Yenny masih menatap Clarissa yang senyum-senyum di depannya. Dia belum begitu yakin kalau Clarissa beneran suka dosen itu. Yang dia tahu, Clarissa paling pemilih dengan cowok. Berapa kali dia menolak cowok yang nembak dia. Itupun dengan cara yang kurang manusiawi. Dia ladenin aja cowok yang mengejanya. Jalan bareng, seakan Clarissa memberi harapan, lalu begitu cowok itu menyatakan cinta, dengan senyum mengejek, menyeringai, Clarissa meninggalkan si cowok.
"Kamu yakin dengan ucapan kamu?" Yenny belum. Beralih dari tatapan tajam pada Clarissa.
"Sangat yakin. Dia beda dengan cowok yang pernah tahu, Yenny." Clarissa memandang langit-langit kelas. Dia kembali membayangkan wajah dosen barunya.
"Dia tampan, dengan hidung mancung yang bagus. Dagunya tegas tapi ga galak. Senyumnya, ga jaim. Posturnya, ohh, tidak ... Yenny, buat aku ini idaman aku banget." Clarissa menangkap kedua pipinya.
"Dasar!" Yenny memegang dahi Clarissa, seolah memeriksa kondisi temannya itu. "Kamu sehat, kan?"
"Terang aja. Kalau sakit mending bobok manis, ngapain duduk berlama-lama di kelas kayak gini," sahut Clarissa.
"Clay, kamu jangan aneh-aneh, deh. Pak Diaz tuh dosen kita. Kamu nengok yang sama mahasiswa ajalah. Mau yang dewasa lihat kakak tingkat. Banyak yang oke juga. Jangan kejauhan, deh. Daripada nyungsep ntar." Yenny mengingatkan temannya itu.
Clarissa memainkan ujung rambutnya. Dia pelintir-pelintir lalu dia lepas lagi. Tidak heran kalau Yenny akan berkata begini.
"Aku ini cewek berkualitas. Pasti bisa menaklukkan Pak Diaz. Selama ini aku nolak para pria, dari yang datang dengan sukarela, atau yang memang didatangkan mamaku, karena kerinduannya punya menantu pengusaha, ga ada yang nyangkut. Kali ini aku ga bisa nahan hatiku." Clarissa memegang dadanya, rasanya ada desiran halus menyusup bicara tentang Pak Diaz.
"Aih, Clay ... Paling seminggu dua minggu. Lalu kamu pasti ga peduli lagi." Yenny geleng-geleng, masih tidak bisa paham temannya yang unik satu ini.
"Kita lihat saja ya, Yenny yang baik hati dan suka memberi," ujar Clarissa. Dia menepuk pipi Yenny.
Kelas berlanjut. Clarissa tidak bisa enjoy menikmati kelas. Pikirannya benar-benar terganggu karena ingat Pak Diaz. Dia akan cari tahu tentang dosen ganteng itu. Dan dia akan mendekatinya, segera.
Sampai kuliah selesai hari itu, Clarissa rasanya masih berada di tempat lain. Entahlah dosen ngoceh apa saja hari ini. Begitu kelas bubar, Clarissa segera meluncur, pulang ke kosan. Bagus, Yenny ada kegiatan hari itu, Clarissa tidak akan mendengar ceramah dari temannya yang satu itu.
Clarissa masuk ke kamarnya, melepaskan sepatu, meletakkan tas, dan cepat membuka sosmed. Dia mencari akun Diaz Wardhana. Namanya unik, bukan nama yang umum, pasti gampang menemukannya. Benar saja, tidak perlu waktu lama, Clarissa sudah mendapatkan tiga akun di aplikasi yang berbeda.
Clarissa mulai scroll, melihat galeri dan apa saja postingan dosen itu. Yang utama yang Clarissa mau pastikan, dosen itu masih single. Jangan sampai dia sudah beristri atau punya cewek. Ternyata aman. Tidak ada status tentang hubungan khusus. Tidak ada foto berdua cewek. Clarissa yakin dia bisa mendekati dosen itu dengan leluasa.
"Ahh ... Aku senang sekali. Pak Diaz Wardhana, kamu punya penggemar berat. Tunggu saja, aku akan beri kamu banyak kejutan. Dan pasti kamu akan menoleh padaku." Senyum lebar muncul di bibir tipis dan mungil Clarissa.
Pikiran Clarissa terus berputar bagaimana caranya dia bisa punya kesempatan berkomunikasi dengan Pak Diaz. Memang, dosen itu sudah memberi nomor HP, alamat email juga. Tapi dia harus elegan caranya tidak asal menyerbu. Harus dengan cara berkelas. Dan satu cara mulai nongol dalam benaknya. Semoga saja segera bisa dilakukan.
*****
Perpustakaan tidak begitu ramai. Hanya beberapa orang mahasiswa yang tampak sibuk di sana. Clarissa datang ke perpustakaan siang itu karena jadwal mengembalikan buku yang dia pinjam. Padahal dia tidak membacanya dengan benar juga. Maunya sok rajin, sampai rumah, lebih asyik melototin film di laptop atau scroll sosmed lihat yang seru-seru.
Baru saja Clarissa selesai dan bersiap keluar perpustakaan, dosen ganteng itu masuk. Dada Clarissa bergemuruh. Cakep banget, astaga. Ini kebetulan atau apa? Justru rencana belum dijalankan, keberuntungan dan naib baik memihak dirinya.
"Selamat siang, Pak." Clarissa lebih dulu menyapa. Dan dia tidak lupa, sedang ada di perpustakaan. Clarissa mengucap salam dengan setengah berbisik.
Diaz menoleh pada mahasiswa nyentriknya. Kali ini rambutnya merah keunguan, sesuai baju dan tas yang dikenakannya. Diaz ingin tertawa. Ini cewek seperti manekin di toko pakaian yang bisa digonta ganti warna rambut dengan wig dan senada model baju yang mau dipromosikan.
"Siang," balas Diaz. Dia menghentikan langkah.
"Eh, bisa minta saran soal buku tidak?" Clarissa menemukan cara berkomunikasi dengan dosennya itu sekarang.
"Buku apa? Kuliah yang saya ajar? Atau apa?" Diaz balik bertanya.
"Dua-duanya juga boleh, Pak. Pasti sangat nolong banget buat aku." Clarissa memandang Diaz dengan tatap terpesona. Suaranya tidak begitu berat, tapi enak didengar.
"Oke. Kita minggir di situ, biar tidak mengganggu yang lain." Diaz melangkah ke sisi kanan perpustakaan. Ada meja dan kursi untuk mereka yang ingin kerja kelompok dan berdiskusi. Ruangan dibatasi dengan dinding kaca tidak akan terdengar yang lain jika sedang bicara.
Clarissa tersenyum lebar sambil melangkahkan kaki mengikuti Diaz. Benar-benar hari yang tidak terduga. Mereka duduk di sana, berhadapan. Diaz mulai bertanya tentang buku apa yang Clarissa cari. Clarissa tak ragu lagi bicara. Dan ternyata Diaz baik sekali. Dia terbuka dan tidak segan memberi informasi, menegangkan dengan gamblang.
Dia sangat cerdas. Setiap Clarissa bertanya tentang satu topik, dia akan tahu buku apa yang Clarissa perlu dan di mana dia bisa menemukannya. Sepertinya dosen ini hafal lagi semua letak buku di perpustakaan ini. Dengan senang hal julukan pertama yang Clarissa semarkan pada Diaz adalah Perpustakaan Berjalan.
"Bagaimana? Ada yang lain?" Diaz bertanya lagi.
"Hm, hari ini cukup. Aku sudah mencatat semuanya. Senang sekali bisa ketemu Bapak. Rasanya kayak tanah kering disiram air, seger banget." Clarissa tersenyum.
"Bisa saja kamu, Clarissa." Diaz menarik bibirnya dan ikut tersenyum. Dia akui Clarissa sangat cantik. Meskipun penampilannya sedikit lain dari mahasiswa umumnya, tetap bagus saja.
Yang Diaz yakin, ada sesuatu dengan gadis ini hingga bertingkah seperti itu. Dia harus bisa memahami dan mencoba membantu. Salah satu yang Diaz suka dengan menjadi dosen bukan hanya masalah berbagi ilmu secara akademik, tapi juga berbagi pengalaman hidup. Diaz puas bisa memberi arahan agar mahasiswa yang dia bina tahu bagaimana menjalani hidup yang harus dia lalui.
"Lain kali kalau aku perlu bantuan jangan merasa aku rempong ya, Pak. Aku mau jadi mahasiswa yang sukses," ujar Clarissa.
"Ya, kapan saja. Tapi jangan merasa apa-apa kalau ga cepat aku balas. Aku ini banyak yang dikerjakan. Pas aku longgar waktunya pasti aku respon," jelas Diaz. Pria itu berdiri, siapa meninggalkan perpustakaan.
"Tentu, Pak. Sangat maklum," angguk Clarissa. "Thank you banget buat hari ini."
Diaz sekali lagi melempar senyum. Dan membuat Clarissa tak bisa menahan jantungnya kembali bergemuruh.
"Ah, Pak Diaz. Ini beneran, aku tergila-gila padamu." Clarissa menepuk-nepuk kedua pipinya. Sekarang dia menuju ke rak buku. Setidaknya dia akan pinjam dua buku yang dia catat dari hasil ngobrol dengan Diaz. Dan buku itu yang wajib, harus, ada hubungannya dengan dosen mempesona itu.
Clarissa melangkah ke rak yang dia perlu. Dia melihat pada deretan buku, lalu Clarissa tersenyum. Ini dia. Tepat saat tangan Clarissa menarik buku itu, ada tangan lain juga menarik buku yang sama. Clarissa menoleh cepat pada cowok di sebelahnya.
Cowok di depan Clarissa itu tersenyum. Matanya yang sipit makin terlihat lebih kecil. Tangannya masih memegang buku yang juga dipegang Clarissa. Sedang sebelah tangan lagi menaikkan kacamata yang sedikit melorot. "Lepas," ucap Clarissa dengan tatapan tajam pada cowok itu. "Oke, lady first." Tangan cowok itu melepas pegangan dari buku yang juga dipegang Clarissa. "Adimasta. Adimasta Cakradinata Abirawa Bertemu Buta Lima di Negeri Antah Berantah Membawa Dewa Sambil Tertawa." Mata Clarissa masih tajam melihat pada cowok itu. Adimasta tersenyum, tipis. Panggilan istimewa dari Clarissa dia dengar lagi. Panjang, tidak bisa dijelaskan apa maksudnya, tapi Adimasta senang saja Clarissa melakukannya. "Iya, bawa saja. Nanti dua minggu lagi kalau kamu selesai, aku yang pinjam. Kasih tahu aku, ya?" Satu satu Adimasta mengucapkan kata yang dia katakan. Kalem, tenang, ringan. Clarissa ingin ngakak kalau mendengar A
Mata Clarissa tak berkedip memandang Adimasta yang duduk di sebelahnya. Ingin sekali dia tertawa! Ternyata Adimasta punya nasib yang sama dengannya, diajak ke acara sosialita, lalu diberi waktu bebas berkenalan dengan anak-anak para mama itu. Bisa jadi Adimasta juga korban paksaan untuk mendapat jodoh atau dijodohkan di momen seperti ini, bukan?"Kenapa bengong? Duduklah." Adimasta menepuk kursi di sebelahnya meminta Clarissa duduk.Clarissa manut, segera dia duduk. Dan langsung dia sodorkan wajah mendekat pada Adimasta dan berbisik, "Kamu udah berapa kali diajak ke acara kayak gini? Kenapa baru sekarang aku melihat kamu? Pernah dijodohkan sama yang mana, hmm?"Adimasta melihat Clarissa. Cantik. Sangat cantik. Kali ini rambutnya coklat terang, cocok sekali buatnya. Dengan kuncir ekor kuda, Clarissa makin menawan Adimasta.Adimasta menaikkan kacamatanya, lalu menjawab, "Maksudnya gimana? Aku nggak ngerti. Ini kali pertama aku ikut. Bukan. Mam
Siang itu Clarissa sengaja ingin menemui Diaz setelah kuliah usai. Clarissa berjalan ke arah kantor dosen berharap Diaz ada di sana. Pendekatan harus makin digencarkan.Beberapa meter sebelum sampai pintu kantor, tampak Diaz berjalan keluar dari sana. Senyum Clarissa melebar seketika. Lagi, keberuntungan sedang berada di pihaknya. Dan Diaz melihat pada Clarissa. Diaz yakin mahasiswa unik ini sedang mencarinya. Dia hafal gelagat cewek yang ingin mendekati dirinya."Selamat siang, Pak." Clarissa menyapa ramah. Dia pasang senyum manis agar dosennya memberi perhatian."Siang, Clarissa. Belum mau pulang?" tanya Diaz."Mau ketemu Pak Diaz dulu. Boleh, kan?" Clarissa bertanya balik."Soal apa? Aku sedang sedikit terburu-buru." Diaz menjawab sambil menengok jam tangannya."Ya, gitu ya?" Clarissa kecewa."Ya, ini mau pesan ojol. Kalau kamu bisa sabar, besok kamu bisa ketemu saya di atas jam dua siang." Diaz memberi
Clarissa bisa maklum jika Yenny tidak sepakat dengan dirinya. Pasti sama seperti teman yang lain, jika mereka tahu Clarissa mengejar dosen baru mereka, akan muncul cibiran dan sindiran. Tapi bukan Clarissa namanya kalau akan mundur hanya karena kata orang. "Yenny, langkah awal sudah dapat poin, tinggal meneruskan saja. Hm? Aku yakin bisa meluluhkan hati dosen kita." Clarissa menepuk pipi Yenny. "Clay, lebih baik fokus belajar, dah. Jangan macam-macam. Dosen kayak Pak Diaz pasti maunya dapat wanita elegan, bukan slengekan kadang rada ga jelas seperti kamu." Mulut ceplas ceplos Yenny mulai tak terkendali. "Terserah mau bilang apa. Hari ini langkah pertama. Semua mengarah pada tujuan yang mulia, bersanding dengan pria idaman. Kenapa aku harus mikir yang lain? Tantangan itu wajar saja, bikin perjuangan makin berarti." Clarissa pindah memencet hidung Yenny. "Hei, tangan itu dikondisikan. Jangan muka orang jadi sasaran mulu," tukas Y
"Clay ..." Suara itu, membuat Clarissa makin degdegan. Tenang, lembut, dan meneduhkan. Dulu suara seperti ini dia dengar dari papanya. "Semua yang kamu lewati, mengajar kamu untuk jadi gadis yang kuat. Yakinlah itu." Clarissa terdiam. Selama ini tidak ada yang bicara seperti ini padanya. Bahwa hal buruk yang membuat dia kecewa akan menjadikan dia orang yang kuat? "Tanpa papa, kamu sekarang jadi wanita dewasa. Itu hebat. Dan di depan ada masa depan menunggu. Banggalah dengan diri kamu." Diaz melanjutkan. Clarissa ingin menangis keras mendengar kalimat itu. Andai Diaz ada di depannya mungkin dia akan peluk kuat-kuat. Karena Clarissa merasa hatinya pilu, tapi juga ada rasa tenang menyusup di sana. Dia ingin Diaz yang di sisinya membuat dia makin tenang. "Aku ga mikir, Kak. Yang kujalani ya udahlah. Abis SMA, ya kuliah. Ntah nanti kayak gimana, aku ga tahu." Clarissa menjawab, seperti pasrah dengan hidup. Diaz bisa merasakan Clarissa hanya sekedar menjalani masa hidup, tanpa ta
Clarissa baru selesai mandi dan berganti pakaian. Dia mau charge ponselnya. Saat dia keluarkan dari tas, ada beberapa kali telpon masuk dari Adimasta. Ada apa cowok itu telpon? Apa ada yang penting? Clarissa mengirim chat, karena dia harus isi data ponselnya. Dia bertanya kenapa Adimasta sibuk mencarinya. Balasan Adimasta cepat datang. Dia menanyakan apakah buku agenda tugasnya terbawa Clarissa. Clarissa tidak merasa, tapi dia akan cek dulu. Ponsel kembali diletakkan dan Clarissa membuka tasnya. Ternyata ada. Buku itu terselip dengan buku yang Clarissa pinjam. Clarissa penasaran, apa saja isi buku Adimasta. Dia duduk di meja belajarnya dan mulai membuka lembar demi lembar di buku itu. Clarissa tersenyum. Rapi, tertata, sistematis, ya itu Adimasta. Pemuda baik, ramah, dan cerdas. Sayang, di mata Clarissa, Adimasta terlihat seperti cowok tidak tegas dan lemah. Karena itu Clarissa tidak pernah menaruh hati padanya, meskipun ada beberapa teman mereka yang naksir cowok sipit itu. Cat
Dengan kesal Clarissa masuk ke dalam mobilnya. Kenapa harus Adimasta?! Dia memang tidak tertarik cowok pada itu. Tapi sejauh ini, Adimasta salah satu teman cowok yang cukup menyenangkan buat Clarissa. Setelah Clarissa tahu hati Adimasta padanya, dia hanya ingin menjauh saja. Yenny yang duduk di sebelah Clarissa tahu temannya itu benar-benar kesal. Yenny pun sama, tidak menduga jika Adimasta punya rasa buat cewek yang kadang jelas kadang ngacau itu. Di mata Yenny, cowok model Adimasta akan menyukai cewek kalem, tenang, sopan, dan lembut. Tapi ternyata, dia suka Clarissa? Seperti tidak masuk di otak Yenny. "Kamu buat apa marah? Itu urusan Adi mau suka atau nggak sama kamu. Selama ini ga bikin ribet hidup kamu, biarin." Yenny menenangkan Clarissa. "Tahu, ah. Aku mau kejar Kak Diaz. Pusing amat sama yang lain." Clarissa melajukan mobilnya. Saat berada di dekat gerbang, dia lihat Adimasta di atas motornya. Dia berhenti di pinggir jalan, sedang me
"Sayang, maafkan Mama. Sudah sering bikin kamu kesal. Mama beneran kangen sama kamu." Dengan suara parau Rosita bicara. "Nya, saya ambilkan air hangat, ya?" Bu Tirah menyela perkataan Rosita. "Iya, Bu. Terima kasih," kata Rosita. Bu Tirah beranjak meninggalkan kamar. Dia menyuruh Yenny masuk dan duduk di kursi tak jauh dari pintu. Yenny manut. Clarissa menoleh pada Yenny. Dia melambai. Yenny mendekat, berdiri di sebelah tempat tidur, di dekat Clarissa. "Ini Yenny, Ma. Sahabat aku." Clarissa mengenalkan. "Yenny, kamu pasti gadis baik. Bisa tahan dengan anak Tante ini." Rosita memandang Yenny. "Mama, ihhh," Clarissa manyun. "Clarissa, Mama tahu kamu paling kesal kalau Mama pingin bicara. Apalagi soal jodoh." Rosita mengalihkan pandangan pada Clarissa lagi. Nah, kan, kondisi sakit juga ngomong soal jodoh. "Mama hanya mau kamu dapat pria baik, hidup kamu terjamin. Karena ..." Rosita tidak meneruskan kalimatnya. Dia menarik nafas dalam. Clarissa dan Yenny menunggu. "Dokt