Sementara itu, di kantor WN Group, Lila berdiri menghadap jendela, punggungnya tegak dan tegang. Di belakangnya, Rhea dan Gusti saling bertukar pandang dengan gelisah.Baru saja Rawindra memberi tahu mereka bahwa rekaman CCTV menunjukkan sesuatu yang aneh: seorang petugas kebersihan memasuki studio mereka. Dua puluh tujuh menit setelah mereka keluar dari sana, dua jam lebih awal dari jadwal pembersihan rutin."Sepertinya kita tahu bagaimana flash drive itu bisa ada di laptopmu," ujar Rhea, menyesap kopinya yang sudah dingin.Gusti menggigit bibir bawahnya. ""Tapi jika petugas kebersihan itu ditangkap, ia bisa menjadi saksi siapa--""Kupikir tidak," potong Lila, menatap tajam. "Wanita itu tidak bodoh untuk menyuap petugas kebersihan kantor.""Kenapa tidak?" Rhea bangkit dari duduknya.Lila memandang sekilas ke arah langit-langit, lalu ke sekeliling ruangan, seakan mencari sesuatu. Ia berjalan ke arah radio kecil di pojok ruangan, men
Kembali ke studio Lila, Rawindra menyiapkan laptop yang bersih dan bekerja sama dengan Pak Dharma. Mereka mengisolasi sistem jaringan perusahaan untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.Pak Dharma menggelengkan kepalanya dengan muram. “Ini sulit. Malware-nya merusak cadangan server. Pembuatnya tahu persis protokol pemulihan data server kita.”“Siapapun yang melakukan ini tahu persis apa yang mereka incar,” tambah Rawindra.Rhea mondar-mandir di studio, kemarahan memancar dari dirinya seperti panas. “Kita harus memanggil polisi. Ini jelas-jelas sabotase.”“Lalu bilang apa, Nek?” Gusti bertanya. “Bahwa kita curiga kolega sendiri tapi tidak punya bukti?”“Kita punya flashdisk-nya,” Lila menunjukkan. “Pak Dharma, bisa Anda lacak dari mana asalnya?”Pria setengah baya itu tampak ragu, menggaruk kepalanya yang botak sebagian. “Saya bisa mencoba, tapi ini jelas direncanakan dengan matang–”“CCTV. Saya akan telusuri sekarang. Permisi, Bu.“Lila sedikit terkejut dengan semangat Rawindra. Pak Dh
Awan mendung yang bergelayut di cakrawala Muliakarta pagi ini nampak kontras dengan keceriaan seorang lelaki muda. Rawindra membetulkan kaca spion tengah mobilnya ketika berhenti di salah satu lampu merah perempatan besar, senyuman tipis tersungging di bibirnya.Di kursi penumpang terdapat sebuah portofolio kulit yang penuh dengan foto-foto permata - zamrud, safir, rubi - yang dikatalogkan dengan teliti. Setiap batu mewakili potensi untuk bisnis istrinya.“Delapan bulan menikah, dan sudah membangun sesuatu bersama,” gumamnya, membayangkan tanggapan antusias Lila Anindya terhadap sampelnya.Salah satu pemimpin tim rancangan busana ingin melihat kemungkinan untuk bekerjasama, berbicara tentang penyematan permata pada rancangannya, tentu saja itu membuat Rawindra dan istrinya gembira. Sebuah kolaborasi yang dapat menempatkan bisnis permata istrinya di peta strategis, dan yang lebih penting bagi Rawindra adalah kebanggan pribadi sebagai suami atas kontribusi terhadap istri yang ia sayangi
Beberapa menit yang lalu, Vivian telah memindai kantor pusat WN Group seakan baru pertama kali melihatnya. Matanya berkelana pada staf kantor yang melakukan rutinitas mereka, petugas keamanan berjaga di pos-pos tertentu, termasuk posisi-posisi kamera CCTV di sepanjang rute perjalanannya masuk ke studio.Kini, Vivian bersandar di jendela besar ruang studionya. Hiruk pikuk jalanan ibukota Muliakarta bermandikan warna keemasan lembut matahari pagi, membentang dari bawah lantai dua belas kantor pusat WN Group. Ia merasa berbeda, bukan hanya karena udara terasa lebih segar atau karena kopinya terasa lebih aromatik. Mata Vivian menatap hari ini dengan harapan tinggi–rencana besar yang akan berjalan sesuai keinginannya.Kuku telunjuknya mengetuk-ngetuk cangkir saat ia mengamati gambar latar pada layar ponselnya–sebuah tulisan terpampang di sana: “If nothing goes right, goes left.”Vivian terdiam sejenak sebelum sesaat kemudian senyum tipisnya merekah.“Tak hanya ke kiri, aku akan pergi ke ma
Malam di ibukota menyebarkan hawa sejuk seiring lalu lintas yang berangsur-angsur lengang. Lampu jalan menyinari trotoar dengan cahaya temaram kekuningan ketika Rinjani dan Lila melangkah meninggalkan Sweet Spot Café, melintasi minimarket di sudut jalan."Hei, kau ada waktu?" tanya Rinjani tiba-tiba, menoleh ke arah Lila di sampingnya.Lila mengangkat alis. "Tentu. Kenapa?""Aku ingat mau beli cokelat dan es krim buat Aruna. Seharusnya aku membelinya tadi, tapi telepon itu terlalu mendesak."Rinjani telah menggenggam keranjang belanja saat selesai bicara.Lila tersenyum. "Tak masalah. Aku juga akan melihat-lihat."Keduanya santai menyusuri lorong-lorong. Rinjani memilih beberapa batang cokelat dan satu kotak es krim, sementara Lila mengambil sebungkus permen penyegar mulut untuk dirinya sendiri."Aruna pasti akan senang." Lila berkomentar lirih dari belakang melihat semua yang Rinjani beli di meja kasir.Rinjani tergelak. "Siapa yang tidak?”“Betul juga.” Dan, keduanya terkekeh.Ketik
Cahaya pagi yang menembus panel kaca di studio desain lantai dua belas kantor pusat WN Group seakan membelah ruang itu dengan siluet-siluet. Ruangan itu nampak rapi, namun sejuknya pendingin ruangan tak bisa meredakan ketegangan mereka yang ada di dalamnya.Vivian duduk seperti ratu di atas singgasana, postur tubuhnya menampilkan ketenangan dominan. Tepi bibirnya mengerucut saat mengamati wajah ketiga rekannya. Ia baru saja mengumumkan bahwa mereka kehilangan dukungan dari Aditya, sang direktur pemasaran, dan membiarkan keheningan meregang sebelum akhirnya berbicara.“Beberapa orang memang pandai, tapi tidak sanggup dengan tekanan. Sangat ironis.” Napas Vivian berhembus lambat.Fayra, yang bertumpu di salah satu sandaran tangan kursi, meregangkan kaki lalu memiringkan kepalanya. Ia mencerna beratnya kata-kata itu.“Mungkin seharusnya begini.” Suaranya lirih, sambil memintal benang yang terlepas dari lengan bajunya. “Tekanan memisahkan orang-orang yang pantas berada di sini dari mereka