Share

TUJUH

Author: Kurisinasan
last update Last Updated: 2025-05-19 12:20:35

Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.

Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Kini, jejak kebakaran itu telah sepenuhnya lenyap dan berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi.

Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.

Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggunan. Sejenak kemudian, ponsel yang tersimpan dalam saku apron-nya berdering. Dengan cekatan ponsel itu ia keluarkan untuk melihat identitas si penelpon.

“Selamat siang, Pak Yudi,” sapanya kepada penelepon itu dengan tenang dan tegas. “Iya pak, sesuai jadwal, kami akan siap kirim pesanannya dua hari lagi.” Rinjani berhenti untuk menyimak sambil menggaruk kulit kepalanya yang gatal dengan ujung atas spidol.

“Tak perlu khawatir, pak. Kami pastikan kualitasnya sama baik seperti sebelum-sebelumnya. Saya sendiri yang akan mengantarnya.” Rinjani terdiam lagi saat pak Yudi ganti berbicara.

“Ha-ha-ha, tidak, Pak, sama sekali tidak merepotkan, kebetulan saya ada keperluan lain.” Jeda.

“Baik, selamat siang dan terima kasih.” Rinjani mengakhiri panggilan itu dan beralih ke salah satu wanita muda yang sedang menjahit logo perusahaan pada seragam pesanan.

“Mira, tolong pastikan setiap jahitannya rapi dan kencang ya? Cepat kirim kembali ke bagian produksi kalau ada yang cacat. Mereka pelanggan setia, loyalitas adalah segalanya.” Mira tersenyum lebar dan mengangguk mantap, dengan jempol teracung. “Siap, kak Rin. Tim saya pasti periksa lagi tiap bagiannya dengan teliti.”

Dengan perasaan puas, Rinjani memandang ke sekeliling ruangan. Suara dari orang-orang yang bekerja di tempat itu adalah irama yang menenangkan, sebuah pengingat seberapa jauh ia telah berjuang.

Usaha yang telah dibangunnya dari tabungan pribadi dan tekad kuat ini tidak hanya menjadi sumber penghasilan bagi Rinjani dan penduduk desa, tapi juga kesempatan bagi kaum muda Desa Umbul Bentala untuk berkarya dan bekerja. Rumah Bibi Sari yang dulunya rata dengan tanah, kini berdiri sebagai simbol perjuangan dan harapan.

“Kak Rinjani,” seorang pemuda memanggil, berjalan ke arahnya sambil membawa papan kerani. “Pesanan ke kota Kridakarta sudah siap.” Rinjani mengambil papan kerani itu, memindai daftar pengiriman, lalu membubuhkan tanda tangan. “Bagus. Surat jalan sudah disiapkan juga? Oh ya, tolong diperiksa ulang ya sebelum dimuat ke truk.”

“Baik, Kak. Semua dokumen juga sudah lengkap,” sahut pemuda itu dengan tegas. Ketika pemuda itu berjalan kembali menuju gudang, Bibi Sari muncul di ambang pintu dengan senyumnya yang hangat. Ekspresi Bibi Sari melembut. Ia meletakkan tangannya di pundak Rinjani. “Mamamu pasti bangga sekali, Rin. Kamu sungguh luar biasa.”

Sejenak Rinjani terdiam meresapi ucapan Bibi Sari. Perasaanya terasa tergores mendengar nama ibunya disebut. Ia lalu tersenyum, menjawat tangan pengasuhnya itu. Rinjani menatap kedua mata sayu Bibi Sari, bersyukur atas berkat terselubung berwujud wanita tua mantan pengasuhnya itu.

“Terima kasih, Bi. Aku lakukan yang terbaik demi kita bersama.” Ia menunduk, berusaha menyembunyikan bulir airmata yang menetes. Tapi getaran kecil dari pundak dan kepalanya mengkhianati niatnya itu.

Seakan paham akan perasaan Rinjani, Bibi sari menangkup lembut wajah Rinjani dan mengangkatnya perlahan. Ibu jarinya mengusap jejak airmata di pipi Rinjani.

“Kamu sudah seperti anakku sendiri, Rin. Ingat itu selalu ya?!” Keduanya saling menatap dan berbalas senyum.

“Aku ingin segelas teh hangat, Bi,” ujar Rinjani, membuyarkan kecanggungan situasi itu. “Yuk!” jawab Bibi Sari lugas.

***

Plakat logam besar bertuliskan ‘Selamat Datang di Kota Arghianusa’ terpampang di atas jalan raya. Sebuah van putih melaju di bawahnya, mobil sederhana yang membawa seorang ibu dan anak perempuannya ke sebuah tujuan. Di dalam mobil, Rinjani Wardhani mencengkeram setir, matanya fokus pada jalan di depannya. Di sampingnya, Aruna, putrinya yang berusia empat tahun, duduk dengan sebuah buku cerita bergambar yang terbuka di pangkuannya.

“Ma, lihat itu!” Aruna berseru sambil menunjuk ke luar jendela. “Ada truk besar. Warnanya kuning, seperti di buku ceritaku!” Rinjani tersenyum, melirik sekilas ke arah truk besar yang menderu melewati mereka. “Ah, kamu benar, sayang. Itu warna kuning cerah kesukaanmu.”

Aruna terkikik, kepangan rambutnya bergoyang-goyang saat ia kembali ke bukunya. “Dan kau tahu, Ma? Kalau aku sudah besar nanti, aku akan mengecat rumahku dengan warna kuning. Semuanya!”

“Ha-ha-ha! Semuanya kuning?” Rinjani menggoda sambil mengangkat alis. “Atap dan jendelanya juga?” Aruna mengangguk dengan tegas. “Iya! Semuanya kuning! Mama dan Bibi Sari bisa tinggal bersamaku di rumah kuningku.”

“Kedengarannya seperti rumah yang sangat terang,” kata Rinjani sambil tertawa pelan. “Tapi aku akan senang tinggal di sana, asal Aruna mengijinkan mama mendesain gordennya, bagaimana?”

“Oke, Ma!” Aruna setuju, senyumnya mengembang. “Tapi harus berwarna kuning juga ya?!”

Keduanya berbagi tawa. Rinjani bahagia melihat antusiasme putrinya. Untuk sesaat, ia teringat akan rumah orang tuanya di Muliakarta. Kenangan indah jauh sebelum hari ini. Ia bermimpi, atau lebih tepatnya bertekad, untuk bisa kembali ke rumah itu dan mengembalikan semua seperti sedia kala.

Tak lama kemudian, mobil van berbelok ke kawasan industri Aghianusa, dan tak lama kemudian Rinjani telah tiba di depan sebuah pabrik, dengan eksterior sederhana namun ramai dengan aktivitas.

“Aruna tunggu sebentar di mobil, ya?” pinta Rinjani sambil melepaskan sabuk pengamannya. Ia lalu membungkuk untuk --mengecup kening putrinya. “Mama akan segera kembali.”

“Oke, Mama!” Aruna menjawab, kembali asyik dengan buku ceritanya. Rinjani melangkah keluar, gerakannya terarah sambil mengambil beberapa seragam yang dibungkus plastik bening. Ia membawanya masuk ke dalam pabrik. Pak Yudi, sang manager yang sudah menunggu, menyambut Rinjani dengan senyuman lebar.

“Selalu tepat waktu, seperti biasa.”

Mereka berjabat tangan. Rinjani menyerahkan baju seragam yang dibawanya.

“Sisanya ada di bagian belakang mobil saya, pak.”

Pak Yudi tidak menjawab. Ia memeriksa bagian-bagian seragam itu lalu melakukan panggilan telepon untuk meminta seseorang mengambil pesanan seragam yang ada di mobil Rinjani.

“Setelah batch ini, kami akan memesan seragam lagi, Bu. Pabrik baru kami yang selesai dua bulan lagi akan perlu sekitar seribu seragam baru, untuk karyawan pabrik dan kantor.” Lelaki setengah baya itu lalu berdiri dan menawarkan jabatan tangan sembari tersenyum.

“Saya akan segera hubungi Bu Rinjani untuk membahas desain dan detailnya.”

“Baik, terima kasih, Pak. Saya akan tunggu kabar dari Bapak.”

Rinjani menyambut jabat tangan perpisahan itu dengan hangat. Ia pun kembali ke mobil. Saat duduk di kursi pengemudi, Aruna mendongak dengan penuh semangat. “Apa mereka suka dengan bajunya, Mama?”

“Ya, sayang,” jawab Rinjani, nadanya penuh dengan kebanggaan. “Tentu mereka suka.”

Aruna berseri-seri, kegembiraannya yang polos menarik hati Rinjani. Radio di mobil bersenandung pelan saat mereka melaju kembali ke arah desa, melintasi perbukitan dan rumah-rumah kayu.

“Ma,” Aruna bersuara lagi, matanya berbinar. “Apa mereka perlu baju warna kuning juga? Aku bisa bantu buatkan!” Rinjani tertawa kecil, melirik ke arah putrinya. “Mungkin suatu hari nanti, sayang. Sekarang, kamu terus latihan dengan krayon, oke?”

Aruna mengangguk pasti lalu mengulurkan jari kelingkingnya yang mungil. Rinjani tertawa, menautkan kelingkingnya dengan kelingking Aruna. “Oke.”

***

Cahaya lampu temaram yang menerangi pelataran rumah selaras dengan aroma samar bunga-bunga Gardenia dari kebun yang dibawa semilir angin malam. Sementara itu, Aruna duduk bersila di lantai, bermain dengan balok-balok kayu kecil, dan Bibi Sari duduk di kursi kayu di samping Rinjani sambil menikmati teh hangat.

“Sulit dipercaya betapa banyak yang berubah hanya dalam beberapa tahun.” Nada Bibi Sari terdengar bangga sekaligus sedih. Rinjani mengangguk, menatap kebun yang membentang di depan pekarangan rumah mereka.

“Memang tidak mudah, Bi. Tapi semuanya tidak sia-sia.” Mereka duduk dalam keheningan sejenak sebelum Bibi Sari berbicara lagi.

“Lantas sekarang? Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Rin?”

Rinjani mengaduk-aduk teh di cangkirnya. “Aku sudah memikirkannya, Bi. Sudah saatnya aku kembali ke Muliakarta.”

Bibi Sari terperangah. “Secepat ini? Kamu yakin?” Rinjani menatapnya dengan ekspresi tegas.

 “Sudah bertahun-tahun aku mempersiapkannya. Sekarang bisnis ini bisa berjalan sendiri, hanya perlu pengawasan saja. Mira dan yang lain terbukti bisa menanganinya dengan baik.”

Ia berhenti sejenak untuk menyesap teh hangat. “Aruna... Aku ingin dia mendapat pendidikan terbaik. Sekolah di ibukota akan memberinya lebih banyak kesempatan.”

Bibi Sari mengangguk pelan, wajahnya serius. “Dan kamu? Bagaimana dengan semua kenangan buruk itu? Jangan salah paham, Rin, kamu sudah mengalami banyak kemalangan. Bibi tak ingin kamu mengalami lebih dari itu. Bibi hanya khawatir–”

Rahang Rinjani mengeras. “Aku kembali untuk mengambil apa yang menjadi hakku: anakku dan keluarga Wardhani. Untuk Aruna, untuk diriku sendiri.”

Rinjani meletakkan cangkir tehnya lalu meraih tangan Bibi Sari. “Tapi aku takkan bisa melakukannya sendirian, Bi. Ikutlah denganku. Aku perlu dukungan Bibi, bahkan mungkin lebih besar dari sebelumnya.”

Mata Bibi Sari berkaca-kaca menahan haru. “Oh, Rin, kamu masih muda, sedangkan Bibi–,” Ia tak menuntaskan kalimatnya, menunggu tanggapan.

Melihat Rinjani tak bergeming, ia mengerti keseriusan ajakannya. “Baiklah, bibi akan ikut denganmu. Lagipula, harus ada yang menemani Aruna.”

Rinjani menghembuskan napas, beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia menatap Aruna yang tertidur lelap di antara mainan balok-baloknya. Pemandangan itu membuat Rinjani semakin mantap.

“Terima kasih, Bi,” katanya lirih. “Kalau begitu, kita persiapkan semuanya dan berangkat minggu depan.” Anggukan Bibi Sari mengakhiri perbincangan malam itu.

Cahaya lampu di atas mereka berkelip-kelip oleh serangga-serangga kecil yang terbang di sekelilingnya. Ketiga wanita yang berbeda generasi itu lalu masuk ke dalam rumah, ikatan mereka tak terucapkan namun sungguh tak terbantahkan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH DELAPAN

    Lantai 32 Menara Wiyasa Nawasena Group nampak lengang. Raynar berdiri menghadap jendela kaca yang memperlihatkan panorama ibukota Muliakarta di siang hari. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di bawah terik matahari. Ia baru saja menyelesaikan panggilan konferensi dengan para calon investor baru dari luar negeri ketika pintu ruangannya diketuk."Masuk," perintahnya tanpa menoleh.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekatinya. "Maaf mengganggu, Pak." Asisten pribadinya berdiri dengan raut wajah tegang. "Ada telepon penting dari rumah."Raynar berbalik, alisnya terangkat."Kepala rumah tangga baru saja mengabarkan." Asistennya menelan ludah. "Tuan muda tidak ada di rumah. Mereka sudah mencari ke seluruh penjuru rumah sejak satu jam yang lalu."Raynar membeku. "Apa? Zethra?""Terakhir kali tuan muda ada di kamarnya sepulang sekolah. Saat makan siang diantar ke kamarnya, ia tidak ada."Raynar merasakan aliran dingin menjalar di sepanjang tulang belakangnya. Ia meraih ponselnya dari at

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TUJUH

    Hari senin siang itu membawa kehangatan lembab khas musim penghujan di Muliakarta. Rinjani Wardhani baru saja tiba di Sweet Spot Coffee yang menawarkan kesejukan dari teriknya matahari. Ia mengenakan rok pensil warna arang yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem–sederhana namun tetap elegan.Rambut hitamnya disanggul rendah ke belakang, memperlihatkan sepasang anting-anting mutiara kecil yang menangkap cahaya saat ia bergerak. Ia memilih meja sudut dengan tempat duduk yang nyaman untuk enam orang, menata buku sketsa dan tabletnya sebelum memesan segelas iced café latte.Sejenak ia tersenyum mengenang “perbaikan” yang dilakukan Aruna sambil menata kertas-kertas itu dengan rapi di atas meja. Untung saja semua desain cadangan dalam buku sketsa itu bisa dipulihkan secara sempurna.Gusti dan Rhea menerobos pintu masuk berikutnya. Rhea langsung menuju meja dimana Rinjani duduk, sementara Gusti berbelok ke meja pemesanan.“Kau baru saja datang, Rin? Mana Lila? Kupikir dia sudah di sin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH ENAM

    Di luar, tetes-tetes pertama hujan mulai turun, mengetuk jendela seakan menghitung mundur pelaksanaan rencana besar di pikiran Raynar. Setiap langkahnya harus dilakukan dengan tepat. Setelah selesai, ia menutup laptopnya lalu beranjak menuju meja kecil dengan membawa gelas kosongnya. Ia telah mendapatkan pelajaran penting dari kasus ini--pola pikir dan sikap seorang pemimpin besar.Raynar menuang whiskey setinggi dua jari dan menenggaknya habis dalam sekali minum, seakan hendak merayakan kepercayaan dirinya dalam membuktikan bahwa ia layak menyandang nama besar Wiyasa Nawasena. Liquid amber membakar tenggorokannya, meninggalkan sensasi jejak hangat yang menyebar hingga ke dada.Malam harinya, rembulan tinggi menggantung di atas Taman Kota Muliakarta. Angin mendesau di antara pepohonan, membawa suara keramaian lalu lintas Minggu malam di kejauhan. Aroma tanah basah dari hujan sore bercampur dengan wangi bunga melati yang mekar di sepanjang pagar taman. Tempat yang ramai dikunjungi kelu

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH LIMA

    Dua hari kemudian, Sweet Spot Café kembali menjadi tempat pertemuan Lila dan Raynar sore itu. Suara percakapan para pengunjung lain dan desis mesin espresso yang sesekali terdengar menciptakan latar belakang yang nyaman untuk pertemuan mereka.Raynar tiba tepat pukul enam. Ia mengenakan jaket hitam panjang yang menyembunyikan kemeja biru tua dibaliknya. Beberapa pengunjung melirik, mengenali CEO muda Wiyasa Nawasena Group, sebelum dengan sopan kembali ke percakapan mereka.Raynar melihat Lila di meja pojok. Rambut hitamnya dikuncir ke belakang, sedang membuat sketsa di atas tablet dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam iced matcha latte yang baru saja ia seruput.“Multitasking yang sulit berubah,” kata Raynar sambil mendekat, senyum kecil tersungging di bibirnya.Lila mendongak. Dengan gerak cepat ia meletakkan pena tabletnya. Rona merah merona di pipinya, kontras dengan penampilannya yang tenang.“Kebiasaan lama.” Lila tersenyum kikuk sambil menunjuk kursi di seberan

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH EMPAT

    Lila dan Rinjani saling bertukar tatapan penuh harap.“Tidak semua, tapi setidaknya–” Rhea berhenti, meringis pada sebuah halaman yang berkilauan. “Tekanan dari krayon merusak beberapa detail, dan lem glitter ini–”“Tapi ini sesuatu,” kata Lila, merasakan secercah harapan.Gusti kembali ke meja, menyeimbangkan piring yang dibawanya.“Aku putuskan untuk makan sehat,” katanya sambil kembali duduk. “Jadi kupilih telur dadar gosong yang tebal dengan topping putih telur kocok.” Ia menunjuk pada brownies besar yang diberi topping es krim vanila.Rinjani sontak terkekeh. Suaranya kecil tapi bisa mencairkan ketegangan yang membelit dadanya. Lila menggelengkan kepala, sebuah senyum enggan terbersit di bibirnya. Bahkan ekspresi serius Rhea pun sedikit retak.“Cuma kamu, Gus,” sahut Lila, ”yang bisa bercanda di saat seperti ini.”“Hey, apa jadin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TIGA

    Rinjani memasukkan kunci ke dalam pintu apartemennya dengan tenang. Beban hari ini menekan pundaknya, tapi satu harapan masih tersisa. Ia mendorong pintu dan melangkah masuk.Aroma tipis melati dari pengharum ruangan kesukaan Bibi Sari menyambut kedatangannya. Apartemen itu sunyi, kecuali dengungan lembut pendingin ruangan dan suara anak-anak bermain di taman bermain terbuka.Rinjani melepas sepatu hak tingginya dan langsung menuju kamar tidurnya. Kakinya melangkah tak bersuara di lantai kayu. Pintunya terbuka sebagian, dan ia mendorongnya lebih lebar, langsung menuju laci bawah meja rias tempat ia menaruh buku sketsa itu.Ia berlutut, membuka laci itu. Kosong.“Tidak,” bisiknya, jari-jarinya panik mencari-cari isi laci. “Tidak, tidak.”Ia kembali duduk di atas tumitnya, menoleh ke kanan-kiri. Apakah ia telah memindahkannya? Apa sebenarnya ia tak menyimpan buku itu di laci?Rinjani memejamkan matanya. Lalu, ia berdiri, bergerak menuju lemari, lalu ke rak di atas meja, mencari setiap t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status