"Rio, biar saya yang ikuti dia," pintaku mencegah Rio mengikuti Fikri. Sebab, aku ingin menegurnya dengan cara sendiri. "Tapi, Bu. Bos sudah nunggu," timpal Rio."Sebentar, aku ingin tahu Fikri mau ke mana," jawabku lagi sambil meneliti ke mana perginya Fikri. Langkah kaki ini berjalan setengah berlari, supaya tidak kehilangan jejak Fikri. Terlihat jelas ia belok ke sebuah cafe. Kemudian, laki-laki yang pernah ketidak cintanya itu tengah menghampiri seorang wanita. Tangannya disodorkan ke wanita itu, aku melihatnya dari arah belakang, tidak mengetahui siapa dia. "Bu, ayo kita bertemu Bos, beliau sudah menunggu di lobi," ujar Rio tiba-tiba ada di sebelahku. Rasanya aku tidak ingin pergi dari sini, perasaanku berkata bahwa ada rencana jahat Fikri dengan wanita yang belum kuketahui. Sebab, dari belakang ia tertutup jaket dan tudungnya. "Sebentar ya," timpalku. Awalnya lebih ingin mengetahui Bos dari Rio. Namun, sekarang malah ingin mengetahui dengan siapa Fikri bicara."Bu, kita tid
Laki-laki putih tinggi itu ternyata masih ada hubungan darah dengan Alan. Ya, Pak Nando yang selama ini menjadi atasanku di PT. Mega Sejahtera adalah kakaknya Alan."Kenalkan, ini Nando Herdiansyah. Ia adalah kakakku," ucap Alan seakan mengejekku. Kini senyumku sulit dilayangkan karena atasan di kantor ada di hadapanku. "Sudahlah tidak usah tegang gitu, biasa saja, bahunya jangan naik gitu," ejeknya juga membuatku menghela napas panjang. Bahu yang tadinya terlihat terangkat kini agak turun ketika aku menghela napas lega."Bukan tegang, tapi heran kok dunia sempit banget, Pak Nando dan Alan ternyata adik kakak, bagaimana bisa ini terjadi?" tanyaku keheranan. Alan tertawa, begitu juga dengan Pak Nando. "Usia saya 35 tahun, Alan 25 tahun, wajarlah kamu heran begitu, dulu sewaktu Nando masih sekolah SMP saya sudah kuliah jauh dari orang tua," jawab Pak Nando. Aku mengangguk, melihat kesuksesan dua kakak beradik ini membuatku mengagungkan kedua jempol. Hebat mereka berdua, usia muda sud
"Tutup kaca mobilnya!" suruh Pak Nando. "Fikri sadar ada yang mencintainya," tambahnya lagi. Setelah itu barulah kututup kaca mobilnya. "Tadinya saya berniat menghampiri Fikri, Pak," ujarku pada Pak Nando. Pak Nando mengecap bibirnya seraya kesal. Lalu ia menyuruh sang sopir jalan kembali tanpa mempedulikan usulku. Adiknya pun tertawa menyaksikan pola tingkah kakaknya. "Jangan heran, Mas Nando memang seperti itu, ia akan melakukan sesuatu tanpa kamu pinta, Mas Nando tahu apa yang akan ia lakukan," jelas Alan. "Ya, gara-gara ngurusin beginian, aku nggak ngantor sejak Mona melakukan hal bodoh di perumahan tempat Fikri tinggal," sindirnya membuatku naik darah. Kini posisi tubuhku tegak dan menyorot ke depan, tempat duduk Pak Nando. "Kamu mau marah sama kakakku? Nanti dipecat loh," ejek Alan sembari tertawa. Aku hanya menghela napas untuk mengontrol emosi. 'Sembarangan sekali Pak Nando sebut aku bodoh, yang kulakukan sudah benar kok, hanya saja kesialan terjadi padaku saat itu,' geru
Fikri sedang bertemu dengan Rinta. Sebelumnya aku benar-benar mengira bahwa Fikri datang untuk mengisi relung hatiku lagi. Namun, makin ke sini, makin terlihat bahwa Fikri masuk di kehidupanku bukan tanpa di sengaja."Coba tanya lagi, Lan, ada yang dikatakan Fikri lagi nggak?" tanyaku pada Alan."Sudah saya kirim pesan, tapi Rio balas tidak ada rekaman lagi," jawab Alan. Aku menatap ke jalan. Sambil memikirkan bagaimana caranya membalas dendam pada mereka. Namun, aku tidak ingin lagi melakukan kebodohan yang nyaris menjebloskan aku ke penjara.Jalan raya yang dipenuhi lalu lalang mobil yang melintas, membuatku semakin sulit berpikir bagaimana caranya tetap masuk dalam permainannya."Nggak usah sok mikir," celetuk Pak Nando sedikit sinis. "Sekarang sudah tahu kan mereka sedang merencanakan sesuatu? Lebih baik kamu pulang saja," suruh Pak Nando lagi. Laki-laki yang telah memiliki seorang istri itu memang orangnya menyebalkan. Baik di kantor maupun di sini.Alan tertawa mendengar celote
"Rio kecelakaan, sekarang ada di rumah sakit," ucap Alan membuat kami semua terkejut. Terutama Pak Nando, sebab Rio itu orang kepercayaannya. "Dilarikan di rumah sakit mana?" tanya Pak Nando. Ia menoleh ke belakang sambil menunjukkan mimik wajah yang panik. "Rumah Sakit Sumber Sehat," jawab Alan lemas. Aku tahu ini adalah berita buruk, sepertinya aku urungkan niat saja untuk bertemu dengan Fikri. Kemudian, Alan menyuruh sopir putar balik ke arah rumah sakit, seketika pertemuan aku dan Fikri pun ditunda. Kami semua memutuskan bergegas ke rumah sakit.Aku terdiam, tidak menanyakan perihal bagaimana rencana bertemu dengan Fikri."Yang hubungi kamu barusan pihak rumah sakit?" tanya Pak Nando menyelidik. "Ya, katanya seperti itu," jawab Alan masih melongo. "Pakai nomor Rio?" cecar Pak Nando. Kenapa ia tiba-tiba bertanya seperti itu?"Bukan, dia hubungi aku pakai nomor rumah sakit," jawab Alan lagi."Coba sebutkan nomornya," pinta Pak Nando. Kemudian, Alan pun menyebutkan nomornya, lal
Mereka berdua menyuruh Rio memerintahkan anak buahnya membawa bobot tubuh Fikri. Alan dan Pak Nando tidak memberitahu aku bagaimana mereka akan ngerjain Fikri dan Rinta. "Kamu ikuti saya saja ya," suruh Alan. Sedangkan Pak Nando masih sibuk berbisik pada Rio. Anak buahnya itu pun mendengarkan bisikan sambil tersenyum. "Sepertinya ada hal yang lucu ya, kulihat Rio senyam-senyum ketika diberi tugas," ucapku pada Alan. Mata ini tak berhenti menyoroti Pak Nando dan Rio. "Sudahlah, nanti juga kamu tahu," ucap Alan. Hampir semua orang yang melintas melirik bahkan curiga dengan kami. Hingga pelayan cafe pun sempat menegur, tapi uang berbicara. Pak Nando memberikan beberapa lembar uang pada orang yang tak segan-segan menegurnya. Ada satpam yang hampir curiga ia menghampiri ketika melihat Rio dan anak buah yang baru saja datang menggendong Fikri. "Maaf, ini ada apa?" tanyanya membuatku terperangah. Namun, Rio tetap mencoba tenang bahkan berpura-pura berdialog dengan temannya."Ini bocah
Tanganku ditarik oleh Alan. Kami bersembunyi di balik pintu. Begitu juga dengan Pak Nando, jadi kami terpaksa berdesakan. Ini hanya sementara sampai polisi datang menyergap Mas Ari. "Sepertinya bukan saatnya aku mencari ini perbuatan siapa. Lebih baik aku pergi melarikan diri dari sini. Sebab, bisa jadi Mona menjebak karena ingin aku segera ditahan." Mas Ari mengurungkan niat untuk masuk."Ya, itu bisa jadi, lebih baik kamu segera pergi, Sayang," suruh Rinta terdengar mesra. "Ingat Fikri, urusan kita belum selesai. Rinta, kamu masih utang penjelasan padaku tentang ini," ancam Mas Ari. Kemudian, suara hentakan kaki perlahan pergi. Mas Ari kabur lagi, dan kini Fikri pasti akan mencari keberadaanku di toilet. Namun, ketika Fikri hendak menggerebek kami di toilet."Kenapa bisa seperti ini? Aku utang penjelasan dengan Mas Ari," tutur Rinta. Namun, Fikri tak terdengar menjawabnya."Kita harus keluar, kejar Ari," bisik Pak Nando. Kemudian, Pak Nando berusaha keluar dengan membuka pintuny
"Kamu tenang, Mon. Siapa tahu ini jebakan Fikri. Bukankah ia masih di apartemen?" tanya Alan membuatku seketika berpikir. Bisa jadi ini hanya akal-akalan Fikri saja. Aku tidak boleh panik dulu. Alan menyuruhku untuk menarik napas dalam-dalam, kemudian dihembuskan. "Sudah tenang sekarang? Kenapa sih mudah panik begitu?" tanya Pak Nando sinis. Aku terdiam, meskipun masih kepikiran orang tuaku, tapi berusaha berpikir logis saja."Rio sekarang di mana, Mas?" tanya Alan pada kakaknya. Aku hanya terdiam, sambil menenangkan diri."Aku hubungi Rio dulu, untuk mencari tahu kondisi orang tuamu, Mona. Jangan panik lagi, Fikri itu wartawan, lebih disorot publik, jadi ia takkan menggunakan cara kekerasan," tutur Pak Nando. Aku menelan ludah sambil mengedarkan pandangan ke arah sekitar. Pak Ridwan telah membukakan pintu mobil dari tadi, jadi kami putuskan untuk masuk lebih dulu. Namun, ketusnya Pak Nando membuatku kadang ingin menyudahi kerja sama dengannya ini. Lelah kadang dihardik bahkan dib