Arlon melihat pada pria yang ada di depannya. Beberapa tahun lebih muda darinya. Pria ini yang menjadi pendamping Rosita.
"Ini papa, Om. Aku bertemu papa hari ini dan papa mengantar aku ke sini." Clarissa mengenalkan Arlon pada Bramantyo.
"Selamat sore, aku Bramantyo." Segera Bramantyo mengulurkan tangan pada Arlon.
"Aku Arlon. Senang bertemu denganmu." Arlon membalas dengan menjabat tangan Bramantyo.
"Om, mama ..." Clarissa menyela. Dia tidak sabar ingin tahu kondisi Rosita.
"Sejak kemarin dia mulai tidak sehat. Aku minta dia istirahat, tapi sembunyi-sembunyi masih juga mengerjakan proyek. Katanya hanya proyek kecil. Tapi tetap saja pikirannya terkuras. Dia harus banyak duduk mengerjakan itu. Akhirnya dia tidak bisa menahan sakit yang mendera." Bramantyo menjelaskan.
"Apa aku bisa ketemu mama?" tanya Clarissa.
"Ya, masuklah. Mungkin Rosi sudah tidur. Tapi tidak apa, kamu bisa melihatny
Bramantyo memandang Clarissa. Dia tersenyum dengan tatapan yang sengaja dia buat seolah dia kesal. Clarissa menggembungkan pipinya. Clarissa pikir masalah baru akan segera muncul. "Ya, aku kesal. Aku cemburu," kata Bramantyo. "Upss ..." Clarissa menepuk kedua pipinya. Dadanya tiba-tiba degdegan. "Maunya begitu." Secepat kilat Bramantyo melanjutkan. Nada suaranya berubah, kembali normal. "Hah?" Clarissa mengangkat kedua alisnya dan melebarkan mata. "Aku bukan anak baru gede, Clarissa. Kamu pikir apa? Kalau aku cemburu, aku masuk ke dalam kamar lalu aku damprat papa kamu, begitu? Atau lebih ekstrim aku tonjok mukanya ..." Clarissa tersenyum lebar. Ucapan Bramantyo kembali dilepaskan dengan nada lucu. Clarissa lega, Bramantyo hanya mengerjai dia. "Om, bisa aja becanda," ujar Clarissa. "Kamu itu, seperti keponakan aku. Umur kalian ga jauh beda. Dia mirip kamu, gayanya. Kalau melihat kamu aku jadi ingat keponakanku itu. Maka
Selama tiga hari Clarissa dan Adimasta bolak balik ke rumah sakit dan kampus. Ke kampus jelas untuk urusan kuliah, sedang ke rumah sakit bergantian menjenguk Rosita. Yenny juga sempat ikut dua kali menemui Rosita di rumah sakit. Seperti yang Clarissa dengar dari Bramantyo tentang keinginan Rosita dan juga yang Adimasta katakan, Clarissa ingin mewujudkan keinginan Rosita agar dia segera sehat kembali. Siang itu sepulang kuliah, Clarissa langsung ke rumah sakit. Dia datang sendiri. Adimasta dan Yenny ada urusan lain yang harus diselesaikan. "Mama!" Clarissa masuk kamar Rosita dengan wajah ceria. "Hai, Sayang!" Rosita sudah jauh lebih baik. Tidak pucat hanya masih lemas. Dia belum bisa lama duduk apalagi berjalan. Bengkak dan ruam di beberapa tempat di bagian tubuhnya mulai hilang. "Mama, lihat aku bawa roti kesukaan Mama." Clarissa meletakkan tas kecil di meja. Dia mengeluarkan isinya dan memberikan sepotong roti rasa blueberry pada Rosita. "Kamu masih ingat roti kesukaanku?"
Mata Clarissa melotot lebar melihat Adimasta bersama cewek imut di dalam kelas itu. Dan dia ingat siapa cewek itu. Erni! Dengan cepat Clarissa melangkah masuk dan mendekati mereka. "Sudah kelar? Kita harus berangkat sekarang!" tukas Clarissa judes sambil menatap Adimasta. Adimasta dan Erni menoleh pada Clarissa yang datang tiba-tiba dan tampak kesal. "Oya, hampir selesai. Kamu kerjakan seperti yang aku tunjukkan tadi. Pertemuan berikut aku akan cek perkembangannya sejauh apa." Tetap tenang, Adimasta bicara lagi pada Erni. "Oke, Kak. Kalau yang ini ..." Erni pun seakan tidak melihat Clarissa ada di situ. "Adimasta Cakradinata, kamu ikut atau aku pergi sendiri!?" Clarissa menaikkan suaranya. "Iya, Clay, kita pergi. Aku duluan, Er," ujar Adimasta. Dia tersenyum pada Erni lalu berdiri, mengangkat tasnya dan mendekati Clarissa. "Hei, kamu Erni, kan? Ga usah cari kesempatan deketin pacarku, ya? Udah selesai pulang aja. Paham?" Claris
Saat bertemu Rosita, Clarissa tampak bisa menyembunyikan rasa kesalnya pada Adimasta. Dia bisa bersikap wajar. Tidak terlihat sedang ngambek. Adimasta ingin tertawa saja. Ternyata Clarissa pintar juga bersandiwara. Tapi Adimasta senang melihat kedekatan Clarissa dengan mamanya. Mereka bicara dengan bebas dan lepas, akrab, tidak seperti waktu-waktu awal Adimasta mengenal Rosita. Rosita menceritakan pertemuannya dengan Arlon saat di rumah sakit. Tanpa menutupi apapun, Rosita mengatakan dia sedikit minder dengan mantan suaminya itu. Arlon gagah dan tampan. Sementara dia sakit-sakitan, setiap waktu bisa saja tiba-tiba nyawanya melayang. Saat Rosita mengucapkan semua itu, ada rasa sedih menghampiri hati Clarissa. Itu membuat Clarissa justru ingin membahagiakan mamanya. Sekalipun kesembuhan jauh dari Rosita, tapi kegembiraan harus dekat dengannya. Hingga jam tujuh malam, selesai makan malam, bersama Rosita dan Bramantyo, Adimasta dan Clarissa meninggalk
Jalanan tidak begitu ramai, karena memang belum jam pulang sekolah atau pulang kerja. Motor Adimasta meluncur lancar di jalan raya. Erni yang duduk di belakangnya tersenyum lebar. Ini hari baik banget buat dia. Siapa yang menduga, tiba-tiba Adimasta mau bareng pulang kuliah. Erni sedikit mendekatkan badan ke depan, agar bisa lebih rapat. Dia melingkarkan tangan di pinggang Adimasta. Adimasta refleks menengok tangan Erni yang menempel di pinggang dan perutnya. Ini cewek berani juga. Clarissa saja tidak selalu begini kalau dibonceng. "Erni, turun di depan situ, ya?" Adimasta sudah melihat perempatan yang akan mereka lewati. Erni sempat bilang dia mau nebeng sampai di situ. "Oh, iya ..." Erni melihat ke depan. Ya, beberapa meter lagi pasti akan sampai. "Kak, perutku sakit!" Tiba-tiba ide muncul di kepala Erni supaya dia bisa terus bersama Adimasta. "Kenapa?" tanya Adimasta, takut salah dengar yang dikatakan Erni. "Perutku, Kak
Clarissa tidak bisa bergerak. Kenginannya datang ke rumah Adimasta mau melepaskan amarah yang sudah berkecamuk di hatinya. Di dalam kepalanya sudah banyak kata-kata yang dia mau tumpahkan untuk meluapkan semua kekesalan. Apa daya! Di depan Alicia, Clarissa tidak mampu memulai. Dari mana dia akan memarahi Adimasta coba? "Enak nggak?" Alicia memperhatikan Clarissa yang mengunyah pelan-pelan, tidak segera menjawab pertanyaannya. "Oh, enak, Tan. Beneran. Ga terlalu manis, ada gurih, crunchy. Pas banget." Clarissa tersenyum. "Tambah lagi. Yuk, ini." Tangan Alicia mendekatkan lagi toples ke depan Clarissa. Clarissa tidak bisa menolak. Dia mencomot satu lagi dan langsung menggigitnya. "Kenapa aku ga ditawarin? Aku juga mau." Adimasta mendekat, mengulurkan tangannya mengambil juga sepotong cookies. Alicia tersenyum. Adimasta paling suka masakannya. Apapun yang dia masak, Adimasta akan makan dengan lahap tanpa protes. Dia selalu membuat Alicia
Kedua mata Adimasta melebar, meski tidak lebar juga. Dia menatap lekat-lekat apa yang Clarissa tunjukkan di depannya. Erni memasang foto mereka berdua. Ya, tadi Adimasta mengantar Erni pulang! Astaga, itu cewek sengaja ambil foto tiba-tiba buat dipamerkan di sosmed. Waduh, masalah betul! "Kamu ke mana selesai kuliah? Kenyataan dan jawaban kamu beda!" Clarissa seolah-olah punya ruangan luas untuk menghabisi Adimasta sekarang. "Clay, itu ga sengaja. Pas mau keluar kampus, ketemu. Karena sejalan aku bonceng Erni." Adimasta mulai meruntut kejadian sepulang kuliah itu. Dia katakan apa adanya, tampa ditambah atau dikurangi. "Bagus! Sudah tahu rumah Erni sekarang. Besok tinggal jemput buat ke kampus bareng. Dekat juga dari kampus. Asyik, tuh." Ucapan Clarissa terdengar ketus. "Ya nggak la ... Aku malah mau antar jemput kamu. Sayangnya tunggangan kamu lebih keren dari punyaku. Gimana?" Adimasta tetap bisa santai menghadapi Clarissa.&nb
Pembicaraan dengan Anindita cukup membuat Clarissa lebih tenang. Tidak lagi rasa meledak di dada. Tiba di tempat kos, apa yang terjadi di rumah Adimasta terpampang kembali di matanya. Orang tua Adimasta begitu menyenangkan. Clarissa sangat nyaman dengan mereka. Sedang Anindita, yang awalnya tidak begitu peduli hubungan Clarissa dan Adimasta, dia banyak bicara tentang bagaimana adiknya. "Apa iya, aku yang lebay sama Adimasta. Tapi, cowok kalau dikasih hati bukan bisa aneh-aneh? Aku ga mau kayak mama, ditinggal papa. Mama sayang sekali sama papa, aku tahu itu. Kenyataannya sayang aja ga cukup." Clarissa bicara sendiri. Menjalin hubungan tidak semudah asal bilang cinta. Ada banyak hal yang mengelilingi kata cinta yang akan menentukan hubungan itu akan jadi seperti apa. Adimasta sejak awal memang cinta Clarissa. Sedang Clarissa, dia hanya memanfaatkan Adimasta demi kepentingan dirinya. Setelah sekian bulan bersama, tidak bisa dipun