"Oalah, ke sini? Ini mah masih jauh, Mbak!" ujar seseorang membaca alamat yang dituduhkan.
"Jadi bukan di sini ya, Bu?" Garwita mulai merasa bimbang.
"Iya, Mbak. Paling enggak ada satu jam naik angkot." Wanita kurus itu menjawab, dari matanya terpancar rasa iba dan kasian. Apalagi ketika melihat kaki Garwita terluka.
Garwita merogoh saku bajunya, tak ada sepeser pun recehan yang tertinggal. Dia lalu menghela napas dan bingung, mau melanjutkan perjalanan atau pulang saja?
"Kalau Mbak mau ke sana, ini kukasih uang buat naik angkot, Mbak." Selembar uang dua puluh ribu disodorkan pada Garwita. Namun, dia langsung menolak karena sungkan.
"Enggak papa, ambil saja," paksa si ibu. Garwita tak bisa lagi menolak, dia ucapkan terima kasih berkali-kali sambil memeluk ibu-ibu yang menolongnya.
Garwita lalu pamit dan kembali melangkah, seperti yang dituduhkan ibu tadi kalau jalan ke arah barat sekitar lima ratus meter ada pangkalan angkot. Tidak mudah, sesekali Garwita berjinjit karena kakinya terasa panas ketika memijak aspal. Untungnya sudah sampai tujuan. Garwita langsung bertanya pada sopir angkot, lalu masuk dan duduk bersama penumpang lain.
***
Panas yang terik membuat peluh di wajah Garwita menetes-netes. Dia hanya bisa mengusapnya dengan ujung jilbab lalu memakai telapak tangannya untuk menutupi sinar menatari ke wajah.
Kakinya semakin terasa perih, namun Garwita tak ingin menyerah. Baginya Ray sudah ada di depan mata. Dia tak boleh menyiakan kesempatan ini.
Garwita berhenti lalu melihat ke sekeliling di mana jejeran rumah-rumah yang tampak megah berdiri, hampir semuanya tampak mewah dan bisa ditebak jika yang menghuni adalah orang-orang kaya. Garwita melihat seorang security kompleks yang berada di pos ujung jalan sebelum memasuki jalan itu.
"Permisi, Pak, boleh tanya ... apa di sini kompleks perumahan Mawarni?"
Security tadi mengangguk lalu membaca alamat yang dituduhkan Garwita. "Oh rumah Taun Abash. Lurus saja, Mbak. Rumah yang paling ujung yang ada gerbang tingginya ya itu ... cuma satu di sini," ujarnya.
Garwita tersenyum, binar matanya kembali terbit. Rasa lelah dan pusing yang sesaat tadi terasa seakan-akan langsung menyusut dan hilang. Dengan penuh semangat dan harapan Garwita berjalan lagi ke tempat yang ditunjukkan.
Di depan gerbang yang menjulang tinggi, Garwita berhenti. Dia celingak-celinguk lagi, bingung bagaimana caranya masuk. Lalu tatapannya beralih ke sebelah kanan di mana ada bel yang tertempel. Benda tak asing, yang sering Garwita lihat di TV itu lalu dia pencet beberapa kali. Tak lama seorang berpakaian security membuka gerbang lalu menanyai Garwita. Dia pun langsung bicara maksudnya datang kemari, Garwita menunggu beberapa menit karena security kembali masuk untuk bicara dengan tuannya.
"Silahkan masuk, Mbak!" titah security.
Pandangan Garwita menyapu sekeliling, rumah itu bukan hanya terlihat besar tapi memang sangat besar bagi Garwita. Dilihatnya mobil yang berjejer di area parkir.
"Ini rumah atau hotel? Benarkah ini rumah Mas Ray?" batin Garwita merasa sangat udik dan minder.
Sampai di depan pintu, Garwita memastikan lagi kalau kakinya tidak kotor. Belum sempat mengetuk pintu, sudah terbuka lebih dulu.
"Silahkan masuk, Mbak!" seorang paruh baya berpenampilan seperti pembantu langsung menyambut kedatangan Garwita, lalu disuruhnya duduk di ruang tamu.
Garwita menelan ludah ketika melihat seisi rumah sangat mewah. Ini pertama kalinya Garwita melihat langsung rumah orang kaya dengan perabot berisi barang-barang mahal. Lampu besar yang terpasang di tengah-tengah menarik perhatian Garwita, dia mengira mungkin terbuat dari kristal karena berkilauan, sangat indah dan besar.
Suara langkah seseorang membuat Garwita gugup, dia menegapkan duduknya dan bersiap melihat siapa yang datang. Mungkin saja itu Mas Ray? pikir Garwita. Namun, yang muncul justru seorang wanita.
Mata Garwita melebar ketika melihatnya, wanita paruh baya yang masih terlihat cantik dengan penmpilan berwibawa dan elegan. Dari wajahnya Garwita bisa menebak kalau dia benar-benar mamahnya Ray. Mata sipit khas orang chinese, sementara bentuk wajah dan yang lainnya khas orang Jawa.
Ray pernah bilang, jika dia keturunan campuran. Ayahnya berasal dari Pakistan sementara mamahnya orang Indo asli berdarah China-Jawa. Kini Garwita tahu, mata sipit Gandra berasal dari mana, bukan ayahnya tapi lebih mirip dengan neneknya ini.
Mamah Ray duduk, tatapannya tegas dan tajam. Belum apa-apa Garwita sudah merasa deg-degan dan gugup.
"Ada kepentingan apa mencari saya?" tanya wanita bernama Mega, tanpa basa-basi dan sapaan ramah pada Garwita.
"Ma--af, Bu," ucap Garwita terbata. Keringat dingin mulai membanjiri keningnya. "Kedatanganku kemari untuk mencari Mas Raykarian. Kami sudah menikah, tetapi hampir lima tahun ini dia pergi dan menghilang. Aku hanya ingin tahu keberadaannya dan kenapa dia lepas tanggung jawab," lanjut Garwita.
Mega mendengarkan dengan seksama sembari memandangi wanita muda di depannya. Dalam dadanya ikut merasa sesak, dia tahu tentang pernikahan anaknya tapi baru kali ini melihat langsung bagaimana rupa menantunya, sekali pun cantik tapi terkesan menyedihkan! Bahkan tak sebanding dengan anaknya Ray.
Saat seperti ini akan tiba, Mega tahu dia bahkan sudah mempersiapkan diri sejak lama andai seorang wanita datang dan mengaku sebagai istri anaknya.
Helaan napas dari Mega semakin menambah rasa tak enak dari Garwita.
"Jika putra saya sudah meninggalkanmu selama lima tahun kenapa kamu masih bersikap bodoh dengan menunggunya? Padahal bisa saja kamu menggugat cerai ke pengadilan agama! Tak perlu jauh-jauh kemari hanya untuk mendapatkan talak dari Ray!" Nada bicara Mega masih terkesan datar tapi terdengar menyakitkan di telinga Garwita.
Garwita tertegun, bukan itu tujuannya kemari. Dia justru ingin bertemu dengan Ray karena masih berharap bisa bersama lagi. Selama ditinggalkan jujur saja tak terbesit dalam benak Garwita untuk berpisah, itu sebabnya dia memilih tutup telinga rapat-rapat dari semua perkataan orang-orang yang menyudutkannya untuk mengajukkan gugatan cerai.
Kalau Garwita mau, tentu saja sudah dia lakukan sejak dulu, datang ke pengadilan agama dan meminta bantuan hakim untuk bercerai tanpa menunggu talak dari Ray, dengan bukti dan saksi-saksi yang tahu bagaimana Ray tak bertanggung jawab selama pergi meninggalkannya. Namun, itu tak dilakukannya karena rasa yang dalam juga harapannya akan Gandra bisa melihat seperti apa ayahnya.
"Ray pergi jauh, dia menyusul ayahnya ke Pakistan dan bertemu wanita cantik di sana. Mereka menikah dan sekarang hidup bahagia," ucap Mega dengan rasa tega yang dipaksakan.
"Mas Ray menikah lagi?" batin Garwita, seketika hatinya teras patah dan hancur. Dulu Ray memintanya untuk menunggu, namun kenyataanya tak sesuai harapan. Lelaki itu justru menghianatinya.
"Ibu bohong kan?" polos Garwita menatap Mega.
Mega menyodorkan sebuah foto dimana ada gambar Ray dan seorang wanita berhidung mancung dengan mata kecoklatan khas orang-orang timur, cantik. Jika dibandingan dengan Garwita tentu saja tak ada apa-apanya.
Air mata Garwita lolos saat melihat foto itu. Ray tersenyum lebar dengan tangan merangkul pundak si wanita, wajah tampannya semakin terpancar jelas juga binar kebahagiaan.
Mega memberi kode pada pembantunya untuk mengambilkan ponsel.
"Ini, jika ingin bukti yang semakin jelas!" Mega kembali menambah kepedihan Garwita dengan video Ray bersama wanita itu sedang bercanda gurau di pantai.
Rindu, satu kata yang tak bisa hilang ketika Garwita melihat Ray dalam rekaman meski jutaan pedih dan sakit mulai menyerangnya, rindu itu tetap yang paling dominan.
"Ray tak mungkin kembali padamu. Jadi saran saya, uruslah perceraianmu sendiri!" tegas Mega dengan raut kaku yang dia buat sekejam mungkin, agar wanita ringkih di depannya cepat berlalu.
Garwita menggeleng pelan, pipinya sudah sangat basah. Bibirnya gemetar tak bisa berkata-kata lagi.
"Tapi ... bagaimana dengan buah hati kami?" gumam Garwita dengan suara yang lirih, bersamaan dengan itu suara gaduh dari lantai atas mengusik suasana tegang di sini.
Pyaaar!
Suara pecahan gelas dari lantai atas membuat mereka terkejut dan diam bersamaan. Mega melirik pembantunya sebegai kode untuk melihat apa yang terjadi.
Bi Sumi yang sudah mengabdikan dirinya dari Ray masih kecil sampai sekarang, bergegas naik ke tangga dan mendekat ke sumber suara. Sementara Mega kembali melanjutkan perbincangan dengan Garwita.
Garwita masih menunduk sembari menyeka air matanya. Mega memalingkan wajah, hatinya ikut merasa perih melihat sesama wanita menangis sesenggukkan. Namun, Mega harus tak acuh.
"Boleh sekali saja aku mendengar suaranya? Aku ingin Mas Ray menjatuhkan talak secara langsung, tolong hubungi Mas Ray lewat telepon, Bu," pinta Garwita untuk terakhir kalinya.
Mega menggeleng, dengan tegas dia tak ingin menurutinya. Dia beralasan bahwa Ray sibuk. "Ray sudah menelantarkanmu, kamu punya banyak bukti untuk mengajukan gugatan cerai, jadi tak perlu lagi mencari-cari Ray." Lagi-lagi Mega mengulangi saran yang sama.
Pernikahan siri yang dilakukan Garwita tidak terdaftar secara tertulis di negara tetapi pernikahannya sah. Selama Ray tidak menjatuhkan talak, Garwita juga tidak mengajukan gugatan cerai ke pengadilan agama hubungan mereka masih sah suami-istri. Karena ketika Garwita melangsungkan pernikahaannya, tak ada surat atau perjanjian tertulis setelah menikah misal kapan jatuhnya talak jika suami lepas tanggung jawab atau tidak menafkahi lahir-batin, seperti layaknya pernikahan resmi yang tertulis di akta nikah.
Jika Garwita ingin terlepas dari ikatan pernikahaanya dengan Ray. Sementara Ray tidak menjatuhkan talak, jalan satu-satunya dia harus datang ke pengadilan agama setempat atau KUA membuat permohonan isbat nikah atau pengesahan atas pernikahan yang telah berlangsung lalu mengajukkan aduan atau gugatan dengan bukti-bukti adanya penyelewengan atau perbuatan Ray yang lepas tanggung jawab. Setelahnya meminta bantuan pengadilan agama untuk memberikan surat keterangan telah jatuh talak cerai kepada Garwita.
"Pulanglah dan bawa ini!" Mega melempar amplop berwarna coklat ke meja tepat di hadapan Garwita. Bisa ditebak jika isinya adalah uang. Mega memberinya karena kasian dengan penampilan Garwita.
Garwita langsung menolaknya lalu berdiri ingin beranjak. Dia pikir berada di sini lebih lama pun percuma karena Ray ada di luar negri, sementara hatinya sudah hancur berkeping-keping.
Sopan santun masih Garwita jaga, bahkan sampai detik ini dia tak menunjukkan rasa marahnya. Dia lalu pamit dan meninggalkan Mega dengan mencium tangannya lebih dulu. Mega tak mampu menolak, dia hanya diam mematung sembari memandangi amplop yang diabaikan Garwita.
Wanita muda itu lalu berlari keluar dengan tergesa dan tanpa alas kaki.
Ada penyesalan yang menyeruak dalam dada Mega kenapa dia buat drama semenyedihkan ini. Namun, semua dia lakukan demi anaknya Ray yang sedang tak baik-baik saja.
"Apa yang terjadi, Bi?" tanya Mega setelah Sumi kembali turun.
"Seperti biasanya, Nyonya ... Den Ray membanting gelas."
Mega menghela napas, dia berjalan ingin ke lantai atas tapi urung ketika mengingat sesuatu. "Bi, apa tadi dia bicara tentang anak?" tanya Mega ragu dengan pendengarannya.
Bi Sumi mendongak. "Saya tak yakin, tapi saya kira mendengar tentang 'buah hati kami' apa mungkin yang dimaksud anak dari wanita itu dan Den Ray?"
Kini Mega dan Bi Sumi saling tatap dan menyadari akan sesuatu. Mega urung untuk ke kamar anaknya, dia berlari keluar dengan tergesa-gesa berharap masih bisa bertemu dengan wanita muda itu.
"Bagaimana ini, Mas? Lukamu?" Garwita menunjuk wajah Kala."Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Kala lalu merapikan penampilannya dan bersiap membuka pintu, begitu juga dengan Garwita yang berada di sampingnya. Saat pintu diketuk, kedua sejoli itu langsung membukanya. Menyambut orang tua Kala dengan senyum seramah mungkin."Pak, Bu, kok ke sini enggak bilang dulu?" ujar Kala lalu mencium tangan mereka. Juragan Jarwo tidak menolak. Dia tetap diam saat tangannya diraih oleh Kala dan Garwita. "Lah, piye? Kan siang tadi Ibu telepon! Katanya mau telepon balik. Tapi Ibu tunggu-tunggu ndak ada tuh panggilan dari kamu!" balas Ambar dengan suara merajuk. Kala terkekeh geli, dia baru ingat. "Silahkan masuk, Pak,Bu ...," kata Garwita mempersilahkan mereka untuk duduk terlebih dulu. Sementara dia berlalu ke belakang untuk membuat minuman.Juragan Jarwo tampak berdeham melihat anaknya, dia sadar akan wajah Kala yang babak belur. "Ya ampun, Le. Wajahmu kenapa?" Ambar yang langsung respek. Di
"Hallo, Le? Gimana kabarmu?" tanya Ambar dari seberang telepon. Usai mendapat perintah dari juragan Jarwo, Ambar langsung menghubungi anaknya.Kala yang sedang berada di jalan melambatkan lajunya. "Baik, Bu, ada apa? Ini Kala lagi di jalan," balas Kala menyelipkan ponselnya ke helm tanpa berhenti dulu, pikirnya nanggung karena sebentar lagi sampai."Oalah, kalau lagi di jalan jangan angkat teleponnya dulu atuh!" balas Ambar khawatir dan urung mengatakan tujuannya telepon.Kala terkekeh-kekeh mendengar suara ibunya. "Ya mau gimana lagi, abis hape geter terus! Ya udah aku lanjut dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah berhenti Kala telepon balik!" Kala kembali melanjutkan perjalanan, hari ini dia berniat untuk melamar kerja. Tadi sudah mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah, sementara sekarang dia ingin ke SMK yang memang ada jurusan pertanian di sana. Ya siapa tahu ada lowongan. Kala begitu bersemangat mulai merancang rencana di otaknya untuk masa depan keluarga kecilnya yang mulai dia b
Sejak kejadian malam tadi, Garwita selalu menghindari kontak mata dengan Kala, apalagi jika harus berhadapan dengannya, Garwita akan bicara sambil menunduk. Bukan tanpa sebab, dia malu luar biasa juga jadi cangnggung karena ci*man itu. "Bu, Gandra mau tambah nasi!" pinta anak itu sambil menyodorkan piring. Buru-buru Garwita mengambilkan apa yang Gandra mau. "Aku juga mau!" Kala ikut menyodorkan piring. Garwita ingin meletakan secentong nasi, tapi Kala menarik piringnya dengan jail begitu terus sampai akhirnya Garwita mendongak. "Ish, mau enggak?" tanya Garwita menatap lelaki di samping Gandra dengan kesal. Kala menahan tawa lalu meraih tangan Garwita dan dan meletakan nasi itu pada piringnya. Pada saat Garwita ingin menarik tangannya Kala sedikit menahan membuat mereka saling adu tatap. Bagi Garwita tatapan Kala itu terlihat seperti menyeriangai dan membuatnya ingin selalu waspada. Sekali menatap wajah Kala, Garwita akan terfokus pada bibirnya lalu bayangan yang iya-iya mula
Gandra sudah pulang dijemput oleh Topan siang tadi. Anak itu sekarang bermain di kamar Ray, Garwita sudah menahan dan tak memperbolehkannya. Namun, Ray sendiri yang meminta. Dia beralasan sakitnya akan mereda jika melihat anak kecil bermain."Om lagi sakit, ya?" tanya Gandra sambil bermain di lantai. Ray mengangguk dengan senyum ramah. "Hem, besar nanti Gandra mau jadi dokter," ucap anak itu tanpa ditanya."Kenapa?" Ray penasaran dengan alasan Gandra."Ibu bilang, aku anaknya seorang dokter. Ayahku orang yang hebat!" balasnya menirukan cerita yang Garwita buat. Mendengar itu, Ray merasa terharu sekaligus sedih. Anak yang begitu membanggakan ayahnya, nyatanya ayahnya bukanlah seseorang yang patut dibanggakan. Ray menelan ludah dengan berat setiap kali mendengar cerita polos dari Gandra, dari situ dia tahu betapa baiknya Garwita yang selalu menceritakan kelebihan Ray pada Gandra. "Lalu apa lagi, Gandra?" tanya Ray kepo. "Mmm ...." Gandra tampak berpikir. "Kayaknya, ayah itu genten
Kala terdiam menatap Garwita yang begitu dekat dengan wajahnya. Ingin rasanya dia pura-pura khilaf lalu mencium dengan cepat bibir tipis kemerahan yang sekarang terasa sedang menggodanya. Tapi, Kala tak ingin gegabah dan membuat Garwita jadi takut padanya. Kala menggelengkan kepala untuk meredakan rasa nyeri yang sempat hinggap. "Aku tidak apa-apa," balas Kala mencoba terduduk, Garwita mengikuti. "Lagian, pagi-pagi dah iseng!" celetuknya masih kesal dengan candaan Kala. "Ish, siapa yang iseng! Dah ah, yuk bangun kita salat bareng?" ajak Kala kemudian. Dia tak ingin berlama-lama dekat seperti ini dan membuat sesuatu dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. ***"Nanti kuantar kamu dulu, baru Gandra ya?" kata Kala perhatian. Garwita yang sedang menyuap makanan langsung mendongak. "Mas, kulihat di samping rumah ada sepeda, apa masih bisa dipake? Kalau bisa, aku ingin memakainya untuk berangkat kerja." Kala mengernyit, mengingat-ingat apa ada sepeda di sana. "Nanti coba ku cek dulu, ya
"Mmm, a--ku tak punya apa pun yang bisa dijadikan jaminan. Bagaimana kalau mulai besok bekerja full di sini? Pagi sampai sore?" tawar Garwita, berharap Ray mau berbaik hati.Ray menggeleng dengan senyum remeh. "Menarik!" jawab Ray singkat. "Selain itu, jemputlah Gandra ketika pulang sekolah dan bawa dia ke sini." "Gandra?" Garwita mengernyit. "Ya, saya ingin punya teman main. Gandra pasti akan jadi teman yang menyenangkan!" balas Ray dengan senyum semringah. Itu membuat Garwita lega juga tak menyangka ada yang begitu menyukai dan menginginkan anaknya."Baik, Tuan." "Oke, pulanglah. Nanti Topan yang akan mengurus semuanya. Tunggu saja kabar dari kami," jelas Ray dengan senyum tulus. Dia pun senang karena akhirnya Garwita meminta bantuan darinya. Ray sangat senang jika merasa dibutuhkan oleh Garwita dan keluagarnya. ***"Ibuuu!" panggil Gandra dari arah jalan. Rupanya Kala sudah menjemput anak itu dan membawanya bersama. Garwita langsung mendekat. "Gandra ikut bersama kita? Bagai