Beranda / Fantasi / Lintas Takdir dan Kutukan / Batas antara cahaya dan kegelapan

Share

Batas antara cahaya dan kegelapan

Penulis: masfaqih625
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-16 11:20:41

Di tengah malam yang pekat di Hutan Kelam, Ananta berdiri di antara dua pilihan yang berbahaya. Di satu sisi, Randu, panglima yang telah lama ia anggap sebagai satu-satunya orang yang menghormatinya, berdiri memanggil namanya dengan cemas. Di sisi lain, pria berjubah hitam berdiri di belakangnya, mendesak Ananta untuk menunjukkan kekuatan gelap yang kini mengalir kuat dalam tubuhnya.

Suara Randu terdengar semakin dekat, “Ananta! Kau di sana?”

Ananta memejamkan mata, mengatur napasnya yang memburu. Dorongan untuk melepaskan kekuatannya terasa tak tertahankan, tetapi hatinya masih menahan rasa takut akan apa yang mungkin terjadi jika Randu melihatnya dalam wujud kegelapan ini. Bisikan dari pria berjubah hitam semakin menggema dalam pikirannya.

“Ananta, tunjukkan padanya siapa kau sebenarnya. Tunjukkan bahwa kau bukan anak lemah yang selalu mereka rendahkan,” kata pria itu dengan suara menghasut.

Namun, bagian lain dari diri Ananta menolak dorongan itu. Dalam hatinya, masih tersisa keraguan dan perasaan enggan untuk menyakiti Randu, seseorang yang pernah ia anggap sebagai teman. Bagaimanapun juga, Randu adalah sosok yang berani, ramah, dan tak pernah merendahkannya seperti yang lain.

Ketika Randu akhirnya muncul di hadapannya, Ananta berusaha keras menahan bayangan gelap yang berkecamuk dalam dirinya. Randu berhenti, mengamati Ananta dengan tatapan penuh kekhawatiran.

“Ananta, kau baik-baik saja?” tanya Randu dengan nada lembut, langkahnya mendekat.

Ananta hanya berdiri diam, tangan gemetar menahan kekuatan yang nyaris meledak keluar. Dalam hatinya, terjadi pertarungan antara sisi kegelapan dan harapannya untuk tetap berpegang pada cahaya. Napasnya berat, matanya merah menyala yang sebentar-sebentar meredup dan menyala kembali. Randu melihat perubahan itu, tetapi ia tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun.

Randu mendekat dan berkata dengan suara pelan, “Aku di sini, Ananta. Kau bisa memberitahuku apa saja.”

Kata-kata Randu menusuk hati Ananta. Di saat-saat genting ini, Randu justru menunjukkan kepedulian tanpa batas, tanpa rasa takut. Ananta merasa dadanya sesak; amarahnya memudar, digantikan oleh perasaan bersalah dan kebingungan.

Namun, pria berjubah hitam itu tidak tinggal diam. Ia berbisik di telinga Ananta, suaranya bagaikan racun yang merayap di dalam pikiran. “Jangan dengarkan dia. Semua yang ia katakan hanyalah kebohongan. Randu pun akan berpaling begitu ia tahu siapa dirimu sebenarnya. Jangan biarkan kelemahan menguasaimu, Ananta.”

Ananta menunduk, kedua tangan terkepal, gemetar. Ia merasakan tubuhnya semakin sulit dikendalikan. Dalam kepanikannya, ia mencoba memperingatkan Randu.

“Randu, pergi dari sini. Aku… aku tidak ingin melukaimu,” suaranya bergetar, penuh emosi.

Namun, Randu menggeleng pelan, tatapannya penuh kepercayaan. “Aku tidak akan pergi, Ananta. Jika ada sesuatu yang salah, aku akan bersamamu melewati semua ini.”

Mendengar kata-kata itu, air mata menetes dari mata Ananta, membasahi pipinya. Ia menundukkan kepalanya, merasa terkoyak di antara dua dunia. Kegelapan dalam dirinya semakin kuat, seolah-olah mendesaknya untuk melepaskan semua batasan dan memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya.

Namun tiba-tiba, dengan segenap kekuatan yang tersisa, Ananta berteriak, menolak bisikan pria berjubah hitam. Ia merasakan tubuhnya gemetar hebat, dan dengan usaha keras, ia berhasil mengendalikan kekuatan itu, meski hanya untuk sesaat.

Pria berjubah hitam menatap Ananta dengan ekspresi kecewa dan penuh amarah. “Kau memilih jalan yang lemah, Ananta. Kau menolak kekuatanmu sendiri. Kau akan menyesali ini!”

Dengan kata-kata itu, pria berjubah hitam menghilang, meninggalkan bayangan kelam yang perlahan memudar di sekitar Ananta.

---

Percakapan yang Mengubah Segalanya

Saat pria berjubah hitam pergi, Ananta jatuh terduduk di tanah, napasnya tersengal. Ia merasa lelah, seolah seluruh kekuatan telah terkuras. Randu mendekat, lalu berlutut di sampingnya, menepuk bahunya dengan penuh empati.

“Kau tidak perlu menjelaskan apa pun padaku, Ananta. Aku ada di sini untuk mendengarkan, jika kau siap bercerita,” kata Randu lembut.

Ananta terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara lemah, “Aku… aku merasa seperti terjebak dalam kutukan yang mengerikan. Ada kekuatan di dalam diriku yang… yang selalu ingin menguasai. Aku takut, Randu. Aku takut akan diriku sendiri.”

Randu menatap Ananta dengan penuh pengertian. “Takdir mungkin memberimu kekuatan yang besar, tetapi hanya kau yang bisa memutuskan bagaimana kekuatan itu akan kau gunakan. Kau bukan sekadar bayangan kelam, Ananta. Kau bisa memilih menjadi apa pun yang kau inginkan.”

Kata-kata Randu memberikan secercah harapan dalam hati Ananta. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada jalan lain yang bisa ia pilih, selain menjadi budak kekuatan gelap. Ia menyadari bahwa dirinya masih memiliki kendali, walau sedikit, untuk menentukan takdirnya sendiri.

“Terima kasih, Randu,” kata Ananta, suaranya bergetar, tetapi ada ketenangan di dalamnya. “Aku… aku akan mencoba melawan.”

Randu tersenyum tipis, menepuk bahu Ananta. “Itulah yang kutunggu. Kau memiliki kekuatan yang luar biasa, dan aku percaya kau bisa menggunakannya untuk hal-hal besar. Tetapi ingat, kau tidak perlu melakukannya sendiri. Aku akan selalu ada di sampingmu.”

Ananta merasakan perasaan hangat dalam hatinya. Ia tahu bahwa perjalanan ke depan akan penuh dengan rintangan, tetapi setidaknya, ia tidak lagi merasa sendirian.

---

Bayang-Bayang yang Belum Pudar

Malam itu, Ananta kembali ke istana dengan Randu di sisinya. Namun, jauh di dalam dirinya, ia tahu bahwa pria berjubah hitam dan kekuatan gelap itu belum benar-benar hilang. Ada sesuatu dalam dirinya yang masih tersisa, sesuatu yang tetap membisikkan janji-janji kekuasaan dan kekuatan.

Ketika Ananta berbaring di tempat tidurnya, ia menatap langit-langit kamarnya, mencoba merenungkan apa yang telah terjadi. Di satu sisi, ia merasa bersyukur atas kehadiran Randu yang memberi dukungan tanpa syarat. Tetapi di sisi lain, ia masih merasakan bisikan gelap itu, meskipun kini lebih lemah.

Ananta tahu bahwa perjuangannya melawan kekuatan gelap belum selesai. Mungkin ini baru awal dari segalanya. Dalam hatinya, ia berjanji akan mencari cara untuk memahami kekuatan yang ada di dalam dirinya tanpa membiarkan kegelapan menguasai.

Namun, tepat ketika ia mulai terlelap, suara pria berjubah hitam kembali terdengar dalam mimpinya.

“Ananta, kau bisa mencoba melawan, tetapi ingat… aku selalu ada di sini. Kau dan aku adalah satu, dan kau tidak bisa melarikan diri dariku selamanya.”

Ananta terbangun dengan keringat dingin, jantungnya berdebar keras. Mimpi itu terasa begitu nyata, seolah-olah pria berjubah hitam itu masih berada di dekatnya, mengintainya dalam kegelapan.

---

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Bab 71 : Raksasa Hitam

    Bab 71 : Raksasa HitamMakhluk besar itu berdiri tegak, menghalangi jalan Ananta dan Arya. Bayangan tubuhnya yang masif menelan cahaya yang sedikit tersisa di hutan. Tubuhnya menutupi pelat-pelat hitam mengilap, dan setiap langkahnya membuat tanah bergetar. Dari mulut yang dipenuhi taring tajam, terdengar geraman rendah yang menggema di sekitar.“Ini lebih besar dari yang lain,” bisik Arya, matanya terus memperhatikan gerakan makhluk itu.Ananta mengangguk, mengangkat pedangnya. "Pelat hitam itu sepertinya perlindungan. Kita harus mencari celah di antara pelat-pelat itu."Makhluk itu melangkah maju, setiap langkahnya membuat dedaunan jatuh dari pepohonan. Dengan gerakan yang tak terduga, ia melingkarkan cakarnya yang besar ke arah mereka. Arya melompat ke samping, sementara Ananta melebar ke arah yang berlawanan, nyaris menghindari serangan itu.Pertempuran yang Melelahkan"Serang dari sisi tempatnya!" seru Ananta sam

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Bab 70 : Jejak Bayangan

    Langit di atas lembah perlahan kembali cerah, namun atmosfernya tetap menyimpan ketegangan yang tak terucapkan. Sisa-sisa energi gelap masih terasa di udara, membuat setiap tarikan napas terasa berat. Ananta memandang ke arah Arya yang sedang memeriksa keadaan pedangnya. Cahaya di pedang mereka kini memudar, meninggalkan perasaan kelelahan yang ada di tubuh mereka.“Dia kabur lagi,” ujar Arya dengan nada kecewa, suaranya pecah oleh rasa lelah."Ya," jawab Ananta singkat, matanya masih menutupi celah tempat pria tertutup hitam itu menghilang. "Tapi dia tidak bisa terus bersembunyi. Luka yang kita berikan cukup dalam. Itu akan memperlambatnya."Arya menghela nafas berat dan mengusap keringat di keningnya. "Kita harus mencari tahu ke mana dia pergi. Jika dia berhasil memulihkan dirinya, kita mungkin tidak akan memiliki kesempatan seperti ini lagi."Tanda dari LangitSaat mereka berdua berdiri di tengah celah yang hening, sebu

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Bab 69: Pertarungan di Ambang Kegelapan

    Bab 69: Pertarungan di Ambang KegelapanMalam dingin semakin menusuk ketika energi kegelapan di celah besar itu mulai mengacaukan udara. Awan hitam pekat berputar-putar di atas kepala mereka, membentuk lingkaran yang menakutkan. Pria membentang hitam itu berdiri di atas batu besar di tengah celah, seolah menguasai semua yang ada di sekitarnya. Di tangannya, ia memegang tongkat dengan kristal gelap yang bersinar memancarkan aura kejahatan."Kalian datang ke sini untukAnanta maju mengayunkan, tangannya menggenggam pedang bercahaya yang dia peroleh setelah pertarungan melawan Raja Kegelapan. Cahaya dari pedangnya terasa seperti satu-satunya harapan di tengah aura gelap itu. "Kami datang untuk mengakhPria itu tertawa, suara tawanya seperti campuran kebencian dan kegilaan. "Kegelapan tidak bisa dihentikan. Bahkan ketika kalian memotong salah satu cabangnya, akarnya tetap adaGelombang Pertama: Makhluk KegelapanDengan sebuah gerakan

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Bab 68 : Bayangan Baru di Ufuk Timur

    Bab 68 : Bayangan Baru di Ufuk TimurMatahari mulai tenggelam di ufuk barat, meninggalkan langit yang diliputi warna oranye dan merah muda. Ananta dan Arya, yang kini menjadi simbol harapan di dunia yang telah pulih dari kegelapan, berdiri di sebuah bukit kecil yang menghadap ke hamparan desa yang perlahan pulih. Angin sepoi-sepoi membawa aroma tanah basahPertemuan RahasiaOleh karena itu, mereka kembali ke rumah tua di pinggiran desa, tempat mereka sering berkumpul untuk merencanakan langkah berikutnya. Utusan dari kerajaan, seorang pria paruh baya bernama Eldros, telah menunggu mereka dengan wajah yang tampak tegang. Sebuah peta besar tergelar di meja kayu yang sudah mulai lapuk."Kita menghadapi ancaman baru," kata Eldros tanpa basa-basi. Tangannya menunjuk sebuah wilayah di peta, jauh di timur, di mana tanda-tanda merah menghiasi area tertentu. “Ini adalah sisa-sisa kekuatanArya membukakan mata, mencoba memahami detail pada peta tersebut. "Ingat kita sudah menghancurkan gerbang

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Bab 67: Dunia Tanpa Kegelapan

    Kekacauan telah berlalu, namun dunia masih terasa hening, seolah menahan napas untuk memahami apa yang baru saja terjadi. Langit, yang selama ini diliput kegelapan pekat, perlahan berubah menjadi biru cerah. Sinar matahari yang lama tertutup akhirnya menyentuh tanah, menghangatkan dunia yang telah terlalu lama membekukan dalam bayang-bayang ketakutan.Ananta dan Arya berdiri di tengah medan pertempuran. Tubuh mereka lemah, nyaris tidak mampu bergerak. Debut beterbangan di sekeliling mereka, bercampur dengan sisa-sisa energi yang masih menguap dari ledakan gerbang kegelapan. Namun, mata mereka memandang ke pemandangan dengan rasa lega yang tak terkatakan. Mereka telah melakukannya. Kegelapan telah dikalahkan.Jejak Pengorbanan"Semua ini... akhirnya selesai," gumam Arya dengan suara serak. Ia memandang ke arah pedang yang tertancap di tanah, pedang yang kini bersinar redup, seolah-olah ikut kelelahan setelah pertempuran panjang.Ananta meng

  • Lintas Takdir dan Kutukan   Bab 66 : Harapan dalam Kegelapan

    Ananta terbaring di tanah, tubuhnya nyaris tak bergerak. Rasa sakitnya begitu luar biasa hingga membuatnya hampir tak bisa bernapas. mengalir dari luka-luka yang menggores tubuhnya, membasahi tanah di sekitarnya. Di perhubungan, Arya juga terkapar, tubuhnya terguncang keras setelah dihantam gelombang energi hitam yang begitu kuat.Namun, meskipun menyakitkan merobek tubuh mereka, ada satu hal yang masih membara di dalam diri mereka: harapan. Harapan yang pernah ditanamkan oleh Kirana, harapan yang tidak bisa begitu saja padam, meski dunia seakan runtuh di hadapan mereka.“Arya…” suara Ananta terdengar lemah, hampir tak terdengar di tengah kegelapan yang melanda mereka. “Kita… tidak bisa menyerah.”Arya terengah-engah, wajahnya penuh dengan darah dan debu. "Bagaimana kita bisa menang melawan semua ini?" desahnya, suaranya penuh dengan keputusasaan. "Kegelapan ini... sepertinya tak ada habisnya."A

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status