Share

DUA BELAS

Author: Kurisinasan
last update Last Updated: 2025-05-21 01:04:06

Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, pendar cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap pada bangunan tujuh lantai itu.

Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal.

Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka. Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur.

“Rin, bagaimana kabar Lila?”

“Dia masih seceria dulu, Bi. Karirnya menanjak pes
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH DELAPAN

    Lantai 32 Menara Wiyasa Nawasena Group nampak lengang. Raynar berdiri menghadap jendela kaca yang memperlihatkan panorama ibukota Muliakarta di siang hari. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di bawah terik matahari. Ia baru saja menyelesaikan panggilan konferensi dengan para calon investor baru dari luar negeri ketika pintu ruangannya diketuk."Masuk," perintahnya tanpa menoleh.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekatinya. "Maaf mengganggu, Pak." Asisten pribadinya berdiri dengan raut wajah tegang. "Ada telepon penting dari rumah."Raynar berbalik, alisnya terangkat."Kepala rumah tangga baru saja mengabarkan." Asistennya menelan ludah. "Tuan muda tidak ada di rumah. Mereka sudah mencari ke seluruh penjuru rumah sejak satu jam yang lalu."Raynar membeku. "Apa? Zethra?""Terakhir kali tuan muda ada di kamarnya sepulang sekolah. Saat makan siang diantar ke kamarnya, ia tidak ada."Raynar merasakan aliran dingin menjalar di sepanjang tulang belakangnya. Ia meraih ponselnya dari at

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TUJUH

    Hari senin siang itu membawa kehangatan lembab khas musim penghujan di Muliakarta. Rinjani Wardhani baru saja tiba di Sweet Spot Coffee yang menawarkan kesejukan dari teriknya matahari. Ia mengenakan rok pensil warna arang yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem–sederhana namun tetap elegan.Rambut hitamnya disanggul rendah ke belakang, memperlihatkan sepasang anting-anting mutiara kecil yang menangkap cahaya saat ia bergerak. Ia memilih meja sudut dengan tempat duduk yang nyaman untuk enam orang, menata buku sketsa dan tabletnya sebelum memesan segelas iced café latte.Sejenak ia tersenyum mengenang “perbaikan” yang dilakukan Aruna sambil menata kertas-kertas itu dengan rapi di atas meja. Untung saja semua desain cadangan dalam buku sketsa itu bisa dipulihkan secara sempurna.Gusti dan Rhea menerobos pintu masuk berikutnya. Rhea langsung menuju meja dimana Rinjani duduk, sementara Gusti berbelok ke meja pemesanan.“Kau baru saja datang, Rin? Mana Lila? Kupikir dia sudah di sin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH ENAM

    Di luar, tetes-tetes pertama hujan mulai turun, mengetuk jendela seakan menghitung mundur pelaksanaan rencana besar di pikiran Raynar. Setiap langkahnya harus dilakukan dengan tepat. Setelah selesai, ia menutup laptopnya lalu beranjak menuju meja kecil dengan membawa gelas kosongnya. Ia telah mendapatkan pelajaran penting dari kasus ini--pola pikir dan sikap seorang pemimpin besar.Raynar menuang whiskey setinggi dua jari dan menenggaknya habis dalam sekali minum, seakan hendak merayakan kepercayaan dirinya dalam membuktikan bahwa ia layak menyandang nama besar Wiyasa Nawasena. Liquid amber membakar tenggorokannya, meninggalkan sensasi jejak hangat yang menyebar hingga ke dada.Malam harinya, rembulan tinggi menggantung di atas Taman Kota Muliakarta. Angin mendesau di antara pepohonan, membawa suara keramaian lalu lintas Minggu malam di kejauhan. Aroma tanah basah dari hujan sore bercampur dengan wangi bunga melati yang mekar di sepanjang pagar taman. Tempat yang ramai dikunjungi kelu

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH LIMA

    Dua hari kemudian, Sweet Spot Café kembali menjadi tempat pertemuan Lila dan Raynar sore itu. Suara percakapan para pengunjung lain dan desis mesin espresso yang sesekali terdengar menciptakan latar belakang yang nyaman untuk pertemuan mereka.Raynar tiba tepat pukul enam. Ia mengenakan jaket hitam panjang yang menyembunyikan kemeja biru tua dibaliknya. Beberapa pengunjung melirik, mengenali CEO muda Wiyasa Nawasena Group, sebelum dengan sopan kembali ke percakapan mereka.Raynar melihat Lila di meja pojok. Rambut hitamnya dikuncir ke belakang, sedang membuat sketsa di atas tablet dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam iced matcha latte yang baru saja ia seruput.“Multitasking yang sulit berubah,” kata Raynar sambil mendekat, senyum kecil tersungging di bibirnya.Lila mendongak. Dengan gerak cepat ia meletakkan pena tabletnya. Rona merah merona di pipinya, kontras dengan penampilannya yang tenang.“Kebiasaan lama.” Lila tersenyum kikuk sambil menunjuk kursi di seberan

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH EMPAT

    Lila dan Rinjani saling bertukar tatapan penuh harap.“Tidak semua, tapi setidaknya–” Rhea berhenti, meringis pada sebuah halaman yang berkilauan. “Tekanan dari krayon merusak beberapa detail, dan lem glitter ini–”“Tapi ini sesuatu,” kata Lila, merasakan secercah harapan.Gusti kembali ke meja, menyeimbangkan piring yang dibawanya.“Aku putuskan untuk makan sehat,” katanya sambil kembali duduk. “Jadi kupilih telur dadar gosong yang tebal dengan topping putih telur kocok.” Ia menunjuk pada brownies besar yang diberi topping es krim vanila.Rinjani sontak terkekeh. Suaranya kecil tapi bisa mencairkan ketegangan yang membelit dadanya. Lila menggelengkan kepala, sebuah senyum enggan terbersit di bibirnya. Bahkan ekspresi serius Rhea pun sedikit retak.“Cuma kamu, Gus,” sahut Lila, ”yang bisa bercanda di saat seperti ini.”“Hey, apa jadin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TIGA

    Rinjani memasukkan kunci ke dalam pintu apartemennya dengan tenang. Beban hari ini menekan pundaknya, tapi satu harapan masih tersisa. Ia mendorong pintu dan melangkah masuk.Aroma tipis melati dari pengharum ruangan kesukaan Bibi Sari menyambut kedatangannya. Apartemen itu sunyi, kecuali dengungan lembut pendingin ruangan dan suara anak-anak bermain di taman bermain terbuka.Rinjani melepas sepatu hak tingginya dan langsung menuju kamar tidurnya. Kakinya melangkah tak bersuara di lantai kayu. Pintunya terbuka sebagian, dan ia mendorongnya lebih lebar, langsung menuju laci bawah meja rias tempat ia menaruh buku sketsa itu.Ia berlutut, membuka laci itu. Kosong.“Tidak,” bisiknya, jari-jarinya panik mencari-cari isi laci. “Tidak, tidak.”Ia kembali duduk di atas tumitnya, menoleh ke kanan-kiri. Apakah ia telah memindahkannya? Apa sebenarnya ia tak menyimpan buku itu di laci?Rinjani memejamkan matanya. Lalu, ia berdiri, bergerak menuju lemari, lalu ke rak di atas meja, mencari setiap t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status