Share

Bab 7

Author: Ratu As
last update Last Updated: 2023-05-25 19:21:36

Kala melihat Garwita sedang mengemasi bajunya ke tas, dia mengernyit untuk apa wanita itu melakukan itu?

"Kamu mau pulang?" tanya Kala membuat Garwita berjengit.

Garwita mengangguk. "Pencarianku sudah selesai. Aku harus cepat pulang untuk Gandra," balasnya dengan seulas senyum. Senyum yang selalu Garwita tunjukkan sekali pun hati sedang gerimis.

Kala bersender ke tembok dengan tangan bersedekap. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?"

Sejenak Garwita berpikir, namun tak ada dalam benaknya sesuatu yang ingin dia lakukan setelah ini. Usai tahu tentang Ray dan harapan itu hancur dalam sekejap, dia berasa tak punya harapan yang harus diperjuangkan.

"Seperti biasa lagi. Kerja untuk Gandra," balas Garwita tak ingin membuat kepalanya pusing dengan mencari-cari rencana.

"Kamu tidak akan menggugat cerai?" Kala bicara dengan tatapan serius pada Garwita. Wanita itu menghela napas dalam, rasa syoknya seakan-akan masih mencekik ingatan. Garwita ingin menolak untuk percaya bahwa Ray meninggalkannya karena selingkuh. Kalau bisa Garwita ingin memilih membayangkan hal lain misal Ray meninggalkannya karena mati kecelakaan menggelinding dari gunung atau hilang diculik alien.

"Lepaskan dirimu dari beban itu, Garwita. Ikatan itu hanya membuatmu bertahan tanpa kepastian, lalu mati menjadi pesakitan. Kamu kira dia akan peduli?" Tidak!" Dada Kala kembali memanas, entah mengapa jika Garwita merasa sakit, justru dialah yang merasa lebih dari itu.

Wanita yang duduk di tepi ranjang dengan tangan cekatan melipati bajunya itu mencoba tak acuh. Dia seakan-akan tak mendengarkan Kala yang sedang bicara.

"Garwita! Kamu dengar aku?" Kala meraih pundak Garwita dan membuatnya menatap ke arahnya.

"Diamlah, Mas, aku hanya ingin sedikit menenangkan pikiranku dulu! Perihal cerai akan kupikirkan nanti," balas Garwita dengan helaan napas berat. "Kepalaku masih terasa linglung, aku masih bingung harus melakukan apa. Aku ingin tidak mempercayai semua, tapi ...."

"Tapi, itu hanya akan membuatmu lebih bodoh! Dan ujungnya, sakit itu akan makin dalam!" lanjut Kala memotong ucapan Garwita.

Mereka saling adu tatap, Garwita bungkam dia tak bisa berkata-kata lagi karena yang diucapkan Kala memang benar.

"Dengarkan aku ...." Kala berjongkok di hadapan Garwita. "Bercerailah sekarang, kejar kebahagiaanmu sendiri. Dengan bertahan seperti ini hanya akan membuatmu menderita. Gandra bukan hanya butuh ayah, tapi dia butuh sosok ayah. Pikirkan itu, Garwita."

Tatapan Kala yang teduh membuat Garwita tak bisa berpaling. Dia tahu, nasehat itu memang baik untuknya, tapi apa bisa semudah itu? Pikir Garwita rumit.

"Bagaimana jika aku benar-benar bercerai, dan menemukan lelaki lain tapi dia tak mau menerima Gandra? Aku takut itu ... Mas. Memangnya ada lelaki yang bisa menerima seorang janda dengan tulus?"

"Ada! Itu aku!" batin Kala tertahan. Dia tak bisa mengatakan itu saat ini. Kala hanya bisa tersenyum menanggapi.

"Ada! Pasti ada ...," balas Kala, memberi keyakinan pada Garwita.

"Baiklah, aku akan mempertimbangkannya." Garwita tersenyum untuk menutupi kebimbangannya lagi. "Di kampung nanti pasti akan gempar jika ada janda baru," ucap Garwita dengan nada candaan.

"Ah, mereka hanya tak tahu saja kalau sekarang jangankan duda yang bujangan saja targetnya justru janda muda," timpal Kala dengan kekehan.

Garwita ikut terkikik geli. Malam ini mereka habiskan dengan candaan ringan. Rencananya Garwita akan balik ke kampung esok hari, ketika Kala sudah pulang dan bisa mengantarnya ke terminal.

***

Kala sama sekali tak bisa fokus ketika di kampus, sementara pikirannya terus berada di kontrakan ingin membersamai Garwita. Tepat ketika jam kuliah selesai, tanpa pikir panjang dia langsung pulang.

Motor melaju kencang, Kala tak ingin membuang waktu dan kesempatan yang tinggal hitungan jam saja bersama Garwita. Karena setelah ini dia akan lama lagi untuk bisa menyapa dan melihat senyum wanita itu. Masih ada satu semester lagi yang harus Kala tempuh untuk bisa wisuda dan balik kampung.

Sebelum lulus, Kala tak dibolehkan pulang oleh juragan Jarwo. Bapaknya yang terbilang tegas dalam mendidik Kala pasti akan marah jika anaknya pulang tanpa alasan yang jelas.

Suasana jalan cukup ramai tetapi Kala masih bisa menyalip. Motornya meliuk-liuk di jalanan, sesekali mendapat peringatan dari pengendara lain dengan klakson. Namun, Kala tak menghiraukan, baginya yang pengting cepat sampai.

Sebelum pertigaan jalan, Kala menyelip lalu melanjutkan dengan berbelok. Sayangnya dari arah berlawanan ada pengendara lain mereka sama-sama kaget dan tak bisa menghindar karena laju motor yang cukup kencang.

Braaak!

Suara benturan terdengar begitu keras, beberapa body motor bahkan pecah lalu melayang di jalanan.

Tubuh Kala terpental lalu jatuh dan dia langsung tak sadarkan diri. Orang-orang yang berada di sekitar langsung mengerumun dan membantu korban kecelakaan.

***

Di kontrakan, Garwita kaget dengan suara ketukan pintu yang diketuk berkali-kali seakan-akan tak sabar. Dengan tergopoh-gopoh Garwita berlari ke arah pintu lalu menyibak tirai dan mengintip dari dalam terlebih dahulu. Seperti saran Kala agar dia waspada dan tak sembarangan mengizinkan tamu masuk.

Ternyata Gendon, tetangga kontrakan. Dia terlihat berdiri dengan raut panik. Di ketuknya lagi pintu yang masih terkunci.

"Permisi, Mbak! Buka, Mbak! Ada kabar penting!" ucap lelaki bertubuh tambun dari luar.

Garwita yang sempat curiga, memberanikan diri untuk membukanya. Saat pintu terbuka Gendon langsung menarik tangan Garwita agar keluar, sontak saja membuatnya kaget dan langsung menepisnya.

"Heh! Apa-apaan kamu!" bentak Garwita tak terima.

"Maaf, Mbak, maaf! Tapi ini situasi penting!"

"Iya ada apa, jelaskan dulu kenapa?" Garwita berdiri dengan waspada, takut-takut orang di depannya sedang berakting.

"Kala--ndra, dia kece--lakaan!" balas Gendon tergagap. Dia begitu panik, sampai tubuhnya saja tak bisa diam saat menjelaskan pada Garwita dan terus berlari-lari di tempat.

"Innalillahi ...," lirih Garwita dengan raut kaget.

"Dia belum mati, Mbak!" jawab Gendon ambigu.

"Bukan itu maksudku ... sekarang dia ada di mana?" tanya Garwita.

"Rumah sakit. Ayo, Mbak, kita ke sana!"

"Sekarang?" Saking syok dan gugupnya membuat Garwita kebingungan.

"Iya sekarang! Kalo besok keburu mobil jenazah yang datang!"

"Suut! Jangan sembarangan!" Seru Garwita langsung menutup dan mengunci pintu kontrakan.

Gendon menutup mulut dan meminta maaf lagi, dia buru-buru lari ke arah motor lalu menyuruh Garwita membonceng di belakang.

Sepanjang jalan pikiran Garwita tak kuruan, rasa takut menyeruak memenuhi otaknya. Dia sangat takut kehilangan Kala saat ini.

"Bagaimana kondisi Mas Kala tadi?"

"Parah, Mbak!" jawab Gendon dengan nada ketakutan.

"Apanya yang luka?" Garwita terus bertanya karena sangat khawatir.

"Semuanya. Darah di mana-mana, tangannya patah, Mbak ...."

"Innalillahi, Mas Kala ...," gumam Garwita dengan air mata yang tak bisa dibendung lagi.

"Tangannya lepas?" tanya Garwita polos.

Gendon mengangguk, suara kendaraan lain membuat pendengarannya sedikit terganggu.

"Beneran?"

"Iya," jawab Gendon lagi yang langsung membuat Garwita lemas dan hampir pingsan. Namun, dia istighfar lagi karena sedang ada di jalan dan mencoba untuk kuat.

Wajah dan senyum Kala membayang-bayang di benak Garwita membuat ketakutan itu semakin menjadi. Garwita takut dia tak bisa lagi mendengar ocehan, lelucon, juga tawa khas Kala yang selalu membuat mood-nya membaik. Garwita tak tahu kenapa seperti itu, tapi yang jelas baginya Kala adalah salah satu orang berpengaruh di hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 37

    "Bagaimana ini, Mas? Lukamu?" Garwita menunjuk wajah Kala."Tenanglah, semua akan baik-baik saja." Kala lalu merapikan penampilannya dan bersiap membuka pintu, begitu juga dengan Garwita yang berada di sampingnya. Saat pintu diketuk, kedua sejoli itu langsung membukanya. Menyambut orang tua Kala dengan senyum seramah mungkin."Pak, Bu, kok ke sini enggak bilang dulu?" ujar Kala lalu mencium tangan mereka. Juragan Jarwo tidak menolak. Dia tetap diam saat tangannya diraih oleh Kala dan Garwita. "Lah, piye? Kan siang tadi Ibu telepon! Katanya mau telepon balik. Tapi Ibu tunggu-tunggu ndak ada tuh panggilan dari kamu!" balas Ambar dengan suara merajuk. Kala terkekeh geli, dia baru ingat. "Silahkan masuk, Pak,Bu ...," kata Garwita mempersilahkan mereka untuk duduk terlebih dulu. Sementara dia berlalu ke belakang untuk membuat minuman.Juragan Jarwo tampak berdeham melihat anaknya, dia sadar akan wajah Kala yang babak belur. "Ya ampun, Le. Wajahmu kenapa?" Ambar yang langsung respek. Di

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 36

    "Hallo, Le? Gimana kabarmu?" tanya Ambar dari seberang telepon. Usai mendapat perintah dari juragan Jarwo, Ambar langsung menghubungi anaknya.Kala yang sedang berada di jalan melambatkan lajunya. "Baik, Bu, ada apa? Ini Kala lagi di jalan," balas Kala menyelipkan ponselnya ke helm tanpa berhenti dulu, pikirnya nanggung karena sebentar lagi sampai."Oalah, kalau lagi di jalan jangan angkat teleponnya dulu atuh!" balas Ambar khawatir dan urung mengatakan tujuannya telepon.Kala terkekeh-kekeh mendengar suara ibunya. "Ya mau gimana lagi, abis hape geter terus! Ya udah aku lanjut dulu ya, Bu. Nanti kalau sudah berhenti Kala telepon balik!" Kala kembali melanjutkan perjalanan, hari ini dia berniat untuk melamar kerja. Tadi sudah mengajukan surat lamaran ke beberapa sekolah, sementara sekarang dia ingin ke SMK yang memang ada jurusan pertanian di sana. Ya siapa tahu ada lowongan. Kala begitu bersemangat mulai merancang rencana di otaknya untuk masa depan keluarga kecilnya yang mulai dia b

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 35

    Sejak kejadian malam tadi, Garwita selalu menghindari kontak mata dengan Kala, apalagi jika harus berhadapan dengannya, Garwita akan bicara sambil menunduk. Bukan tanpa sebab, dia malu luar biasa juga jadi cangnggung karena ci*man itu. "Bu, Gandra mau tambah nasi!" pinta anak itu sambil menyodorkan piring. Buru-buru Garwita mengambilkan apa yang Gandra mau. "Aku juga mau!" Kala ikut menyodorkan piring. Garwita ingin meletakan secentong nasi, tapi Kala menarik piringnya dengan jail begitu terus sampai akhirnya Garwita mendongak. "Ish, mau enggak?" tanya Garwita menatap lelaki di samping Gandra dengan kesal. Kala menahan tawa lalu meraih tangan Garwita dan dan meletakan nasi itu pada piringnya. Pada saat Garwita ingin menarik tangannya Kala sedikit menahan membuat mereka saling adu tatap. Bagi Garwita tatapan Kala itu terlihat seperti menyeriangai dan membuatnya ingin selalu waspada. Sekali menatap wajah Kala, Garwita akan terfokus pada bibirnya lalu bayangan yang iya-iya mula

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 34

    Gandra sudah pulang dijemput oleh Topan siang tadi. Anak itu sekarang bermain di kamar Ray, Garwita sudah menahan dan tak memperbolehkannya. Namun, Ray sendiri yang meminta. Dia beralasan sakitnya akan mereda jika melihat anak kecil bermain."Om lagi sakit, ya?" tanya Gandra sambil bermain di lantai. Ray mengangguk dengan senyum ramah. "Hem, besar nanti Gandra mau jadi dokter," ucap anak itu tanpa ditanya."Kenapa?" Ray penasaran dengan alasan Gandra."Ibu bilang, aku anaknya seorang dokter. Ayahku orang yang hebat!" balasnya menirukan cerita yang Garwita buat. Mendengar itu, Ray merasa terharu sekaligus sedih. Anak yang begitu membanggakan ayahnya, nyatanya ayahnya bukanlah seseorang yang patut dibanggakan. Ray menelan ludah dengan berat setiap kali mendengar cerita polos dari Gandra, dari situ dia tahu betapa baiknya Garwita yang selalu menceritakan kelebihan Ray pada Gandra. "Lalu apa lagi, Gandra?" tanya Ray kepo. "Mmm ...." Gandra tampak berpikir. "Kayaknya, ayah itu genten

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 33

    Kala terdiam menatap Garwita yang begitu dekat dengan wajahnya. Ingin rasanya dia pura-pura khilaf lalu mencium dengan cepat bibir tipis kemerahan yang sekarang terasa sedang menggodanya. Tapi, Kala tak ingin gegabah dan membuat Garwita jadi takut padanya. Kala menggelengkan kepala untuk meredakan rasa nyeri yang sempat hinggap. "Aku tidak apa-apa," balas Kala mencoba terduduk, Garwita mengikuti. "Lagian, pagi-pagi dah iseng!" celetuknya masih kesal dengan candaan Kala. "Ish, siapa yang iseng! Dah ah, yuk bangun kita salat bareng?" ajak Kala kemudian. Dia tak ingin berlama-lama dekat seperti ini dan membuat sesuatu dalam tubuhnya bergejolak dan memanas. ***"Nanti kuantar kamu dulu, baru Gandra ya?" kata Kala perhatian. Garwita yang sedang menyuap makanan langsung mendongak. "Mas, kulihat di samping rumah ada sepeda, apa masih bisa dipake? Kalau bisa, aku ingin memakainya untuk berangkat kerja." Kala mengernyit, mengingat-ingat apa ada sepeda di sana. "Nanti coba ku cek dulu, ya

  • Lima Tahun Tanpa Nafkah   Bab 32

    "Mmm, a--ku tak punya apa pun yang bisa dijadikan jaminan. Bagaimana kalau mulai besok bekerja full di sini? Pagi sampai sore?" tawar Garwita, berharap Ray mau berbaik hati.Ray menggeleng dengan senyum remeh. "Menarik!" jawab Ray singkat. "Selain itu, jemputlah Gandra ketika pulang sekolah dan bawa dia ke sini." "Gandra?" Garwita mengernyit. "Ya, saya ingin punya teman main. Gandra pasti akan jadi teman yang menyenangkan!" balas Ray dengan senyum semringah. Itu membuat Garwita lega juga tak menyangka ada yang begitu menyukai dan menginginkan anaknya."Baik, Tuan." "Oke, pulanglah. Nanti Topan yang akan mengurus semuanya. Tunggu saja kabar dari kami," jelas Ray dengan senyum tulus. Dia pun senang karena akhirnya Garwita meminta bantuan darinya. Ray sangat senang jika merasa dibutuhkan oleh Garwita dan keluagarnya. ***"Ibuuu!" panggil Gandra dari arah jalan. Rupanya Kala sudah menjemput anak itu dan membawanya bersama. Garwita langsung mendekat. "Gandra ikut bersama kita? Bagai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status