BAB 4
RAHASIA TERSEMBUNYI “Dari mana?” tanya Sesil, rekan kerja Lisa satu ruangan. “Dari toilet,” sahut Lisa seraya menjatuhkan bobotnya di kursi. “Kamu habis nangis? Kok sembab gitu?” tanya Sesil penuh selidik. “Masak sih?” tanya Lisa panik. Spontan dia segera membuka tasnya dan mengambil cermin mini yang biasa dia bawa. Sesil terkekeh geli melihat kepanikan sahabatnya tersebut. “Ish, kamu ini. Ngagetin aja!” protes Lisa seraya mengerucutkan bibirnya. Bukannya merasa bersalah, Sesil justru semakin terbahak melihat kekesalan sahabatnya tersebut. “Ayo, yang lain udah jalan tuh!” ajak Sesil. “Kemana?” tanya Lisa heran. “Lha, kamu gak lihat pengumuman di grup?” tanya Sesil balik. Spontan, Lisa menggelengkan kepalanya lengkap dengan ekspresi bengongnya. “Ya Tuhan … Lisa sayang, punya ponsel itu dibuka ya. Jangan dianggurin doang. Heran deh, kamu ini manusia zaman kapan sih? Kayak gak ada butuh-butuhnya sama ponsel,” cerocos sahabat Lisa tersebut. Hampir setiap ada pengumuman, Lisa selalu ketinggalan. Jika bukan Sesil yang menghubungi dan memberitahunya, dia pasti tidak akan tahu. Kalau pun tahu, pasti sudah terlambat. “Hari ini ada pengenalan CEO baru. Kata orang-orang ganteng lho!” bisik Sesil. “Ish, kamu ini gak pernah ketinggalan ya, kalau soal orang ganteng!” sindir Lisa. “Harus dong. Siapa tahu kayak di cerita-cerita gitu, CEO tampan jatuh cinta dengan karyawannya, kan keren tuh!” sahut Sesil seraya menerawang. “Terserah situ deh. Ayo!” Lisa segera bangkit dari posisinya dan mereka melangkah beriringan menuju aula bersama karyawan lain. Selang tak berapa lama kemudian, acara pun dimulai. Setelah pembukaan, pembawa acara pun memanggil orang yang mereka tunggu-tunggu. “Mari beri tepuk tangan yang meriah untuk CEO baru kita, Bapak Farhan Dirgantara!” Para karyawan yang hadir dan seluruh jajaran petinggi perusahaan, memberikan tepuk tangan yang meriah, kecuali Lisa. ‘Ya Tuhan … kenapa harus dia?’ tanya Lisa dalam hati. Dia tidak menyangka jika CEO baru di perusahaan tempatnya bekerja adalah mantan suaminya. Tanpa sadar, kilasan kebersamaan mereka di saat-saat akhir, kembali berkelebat. Lisa duduk termenung di tempatnya. Ada sedikit ketakutan yang menyeruak ke dalam dadanya usai pertemuan dengan mantan suaminya tadi. ‘Ya Tuhan … semoga tidak akan ada masalah serius ke depannya. Aku harap hubungan kami hanya sebatas pekerjaan saja. Aku benar-benar takut, ya Tuhan!’ ujar Lisa dalam hati. Bukan tanpa alasan dia merasa ketakutan. Ada fakta yang dia sembunyikan usai perceraian mereka. Selama ini, dia berusaha menyembunyikan fakta tersebut dengan meninggalkan kota ini. Sayangnya, pekerjaannya memaksanya untuk kembali ke sini setelah dia dimutasi. “Mikirin apa sih? Bengong aja dari tadi,” omel Sesil. “Lisa!” seru Sesil dengan geram tepat di telinga wanita tersebut. “Astaga … Sesil!” sahut Lisa seraya mengusap dadanya. Dia benar-benar merasa terkejut dengan ulah sahabatnya tersebut. “Makanya jangan kebanyakan bengong. Ntar kesambet baru tahu rasa lo!” “Kamu tuh yang kesambet!” sahut Lisa sewot. Dia benar-benar merasa kesal dengan tingkah jahil sahabatnya tersebut. “Mikirin apaan sih? Jangan bilang kamu terpesona dengan ketampanan CEO baru kita!” tebak Sesil. “Idih, terpesona apaan? Gaklah!” sahut Lisa membela diri. “Bisa jadi kan? Secara situ jomblo!” ejek Sesil. “Jangan lupa, situ juga jomblo. Aku sudah pernah laku, lha situ?” balas Lisa tak mau kalah. “Biarpun pernah laku, tetap saja sekarang status lo itu jomblo!” ejek Sesil. “Terserah situ deh!” sahut Lisa malas menanggapi. Dia kembali fokus pada pekerjaannya agar segera selesai dan dia tidak harus lembur. Melihat sahabatnya mulai sibuk, Sesil pun turut fokus pada pekerjaan di hadapannya. Tepat pukul empat sore, pekerjaan Lisa sudah selesai. Dia pun segera merapikan mejanya dan bersiap untuk pulang. “Lisa!” Sebuah panggilan, menghentikan langkah Lisa dan Sesil yang sedang berjalan bersama menuju area parkir. Lisa yang merasa namanya dipanggil, segera menghentikan langkahnya dan berbalik. Begitu pun dengan Sesil yang mengikuti gerakan sahabatnya tersebut. “Iya, Pak Arya?” sahut Lisa. Arya adalah atasan sekaligus manager di divisi tempat mereka bekerja. “Kalian mau pulang?” tanya Satria. “Iya, Pak. Pekerjaan kami sudah selesai.” “Mau saya antar?” tawar pria tersebut lagi. “Tidak usah, Pak. Kebetulan saya bawa motor sendiri,” sahut Lisa seraya mengulas sebuah senyuman. “Lho, motor kamu sudah jadi? Bukannya kemarin masih di bengkel?” tanya pria tersebut lagi. “Ehm … Pak Arya perhatian banget sama karyawannya. Mau dong … diperhatiin juga!” goda Sesil. "Saya kan juga perhatian sama kamu, Sil. Buktinya saya sering traktir kalian," sahut pria tersebut membela diri. "Iya deh, percaya!" sahut Sesil seraya berusaha menahan tawanya. Dia tahu betul maksud dan tujuan atasannya tersebut. "Harusnya kamu menerima motor fasilitas dari kantor daripada naik motor kamu itu. Bukannya apa-apa, kondisi motor kamu sudah tidak layak," ujar pria tersebut. "Siapa bilang? Meskipun sering rewel, tapi motor ini yang selama ini setia menemani perjalanan saya, Pak," sahut Lisa membela diri. "Justru itu. Dia sudah terlalu lama diajak berjuang, saatnya masuk museum," bujuk Arya. "Disuruh masuk museum gak tuh!" ujar Sesil lirih seraya terkikik geli. Spontan, Lisa menyenggol lengan sahabatnya tersebut. "Maaf, Pak, kami permisi dulu ya, sudah ditungguin sama orang rumah!" ujar Lisa berpamitan. "Oke, salam buat jagoan ya!" sahut Arya. Lisa menganggukkan kepalanya seraya tersenyum tipis. Dia pun segera melangkahkan kakinya menuju motornya, lalu melajukannya di belakang motor Sesil yang sudah melaju terlebih dahulu. Sementara itu, Satria menatap kepergian mereka hingga benar-benar menghilang. Di persimpangan, motor Lisa dan Sesil pun berpisah karena rumah mereka berbeda arah. Lisa melajukan motornya dengan tenang seraya menikmati semilirnya angin sore. Tanpa dia sadari, ada sepasang mata yang sejak tadi memperhatikan dirinya saat di lampu merah. "Pak, ikuti motor itu!" ujar orang tersebut memberikan perintah.Bab 129Ting tong ....Tidur Najwa terusik dengan suara bel pintu apartemennya. Samar-samar, dia bisa mendengar suara langkah kaki dan pintu terbuka. Dengan malas, dia bangkit dari posisinya, lalu membersihkan diri. Setelah selesai, dia melangkah menuju dapur dan mendengar suara beberapa orang tengah berbincang."Ada tamu, Om?" tanya Najwa saat melihat Farhan masuk ke dapur."Iya. Bisa minta tolong buatkan minuman?""Tentu," sahut Najwa."Terima kasih. Kamu sudah baikan?" tanya Farhan khawatir. Dengan tegas, Najwa menganggukkan kepalanya.Tanpa banyak kata, Najwa segera berbalik menuju dapur dan menyiapkan minuman sesuai permintaan Farhan. Tangannya bergerak cekatan, tapi pikirannya masih melayang-layang. Rasa penasaran mulai mengusik batinnya sejak mendengar suara wanita asing itu dari ruang tamu.Begitu minuman selesai, dia meletakkannya di atas nampan. Dengan langkah hati-hati, dia berjalan menuju ruang tamu, namun langkahnya tiba-tiba terhenti di ambang pintu. Matanya terpaku pada
Bab 128Tubuh Najwa menegang, tetapi bukan karena ketakutan. Ada sesuatu yang asing menjalar di dalam dirinya. Sensasi yang membuatnya bingung.Tangan Farhan yang semula hanya mengusap pipinya, kini bergerak turun, meremas gundukan kenyal dengan lembut. Tanpa sadar, Najwa mendesis lirih.Merasa mendapat respon, Farhan semakin intens melancarkan serangannya. Sementara itu, Najwa semakin tak dapat mengendalikan diri merasakan sensasi baru yang terasa candu.Tiba-tiba, Farhan mengehentikan aksinya. Ditatapnya gadis di bawahnya dengan intens. Sementara itu, Najwa balik menatapnya dengan tatapan penuh tanda tanya."Wa, bolehkah?" tanya Farhan dengan suara berat. Untuk sesaat, Najwa meragu. Meskipun belum berpengalaman, namun dia paham arah pembicaraan pria di hadapannya tersebut.Beberapa saat kemudian, Najwa menganggukkan kepalanya. Akhirnya, Farhan kembali melancarkan aksinya dengan lembut dan hati-hati. Dia paham betul jika ini pengalaman pertama bagi wanita di hadapannya tersebut.Aksi
BAB 127PERASAAN YANG TAK TERDUGASesampainya di apartemen, Najwa segera masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu dengan sedikit lebih keras dari biasanya. Ia berjalan menuju ranjangnya, lalu duduk di tepinya dengan wajah kesal. Pikirannya masih dipenuhi dengan kejadian di kafe tadi.Bayangan Farhan bersama wanita lain terus mengusik benaknya. Tatapan mata wanita itu, senyum genitnya, cara dia menyentuh lengan Farhan, semua itu membuat dadanya terasa sesak.Najwa menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. Namun, perasaan aneh yang menggelayuti hatinya tak kunjung pergi.Tak lama kemudian, suara ketukan pelan terdengar dari balik pintu.Tok tok tok...."Najwa?"Najwa mendongak sejenak, mengenali suara itu. Namun, alih-alih menjawab, ia malah memalingkan wajahnya.Farhan, yang tak mendapat respons, akhirnya memutuskan untuk masuk. Dengan langkah perlahan, ia menghampiri gadis itu hingga hanya berjarak dua jengkal."Kamu kenapa?" tanyanya tenang.Najwa tetap tak melihat ke arahny
Bab 126Rahasia yang TerpendamFarhan menyesap kopinya perlahan, mencoba menyembunyikan kegelisahan yang tiba-tiba merayapi benaknya. Ia menatap David yang duduk di hadapannya, pria itu terlihat tenang, tetapi jelas sedang mengamati setiap gerak-geriknya."Jadi?" David mengangkat alisnya. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu, Farhan. Apa hubunganmu dengan Najwa?"Farhan menaruh cangkir kopinya dengan gerakan yang terkendali. "Maaf, tapi itu bukan urusan Anda."David tersenyum tipis. "Sebenarnya, itu urusanku. Najwa adalah anak tiriku sekarang dan aku ingin memastikan dia berada di tangan yang tepat."Farhan tertawa kecil, tetapi tidak ada humor di sana. "Anda tidak perlu khawatir soal itu. Najwa baik-baik saja."David mencondongkan tubuhnya, tatapannya semakin tajam. "Dengar, aku tidak bodoh, Farhan. Fara sudah memberitahuku bahwa mantan suaminya tidak memiliki kerabat. Jadi bagaimana mungkin kau bisa menjadi 'om' bagi Najwa?"Farhan tetap tenang, tetapi jari-jarinya mengepal di bawa
Bab 125Kini, setelah bertahun-tahun berlalu, Fara masih dihantui rasa bersalah.Ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju lemari. Dari dalam laci, ia mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil yang sudah lama ia simpan. Perlahan, ia membuka tutupnya, memperlihatkan sebuah foto usang, foto dirinya bersama Najwa dan Suratman.Air matanya langsung mengalir. Ia menyusuri wajah kecil Najwa dalam foto itu dengan jemarinya yang bergetar."Najwa, sedikit saja, apakah tidak ada perasaan rindu untuk ibu?"Pertanyaan itu terus mengganggunya sejak pertama kali dia bertemu kembali dengan putrinya. Putri kecilnya yang kini telah beranjak dewasa.***Farhan masih sibuk memeriksa laporan keuangan ketika suara pintu ruang kerjanya terbuka tanpa izin."Farhan!" suara Arum terdengar tajam. Wanita paruh baya itu berjalan masuk dengan wajah kesal.Farhan menutup map di hadapannya dan mengusap wajah dengan lelah. "Ada apa, Ma?""Apa maksudmu bertanya ada apa?" Arum melipat tangan di depan dada. "Uang yan
Bab 124SURAT CERAITangannya bergetar saat menatap lembaran itu. Nama Fara tertera jelas di sana. Ia nyaris tidak bisa percaya dengan apa yang ia baca."Ini tidak mungkin. Fara tidak mungkin melakukan ini," gumam Suratman dengan suara bergetar."Sudah cukup. Jangan cari dia lagi. Kalian sudah bukan siapa-siapa."Suratman menatap pria tua itu dengan mata membelalak. "Kenapa? Apa yang terjadi? Apa yang kalian lakukan pada Fara?"Pak Karim tidak menjawab. Ia hanya menatapnya dengan ekspresi yang sulit diartikan sebelum akhirnya menutup pintu tanpa sepatah kata lagi.Suratman berdiri di sana, masih memegang surat cerai itu dengan tangan gemetar.Dengan langkah gontai, ia kembali ke rumahnya. Sepanjang jalan, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang tak terjawab. Bagaimana mungkin Fara meninggalkannya begitu saja? Kenapa tanpa penjelasan?Ketika ia tiba di rumah, Najwa berlari menghampirinya. "Ayah! Ibu sudah pulang?"Suratman menatap wajah polos putrinya dan seketika dadanya sesak. I