Lynn membereskan mejanya cepat menyadari Steve sudah bersandar menunggunya di ambang pintu ruangannya. Setelahnya, dia berjalan bersejajaran dengan Steve keluar.
"Tiba-tiba saja aku teringat bubur kacang hijau Mbok Ibin," ujar Lynn setelah selesai memasang sabuk pengamannya.
"Mau kesana?" tanya Steve.
Lynn mengangguk antusias, senyumnya melebar.
Sesampainya di tempat tujuan, Lynn memberanikan diri menggenggam tangan Steve terlebih dahulu. Steve terkekeh kecil lalu mengambil alih tangan Lynn, menenggelamkan tangan kecil Lynn dalam genggamannya. Keduanya sontak tertawa dan menyusuri jalan setapak sepanjang lima meter menuju warung Mbok Ibin.
Suasana warung Mbok Ibin cukup senyap di penghujung sore itu. Sesekali, Steve melirik Lynn menyantap lahap bubur kacang hijaunya.
Sebelum mereka pulang, Mbok Ibin memberikan dua bungkus bubur.
"Ini untuk Neng Lynn dan si ganteng, ye. Jangan lupa dihangatkan lagi, ya." Mbok Ibin memang sedari dulu ke
Steve menoleh cepat, tapi tak ada siapapun disana, kecuali dahan pohon yang bergerak-gerak. Awalnya Steve ingin mengabaikannya, pikirnya barangkali tetangga. Namun, tak urung kakinya mengendap-endap menuju pohon tersebut. Hingga dia melihat siluet."Heyy!!" teriak Steve mendapati seseorang memanjat dinding pembatas. Steve berlari cepat hendak menarik kakinya. Namun, keburu orang tersebut berhasil melompat.Steve hanya mengingat jelas sepatu yang dipakai orang berbalut setelan hitam itu, sepatu converse hitam putih.Mungkingkah itu maling? Pikir Steve.Steve berbalik mengamati sekeliling rumahnya, tak ada tanda-tanda yang tertinggal. Steve berlalu masuk ke rumahnya.Steve langsung menuju komputernya, mengecek kamera pengawas. Tidak ada orang yang memasuki rumahnya sepanjang sore tadi. Bahkan rekaman sejam lalu, tak ada yang berlintas di depan rumah.Namun, satu rekaman—walau tidak terarah jelas ke are pohon. Steve melihat bayangan m
Lynn membaringkan tubuhnya, mengenyahkan pria asing tadi, menggantinya dengan wajah Steve. Senyumnya tiba-tiba melengkung, wajahnya kembali terasa panas. Lynn menangkup wajahnya, dinginnya tangannya setelah menyentuh es melelehkan panas di pipinya. Lynn menggigit bibir bawahnya. Bayangan Steve kini memenuhi ruang kepalanya. Akhir-akhir ini, Lynn terlalu sering jatuh terbuai dalam pesona pria itu. Ah, sial! Membayangkan Steve saja bisa membuatku gila! Batin Lynn. Kedua kakinya menendang-nendang ke udara. Hingga tanpa sadar, bayangan-bayangan Steve dalam kepalanya mengantarnya ke alam mimpi. "Pagi!" Steve muncul dengan senyum berbinar—terlalu berbinar malah—di pagi buta ini. Awal pagi Lynn menjadi begitu sempurna, dia lantas mempersilakan Steve masuk. Kini keduanya duduk berhadapan di meja makan. Lynn mengoles roti tawar dengan selai cokelat tebal, lalu menyerahkannya pada Steve. Dengan senang hati Steve menerima r
"Kau masih mencintaiku, kan?"Steve berbalik, tersenyum menatap wajah sendu Lynn."Aku mencintaimu!" ujar Steve.Di kamar, Steve membolak-balik lembar buku bacaannya tanpa minat membacanya. Pikirannya kini berada jauh dari tempatnya. Seseorang bersetelan hitam, Steve bertemu dengannya di tempat yang sama. Namun, tak mungkin secara kebetulan berada pada empat tempat yang sama dengan tempat yang Steve dan Lynn kunjungi hari itu.Bahkan di tempat yang jauh dari keramaian, terdengar mustahil jika bukan dia seorang penguntit, menguntit Steve dan Lynn.Steve mengecap bibirnya, menutup kasar buku bacaannya lalu berpindah ke ranjangnya. Kedua tangannya berada di belakang kepalanya, kakinya saling menyilang, tatapanna menatap hampa langit-langit kamarnya hingga dia jatuh tertidur.Steve terbangun lebih awal—mendahului alarmnya— bahkan fajar saja masih belum menampakkan diri. Steve beralih duduk di kursi, meraih buku kiriman dari si
"Bagaimana dengan kita saat ini?"Steve meneguk ludahnya susah payah, "Apa maksudmu, Lynn?" Dia mengacak rambut Lynn. Namun, pergelangan tangannya langsung dicekal."Kau tahu maksudku, Steve!!" Mata Lynn bergerak-gerak dan pelan-pelan berkaca-kaca."A-aku taku–"Steve menarik Lynn dalam dekapannya, mengelus-elus punggung Lynn. Dia kini merasakan apa yang dirasakan Lynn saat ini."Tak ada yang perlu ditakuti. Aku milikmu!" Steve mengecup pucuk kepala Lynn. Untuk saat ini mungkin kalimat itu masih tepat. Namun, bagaimana dengan esok? Tak akan ada yang menjamin esok kelak masih baik-baik saja seperti hari ini.Namun, pernyataan itu tak cukup bagi Lynn. Dia takut jika dia akan kembali di kondisi mengenaskannya.Bagaimana jika hanya dia yang merasa memiliki Steve, tapi Steve tak merasa memiliki Lynn.Lynn menenggelamkan wajahnya di dada Steve, mencari ketenangan. Dia tak boleh berpikir demikian.*Lynn mele
"Aku ingin kau berkata jujur padaku."Steve memperbaiki posisi duduknya menghadap Lynn. Menopang sisi wajahnya dengan siku menumpu di sofa.Lynn menarik napas. "Kau masih mencintai Rose?"Senyum binar Steve kini memudar kala mendengar pertanyaan yang tak disangka-sangkanya keluar dari bibir Lynn. Pria itu mengalihkan pandangannya dari Lynn, menatap mangkuk kosong yang tergeletak di meja."Jawab aku, Steve!" Lynn menyentuh lengan pria itu.Steve menghela napas sambil berkata, "Aku tidak tahu, Lynn. Aku belum bisa mengatakan apapun tentang itu. Maaf." Dia memandang lurus manik Lynn.Lynn berdehem, menetralkan degup jantungnya yang memacu. "Jika ... Rose masih berharap padamu? Apa kau juga masih mengharapkannya?""Kenapa kau bertanya tentang ini?" Steve memaksakan tawa kecil dari bibirnya. Dia tahu dan keduanya tahu, kalau topik ini sensitif bagi keduanya.Lynn meremas ujung bajunya, dia menunduk. "Aku ingin tahu isi hatimu saat ini.
"Terasa lebih baik, makasih." Lynn menghempas punggungnya di sandaran kursi mobil. Matanya yang terpejam mengerjap menoleh menatap Steve."Apa yang kau tunggu? Ayo pulang."Steve menyunggingkan senyum. "Bagaimana caranya bisa pulang kalau kau tak memasang sabuk pengaman." Steve menjulurkan badan memasang sabuk pengaman LynnWanita itu menahan napas saat wajah Steve berlalu di depan wajahnya. Steve tersenyum tipis melihat wajah Lynn."Kebiasaan kamu, ya, curi-curi start!" Lynn memukul pelan lengan atas Steve."Kan kamu yang mulai dahulu, siapa suruh lupa masang seatbelt atau pura-pura lupa, ya.""Sialan, buruan pulang!" Kali ini Lynn memukul keras lengan Steve."Sepertinya aku benar-benar lelah."Steve mengelus pucuk kepala Lynn, "Ya sudah, malam ini istirahat saja."Mobil Steve melaju meninggalkan pelataran rumah Lynn.Wanita itu menghela napas lagi. Maaf, Steve, bohong lagi. Batinnya.Saat jam sudah menunjukka
Sepulangnya dari kantor, Steve tak langsung pulang. Entah mengapa dia merindukan kedai roti di seberang jalan. Di sinilah Steve berdiri di antara kerumunan orang yang menunggu lampu lalu lintas berpindah warna.Steve mengedarkan pandangannya, netranya tak sengaja menangkap seseorang di seberang jalan. Seseorang yang akhir-akhir ini menghantuinya.Bahkan dalam kerumunan pinggir jalan, Steve tahu jika wanita itu juga memandangnya. Titik temu mata mereka beradu. Ada desiran yang menggelora dalam dada Steve.Dia Rose. Helai rambut pirangnya melambai-lambai seiring semilir angin. Tatapannya sendu menatap Steve yang membatu di seberang jalan.Lampu lalu lintas berganti, kendaraan berhenti berjejer menyaksikan kerumanan itu berbaur di badan jalan. Steve terbatu, matanya masih menatap wanita itu. Entah mengapa, susah bagi Steve untuk memutuskan kontak mata.Steve menghela napas, lalu mengambil langkah pertamanya. Dulu, dia sering menonton drama seperti ini
Lynn memandang Steve, sesekali tersenyum kecil hingga Steve mengakhiri petikannya, keduanya kembali beradu dalam satu garis pandangan. Tangan Steve terangkat menyelipkan anak rambut Lynn ke belakang telinganya."Ada yang mengganggu pikiranmu?" Lynn memerhatikan Steve bukan karena tampang wajahnya. Namun,melihat guratan pilu yang tertahan disana. Dia jelas melihat, wajah murung nan redup milik Steve.Steve menyungging senyum, dia mengelengkan kepala. "Bukan apa-apa."Lynn tersenyum samar. Dia tahu apa yang ada di pikiran Steve. Namun, barangkai lelaki itu tak ingin berbagi karena tentunya kembali mengungkit luka lama dan menciptakan luka baru. Lynn pun beralih meraih tangan kekar Steve."Sungguh?" Lynn harusnya tak bertanya karena ucapan Steve selanjutnya menghunjam dadanya, sakit rasanya.Steve mengalihkan pandangannya, dia menatap nanar gitar yang berdiri di sampingnya. "Rose menemuiku tadi," ujarnya lirih.Sudut bibir Lynn terangkat sebela