Share

Bab 6

Author: Ratu As
last update Last Updated: 2023-05-25 19:19:21

Pencarian Kala tak membuahkan hasil, padahal dia sudah berkeliling cukup jauh. Dia mulai menepi lalu berhenti sejenak untuk berpikir.

"Kalau Garwita pergi untuk mencari Ray, kenapa aku tak melakukan hal yang sama? Mungkin saja dengan aku mencari tujuan yang sama bisa menemukan Garwita di sana?" batin Kala lalu memukul kepalanya kenapa sedari tadi malah berputar-putar bukannya langsung ke alamat.

"Bodoh!" gumam Kala pada diri sendiri.

Motor metik berwarna hitam itu kembali melesat menyusuri jalanan. Kala masih mengingat jelas setiap detail yang diucapakan ibu-ibu cleaning service di klinik Andalan. Dia yakin, berbekal ingatan dan nama Tuan Abash bisa menemukan alamat itu.

***

Garwita berlari sembari menyeka air matanya, tak dihiraukannya kaki yang semakin lecet dan berdarah. Harapan yang telah hancur membuat rasa sakit di badan tak lagi terasa karena yang lebih memilukan justru ada di dalam dada, sakit di hati yang amat dalam.

Kepala Garwita dipenuhi dengan prasangka dan tebak menebak, kenapa Ray bisa menghianatinya? Sepanjang bersama, Ray tak pernah berbuat jahat, bahkan dia orang yang selalu terlihat tulus dan begitu menyayangi Garwita.

"Wit, Wita!" panggil Kala ketika dia lihat wanita yang dicarinya berlari keluar dari rumah paling mewah yang ada di komplek itu.

Kala yang tadi berhenti dan duduk di jok motor langsung berlari mengejar Garwita yang sepertinya tak melihat keberadaanya. Cekatan Kala meraih tangan Garwita dan menahannya. Wanita itu terhenti lalu mendongak, dia palingkan wajah dari Kala karena tak ingin dilihat sedang menangis.

"Jangan terus berlari, jika lelah istirahat dulu, jika sakit ... ayo menepi, kita obati bersama!" kata Kala perhatian. Dia melihat Garwita dari ujung kepala sampai kaki, bukan hanya terlihat semrawut tapi sangat kacau. Apalagi luka di kaki yang semakin menganga.

Reflek Garwita memeluk Kala, dia tumpahkan tangisnya di dada Kala. Kala tak tahu apa yang terjadi, tapi dari tingkah dan tangis Garwita bisa menjelaskan semuanya kalau dia sedang tidak baik-baik saja. Kala membiarkan Garwita menangis sampai tenang, yang dia lakukan hanya diam sembari menepuk-nepuk pelan pundak Garwita.

"Mas, sakiiit," lirih Garwita. Dia ingin mencurahkan semua rasa sedihnya pada lelaki yang selalu ada untuknya dan Garwita anggap seperti kakak sendiri.

Suaranya parau dan tersendat-sendat, semakin membuat Kala merasa sesak mendengarnya.

"Sebelah mana yang sakit?" Kala menahan pundak Garwita yang sudah lumayan tenang dan melepas pelukkannya.

"Di sini!" Garwita menunjuk ke arah dada, tapi pandangannya jatuh ke bawah. Melihat kaki-kaki yang luka karena bergesekan dengan aspal.

"Semua akan kembali membaik. Ayo kita obati bersama!" Bagi Kala ucapannya bukan hanya sekadar tentang mengobati kaki yang luka itu, tapi jauh harapannya juga bisa menyembuhkan hati Garwita yang sekarat karena menahan pedih.

Kala menuntun Garwita berjalan ke arah trotoar lalu duduk di bawah pohon trembesi yang ada di tepi jalan. Dia juga mengambil kotak P3K yang selalu ada di jok motornya.

Garwita duduk sambil menekuk kakiknya, sementara Kala duduk berhadapan dan membersihkan kaki Garwita dari debu jalan dengan air. Satu per satu kejadian yang Garwita alami semenjak keluar dari kontrakan Kala dia ceritakan. Mulai dari tasnya yang dijambret, sandal jepit yang putus, kaki yang terluka, sampai pada titik di mana Garwita datang ke rumah megah itu dan air matanya kembali mengalir, meski tanpa sesenggukan.

Sudut mata Kala ikut berair, andai tak dia tahan mungkin juga tetes bening sudah mengalir. Namun, dia tak ingin terlihat cengeng di depan Garwita, hanya saja perjalanan Garwita terdengar begitu menyakitkan baginya, hatinya ikut terluka dengan apa yang di alami oleh wanita yang dicintai. Kala terus mengobati luka-luka di kaki Garwita dengan diam. Tiba saat Garwita menceritakan tentang Ray yang mengkhianatinya. Bibir Kala gemetar, dia menarik tangannya dan mengepal sekuat tenaga menahan emosi yang ikut meluap.

"Cukup! Tak ada lagi yang perlu kamu harapkan dari lelaki itu. Sudahi menunggumu, sudahi rasa sakitmu, sudahi semua yang kamu gantungkan dan berakhir dengan jalan buntu," ucap Kala penuh penekanan.

"Lepaskan dia, Garwita. Sudahi semuanya, aku tak terima!" lanjutnya dengan mata memerah dan napas yang memburu. Tatapan Kala membuat Garwita membisu, dia tak menyangka jika Kala akan membelanya seperti itu.

Andai ada Ray di hadapan Kala sekarang, dia tak segan-segan untuk menghabisnya. Sayangnya, semua percuma ketika mereka tahu jika Ray berada di luar negri.

"Wit! Pulang!" Kala meraih pundak Garwita dan menariknya agar berdiri. Tak sempat Garwita mengucapkan apa pun lagi, dia tahu jika Kala ikut emosi pada apa yang di alaminya.

Garwita langsung naik ke jok belakang. Kala mengemudi dengan pelan sambil menenangkan dada yang sesaat tadi gemuruh tak karuan. Mereka berdua sama-sama diam dengan pikiran masing-masing, yang terdengar hanya suara kendaraan yang hilir mudik menyalip atau berpapasan.

***

"Ternyata emosi sangat menguras tenaga. Ayo kita makan dulu, aku yakin sejak tadi kamu tak sempat minum apalagi makan kan?" Kala berbelok ke tempat makan lesehan. Garwita belum menjawab, tapi Kala lebih dulu berhenti lalu mencopot sepatunya. "Pake ini!" Kala meletakan sepatu putih berukuran 42 itu di bawah kaki Garwita. Sementara dia jadi nyeker sekarang.

"Kamu nyeker dong, Mas? Udah pake kamu saja," tolak Garwita ingin turun dari motor tanpa memakainya. Kala menahan.

"Enggak mau pake? Ya udah, aku yang pake tapi kamu kugendong, mau?" tawar Kala memberi pilihan. Tentu saja Garwita langsung menggeleng, membuat Kala jalan tanpa sepatu saja sudah membuatnya sungkan apalagi jika harus di gendong di tempat umum.

Karena diancam, Garwita langsung menurut. Kala berjongkok lalu memakaikan sepatunya di kaki Garwita, sangat kedodoran karena ukuran sepatu Garwita biasa di angka 38.

Mereka menuju ke tempat paling ujung yang di sediakan di mana ada sebuah saung dari kayu dan anyaman bambu yang berdiri di atas kolam ikan. Suasana yang sejuk dan asri membuat rasa lelah sedikit pudar. Garwita langsung duduk lalu selonjoran, semenatara Kala memilih duduk di tepi saung dengan kaki mencelup ke air.

Banyak ikan-ikan kecil yang mengerubuti kaki Kala. Garwita tertarik melihat itu tapi tak ingin ikutan karena takut lukanya terasa perih. Sambil menunggu pesanan, Kala mengeluarkan ponselnya lalu memanggil Garwita agar mendekat.

"Sini, kita foto dulu!"

"Enggak ah, Mas, aku malu!" tolak Garwita.

Kala berdecak, karena si wanita tak kunjung mendekat akhirnya Kala mengalah menghampiri Garwita lalu mengambil gambar berdua dengan tiba-tiba. Posisi tak siap membuat ekspresi Garwita begitu alami dan lucu.

"Iiih jelek!" protes Garwita ketika melihat hasil fotonya. Kala terkekeh-kekeh melihat Garwita kembali manyun, tapi wajah sedihnya sesaat tadi mulai luntur.

"Makanya pose, dong!" titah Kala memberi aba-aba dengan hitungan satu sampe tiga.

Kali ini Garwita merasa puas, karena senyum di dalam foto itu terlihat manis dan tidak sekonyol tadi.

"Iya-iya deh, si paling cantik," balas Kala sewot ketika Garwita membanggakan fotonya. Garwita jadi tertawa dan mencubit pundak Kala karena merasa gemas.

Mereka berdua kembali ceria dengan pertengkaran yang justru membuatnya makin tertawa terpingkal.

Pesanan siap, dua porsi ikan bakar beserta dengan nasi liwet dan lalapanya terhidang di meja. Untuk sambelnya ada tiga macam, sambal terasi, sambal kecap, dan sambal tomat, semua tampak menggiurkan.

Garwita menelan ludah, baru kali ini dia bisa makan ikan bakar dengan ukuran lumayan besar sendirian. Dia jadi teringat Gandra.

"Kalau ada Gandra pasti sangat senang. Dia jarang sekali makan seperti ini," gumam Gawita menatap makanannya.

"Aku janji kalau pulang nanti akan ajak kalian makan enak. Apa saja yang Gandra minta," balas Kala lalu menyuruh Garwita untuk makan dulu.

Garwita tersenyum haru mendengarnya. Matanya berbinar-binar menatap lelaki yang sekarang ada di hadapannya dan sedang fokus dengan makanan.

"Hati-hati, ada banyak durinya!" Kala mengambil alih piring berisi ikan milik Garwita lalu menyuir-nyuir daging, memisahkannya dari duri, lalu meletakkan di atas nasi milik Garwita. Perhatian Kala saat ini terekam jelas di benak Garwita, membuat senyum wanita itu terlukis lagi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 37

    "Bagaimana ini, Mas? Lukamu?" Garwita menunjuk wajah Kala."Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Kala lalu merapikan penampilannya dan bersiap membuka pintu, begitu juga dengan Garwita yang berada di sampingnya. Saat pintu diketuk, kedua sejoli itu langsung membukanya. Menyambut orang tua Kala dengan senyum seramah mungkin."Pak, Bu, kok ke sini enggak bilang dulu?" ujar Kala lalu mencium tangan mereka. Juragan Jarwo tidak menolak. Dia tetap diam saat tangannya diraih oleh Kala dan Garwita. "Lah, piye? Kan siang tadi Ibu telepon! Katanya mau telepon balik. Tapi Ibu tunggu-tunggu ndak ada tuh panggilan dari kamu!" balas Ambar dengan suara merajuk. Kala terkekeh geli, dia baru ingat. "Silahkan masuk, Pak,Bu ...," kata Garwita mempersilahkan mereka untuk duduk terlebih dulu. Sementara dia berlalu ke belakang untuk membuat minuman.Juragan Jarwo tampak berdeham melihat anaknya, dia sadar akan wajah Kala yang babak belur. "Ya ampun, Le. Wajahmu kenapa?" Ambar yang langsung respek. Di

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 36

    "Hallo, Le? Gimana kabarmu?" tanya Ambar dari seberang telepon. Usai mendapat perintah dari juragan Jarwo, Ambar langsung menghubungi anaknya.Kala yang sedang berada di jalan melambatkan lajunya. "Baik, Bu, ada apa? Ini Kala lagi di jalan," balas Kala menyelipkan ponselnya ke helm tanpa berhenti dulu, pikirnya nanggung karena sebentar lagi sampai."Oalah, kalau lagi di jalan jangan angkat teleponnya dulu atuh!" balas Ambar khawatir dan urung mengatakan tujuannya telepon.Kala terkekeh-kekeh mendengar suara ibunya. "Ya mau gimana lagi, abis hape geter terus! Ya udah aku lanjut dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah berhenti Kala telepon balik!" Kala kembali melanjutkan perjalanan, hari ini dia berniat untuk melamar kerja. Tadi sudah mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah, sementara sekarang dia ingin ke SMK yang memang ada jurusan pertanian di sana. Ya siapa tahu ada lowongan. Kala begitu bersemangat mulai merancang rencana di otaknya untuk masa depan keluarga kecilnya yang mulai dia b

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 35

    Sejak kejadian malam tadi, Garwita selalu menghindari kontak mata dengan Kala, apalagi jika harus berhadapan dengannya, Garwita akan bicara sambil menunduk. Bukan tanpa sebab, dia malu luar biasa juga jadi cangnggung karena ci*man itu. "Bu, Gandra mau tambah nasi!" pinta anak itu sambil menyodorkan piring. Buru-buru Garwita mengambilkan apa yang Gandra mau. "Aku juga mau!" Kala ikut menyodorkan piring. Garwita ingin meletakan secentong nasi, tapi Kala menarik piringnya dengan jail begitu terus sampai akhirnya Garwita mendongak. "Ish, mau enggak?" tanya Garwita menatap lelaki di samping Gandra dengan kesal. Kala menahan tawa lalu meraih tangan Garwita dan dan meletakan nasi itu pada piringnya. Pada saat Garwita ingin menarik tangannya Kala sedikit menahan membuat mereka saling adu tatap. Bagi Garwita tatapan Kala itu terlihat seperti menyeriangai dan membuatnya ingin selalu waspada. Sekali menatap wajah Kala, Garwita akan terfokus pada bibirnya lalu bayangan yang iya-iya mula

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 34

    Gandra sudah pulang dijemput oleh Topan siang tadi. Anak itu sekarang bermain di kamar Ray, Garwita sudah menahan dan tak memperbolehkannya. Namun, Ray sendiri yang meminta. Dia beralasan sakitnya akan mereda jika melihat anak kecil bermain."Om lagi sakit, ya?" tanya Gandra sambil bermain di lantai. Ray mengangguk dengan senyum ramah. "Hem, besar nanti Gandra mau jadi dokter," ucap anak itu tanpa ditanya."Kenapa?" Ray penasaran dengan alasan Gandra."Ibu bilang, aku anaknya seorang dokter. Ayahku orang yang hebat!" balasnya menirukan cerita yang Garwita buat. Mendengar itu, Ray merasa terharu sekaligus sedih. Anak yang begitu membanggakan ayahnya, nyatanya ayahnya bukanlah seseorang yang patut dibanggakan. Ray menelan ludah dengan berat setiap kali mendengar cerita polos dari Gandra, dari situ dia tahu betapa baiknya Garwita yang selalu menceritakan kelebihan Ray pada Gandra. "Lalu apa lagi, Gandra?" tanya Ray kepo. "Mmm ...." Gandra tampak berpikir. "Kayaknya, ayah itu genten

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 33

    Kala terdiam menatap Garwita yang begitu dekat dengan wajahnya. Ingin rasanya dia pura-pura khilaf lalu mencium dengan cepat bibir tipis kemerahan yang sekarang terasa sedang menggodanya. Tapi, Kala tak ingin gegabah dan membuat Garwita jadi takut padanya. Kala menggelengkan kepala untuk meredakan rasa nyeri yang sempat hinggap. "Aku tidak apa-apa," balas Kala mencoba terduduk, Garwita mengikuti. "Lagian, pagi-pagi dah iseng!" celetuknya masih kesal dengan candaan Kala. "Ish, siapa yang iseng! Dah ah, yuk bangun kita salat bareng?" ajak Kala kemudian. Dia tak ingin berlama-lama dekat seperti ini dan membuat sesuatu dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. ***"Nanti kuantar kamu dulu, baru Gandra ya?" kata Kala perhatian. Garwita yang sedang menyuap makanan langsung mendongak. "Mas, kulihat di samping rumah ada sepeda, apa masih bisa dipake? Kalau bisa, aku ingin memakainya untuk berangkat kerja." Kala mengernyit, mengingat-ingat apa ada sepeda di sana. "Nanti coba ku cek dulu, ya

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 32

    "Mmm, a--ku tak punya apa pun yang bisa dijadikan jaminan. Bagaimana kalau mulai besok bekerja full di sini? Pagi sampai sore?" tawar Garwita, berharap Ray mau berbaik hati.Ray menggeleng dengan senyum remeh. "Menarik!" jawab Ray singkat. "Selain itu, jemputlah Gandra ketika pulang sekolah dan bawa dia ke sini." "Gandra?" Garwita mengernyit. "Ya, saya ingin punya teman main. Gandra pasti akan jadi teman yang menyenangkan!" balas Ray dengan senyum semringah. Itu membuat Garwita lega juga tak menyangka ada yang begitu menyukai dan menginginkan anaknya."Baik, Tuan." "Oke, pulanglah. Nanti Topan yang akan mengurus semuanya. Tunggu saja kabar dari kami," jelas Ray dengan senyum tulus. Dia pun senang karena akhirnya Garwita meminta bantuan darinya. Ray sangat senang jika merasa dibutuhkan oleh Garwita dan keluagarnya. ***"Ibuuu!" panggil Gandra dari arah jalan. Rupanya Kala sudah menjemput anak itu dan membawanya bersama. Garwita langsung mendekat. "Gandra ikut bersama kita? Bagai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status