Keduanya kini berada di taman.
"Kau dari dulu tak pernah berubah," ujar Lynn.
"Banyak yang berubah. Namun, tidak dengan tempat ini."
Lynn menoleh menatap Steve. Pikirnya, yang dimaksud Steve adalah kisah dua tahun lalu.Steve tersenyum menoleh mendapati wajah diam Lynn.
"Salah satunya kau. Kemarin aku hanya sahabatmu yang bodoh dan hari ini aku pacarmu." Steve terkekeh kecil.
"Ya, aku juga tak pernah menyangka hal ini akan terjadi, padaku."
Steve bangkit berdiri dari bangku taman. Lynn mendongak.
"Kau haus?" tanya Steve.
Lynn mengangguk samar. Steve berbalik menuju kedai minuman yang tak jauh dari mobilnya terparkir. Lynn menoleh menatap punggung Steve yang menjauh.
Lynn merogoh cincin dari dalam tas sampirnya. Ia mengangkat agak tinggi cincin tersebut hingga berkemilau diterpa sinar matahari.
"Apa dia pria yang masih sama dengan pria dua tahun lalu?" ujar Lynn, ia menggerak-gerakkan cincin tersebut.
"
"Ingat, jangan coba-coba menjauh dariku. Kau tahu, beberapa pria belang mencoba menerkammu," bisik Steve."Dengan senang hati, Tuan Robinson."Steve tertawa kecil mendengar Lynn menyebutnya tuan. Tangan Steve terangkat. Namun, keburu Lynn menurunkannya."Jangan coba-coba mengacak rambutku. Kau tak tahu berapa lama aku menatanya."Kini keduanya sampai di pintu aula, dua penjaga meminta bukti undangan. Steve mengeluarkan dua undangan atas nama dirinya dan Lynn dari balik sakunya."Selamat datang Nona Meinen dan Tuan Robinson." Penjaga menyodorkan dua topeng untuk Lynn dan Steve, penjaga satunya membuka pintu aula.Aula gedung berubah layaknya istana dengan segala kemewahan di setiap mata memandang.Keduanya mengedarkan pandangan, rupanya sudah begitu ramai. Lynn menarik Steve mendekati seorang wanita yang nampak familiar.Lynn menyentuh pundak wanita itu lantas ia menoleh."Yes?""Leiss?" Leiss membuka topengn
Steve datang di rumah Lynn begitu awal. Katanya ingin sarapan lama-lama berdua. Kalimat sederhana itu sudah membuat pipi Lynn memanas di pagi buta.Ada yang salah dengan dirinya, dia mudah sekali terbawa perasaan oleh Steve bahkan hanya kalimat sepele pun."Terimakasih," ujar Steve lalu menggigit rotinya.Pergerakan tangan Lynn yang sedang mengoles roti terhenti, dia menatap Steve, "Ada apa?""Untuk kirimannya," jawab Steve."Kiriman?" Lynn kembali mengernyit tak menangkap maksud Steve."Kau lupa?""Aku tak mengirim apapun padamu, Steve.""Kalau bukan kau, lalu siapa yang mengirimiku dua buku?" tanya Steve.Lynn mengedikkan bahu seraya menggigit rotinya."Salah kirim, mungkin," ujar Lynn.Steve mengedikkan bahu tak tahu."Waktunya berangkat," ujar Lynn membuyar lamunan pagi Steve. Ia meraih luaran kemejanya yang tersampir di kursi sebelahnya lalu memasangnya.Sesampainya di kantor, Steve kemba
Lynn membereskan mejanya cepat menyadari Steve sudah bersandar menunggunya di ambang pintu ruangannya. Setelahnya, dia berjalan bersejajaran dengan Steve keluar."Tiba-tiba saja aku teringat bubur kacang hijau Mbok Ibin," ujar Lynn setelah selesai memasang sabuk pengamannya."Mau kesana?" tanya Steve.Lynn mengangguk antusias, senyumnya melebar.Sesampainya di tempat tujuan, Lynn memberanikan diri menggenggam tangan Steve terlebih dahulu. Steve terkekeh kecil lalu mengambil alih tangan Lynn, menenggelamkan tangan kecil Lynn dalam genggamannya. Keduanya sontak tertawa dan menyusuri jalan setapak sepanjang lima meter menuju warung Mbok Ibin.Suasana warung Mbok Ibin cukup senyap di penghujung sore itu. Sesekali, Steve melirik Lynn menyantap lahap bubur kacang hijaunya.Sebelum mereka pulang, Mbok Ibin memberikan dua bungkus bubur."Ini untuk Neng Lynn dan si ganteng, ye. Jangan lupa dihangatkan lagi, ya." Mbok Ibin memang sedari dulu ke
Steve menoleh cepat, tapi tak ada siapapun disana, kecuali dahan pohon yang bergerak-gerak. Awalnya Steve ingin mengabaikannya, pikirnya barangkali tetangga. Namun, tak urung kakinya mengendap-endap menuju pohon tersebut. Hingga dia melihat siluet."Heyy!!" teriak Steve mendapati seseorang memanjat dinding pembatas. Steve berlari cepat hendak menarik kakinya. Namun, keburu orang tersebut berhasil melompat.Steve hanya mengingat jelas sepatu yang dipakai orang berbalut setelan hitam itu, sepatu converse hitam putih.Mungkingkah itu maling? Pikir Steve.Steve berbalik mengamati sekeliling rumahnya, tak ada tanda-tanda yang tertinggal. Steve berlalu masuk ke rumahnya.Steve langsung menuju komputernya, mengecek kamera pengawas. Tidak ada orang yang memasuki rumahnya sepanjang sore tadi. Bahkan rekaman sejam lalu, tak ada yang berlintas di depan rumah.Namun, satu rekaman—walau tidak terarah jelas ke are pohon. Steve melihat bayangan m
Lynn membaringkan tubuhnya, mengenyahkan pria asing tadi, menggantinya dengan wajah Steve. Senyumnya tiba-tiba melengkung, wajahnya kembali terasa panas. Lynn menangkup wajahnya, dinginnya tangannya setelah menyentuh es melelehkan panas di pipinya. Lynn menggigit bibir bawahnya. Bayangan Steve kini memenuhi ruang kepalanya. Akhir-akhir ini, Lynn terlalu sering jatuh terbuai dalam pesona pria itu. Ah, sial! Membayangkan Steve saja bisa membuatku gila! Batin Lynn. Kedua kakinya menendang-nendang ke udara. Hingga tanpa sadar, bayangan-bayangan Steve dalam kepalanya mengantarnya ke alam mimpi. "Pagi!" Steve muncul dengan senyum berbinar—terlalu berbinar malah—di pagi buta ini. Awal pagi Lynn menjadi begitu sempurna, dia lantas mempersilakan Steve masuk. Kini keduanya duduk berhadapan di meja makan. Lynn mengoles roti tawar dengan selai cokelat tebal, lalu menyerahkannya pada Steve. Dengan senang hati Steve menerima r
"Kau masih mencintaiku, kan?"Steve berbalik, tersenyum menatap wajah sendu Lynn."Aku mencintaimu!" ujar Steve.Di kamar, Steve membolak-balik lembar buku bacaannya tanpa minat membacanya. Pikirannya kini berada jauh dari tempatnya. Seseorang bersetelan hitam, Steve bertemu dengannya di tempat yang sama. Namun, tak mungkin secara kebetulan berada pada empat tempat yang sama dengan tempat yang Steve dan Lynn kunjungi hari itu.Bahkan di tempat yang jauh dari keramaian, terdengar mustahil jika bukan dia seorang penguntit, menguntit Steve dan Lynn.Steve mengecap bibirnya, menutup kasar buku bacaannya lalu berpindah ke ranjangnya. Kedua tangannya berada di belakang kepalanya, kakinya saling menyilang, tatapanna menatap hampa langit-langit kamarnya hingga dia jatuh tertidur.Steve terbangun lebih awal—mendahului alarmnya— bahkan fajar saja masih belum menampakkan diri. Steve beralih duduk di kursi, meraih buku kiriman dari si
"Bagaimana dengan kita saat ini?"Steve meneguk ludahnya susah payah, "Apa maksudmu, Lynn?" Dia mengacak rambut Lynn. Namun, pergelangan tangannya langsung dicekal."Kau tahu maksudku, Steve!!" Mata Lynn bergerak-gerak dan pelan-pelan berkaca-kaca."A-aku taku–"Steve menarik Lynn dalam dekapannya, mengelus-elus punggung Lynn. Dia kini merasakan apa yang dirasakan Lynn saat ini."Tak ada yang perlu ditakuti. Aku milikmu!" Steve mengecup pucuk kepala Lynn. Untuk saat ini mungkin kalimat itu masih tepat. Namun, bagaimana dengan esok? Tak akan ada yang menjamin esok kelak masih baik-baik saja seperti hari ini.Namun, pernyataan itu tak cukup bagi Lynn. Dia takut jika dia akan kembali di kondisi mengenaskannya.Bagaimana jika hanya dia yang merasa memiliki Steve, tapi Steve tak merasa memiliki Lynn.Lynn menenggelamkan wajahnya di dada Steve, mencari ketenangan. Dia tak boleh berpikir demikian.*Lynn mele
"Aku ingin kau berkata jujur padaku."Steve memperbaiki posisi duduknya menghadap Lynn. Menopang sisi wajahnya dengan siku menumpu di sofa.Lynn menarik napas. "Kau masih mencintai Rose?"Senyum binar Steve kini memudar kala mendengar pertanyaan yang tak disangka-sangkanya keluar dari bibir Lynn. Pria itu mengalihkan pandangannya dari Lynn, menatap mangkuk kosong yang tergeletak di meja."Jawab aku, Steve!" Lynn menyentuh lengan pria itu.Steve menghela napas sambil berkata, "Aku tidak tahu, Lynn. Aku belum bisa mengatakan apapun tentang itu. Maaf." Dia memandang lurus manik Lynn.Lynn berdehem, menetralkan degup jantungnya yang memacu. "Jika ... Rose masih berharap padamu? Apa kau juga masih mengharapkannya?""Kenapa kau bertanya tentang ini?" Steve memaksakan tawa kecil dari bibirnya. Dia tahu dan keduanya tahu, kalau topik ini sensitif bagi keduanya.Lynn meremas ujung bajunya, dia menunduk. "Aku ingin tahu isi hatimu saat ini.