Share

2. Pak Diaz Wardhana

Yenny masih menatap Clarissa yang senyum-senyum di depannya. Dia belum begitu yakin kalau Clarissa beneran suka dosen itu. Yang dia tahu, Clarissa paling pemilih dengan cowok. Berapa kali dia menolak cowok yang nembak dia. Itupun dengan cara yang kurang manusiawi. Dia ladenin aja cowok yang mengejanya. Jalan bareng, seakan Clarissa memberi harapan, lalu begitu cowok itu menyatakan cinta, dengan senyum mengejek, menyeringai, Clarissa meninggalkan si cowok. 

"Kamu yakin dengan ucapan kamu?" Yenny belum. Beralih dari tatapan tajam pada Clarissa. 

"Sangat yakin. Dia beda dengan cowok yang pernah tahu, Yenny." Clarissa memandang langit-langit kelas. Dia kembali membayangkan wajah dosen barunya. 

"Dia tampan, dengan hidung mancung yang bagus. Dagunya tegas tapi ga galak. Senyumnya, ga jaim. Posturnya, ohh, tidak ... Yenny, buat aku ini idaman aku banget." Clarissa menangkap kedua pipinya. 

"Dasar!" Yenny memegang dahi Clarissa, seolah memeriksa kondisi temannya itu. "Kamu sehat, kan?"

"Terang aja. Kalau sakit mending bobok manis, ngapain duduk berlama-lama di kelas kayak gini," sahut Clarissa. 

"Clay, kamu jangan aneh-aneh, deh. Pak Diaz tuh dosen kita. Kamu nengok yang sama mahasiswa ajalah. Mau yang dewasa lihat kakak tingkat. Banyak yang oke juga. Jangan kejauhan, deh. Daripada nyungsep ntar." Yenny mengingatkan temannya itu. 

Clarissa memainkan ujung rambutnya. Dia pelintir-pelintir lalu dia lepas lagi. Tidak heran kalau Yenny akan berkata begini. 

"Aku ini cewek berkualitas. Pasti bisa menaklukkan Pak Diaz. Selama ini aku nolak para pria, dari yang datang dengan sukarela, atau yang memang didatangkan mamaku, karena kerinduannya punya menantu pengusaha, ga ada yang nyangkut. Kali ini aku ga bisa nahan hatiku." Clarissa memegang dadanya, rasanya ada desiran halus menyusup bicara tentang Pak Diaz. 

"Aih, Clay ... Paling seminggu dua minggu. Lalu kamu pasti ga peduli lagi." Yenny geleng-geleng, masih tidak bisa paham temannya yang unik satu ini. 

"Kita lihat saja ya, Yenny yang baik hati dan suka memberi," ujar Clarissa. Dia menepuk pipi Yenny. 

Kelas berlanjut. Clarissa tidak bisa enjoy menikmati kelas. Pikirannya benar-benar terganggu karena ingat Pak Diaz. Dia akan cari tahu tentang dosen ganteng itu. Dan dia akan mendekatinya, segera. 

Sampai kuliah selesai hari itu, Clarissa rasanya masih berada di tempat lain. Entahlah dosen ngoceh apa saja hari ini. Begitu kelas bubar, Clarissa segera meluncur, pulang ke kosan. Bagus, Yenny ada kegiatan hari itu, Clarissa tidak akan  mendengar ceramah dari temannya yang satu itu. 

Clarissa masuk ke kamarnya, melepaskan sepatu, meletakkan tas, dan cepat membuka sosmed. Dia mencari akun Diaz Wardhana. Namanya unik, bukan nama yang umum, pasti gampang menemukannya. Benar saja, tidak perlu waktu lama, Clarissa sudah mendapatkan tiga akun di aplikasi yang berbeda. 

Clarissa mulai scroll, melihat galeri dan apa saja postingan dosen itu. Yang utama yang Clarissa mau pastikan, dosen itu masih single. Jangan sampai dia sudah beristri atau punya cewek. Ternyata aman. Tidak ada status tentang hubungan khusus. Tidak ada foto berdua cewek. Clarissa yakin dia bisa mendekati dosen itu dengan leluasa. 

"Ahh ... Aku senang sekali. Pak Diaz Wardhana, kamu punya penggemar berat. Tunggu saja, aku akan beri kamu banyak kejutan. Dan pasti kamu akan menoleh padaku." Senyum lebar muncul di bibir tipis dan mungil Clarissa. 

Pikiran Clarissa terus berputar bagaimana caranya dia bisa punya kesempatan berkomunikasi dengan Pak Diaz. Memang, dosen itu sudah memberi nomor HP, alamat email juga. Tapi dia harus elegan caranya tidak asal menyerbu. Harus dengan cara berkelas. Dan satu cara mulai nongol dalam benaknya. Semoga saja segera bisa dilakukan. 

*****

Perpustakaan tidak begitu ramai. Hanya beberapa orang mahasiswa yang tampak sibuk di sana. Clarissa datang ke perpustakaan siang itu karena jadwal mengembalikan buku yang dia pinjam. Padahal dia tidak membacanya dengan benar juga. Maunya sok rajin, sampai rumah, lebih asyik melototin film di laptop atau scroll sosmed lihat yang seru-seru. 

Baru saja Clarissa selesai dan bersiap keluar perpustakaan, dosen ganteng itu masuk. Dada Clarissa bergemuruh. Cakep banget, astaga. Ini kebetulan atau apa? Justru rencana belum dijalankan, keberuntungan dan naib baik memihak dirinya. 

"Selamat siang, Pak." Clarissa lebih dulu menyapa. Dan dia tidak lupa, sedang ada di perpustakaan. Clarissa mengucap salam dengan setengah berbisik. 

Diaz menoleh pada mahasiswa nyentriknya. Kali ini rambutnya merah keunguan, sesuai baju dan tas yang dikenakannya. Diaz ingin tertawa. Ini cewek seperti manekin di toko pakaian yang bisa digonta ganti warna rambut dengan wig dan senada model baju yang mau dipromosikan. 

"Siang," balas Diaz. Dia menghentikan langkah. 

"Eh, bisa minta saran soal buku tidak?" Clarissa menemukan cara berkomunikasi dengan dosennya itu sekarang. 

"Buku apa? Kuliah yang saya ajar? Atau apa?" Diaz balik bertanya. 

"Dua-duanya juga boleh, Pak. Pasti sangat nolong banget buat aku." Clarissa memandang Diaz dengan tatap terpesona. Suaranya tidak begitu berat, tapi enak didengar. 

"Oke. Kita minggir di situ, biar tidak mengganggu yang lain." Diaz melangkah ke sisi kanan perpustakaan. Ada meja dan kursi untuk mereka yang ingin kerja kelompok dan berdiskusi. Ruangan dibatasi dengan dinding kaca tidak akan terdengar yang lain jika sedang bicara. 

Clarissa tersenyum lebar sambil melangkahkan kaki mengikuti Diaz. Benar-benar hari yang tidak terduga. Mereka duduk di sana, berhadapan. Diaz mulai bertanya tentang buku apa yang Clarissa cari. Clarissa tak ragu lagi bicara. Dan ternyata Diaz baik sekali. Dia terbuka dan tidak segan memberi informasi, menegangkan dengan gamblang. 

Dia sangat cerdas. Setiap Clarissa bertanya tentang satu topik, dia akan tahu buku apa yang Clarissa perlu dan di mana dia bisa menemukannya. Sepertinya dosen ini hafal lagi semua letak buku di perpustakaan ini. Dengan senang hal julukan pertama yang Clarissa semarkan pada Diaz adalah Perpustakaan Berjalan. 

"Bagaimana? Ada yang lain?" Diaz bertanya lagi. 

"Hm, hari ini cukup. Aku sudah mencatat semuanya. Senang sekali bisa ketemu Bapak. Rasanya kayak tanah kering disiram air, seger banget." Clarissa tersenyum. 

"Bisa saja kamu, Clarissa." Diaz menarik bibirnya dan ikut tersenyum. Dia akui Clarissa sangat cantik. Meskipun penampilannya sedikit lain dari mahasiswa umumnya, tetap bagus saja. 

Yang Diaz yakin, ada sesuatu dengan gadis ini hingga bertingkah seperti itu. Dia harus bisa memahami dan mencoba membantu. Salah satu yang Diaz suka dengan menjadi dosen bukan hanya masalah berbagi ilmu secara akademik, tapi juga berbagi pengalaman hidup. Diaz puas bisa memberi arahan agar mahasiswa yang dia bina tahu bagaimana menjalani hidup yang harus dia lalui. 

"Lain kali kalau aku perlu bantuan jangan merasa aku rempong ya, Pak. Aku mau jadi mahasiswa yang sukses," ujar Clarissa. 

"Ya, kapan saja. Tapi jangan merasa apa-apa kalau ga cepat aku balas. Aku ini banyak yang dikerjakan. Pas aku longgar waktunya pasti aku respon," jelas Diaz. Pria itu berdiri, siapa meninggalkan perpustakaan. 

"Tentu, Pak. Sangat maklum," angguk Clarissa. "Thank you banget buat hari ini."

Diaz sekali lagi melempar senyum. Dan membuat Clarissa tak bisa menahan jantungnya kembali bergemuruh. 

"Ah, Pak Diaz. Ini beneran, aku tergila-gila padamu." Clarissa menepuk-nepuk kedua pipinya. Sekarang dia menuju ke rak buku. Setidaknya dia akan pinjam dua buku yang dia catat dari hasil ngobrol dengan Diaz. Dan buku itu yang wajib, harus, ada hubungannya dengan dosen mempesona itu. 

Clarissa melangkah ke rak yang dia perlu. Dia melihat pada deretan buku, lalu Clarissa tersenyum. Ini dia. Tepat saat tangan Clarissa menarik buku itu, ada tangan lain juga menarik buku yang sama. Clarissa menoleh cepat pada cowok di sebelahnya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status