“Put, Mbakmu baru aja kerampokan kok kamu tanya-tanyai gitu sih? Udah biarkan dulu dia tenang. Kamu nggak lihat wajahnya syok gitu?” Retno menengahi karena dia tak ingin ada perdebatan untuk kesekian kali. Apalagi ada Giselle saat ini diantara mereka.Mendengar dibela oleh mertuanya membuat Fani meringis dalam hati. Tak ada salahnya dia merapal mantra-mantra jika mertuanya juga kena. Hanya saja dia bingung kenapa Putri dan Eka tak bisa luluh dengannya? “Bu, aku cuma tanya bukti lho! Dia sendiri kan yang bilang ada laporan ke pihak keamanan. Berarti kan harus ada bukti sesuai faktanya di lapangan. Ish, aku sih nggak percaya ya. Udah lah nggak penting juga, mending kamu bawa aja anakmu. Jangan sampai lalai sama anak, jangan sampai nyeseknya kalau udah tua dan nggak bisa apa-apa!” Putri masih saja sengit. Retno hanya mendelik saja untuk mengingatkan anaknya.“Ya sudah mending sekarang kamu tidur di sini aja. Kamu tenangin diri dulu, kamu istirahat. Kasihan juga Giselle masih tidur,” tit
Suara gembok yang dihantamkan ke pagar menimbulkan bunyi yang cukup mengganggu, hingga membuat Putri yang baru saja terpejam akhirnya bangun.“Siapa sih, jam berapa ini? Malam-malam gini emang ada ya, yang niat mau bertamu?” Putri terpaksa membuka kedua matanya yang lengket. Dia menengok ke arah dinding, jarum jam menunjukkan pukul sebelas lewat sepuluh menit.“Ya Allah jam sebelas lewat lho ini! Ganggu orang mau istirahat aja!” Meskipun sambil mengomel, Putri mau beranjak juga.Gadis itu keluar dari kamar. Dia membuka pintu rumah sebelum akhirnya membulatkan mata, karena di depan pagar berdiri Bu Nur sambil menggendong Giselle di pinggangnya.“Astaga, Bu Nur! Kenapa malam-malam ke sini? Itu Giselle kenapa?” tanya Putri dengan wajah panik. Dia melihat Giselle sepertinya terkulai lemas dalam gendongan, hingga membuat Putri jadi khawatir.“Fani sampai jam segini belum pulang, aku bingung mau bawa Giselle kemana kalau nggak ke sini. Soalnya aku harus buru-buru pulang. Nggak papa ya, Gise
“Nanti kalau butuh apa-apa atau mungkin Giselle rewel tinggal telepon aku aja ya, Bu?” Fani mencium pipi Giselle sebelum akhirnya meninggalkan sang putri seperti biasa.Bu Nur yang memangku seraya menyuapi Giselle hanya menganggukkan kepalanya. Dia sudah mengerti, paham dan hafal. Jadi tak masalah meskipun Fani nanti pulang larut malam, sudah terbiasa.Perempuan dengan rok jeans selutut itu masuk ke dalam mobil, membawa kendaraan roda empatnya membelah jalan raya. Baru juga lima menit Fani pergi, Putri datang bersama dengan Retno.Mereka baru pulang dari pasar besar, berniat mampir untuk mengunjungi Giselle.“Mbak Fani keluar lagi, Bu?” tanya Putri celingukan ke dalam. Pasalnya rumah dua tingkat itu terlihat sangat lengang.“Iya, Put. Ada urusan.” Bu Nur menjawab dengan singkat karena tak mau berurusan panjang.“Oh!” Putri hanya manggut-manggut saja. Dia tak peduli dan tak ingin ikut campur lagi. Sudah kapok.Sementara Retno diam saja. Dia fokus mengajak ngobrol cucu perempuannya yang
“Bu, jangan lupa besok datang lebih awal lagi ya, seperti biasa!” ujar Fani dengan suara manjanya.Bu Nur hanya mengangguk. “Bisa diatur, asalkan ….” “Aku paham! Tenang, duit kan?” Fani terkekeh.Bu Nur hanya mengangguk.Hampir seminggu ini Fani sering menyuruh asisten rumah tangganya itu untuk datang lebih pagi dan pulang larut malam. Semua itu demi memenuhi keinginannya ber sua dengan pacar-pacarnya.Bu Nur juga tak banyak tanya asalkan dia diberi haknya sesuai dengan perjanjian.“Ibu sama Putri masih ngerecokin nggak? Mereka sering kesini nggak waktu aku pergi, Bu?” tanya Fani. Dia masih membalurkan body serum di seluruh tubuhnya sebelum beranjak tidur.“Masih sering ke sini buat kasih jajan Giselle, kadang anter makanan. Cuma nggak banyak nanya sih,” jawab Bu Nur.“Jadi mereka anteng-anteng aja waktu tau aku sering keluar ya, Bu? Nggak ada masalah kan?” Fani kembali bertanya.“Iya aman, sepertinya begitu. Ya sudah kalau gitu aku pulang, ya? Giselle juga tidur nyenyak. Cuma perlu
“Aku nggak ngapa-ngapain, Mas! Aku cuma nasehati dia aja tadi karena pulang malam. Dia juga lalai sampai susu Giselle kehabisan dan yang paling parah dia seenaknya nyuruh Bu Nur buat jaga Giselle di luar jam kerja. Mana gajinya Bu Nur juga terlambat dia kasih. Aku kayak gini juga karena aku masih peduli lho, sama dia, Mas!” Putri tak terima dia dituduh menyakiti Fani.Pantas jika sekarang jiwa emosinya meronta-ronta ingin disalurkan. Putri geram karena dia tahu pasti Fani sengaja memfitnahnya di depan sang Kakak.“Gini ya, Dek, menasehati Fani itu sudah menjadi bagian dari tugasku. Jadi kamu nggak usah lagi deh, ikut campur apalagi sampai pakai kata-kata nggak sopan. Minta maaf sama Mbakmu sekarang, kasihan dia sakit hati.” Dengan seenaknya Bima berkata demikian.“Nggak! Aku nggak mau. Aku nggak salah ya, di sini, Mas. Aku juga nggak tau apa aja yang udah diadukan sama Mbak Fani ke kamu. Tapi yang jelas aku nggak pernah ngerasa nggak sopan sama dia, kalau saja dia tau bagaimana carany
Malam harinya sekitar pukul sembilan, Fani menggedor pintu rumah mertuanya. Tadi saat dia pulang, Giselle dan Nur tak ada di rumah. Jadi feeling-nya berkata bahwa mereka pasti ada di rumah sang mertua. Dia pun mau tak mau harus kesana menyusul Gisel. Fani mengetuk pintu dan mengucapkan salam dengan sedikit kencang, karena terdengar suara siaran tv sampai di halaman. Kalau pelan, tentu tidak akan terdengar.Putri bangkit dan membuka pintu, tanpa aba-aba langsung saja menyemprot kakak iparnya. “Kamu dari mana aja sih, Mbak? Dari sore anakmu nangis terus kehabisan susu. Kamu ditelepon nggak bisa. Tiba-tiba nomornya nggak aktif. Katanya cuma pergi sebentar, tapi jam segini baru pulang. Lupa kamu sama anak?” “Put, apaan sih? Kok jadi marah-marah gini ke aku. Aku kan titip Giselle sama Bu Nur tadi, kenapa dia bisa ada di sini? Lagian juga aku kasih duit lebih buat upah Bu Nur momong Giselle! Udah ah, aku nggak mau debat. Mana Giselle?” tanya Fani dengan wajah angkuhnya.“Bisa-bisanya kamu