Jika mendapati suami berselingkuh dengan pembantu, pasti kesal, bukan cemburu, tapi merasa heran, kenapa saingan disandingkan hanya dengan pembantu. Itu yang dirasakan Mona, ia merasa tidak ada harganya di mata Ari. Cara Mona berbeda dalam menyadarkan suaminya, ia dibantu oleh Fikri, seorang wartawan. Namun, seperti yang pepatah katakan, jangan terlalu percaya dengan orang lain. Justru Fikri adalah dalang dari semuanya. Bagaimana ini bisa terjadi? Baca sampai tamat ya.
View More"Mbak Mona, baru pulang dari luar kota ya?" tanya tetanggaku, Bu Susi. Ia melakukan kegiatan pagi seperti ibu-ibu kompleks biasanya, menyapu halaman rumah.
Aku yang baru saja memarkirkan mobil Honda Freed warna putih kesayanganku sontak mengeluarkan kepala dari kaca.
"Ya, Bu, sebentar ya ngobrolnya, saya matikan mesin mobil dulu," jawabku sambil cabut kunci mobil.
Kemudian, aku lepaskan seat belt yang masih kukenakan, lalu turun dari mobil dan menghampirinya, sekalian memberikan oleh-oleh dari kota Bandung.
Sebelum pulang, aku membeli mochi untuk Rinta, pembantuku yang bekerja di rumah hanya setengah hari. Ya, aku hanya memintanya bekerja setengah hari, mencuci dan masak untuk suamiku. Setelah itu kupastikan ia pulang. Sebab, kami memiliki perjanjian khusus di atas materai.
Aku mendekatinya, lalu menyodorkan mochi ke tangannya. "Ini oleh-oleh untuk Bu Susi," ucapku sambil menyunggingkan senyuman.
"Loh ini buat Rinta ada nggak?" tanya Bu Susi balik.
"Ada, aku sudah beli lebih," jawabku singkat.
Bu Susi celingukan ke arah rumahku, seperti mengintai seseorang. Lalu mulutnya mendekat di telingaku. "Mbak Mona, Rinta itu semalam bermalam di sini," bisik Bu Susi.
Aku terkejut mendengar penuturan tetangga yang usianya lebih tua dariku itu. Anaknya juga sudah dua dan beranjak dewasa. Sedangkan aku, masih berusia 24 tahun, belum memiliki anak pula.
"Bu, nggak mungkin Rinta seperti itu, kami ada perjanjian, jika dia melanggar maka akan didenda 10 juta rupiah," bisikku juga.
"Ya sudah kalau Mbak Mona nggak percaya, saya masuk dulu ya Mbak, terima kasih oleh-olehnya," timpal Bu Susi sedikit melipat wajahnya seraya tersinggung karena aku tidak percaya.
Tinggal di perumahan itu sensitif, kadang ada banyak ibu-ibu macam Bu Susi ini, mudah menggosip dan mengadu domba, tersinggungan pula. Kalau sudah ketemu yang seperti ini, aku hanya menggelengkan kepala.
Aku pun masuk ke dalam. Lalu langsung menuju dapur karena aroma masakan sudah tercium dari pelataran rumah.
"Wah, masak apa, Rin?" tanyaku pada asisten rumah tangga yang bekerja sudah enam bulan lamanya.
"Loh, Ibu sudah pulang? Kirain besok, Bu," sahut Rinta membuatku mengernyitkan dahi. Sebab, aneh sekali mesin mobil tidak ia dengar, padahal aku udah sempat ngobrol juga dengan Bu Susi.
"Emm, kamu sibuk masak ya, sampai tidak dengar suara mesin mobil? Udah nih oleh-oleh buat kamu, aku mau mandi dulu, abis itu siapin sarapan ya, Rin," suruhku kemudian beranjak ke kamar.
Aku mandi di bawah shower yang mengericik air. Rasa lelah pun hilang seketika dihujani air hangat yang kusetel supaya tidak masuk angin karena baru saja pulang sudah langsung mandi. Tekanan air pada shower membuatku terpejam ketika air mengucur di kepala.
Selepas mandi, aku meraih handuk yang berada di gantungan baju. Namun, aku terkejut ketika melihat lingerie milikku menggantung di sana.
"Lingerie? Bukankah aku di Bandung selama lima hari? Dan sebelum aku pergi pun cucian sudah tidak ada," gumamku sendirian di kamar mandi.
Aku menghela napas, seketika terlintas ucapan Bu Susi tadi. Aku terdiam, berusaha untuk tidak berpikir negatif dengan wanita yang berkelahiran tahun 2000 itu. Ya, usia Rinta 3 tahun lebih muda dariku.
Kemudian, aku menggosok tubuh ini dengan handuk, lalu menggosok rambut juga supaya cepat kering. Setelah itu berpakaian dan segera ke dapur lagi untuk sarapan.
Aku menghentakkan kaki, awalnya kencang, tapi dari jauh aku mendengar suara orang yang sedang bicara melalui sambungan telepon.
"Untung kamu berangkat lebih pagi, Mas, istrimu pulang lebih cepat, tapi aku takut nih, soalnya lupa dengan lingerie milik istrimu yang belum kuamankan ke mesin cuci, bagaimana ini, Mas?" Aku mendengar sedikit percakapan Rinta. Itu pasti Mas Ari yang dihubunginya. Tidak salah lagi, yang dikatakan Bu Susi pasti benar.
Aku melipat kedua tangan ini di atas dada, dan berdiri tepat di belakang Rinta. Dengan senyuman yang sengaja kulayangkan, aku menepuk bahu wanita berparas ayu itu.
Ia menoleh sambil menggenggam ponsel yang tadinya diletakkan di telinga. Sebab, ia pasti tahu yang menepuk bahunya adalah Monalisa Maharani. Matanya terlihat membulat bak seperti orang yang tersedak biji rambutan.
"Lingerie?" sindirku dengan sengaja.
---------
"Tante, itu semua salah paham," terangku padanya."Salah paham apanya? Fikri itu keponakan aku, dia anak baik-baik yang telah kamu sia-siakan," balasnya dengan percaya diri. Terkadang seperti itu, orang mengira yang baik di depan kita akan baik juga di belakangnya, padahal banyak yang baik di depan dan jahat di belakang. "Tante, ini saya sudah memiliki bukti bahwa mobil Fikri yang menabraknya, dan ini juga ada surat laporan yang sudah saya laporkan ke polisi," kataku sambil menyodorkan handphone dan secarik kertas.Tante Ambar meraihnya, lalu membacanya, sesekali mata Tante Ambar melirik ke arahku. Terlihat di sudut matanya ada air mata yang mengembun.Sesekali bibirnya dibasahi oleh lidahnya, lalu terlihat Tante Ambar menghela napasnya. Kemudian, pipi wanita yang memiliki dua anak itu terlihat basah. Kini air mata pun banjir setelah tahu semuanya. "Fikri," isak Tante Ambar. Ia menutup mulutnya dengan telapak tangan. Aku pun menghampiri dan menuntunnya untuk duduk."Tante yang sabar
Setelah kami menghampirinya, ternyata darah segar sudah mengalir di kening Rinta. Tidak ada satu pun yang berani membawanya ke rumah sakit. "Alan, kita bawa Rinta ke rumah sakit," ajakku setelah menyeruak di kerumunan. "Pak tolong bantu kami bawa dia ke rumah sakit," kata Alan juga."Kata orang sini tabrak lari, Bu. Kami takut nyentuhnya. Nanti polisi jadiin kami saksi," jawab salah seorang warga.Tabrak lari lagi? Mungkinkah ini Fikri lagi? Kalau benar, berati laki-laki itu sudah gila.Darahnya terus mengalir, Rinta terlihat meringis kesakitan. Kemudian menarik telapak tanganku."Mon, tadi Fikri, tolong cari dia ...." Ucapan Rinta terhenti napasnya tampak sulit diatur. Seketika itu juga ia pingsan tergeletak di jalan."Lan, ayo cepat kita bawa saja!" suruhku berteriak. Setelah melihat ia tergeletak, barulah yang lain ikut membantu. Tiba-tiba suara sirine ambulance terdengar. Ternyata ada yang sudah menghubungi ambulance. Petugas langsung membawa Rinta yang sudah terkapar ke dalam
Aku mengelus dada, ternyata orang yang berada di layar CCTV adalah Fikri. Ia benar-benar keterlaluan. Laki-laki itu harus rela dendamnya berakhir di jeruji besi, dan yang akan melaporkannya saudaranya sendiri. Tanganku mengepal, lalu mengembuskan napas perlahan. Sisi burukku cuma satu, menolak cintanya pada saat itu tanpa meminta maaf bahkan menganggap Fikri. Jadi, ia menilaiku benar-benar musuhnya. Seandainya pada waktu itu aku memilih Fikri pun rumah tangga takkan awet jika hatinya diselimuti dendam. "Mon, kita mau gimana?" tanya Alan mengejutkan aku. Seketika lamunanku tentang Fikri buyar, bukan menyesal, tapi aku sangat menyayangkan kalau hari-harinya akan menjadi kelam selamanya. "Kita ketemuan sama Rinta, tunjukkan CCTV ini," ajak Mona pada Alan."Jam berapa kamu janjian?" tanya Alan lagi."Tadi bilang jam 5 sore," timpalku padanya. "Coba telepon Rinta lagi, ketemu sekarang saja," saran Alan. Namun, aku tidak langsung mengindahkan ucapannya. Sebab, kalau kami keluar kantor
"Boleh lihat CCTV nya nggak, Pak?" tanya Alan pada salah seorang yang berada di hadapan kami. Sepertinya mereka tetanggaan di sini, sering kumpul bareng."Wah, kalau itu nanti tanya ke yang punya rumah dulu ya, Pak, Bu. Soalnya orangnya kerja," terang yang tadi mengembalikan dompet Alan. "Oh begitu, ya sudah, ini nomor handphone saya, Pak, kalau orangnya sudah pulang, bisa telepon saya," tutur Alan sambil menyodorkan nomor ponsel yang telah ia tulis di kertas kecil.Kemudian, aku dan Alan kembali ke mobil, setelah memberikan tips untuk orang yang telah menemukan dompet Alan. Aku memakai sabuk pengaman sambil termenung, bisa-bisanya penabrak itu dengan sengaja menabraknya. "Aku yakin ini kerjaannya Fikri, aku pastikan ia masuk ke penjara juga. Kita tidak bisa menyudutkan dengan masalah sosial media, tapi kalau masalah kriminal gini, tentu polisi akan bertindak," kata Alan dengan yakinnya. Aku sedikit menelan ludah, sebab perbuatan ini sangat di luar kepala. Kalau iya Fikri orangnya
Tadinya aku sudah mulai emosi saat Fikri bicarakan tentang aku melalui sambungan telepon. Namun, Alan mencegahku untuk jangan gegabah. Tangan Alan menahan pundakku yang berusaha keluar dari tempat persembunyian. Setelah memastikan Fikri pergi, kami pun beranjak ke mobil. Pintu mobil kututup dengan keras. Aku masih tidak percaya dendam kesumat Fikri denganku begitu mendalam. Hingga harus menyuruh Rinta, yang ternyata saudaranya sendiri sebagai pembantu, berzina pula. Aku mengelus dada, hingga napas ini mampu aku keluarkan dengan perasaan lega. "Sabar ya, Mon, mungkin ini ujianmu. Setelah ini akan ada kebahagiaan yang menghampiri, percayalah bahwa setelah gelap pasti akan datang terang."Kecewa aja, Lan, sama Fikri. Cuma gara-gara nolak cintanya sampai segitunya menghancurkan hidupku," timpalku masih menampakkan kekesalan. "Terkadang, ketika kamu kecewa, itu membuatmu lebih kuat, kamu itu wanita pilihan, Mon," ucap Alan sambil menyetir mobil. Kami memutuskan untuk menyudahi penyeli
Kemudian langkah Rinta menuju Tante Ambar dan langsung menyergap tubuhnya. Aku menoleh ke arah Alan, kami berdua beradu pandangan. "Satu persatu ketebak, Mon. Ini ulah Rinta, ya kan?" Alan sangat yakin bahwa ini adalah ulah Rinta. "Lan, kok aku penasaran ya, kenapa Rinta peluk Tante Ambar? Bukankah yang sepupuan dengan Firman itu Fikri?" Aku bertanya-tanya pada Alan. Seketika kami berdua terdiam sejenak. Ini sungguh seperti teka-teki. Kami berdua yakin bahwa Rinta yang menjadi dalangnya. Akan tetapi masih bertanya-tanya juga ada hubungan apa Rinta dan Firman."Mon, mungkin nggak kalau Firman itu pacarnya Rinta juga?" tanyaku lagi. Pertanyaan yang satu belum terjawab sudah muncul pertanyaan lainnya. "Apa kita samperin ke sana?" tanyaku pada Alan. "Ya sudah, kita ke sana aja, pengen tahu si Rinta jawab apa nantinya," ajak Alan. Akhirnya kami memutuskan untuk menghampiri mereka. Langkah kakiku dan Alan sangat pelan. Kami berdua berdampingan dan jalan penuh kehati-hatian.Aku melaku
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments