Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, pendar cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal.Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka. Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur.“Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi. Karirnya menanjak pes
“Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim di sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu berk
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting taman di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit tertutup kelamnya awan gelap. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku makan itu?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-w
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara.Rinjani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Kenapa di sini bising sekali? Apa kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita tidak tersesat. Ini kota yang besar–lebih banyak orang daripada di desa kita. Tapi Aruna tak perlu khawatir asal selalu dekat Mama, oke? Yuk!”Aruna mengangguk perlahan, genggamanny
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Kini, jejak kebakaran itu telah sepenuhnya lenyap dan berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi.Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggunan
Sebuah aula berkilauan seperti permata malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, menyatu mudah dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang mengisi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora yang bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Pikiran Raynar kembali pada malam di klub Royal Ravelle - wanita yang diingatnya bukanlah sosok yang dipoles d
Lima belas menit mobil mereka menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Ketiganya terdiam mengamati areal luas tenang dan asri yang membentang di hadapan mereka. Bulir-bulir embun yang bertengger di ujung rerumputan serta aroma tanah lembab menyambut mereka ketika pintu mobil terbuka.Raynar keluar lebih dulu, melangkah hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora menjejakkan kaki dengan langkah keraguan sambil menggendong bayinya. Wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan
Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut kombinasi warna pastel hangat di ruang tamu kediaman Wiyasa Nawasena memancarkan kesan keanggunan yang mewah. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk bayi lelakinya.Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar. Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne berbahan wol lembut dan rok selutut warna khaki menyampaikan kesan bersahaja. Sementara kalung dan sepasang anting mutiara melekatkan kesan anggun. Zora bergerak dengan hati-hati, cerminan talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah dilatih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan santai, kemeja biru langit sederhana dengan lengan tergulung.“Selamat pagi.” Raynar me