Author bakalan semangat update kalau kalian tinggalin komentar ya pokoknya xp
***
“Itu apa, Nan?”
Tak ada kata satu detik, Kinan langsung membalikkan badan. Menoleh ke arah pintu kamarnya.
“Eh? Nggak kok, Tante,” jawabnya pada Vina sembari mencibirkan bibirnya yang tebal dengan lipstik ombre bernuansa merah muda itu.
Kinan mendekati Vina sembari menunduk. “Mari, Tante.”
Mata Kinan yang tadi hanya menengadah ke bawah sembari melihat lantai rumahnya saat berjalan keluar, kini sudah berubah. Ia memfokuskan matanya lurus ke depan sesaat ketika langkahnya terhenti.
“Panggil saya ‘mama’ jangan ‘tante’ lagi. Saya kan mama kamu dan Mas Alan.”
Kinan menoleh perlahan kepada sumber suara di sampingnya.
“Eh? Iya, Ma.”
Kinan langsung saja menyebutkan panggilan yang diinginkan calon mertuanya itu. Tanpa menunjukkan kesalahan.
“Mari, Ma,” ucap Kinan lagi karena ingin menyusul ketiga temannya yang ada di ruang tamu.
Tap tap tap
Begitu suara sepatunya haknya ketika berhenti di perbatasan ruang tamu kecil itu.
Kinan mengambil napas panjang saat melihat hal yang mencuri perhatiannya. Sosok yang sedang berdiri di samping rak etalase ruang tamu.
“Al … Mas Alan?” panggilnya pelan. “Kok balik lagi?”
Alan sempat tak mendengar ucapan itu. Kedua matanya yang kini berubah sayu tertuju pada sebuah bingkai foto.
“Huf, foto angkatan jaman itu,” batin Alan. Dengan satu tangan memegang ponselnya dan satunya memegang bagian pinggir pigura hitam itu.
“Mas?”
Kinan mendekati Alan ketika tidak mendapatkan respon darinya.
“Kok balik lagi, Mas?”
Alan menoleh dengan tatapan sinisnya. “Hapeku ketinggalan,” balasnya singkat sembari melepas jemarinya dari bingkai foto tersebut.
Lantas ia perlahan melangkahkan kaki menuju teras depan lagi untuk pulang.
“Kalau kamu nggak suka sama aku. Kenapa menerima perjodohan ini?!” Kinan langsung menyerukan perasaannya. Sembari menahan bulir air yang hendak terjun dari matanya itu.
Ia berusaha untuk berani mengatakan ini meskipun dengan hati yang berdebar agak kencang. Antara menanti jawaban Alan dan takut untuk mengajak Alan berbicara lagi. Sebab bertahun-tahun Kinan tidak pernah sering mengobrol dengan Alan kalau bukan karena temannya yang membuka percakapan terdahulu.
Kinan masih memandangi punggung laki-laki yang tergolong tinggi itu dengan tatapan kucing.
“Mau tau?”
“Ya! Aku mau tau,” imbuh Kinan dengan bibir yang bergetar.
Alan mengembuskan napas kesal lalu membalikkan badan untuk menatap calon istrinya itu.
“Karena aku lelah pacaran. Buat apa pacaran kalau ternyata nggak ada ujungnya? Jadi aku menerima kemauan mamaku. Lebih baik langsung menikah saja tanpa basa-basi,” papar Alan.
Rupa datarnya membuat Kinan merinding dan berkeringat dingin.
Tak tahu harus berucap apa lagi, Kinan hanya bisa melihat kepergian Alan saat ini. Sebab Alan hanya perlu mengambil ponselnya kembali. Bukan kembali untuk mengobrol dengan Kinan.
Ketiga teman Kinan melihat kejadian itu. Mereka juga ikut melongo dengan jawaban Alan yang sangat terlihat maskulin tersebut.
Setelah Alan pergi lagi, Hana merasa ingin memeluk Kinan. Ia pun mendekatinya setelah melihat Kinan yang hanya bereaksi mengedipkan mata berkali-kali setelah mendengar jawaban Alan itu.
“Nan?”
“Hm?”
Hana berbisik pelan. “Justru kamu harusnya bersyukur. Alan langsung serius sama kamu. Tanpa basa-basi pacaran habisin uang dan habisin waktu aja.”
Kinan hanya tersenyum masam.
Hari itu menjadi hari yang sangat membingungkan Kinan. Semua terasa sangat cepat dan seperti mimpi.
Sebenarnya mudah saja bagi Kinan untuk menyukai pria itu lagi seperti saat mereka masih satu tempat belajar. Namun sudah terlalu lama Kinan tidak mendapat balasan dari pria tersebut.
Seketika Kinan berlari masuk ke dalam kamarnya.
Ia pun langsung mengobrak-abrik sebuah kotak yang ia sembunyikan di kamar tadi. Diletakkannya di dalam lemari putihnya yang sudah sedikit usang.
Lantas ia memandangi sebuah kertas putih kecil di tangannya.
“Aku menyesal waktu itu nggak membalas suratmu ini,” lirihnya. Hatinya masih berdebar lagi setiap kali membahas hal yang berkaitan dengan Alan.
Rasanya ia sudah membuang perasaan itu jauh-jauh. Menghilangkan harapan untuk bisa bersama Alan.
Namun ternyata ia berdiri di sini. Di mana sebuah harapan yang hilang itu terkuak lagi. Hingga Kinan tak tahu harus berbuat apa. Sikap dingin Alan yang membuatnya seperti hilang arah. Harus diapakan perasaan yang sempat hilang dan muncul kembali ini?
“Mungkin kalau saat itu aku membalas suratmu … aku nggak akan setakut ini buat bicara sama kamu. Aku nggak tau kalau ternyata kehilangan kamu sebagai teman malah membuatku suka sama kamu,” batin Kinan lagi. Setelah mengingat kejadian saat mereka satu bangku sekolah.
Pun Kinan saat itu juga menganggap kalau masih SMP dan mereka masih kecil. Tidak mungkin cinta-cintaan.
Saat Alan mengirimi surat itu, Kinan hanya menganggapnya sebagai teman yang suka membantunya untuk menali sepatu setiap kali tali sepatu Kinan lepas saat di sekolah. Kinan selalu bermasalah dengan hal tali-menali dan Alan selalu ada kala itu.
Lantas entah bagaimana pertemanan mereka hangus. Tidak pernah saling menyapa lagi.
Hingga kini Kinan dan Alan sudah bertunangan.
Dok dok dok
“Eh?!” Kinan terperanjat karena suara ketukan pintu. Suara yang sempat membuyarkan perjalanan waktunya tadi. Mengulik kejadian masa lalunya.
Kinan membuka pintu kamarnya.
“Besok main ke rumah mama, ya?”
Vina rupanya.
Kinan menggaruk rahangnya yang memang terasa sedikit gatal. “Boleh, Ma. Jam berapa enaknya?”
“Sore saja. Besok mama tunggu, ya?”
“Ya, Ma. Besok Kinan naik motor ke sana.”
Kinan segera keluar kamar untuk memberi sapa kepada semua yang masih ada di rumahnya. Mereka akan segera pulang.
Ia pun juga tak sabar untuk membersihkan diri. Rasanya sangat risih menggunakan make-up.
Ketiga temannya bergantian untuk pamit pada Kinan.
“Besok mau ke rumah Tante Vina?” Stevi bertanya.
Kinan mengangguk mengiyakan.
“Oke oke. Ya udah, Aku pulang dulu, ya! Btw selamat atas tunangannya!” ujar Stevi sembari berjalan menjauhi Kinan.
***
Penasaran kelanjutan ceritanya? Kira-kira Kinan mau ngapain di rumah Vina? Coba tebak, ya!
Kepala Alan terasa pening ketika diseruduk oleh pertanyaan tersebut. Makanan yang ia kunyah tadi juga tak kunjung ia telan. Mengapa demikian? Mungkinkah memang Alan memiliki wanita lain yang memang dicintainya?“Kenapa nanya gitu, Ra?” Rupanya pertanyaan tadi datang dari Nara.Nara pun terkekeh. “Ah! Aku cuma bercanda. Soalnya … kalian nggak keliatan kayak pasangan menikah. Nggak bucin!”Kinan berdeham kecil. Tenggorokannya tiba-tiba terasa gatal. “Gitu, ya?”Lantas Nara kembali memandang Kinan dengan tatapan candanya. “Kalian cuma malu kan kalau di depan umum?” ledeknya.“Ah, nggak! Kata siapa?” ucap Alan.Sesuatu menyita momen Kinan. Ketika Alan membalas Nara. Tak hanya dengan perkataan. Ia juga langsung merangkul pinggangnya. Sehingga Kinan t
“Lho? Anakmu ke mana? Kok nggak ikutan kita aja?”Lantas Vina menjawab pertanyaan salah satu temannya itu. “Ohh … iya, biarin aja mereka berdua. Kita senang-senang aja.”Vina dan teman-temannya yang sesama sudah menjadi ibu maupun nenek itu segera memasuki restoran ala jawa tersebut.Saat sudah memesan makanan, mereka pun mengobrol.“Kamu kapan gendong cucu, Jeng?” tanya satu orang pada Vina.Vina terkekeh tanpa jawaban.Rupanya malah membuat bibir temannya itu semakin menjadi. “Cucumu yang di Jakarta kan nggak pernah diajakin pulang ke Klaten?”“Iya lho, Jeng. Kapan? Suruh Alan cepet-cepet punya anak,” sambung teman satunya.Vina tertawa lagi. “Ya juga. Mungkin mereka juga baru berusaha.” Lalu ia pun berbisik pada dirinya sendiri, “u
Bukan pernikahan seperti ini yang Kinan inginkan. Ia hanya ingin bahagia bersama orang yang ia cintai sampai maut memisahkan. Namun malah tangisan yang ia dapatkan.Mereka berdua masih saling memandang tetapi Alan menatap Kinan dengan penuh ceria.Dok dok dokSeketika suara ketukan pintu itu membuyarkan kesedihan Kinan.Alan mengkerutkan dahinya dan langsung membuka pintu depan. Siapa pagi-pagi begini datang?“Mama?” Alan kaget.Setelah saling menyapa, Vina masuk ke dalam rumah.Harapannya datang ke rumah ini untuk melihat kedua anaknya berbahagia sebagai pasangan baru. Namun bukan itu yang ia pandang sekarang.“Kinan kenapa nangis!?” tanya Vina. Melihat mata sembab menantunya itu.Alan datang dan kembali tertawa lagi.
Kinan sangat paham bahwa ini tidak baik untuk kesehatan jantungnya. Mengharap sesuatu yang sepertinya susah untuk didapatkan yaitu hati suaminya sendiri.Sebab sejak tadi Alan memanggilnya, belum ada secercah ucapan lagi yang keluar dari mulut sang suami.Menunduklah Kinan karena merasa kecewa lagi. Sepertinya memang Alan masih berada di alam bawah sadarnya sehingga ia tak merasa benar-benar memanggil nama istrinya.Mungkinkah Mas Alan bukan memanggilku? Melainkan wanita lain? ‘Nan?’ Siapa dia? Nanda? Nana? Nancy?“Kinan? Udah baikan?”Pertanyaan yang mampu membuat mulut Kinan bungkam. Rupanya memang namanya yang dipanggil.Entah mengapa Kinan sering merasa tidak perlu sulit-sulit untuk menjelaskan hal yang ada di pikirannya. Alan selalu bisa membacanya. Namun mungkin semua hany
Selamat membaca…***Setelah selesai mengunci pintu rumah, Alan masuk ke dalam kamarnya. Ia pun berbaring di kasur.Niatnya untuk beristirahat. Namun apa daya jika otaknya tidak bisa diajak bekerja sama? Sama sekali? Iya. Sama sekali.Sebetulnya ini tidak terlalu larut malam. Lamun bukankah overthinking tidak mengenal waktu?Alan berbaring ke sana ke mari. Ia merasa tidak nyaman tidur di ranjang sendiri. Mengecek ponselnya berkali-kali. Berharap malam ini sama seperti malam yang lalu sebelum ia menyandang status menjadi seorang suami. Kinan mengiriminya pesan, inginnya.“Kinan baik-baik saja, kan?” Berulang kali ia ucapkan dalam hati. Mengapa terlihat sangat cemas? Bukankah ia berniat mendiamkan Kinan sejak awal menikah?Ia masih berusaha memejamkan mata tetapi bukannya semakin berlabuh di pulau m
Sepanjang hari Kinan merasa tak ada harapan. Semua keoptimisannya telah sirna.Setelah melihat-lihat furnitur, Kinan dan Alan duduk berdua di sebuah restoran Thailand. Di hadapan mereka sudah tertata panci rebus berisi kuah tomyam dan pemanggang. Serta beberapa sayuran dan daging-dagingan yang telah dibumbui.Aroma kuah itu semerbak. Meski begitu, Kinan seolah tak bernafsu untuk memakannya segera. Reaksinya sangat berbeda saat berada di rumah mertuanya kala itu. Ia sangat semangat untuk mengambil makan.“Bentar lagi mereka datang,” kata Alan. Namun tak mendapat respon dari Kinan.Diam seribu bahasa. Itu yang dilakukan Kinan setelah sampai di restoran ini.“Kamu kenapa diam aja?”Alan berusaha menghidupkan suasana yang memang sudah tampak mati ini semenjak mereka menikah.