Share

EMPAT BELAS

Penulis: Kurisinasan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-24 12:50:58

Hujan baru saja reda, meninggalkan jalanan kota dengan bau tanah basah dan kilauan dari pantulan cahaya matahari yang temaram. Citra Lukita menarik mantelnya lebih erat di pundaknya saat ia memasuki sebuah toko swalayan. Ia ke sana bukan untuk berbelanja.

Aturan untuk sebuah pertemuan dengan seseorang telah disepakatinya melalui telepon – Citra akan mengenakan setelan hitam dengan syal warna putih dan ia harus membeli sebungkus rokok ‘Black Dom’ dan pemantik berwarna merah.

Matanya mengamati lorong-lorong di swalayan itu sebelum menuju kasir untuk membeli rokok dan pemantik yang disepakati. Seorang wanita muda dengan jaket coklat panjang dan sepatu boot kulit yang berdiri di deretan minuman kemasan dekat kasir kemudian menghampiri Citra setelah ia selesai membayar.

“Temui aku di kafe sebelah dua menit lagi.” Tanpa menoleh, wanita itu berjalan menuju kasir, membayar sebotol air putih lalu pergi. Citra mengikutinya keluar lalu berdiri

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci

Bab terbaru

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH EMPAT

    Lila dan Rinjani saling bertukar tatapan penuh harap.“Tidak semua, tapi setidaknya–” Rhea berhenti, meringis pada sebuah halaman yang berkilauan. “Tekanan dari krayon merusak beberapa detail, dan lem glitter ini–”“Tapi ini sesuatu,” kata Lila, merasakan secercah harapan.Gusti kembali ke meja, menyeimbangkan piring yang dibawanya.“Aku putuskan untuk makan sehat,” katanya sambil kembali duduk. “Jadi kupilih telur dadar gosong yang tebal dengan topping putih telur kocok.” Ia menunjuk pada brownies besar yang diberi topping es krim vanila.Rinjani sontak terkekeh. Suaranya kecil tapi bisa mencairkan ketegangan yang membelit dadanya. Lila menggelengkan kepala, sebuah senyum enggan terbersit di bibirnya. Bahkan ekspresi serius Rhea pun sedikit retak.“Cuma kamu, Gus,” sahut Lila, ”yang bisa bercanda di saat seperti ini.”“Hey, apa jadin

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH TIGA

    Rinjani memasukkan kunci ke dalam pintu apartemennya dengan tenang. Beban hari ini menekan pundaknya, tapi satu harapan masih tersisa. Ia mendorong pintu dan melangkah masuk.Aroma tipis melati dari pengharum ruangan kesukaan Bibi Sari menyambut kedatangannya. Apartemen itu sunyi, kecuali dengungan lembut pendingin ruangan dan suara anak-anak bermain di taman bermain terbuka.Rinjani melepas sepatu hak tingginya dan langsung menuju kamar tidurnya. Kakinya melangkah tak bersuara di lantai kayu. Pintunya terbuka sebagian, dan ia mendorongnya lebih lebar, langsung menuju laci bawah meja rias tempat ia menaruh buku sketsa itu.Ia berlutut, membuka laci itu. Kosong.“Tidak,” bisiknya, jari-jarinya panik mencari-cari isi laci. “Tidak, tidak.”Ia kembali duduk di atas tumitnya, menoleh ke kanan-kiri. Apakah ia telah memindahkannya? Apa sebenarnya ia tak menyimpan buku itu di laci?Rinjani memejamkan matanya. Lalu, ia berdiri, bergerak menuju lemari, lalu ke rak di atas meja, mencari setiap t

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH DUA

    Sementara itu, di kantor WN Group, Lila berdiri menghadap jendela, punggungnya tegak dan tegang. Di belakangnya, Rhea dan Gusti saling bertukar pandang dengan gelisah.Baru saja Rawindra memberi tahu mereka bahwa rekaman CCTV menunjukkan sesuatu yang aneh: seorang petugas kebersihan memasuki studio mereka. Dua puluh tujuh menit setelah mereka keluar dari sana, dua jam lebih awal dari jadwal pembersihan rutin."Sepertinya kita tahu bagaimana flash drive itu bisa ada di laptopmu," ujar Rhea, menyesap kopinya yang sudah dingin.Gusti menggigit bibir bawahnya. ""Tapi jika petugas kebersihan itu ditangkap, ia bisa menjadi saksi siapa--""Kupikir tidak," potong Lila, menatap tajam. "Wanita itu tidak bodoh untuk menyuap petugas kebersihan kantor.""Kenapa tidak?" Rhea bangkit dari duduknya.Lila memandang sekilas ke arah langit-langit, lalu ke sekeliling ruangan, seakan mencari sesuatu. Ia berjalan ke arah radio kecil di pojok ruangan, men

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH SATU

    Kembali ke studio Lila, Rawindra menyiapkan laptop yang bersih dan bekerja sama dengan Pak Dharma. Mereka mengisolasi sistem jaringan perusahaan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.Pak Dharma menggelengkan kepalanya dengan muram. “Ini sulit. Malware-nya merusak cadangan server. Pembuatnya tahu persis protokol pemulihan data server kita.”“Siapapun yang melakukan ini tahu persis apa yang mereka incar,” tambah Rawindra.Rhea mondar-mandir di studio, kemarahan memancar dari dirinya seperti panas. “Kita harus memanggil polisi. Ini jelas-jelas sabotase.”“Lalu bilang apa, Nek?” Gusti bertanya. “Bahwa kita curiga kolega sendiri tapi tidak punya bukti?”“Kita punya flashdisk-nya,” Lila menunjukkan. “Pak Dharma, bisa Anda lacak dari mana asalnya?”Pria setengah baya itu tampak ragu, menggaruk kepalanya yang botak sebagian. “Saya bisa mencoba, tapi ini jelas direncanakan dengan matang–”“CCTV. Saya akan telusuri sekarang. Permisi, Bu.“Lila sedikit terkejut dengan semangat Rawindra. Pak Dh

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TIGA PULUH

    Awan mendung yang bergelayut di cakrawala Muliakarta pagi ini nampak kontras dengan keceriaan seorang lelaki muda. Rawindra membetulkan kaca spion tengah mobilnya ketika berhenti di salah satu lampu merah perempatan besar, senyuman tipis tersungging di bibirnya.Di kursi penumpang terdapat sebuah portofolio kulit yang penuh dengan foto-foto permata - zamrud, safir, rubi - yang dikatalogkan dengan teliti. Setiap batu mewakili potensi untuk bisnis istrinya.“Delapan bulan menikah, dan sudah membangun sesuatu bersama,” gumamnya, membayangkan tanggapan antusias Lila Anindya terhadap sampelnya.Salah satu pemimpin tim rancangan busana ingin melihat kemungkinan untuk bekerjasama, berbicara tentang penyematan permata pada rancangannya, tentu saja itu membuat Rawindra dan istrinya gembira. Sebuah kolaborasi yang dapat menempatkan bisnis permata istrinya di peta strategis, dan yang lebih penting bagi Rawindra adalah kebanggan pribadi sebagai suami atas kontribusi terhadap istri yang ia sayangi

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA PULUH SEMBILAN

    Beberapa menit yang lalu, Vivian telah memindai kantor pusat WN Group seakan baru pertama kali melihatnya. Matanya berkelana pada staf kantor yang melakukan rutinitas mereka, petugas keamanan berjaga di pos-pos tertentu, termasuk posisi-posisi kamera CCTV di sepanjang rute perjalanannya masuk ke studio.Kini, Vivian bersandar di jendela besar ruang studionya. Hiruk pikuk jalanan ibukota Muliakarta bermandikan warna keemasan lembut matahari pagi, membentang dari bawah lantai dua belas kantor pusat WN Group. Ia merasa berbeda, bukan hanya karena udara terasa lebih segar atau karena kopinya terasa lebih aromatik. Mata Vivian menatap hari ini dengan harapan tinggi–rencana besar yang akan berjalan sesuai keinginannya.Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk cangkir saat ia mengamati gambar latar pada layar ponselnya–sebuah tulisan terpampang di sana: “If nothing goes right, goes left.”Vivian terdiam sejenak sebelum sesaat kemudian senyum tipisnya merekah.“Tak hanya ke kiri, aku akan pergi ke ma

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status