menggeleng-gelengkan kepala. Dia berprasangka jika ada sesuatu yang Fadjar sembunyikan darinya. “Maaf,” Jang Hyuk sedikit menundukkan kepala. Lalu, dia menaruh sikutnya di atas meja dan memajukan badannya. Dia mulai berbisik kepa
Ombak menggulung angkuh sampai menerjang dinding bebatuan pelabuhan Sunda kelapa. Berkali-kali. Seandainya saja deburan itu bisa berkomunikasi, akankah tujuannya memang ingin menghancurkan dinding bebatuan yang sebenarnya tak kokoh ini? Pemerintah Hindia Belanda terlihat setengah hati membangunnya. Sudah banyak laporan yang masuk untuk memperbaiki, tetapi eksekusi tak kunjung datang. Dr. Fadjar WongsoTjitro duduk bersila menghadap timur. Dia memincingkan mata, mencoba menerobos kaki langit yang sedari kecil ingin dia ketahui ada apa saja di atas sana. Konon orang mati naik ke atas langit. Jika memang begitu adanya, apakah Fadjar harus mati sekarang agar dia dapat melihat apa yang ada di atas langit sana? Tidak! Fadjar belum boleh mati dan belum mau mati, bahkan tidak pernah akan mau mati. Tugas dokter muda ini masih terlampau banyak. Dia harus memerdekakan bangsa dan negaranya. Baru setelah itu, mungkin boleh untuk mati. Tidak juga. Fadjar ingin ilmu yang dia pelajari selama ini
"Tuan Dokter Fadjar WongsoTjitro, maaf saya mengganggu waktu je lagi,” suara Kang Jang Hyuk menggema di ruang tamu kantor pemerintahan Hindia Belanda. Ruangan ini tentu tak asing bagi Fadjar. Setiap kali dia bertemu dengan mata-mata Hindia Belanda asal Joseon ini, tempatnya selalu di ruang penuh foto para gubernur Jenderal Hindia Belanda ini. Kedua mata Fadjar tertuju pada rokok yang dijepit jemari telunjuk dan jari tengah Jang Hyuk. Bara merah kekuningan itu merontokan puntung rokok. Semakin lama, ukurannya semakin kecil. Tentunya bukan karena dihisap oleh Jang Hyuk, tetapi karena pemuda Joseon itu tengah menantikan sesuatu sejak tadi. Sesuatu yang dapat menyudahi keheningan di antara Jang Hyuk dan Fadjar. Apalagi kalau bukan pernyataan Fadjar yang begitu penting, tak hanya bagi Jang Hyuk, tetapi juga jajaran pemerintah Hindia Belanda. Bisa dikatakan bahwa pada saat ini, banyak pihak yang tergantung pada Fadjar. Mirisnya, bagi Fadjar sendiri, dia tak tahu alasan apa yang membuat sem
"Aku yakin jika aku beserta orang-orang Joseon yang dipaksa menjadi tentara, orang-orang Hindia Belanda di kantor pemerintah ini, je, atau bahkan tentara-tentara Nippon beserta mata-mata yang menjadi pelayan toko itu sebenarnya adalah orang-orang baik. Saking baiknya, kita semua ingin negara masing-masing yang memenangkan perang dunia ini. Karena alasan inilah, pada akhirnya, membuat kita semua saling menghabisi,” Perkataan Kang Jang Hyuk terniang-niang di benak Fadjar. Dalam perjalanan menuju kediamannya dengan menggunakan kendaraan umum, Fadjar memandangi hiruk-pikuk kota Batavia di hadapannya. Di balik jendela angkutan umum, banyak hal yang menarik perhatiannya. Salah satunya adalah toko Banzai yang kini telah menjelma menjadi bangunan kosong. Hinagi….. Hati Fadjar kembali memanggil nama gadis Jepang itu. Apa kabarmu? Di mana kau sekarang? Apakah kau masih berada di Batavia? Atau sudah berada di luar Batavia. “Lima Samurai Batavia adalah pelaku pembunuhan Dokter Barend,” Di
Senja hampir tergerus oleh kegelapan langit malam. Malaikat dan iblis masih berada di sisi manusia, sebagai pembimbing ke arah yang lebih baik, lebih buruk, atau tidak keduanya. Jika tak memilih keduanya, bukan berarti seorang manusia tidak mempunyai sikap. Justru, berarti dia telah menjelma menjadi seorang manusia yang jauh dari rayuan kedua makhluk lain, apalagi julukan munafik.“Hah? Apa ini?” Fadjar menemukan beberapa dokumen di luar rumah sakit CBZ. Tumpukan itu disatukan dalam sebuah map cokelat yang kelihatannya sering dibuka oleh seseorang. Hal ini terbukti dari tak adanya debu pada map ini. Tentunya tak seperti dokumen-dokumen lainnya di berbagai tumpukan map yang Fadjar sendiri yakin tak akan berurusan dengan tumpukan itu. “Hah? Ini?” dia merasa dokumen yang dia temukan ini begitu penting. Judul utama dari mapnya lebih menarik rasa penasaran. Jika Fadjar mencoba menyalakan pemantik sebagai penerangan, tampaklah tiga kata yang terarsir di hala
Bagaimana Hide? Tugasmu di Batavia sudah selesai? Aku…. Aku tak terlalu bangga dengan apa yang sudah kau lakukan. “Hah? Sakurako?” Ketika sedang tidur terduduk di pojokan suatu ruangan, Hideyoshi Sanada terjaga mendadak kala Sakurako berkunjung di bunga tidurnya. Tengah malam yang sunyi menemani lamunannya. Saking tak ada suara apa pun di sekitarnya, Hide berpikir jika dirinya dalam keadaan sendirian. Padahal, tentu saja tidak. Hide menyisir pandang sekitarnya. Di sampingnya, Jin juga tidur terduduk seraya bersandar di dinding. Begitu juga dengan Yuji dan Kazumi. Mereka berdua juga tengah tidur terduduk di dinding ruangan. Barulah di tengah ruangan, Hinagi berbaring pulas di tempat tidur berkelambu. Lalu, di manakah keberadaan Hide dan keempat saudara seperguruannya ini? Jangan dikira, Hide dan keempat saudara seperguruannya tidak tahu soal keberadaan mereka. Sambil menunggu perpindahan tugas di luar kota yang telah ditentukan, mereka berlima tengah menunggu seseorang yang kat