Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.
Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Kini, jejak kebakaran itu telah sepenuhnya lenyap dan berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi.
Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.
Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggunan. Sejenak kemudian, ponsel yang tersimpan dalam saku apron-nya berdering. Dengan cekatan ponsel itu ia keluarkan untuk melihat identitas si penelpon.
“Selamat siang, Pak Yudi,” sapanya kepada penelepon itu dengan tenang dan tegas. “Iya pak, sesuai jadwal, kami akan siap kirim pesanannya dua hari lagi.” Rinjani berhenti untuk menyimak sambil menggaruk kulit kepalanya yang gatal dengan ujung atas spidol.
“Tak perlu khawatir, pak. Kami pastikan kualitasnya sama baik seperti sebelum-sebelumnya. Saya sendiri yang akan mengantarnya.” Rinjani terdiam lagi saat pak Yudi ganti berbicara.
“Ha-ha-ha, tidak, Pak, sama sekali tidak merepotkan, kebetulan saya ada keperluan lain.” Jeda.
“Baik, selamat siang dan terima kasih.” Rinjani mengakhiri panggilan itu dan beralih ke salah satu wanita muda yang sedang menjahit logo perusahaan pada seragam pesanan.
“Mira, tolong pastikan setiap jahitannya rapi dan kencang ya? Cepat kirim kembali ke bagian produksi kalau ada yang cacat. Mereka pelanggan setia, loyalitas adalah segalanya.” Mira tersenyum lebar dan mengangguk mantap, dengan jempol teracung. “Siap, kak Rin. Tim saya pasti periksa lagi tiap bagiannya dengan teliti.”
Dengan perasaan puas, Rinjani memandang ke sekeliling ruangan. Suara dari orang-orang yang bekerja di tempat itu adalah irama yang menenangkan, sebuah pengingat seberapa jauh ia telah berjuang.
Usaha yang telah dibangunnya dari tabungan pribadi dan tekad kuat ini tidak hanya menjadi sumber penghasilan bagi Rinjani dan penduduk desa, tapi juga kesempatan bagi kaum muda Desa Umbul Bentala untuk berkarya dan bekerja. Rumah Bibi Sari yang dulunya rata dengan tanah, kini berdiri sebagai simbol perjuangan dan harapan.
“Kak Rinjani,” seorang pemuda memanggil, berjalan ke arahnya sambil membawa papan kerani. “Pesanan ke kota Kridakarta sudah siap.” Rinjani mengambil papan kerani itu, memindai daftar pengiriman, lalu membubuhkan tanda tangan. “Bagus. Surat jalan sudah disiapkan juga? Oh ya, tolong diperiksa ulang ya sebelum dimuat ke truk.”
“Baik, Kak. Semua dokumen juga sudah lengkap,” sahut pemuda itu dengan tegas. Ketika pemuda itu berjalan kembali menuju gudang, Bibi Sari muncul di ambang pintu dengan senyumnya yang hangat. Ekspresi Bibi Sari melembut. Ia meletakkan tangannya di pundak Rinjani. “Mamamu pasti bangga sekali, Rin. Kamu sungguh luar biasa.”
Sejenak Rinjani terdiam meresapi ucapan Bibi Sari. Perasaanya terasa tergores mendengar nama ibunya disebut. Ia lalu tersenyum, menjawat tangan pengasuhnya itu. Rinjani menatap kedua mata sayu Bibi Sari, bersyukur atas berkat terselubung berwujud wanita tua mantan pengasuhnya itu.
“Terima kasih, Bi. Aku lakukan yang terbaik demi kita bersama.” Ia menunduk, berusaha menyembunyikan bulir airmata yang menetes. Tapi getaran kecil dari pundak dan kepalanya mengkhianati niatnya itu.
Seakan paham akan perasaan Rinjani, Bibi sari menangkup lembut wajah Rinjani dan mengangkatnya perlahan. Ibu jarinya mengusap jejak airmata di pipi Rinjani.
“Kamu sudah seperti anakku sendiri, Rin. Ingat itu selalu ya?!” Keduanya saling menatap dan berbalas senyum.
“Aku ingin segelas teh hangat, Bi,” ujar Rinjani, membuyarkan kecanggungan situasi itu. “Yuk!” jawab Bibi Sari lugas.
***
Plakat logam besar bertuliskan ‘Selamat Datang di Kota Arghianusa’ terpampang di atas jalan raya. Sebuah van putih melaju di bawahnya, mobil sederhana yang membawa seorang ibu dan anak perempuannya ke sebuah tujuan. Di dalam mobil, Rinjani Wardhani mencengkeram setir, matanya fokus pada jalan di depannya. Di sampingnya, Aruna, putrinya yang berusia empat tahun, duduk dengan sebuah buku cerita bergambar yang terbuka di pangkuannya.
“Ma, lihat itu!” Aruna berseru sambil menunjuk ke luar jendela. “Ada truk besar. Warnanya kuning, seperti di buku ceritaku!” Rinjani tersenyum, melirik sekilas ke arah truk besar yang menderu melewati mereka. “Ah, kamu benar, sayang. Itu warna kuning cerah kesukaanmu.”
Aruna terkikik, kepangan rambutnya bergoyang-goyang saat ia kembali ke bukunya. “Dan kau tahu, Ma? Kalau aku sudah besar nanti, aku akan mengecat rumahku dengan warna kuning. Semuanya!”
“Ha-ha-ha! Semuanya kuning?” Rinjani menggoda sambil mengangkat alis. “Atap dan jendelanya juga?” Aruna mengangguk dengan tegas. “Iya! Semuanya kuning! Mama dan Bibi Sari bisa tinggal bersamaku di rumah kuningku.”
“Kedengarannya seperti rumah yang sangat terang,” kata Rinjani sambil tertawa pelan. “Tapi aku akan senang tinggal di sana, asal Aruna mengijinkan mama mendesain gordennya, bagaimana?”
“Oke, Ma!” Aruna setuju, senyumnya mengembang. “Tapi harus berwarna kuning juga ya?!”
Keduanya berbagi tawa. Rinjani bahagia melihat antusiasme putrinya. Untuk sesaat, ia teringat akan rumah orang tuanya di Muliakarta. Kenangan indah jauh sebelum hari ini. Ia bermimpi, atau lebih tepatnya bertekad, untuk bisa kembali ke rumah itu dan mengembalikan semua seperti sedia kala.
Tak lama kemudian, mobil van berbelok ke kawasan industri Aghianusa, dan tak lama kemudian Rinjani telah tiba di depan sebuah pabrik, dengan eksterior sederhana namun ramai dengan aktivitas.
“Aruna tunggu sebentar di mobil, ya?” pinta Rinjani sambil melepaskan sabuk pengamannya. Ia lalu membungkuk untuk --mengecup kening putrinya. “Mama akan segera kembali.”
“Oke, Mama!” Aruna menjawab, kembali asyik dengan buku ceritanya. Rinjani melangkah keluar, gerakannya terarah sambil mengambil beberapa seragam yang dibungkus plastik bening. Ia membawanya masuk ke dalam pabrik. Pak Yudi, sang manager yang sudah menunggu, menyambut Rinjani dengan senyuman lebar.
“Selalu tepat waktu, seperti biasa.”
Mereka berjabat tangan. Rinjani menyerahkan baju seragam yang dibawanya.
“Sisanya ada di bagian belakang mobil saya, pak.”
Pak Yudi tidak menjawab. Ia memeriksa bagian-bagian seragam itu lalu melakukan panggilan telepon untuk meminta seseorang mengambil pesanan seragam yang ada di mobil Rinjani.
“Setelah batch ini, kami akan memesan seragam lagi, Bu. Pabrik baru kami yang selesai dua bulan lagi akan perlu sekitar seribu seragam baru, untuk karyawan pabrik dan kantor.” Lelaki setengah baya itu lalu berdiri dan menawarkan jabatan tangan sembari tersenyum.
“Saya akan segera hubungi Bu Rinjani untuk membahas desain dan detailnya.”
“Baik, terima kasih, Pak. Saya akan tunggu kabar dari Bapak.”
Rinjani menyambut jabat tangan perpisahan itu dengan hangat. Ia pun kembali ke mobil. Saat duduk di kursi pengemudi, Aruna mendongak dengan penuh semangat. “Apa mereka suka dengan bajunya, Mama?”
“Ya, sayang,” jawab Rinjani, nadanya penuh dengan kebanggaan. “Tentu mereka suka.”
Aruna berseri-seri, kegembiraannya yang polos menarik hati Rinjani. Radio di mobil bersenandung pelan saat mereka melaju kembali ke arah desa, melintasi perbukitan dan rumah-rumah kayu.
“Ma,” Aruna bersuara lagi, matanya berbinar. “Apa mereka perlu baju warna kuning juga? Aku bisa bantu buatkan!” Rinjani tertawa kecil, melirik ke arah putrinya. “Mungkin suatu hari nanti, sayang. Sekarang, kamu terus latihan dengan krayon, oke?”
Aruna mengangguk pasti lalu mengulurkan jari kelingkingnya yang mungil. Rinjani tertawa, menautkan kelingkingnya dengan kelingking Aruna. “Oke.”
***
Cahaya lampu temaram yang menerangi pelataran rumah selaras dengan aroma samar bunga-bunga Gardenia dari kebun yang dibawa semilir angin malam. Sementara itu, Aruna duduk bersila di lantai, bermain dengan balok-balok kayu kecil, dan Bibi Sari duduk di kursi kayu di samping Rinjani sambil menikmati teh hangat.
“Sulit dipercaya betapa banyak yang berubah hanya dalam beberapa tahun.” Nada Bibi Sari terdengar bangga sekaligus sedih. Rinjani mengangguk, menatap kebun yang membentang di depan pekarangan rumah mereka.
“Memang tidak mudah, Bi. Tapi semuanya tidak sia-sia.” Mereka duduk dalam keheningan sejenak sebelum Bibi Sari berbicara lagi.
“Lantas sekarang? Apa yang akan kamu lakukan selanjutnya, Rin?”
Rinjani mengaduk-aduk teh di cangkirnya. “Aku sudah memikirkannya, Bi. Sudah saatnya aku kembali ke Muliakarta.”
Bibi Sari terperangah. “Secepat ini? Kamu yakin?” Rinjani menatapnya dengan ekspresi tegas.
“Sudah bertahun-tahun aku mempersiapkannya. Sekarang bisnis ini bisa berjalan sendiri, hanya perlu pengawasan saja. Mira dan yang lain terbukti bisa menanganinya dengan baik.”
Ia berhenti sejenak untuk menyesap teh hangat. “Aruna... Aku ingin dia mendapat pendidikan terbaik. Sekolah di ibukota akan memberinya lebih banyak kesempatan.”
Bibi Sari mengangguk pelan, wajahnya serius. “Dan kamu? Bagaimana dengan semua kenangan buruk itu? Jangan salah paham, Rin, kamu sudah mengalami banyak kemalangan. Bibi tak ingin kamu mengalami lebih dari itu. Bibi hanya khawatir–”
Rahang Rinjani mengeras. “Aku kembali untuk mengambil apa yang menjadi hakku: anakku dan keluarga Wardhani. Untuk Aruna, untuk diriku sendiri.”
Rinjani meletakkan cangkir tehnya lalu meraih tangan Bibi Sari. “Tapi aku takkan bisa melakukannya sendirian, Bi. Ikutlah denganku. Aku perlu dukungan Bibi, bahkan mungkin lebih besar dari sebelumnya.”
Mata Bibi Sari berkaca-kaca menahan haru. “Oh, Rin, kamu masih muda, sedangkan Bibi–,” Ia tak menuntaskan kalimatnya, menunggu tanggapan.
Melihat Rinjani tak bergeming, ia mengerti keseriusan ajakannya. “Baiklah, bibi akan ikut denganmu. Lagipula, harus ada yang menemani Aruna.”
Rinjani menghembuskan napas, beban di pundaknya sedikit berkurang. Ia menatap Aruna yang tertidur lelap di antara mainan balok-baloknya. Pemandangan itu membuat Rinjani semakin mantap.
“Terima kasih, Bi,” katanya lirih. “Kalau begitu, kita persiapkan semuanya dan berangkat minggu depan.” Anggukan Bibi Sari mengakhiri perbincangan malam itu.
Cahaya lampu di atas mereka berkelip-kelip oleh serangga-serangga kecil yang terbang di sekelilingnya. Ketiga wanita yang berbeda generasi itu lalu masuk ke dalam rumah, ikatan mereka tak terucapkan namun sungguh tak terbantahkan.
Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, pendar cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal.Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka. Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur.“Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi. Karirnya menanjak pes
“Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim di sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu berk
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting taman di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit tertutup kelamnya awan gelap. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku makan itu?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-w
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara.Rinjani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Kenapa di sini bising sekali? Apa kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita tidak tersesat. Ini kota yang besar–lebih banyak orang daripada di desa kita. Tapi Aruna tak perlu khawatir asal selalu dekat Mama, oke? Yuk!”Aruna mengangguk perlahan, genggamanny
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Kini, jejak kebakaran itu telah sepenuhnya lenyap dan berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi.Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggunan
Sebuah aula berkilauan seperti permata malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, menyatu mudah dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang mengisi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora yang bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Pikiran Raynar kembali pada malam di klub Royal Ravelle - wanita yang diingatnya bukanlah sosok yang dipoles d
Lima belas menit mobil mereka menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Ketiganya terdiam mengamati areal luas tenang dan asri yang membentang di hadapan mereka. Bulir-bulir embun yang bertengger di ujung rerumputan serta aroma tanah lembab menyambut mereka ketika pintu mobil terbuka.Raynar keluar lebih dulu, melangkah hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora menjejakkan kaki dengan langkah keraguan sambil menggendong bayinya. Wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan
Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut kombinasi warna pastel hangat di ruang tamu kediaman Wiyasa Nawasena memancarkan kesan keanggunan yang mewah. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk bayi lelakinya.Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar. Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne berbahan wol lembut dan rok selutut warna khaki menyampaikan kesan bersahaja. Sementara kalung dan sepasang anting mutiara melekatkan kesan anggun. Zora bergerak dengan hati-hati, cerminan talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah dilatih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan santai, kemeja biru langit sederhana dengan lengan tergulung.“Selamat pagi.” Raynar me