Share

TIGA

Aвтор: Kurisinasan
last update Последнее обновление: 2025-05-19 11:44:31

Suara jangkrik dan binatang kecil lain bermusik di kejauhan, menemani rembulan yang berjingkat di atas perbukitan. Rinjani berbaring dekat kedua bayi kembarnya, ia tersenyum tipis. Jemari bayi perempuannya bergerak-gerak, bermain dengan selimut, sementara bayi lelakinya tidur pulas, dadanya naik turun dengan irama yang teratur. Kedua bayi itu kini menjadi pondasi hidupnya dalam kehidupan sederhana di desa. Mimpi besar Rinjani sebagai perancang busana kelas dunia nyaris pupus oleh perasaan keibuan untuk merawat bayi-bayinya.

Tidak satu pun dari mereka yang mengira jika kedamaian malam itu akan berubah drastis. Zora mengamati rumah itu dari kejauhan, matanya tajam tertuju pada jendela yang diterangi cahaya remang-remang dari dalam. Ia menyesuaikan tudung mantelnya, melindungi wajahnya dari cahaya bulan. Dua pria berdiri di sampingnya. Mereka dipilih karena kepiawaian dan sikap mereka yang tak diragukan.

“Lakukan sekarang,” kata Zora dengan suara rendah dan mendesak. Mereka saling bertukar pandang tanpa suara, lalu mengangguk pada komandonya. Ketika keduanya mendekati rumah, Rinjani merasakan kegelisahan yang belum bisa ia sebutkan. Suara retakan kayu lapuk dari luar rumah mengejutkannya. Mata Rinjani melesat ke arah pintu yang ditendang terbuka dan merobek keheningan malam.

Jantung Rinjani berdegup kencang. Ia meraih dan menarik kedua bayinya mendekat. “Siapa kalian?” tanyanya, suaranya kuat dan tegas.

Para penyusup itu tetap diam. Salah satu dari mereka melangkah maju dan sosoknya menjulang di hadapan Rinjani. Pria itu mencengkeram keras pergelangan tangannya. Lalu pria yang lain menyusul maju untuk meraih salah satu bayi, yang sontak menangis nyaring, membuat Rinjani mengerahkan tenaga lebih besar untuk melepaskan diri dari pria yang mencengkeramnya.

“Jangan! Jangan ambil anakku!” jeritnya, meronta-ronta. Ia mencakar lengan pria itu, meninggalkan goresan merah. Tapi perlawanan itu tak sepadan dengan kekuatan brutal mereka.

Bibi Sari yang terbangun oleh keributan itu bergegas masuk ke dalam kamar. Tubuh tuanya berusaha menghalangi pintu.

“Lepaskan mereka!” Suaranya lantang namun gemetar. Salah satu pria mendorongnya ke samping, membuat Bibi Sari tersungkur ke lantai.

Ruangan itu dengan cepat dipenuhi dengan aroma asap yang samar dan tajam. Orang-orang itu telah membakar dapur, sebuah instruksi lain dari Zora untuk memastikan tidak ada saksi mata atas kejadian itu. Api berkobar-kobar, merambati dinding dan balok-balok kayu rumah.

“Anakku..!!” Rinjani menjerit, emosinya meluap ketika bayi lelakinya tak lagi terlihat. Sementara itu, bayi perempuannya menangis lantang di tempat tidur, suaranya berbaur dengan suara kobaran api dan hawa panas yang makin menyesakkan. Punggung Rinjani seakan ditekan panas dari api saat ia berusaha meraih anak perempuannya.

 Zora telah menghilang ke dalam malam bersama kedua pengikutnya. Bibi Sari bangkit berdiri, batuk-batuk karena asap. “Rin! Kita harus pergi sekarang!” desaknya sambil menarik lengan Rinjani.

Rinjani masih tak bergerak, lututnya terasa lemas. Ia roboh ke lantai sambil memeluk erat bayi perempuannya. Tubuhnya terpaku, lemah, dan kekalutan menguasai pikiran. Bibi Sari terus mengguncang tubuh Rinjani agar segera tersadar. Sementara itu api semakin menderu, melahap apa saja yang ada di rumah itu.

Penghuni desa yang terbangun bergegas menuju tempat kejadian dengan membawa ember berisi air dan kain. Sudah terlambat untuk menyelamatkan rumah dan bayi lelakinya.

Rinjani duduk bersimpuh di jalan setapak. Jelaga melumuri wajah. Api besar yang berkobar di hadapannya menyalakan api lain di balik matanya.

“Aku akan menemukanmu, Nak. Aku akan membawa kamu pulang.”

Dari samping, Bibi Sari memeluknya, menangis tersedu bersama bayi perempuan Rinjani yang didekapnya. Tak ada sepatah kata pun terlontar dari mulut mereka. Kepedihan Bibi Sari akan kemalangan besar ini hanya bisa membuatnya berseru lirih, “Ya Tuhan!”

***

Raynar Wiyasa Nawasena duduk di ruang kerjanya yang luas pada lantai teratas gedung WN Group. Cakrawala yang terbentang di belakangnya, melukis keindahan sore ibu kota. Sebagian besar pekerjaannya untuk hari itu sudah selesai, kecuali beberapa dokumen persetujuan yang menunggu ditandatangani.

Pandangannya tertuju pada pantulan di kaca-matanya yang lelah menatap balik ke arahnya. Meskipun penampilan luarnya tenang, pikirannya bergejolak di bawah permukaan, gelisah dan tidak terselesaikan.

Kenangan akan wanita yang bersamanya di klub Royal Ravelle tetap menjadi misteri dan masih merambati pikirannya. Pada saat-saat hening itu, ia mempertanyakan emosi yang terus melekat  dan belum mampu ia terjemahkan dari hubungan singkat di satu fragmen hidupnya malam itu.

Interkom di mejanya mengeluarkan sinyal beep, membuyarkan lamunan. Suara asistennya terdengar tenang dan profesional. “Pak Raynar, seorang wanita Bernama Zora Wardhani ingin bertemu dengan Anda. Ia bilang ini penting.” Alis Raynar berkerut. Nama belakang itu tidak asing baginya. Siapa pun di ibukota Muliakarta pasti mengetahui nama besar keluarga Wardhani, meskipun tak sebanding dengan kemasyhuran dinasti keluarga Wiyasa Nawasena. Tapi nama Zora sendiri tak ia kenali.

“Bawa dia masuk,” jawabnya singkat, menutupi rasa penasaran. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka, dan Zora masuk dikawal dua petugas keamanan pribadi Raynar. Zora bergerak anggun, menggendong bayi kecil yang terbungkus rapi di lengannya. Pandangan Raynar beralih ke bayi itu, sekelebat keterkejutan menembus sikap tenangnya.

“Inilah alasan aku kemari,” Zora memulai, suaranya lembut namun tegas. Ia melangkah mendekat, ekspresinya mencerminkan kerentanan sekaligus keteguhan hati. “Temui anakmu.” Raynar berdiri, tubuhnya yang tinggi membentuk bayangan panjang di atas meja.

Kata-kata Zora tadi berulang di telinganya, hampir tidak bisa ia pahami. Matanya yang tajam mempelajari wajahnya, mencari petunjuk adanya kepalsuan. Beragam emosi membuatnya sesak--kesangsian, kebingungan, dan harapan yang samar-samar dan terpendam.

“Anakku?” Suaranya yang bercampur dengan keraguan bergema di ruangan.

Zora mengangguk, ekspresinya goyah agar terlihat tulus. “Aku pikir bisa menyembunyikan hal ini dari darimu,” katanya, suaranya sedikit bergetar. “Kukira aku bisa menangani ini sendiri, tapi setelah lama kupertimbangkan, anak ini berhak untuk tahu siapa papanya.”

Zora mengatur selimutnya, memperlihatkan lebih banyak raut kepolosan bayi itu. Wajah bayi itu sangat menggemaskan, namun justru itu yang membuat napas Raynar seketika terasa sesak.

Ada peraasaan takut yang membuatnya gelisah. Namun Raynar Wiyasa Nawasena bukanlah orang yang bertindak semata karena dorongan hati.

 “Kamu berharap aku percaya?–” Ia bertanya dengan nada tenang. “Bahwa bayi ini adalah anakku?”

“Aku paham kalau kau ragu,” jawab Zora, sambil menundukkan pandangannya pada sang bayi. “Tapi aku takkan kemari menemuimu untuk berbohong, tidak untuk hal sepenting ini. Kalau kau perlu bukti, lakukanlah. Tes DNA takkan mengubah kenyataan bahwa ini anakmu.”

Bayi itu bergerak, mengeluarkan rengekan pelan. Tatapan Raynar lembut tertuju pada bayi itu. Untuk sesaat, ketenangan yang telah ia bangun dengan baik kini goyah. Kerentanan bayi itu, begitu kecil dan begitu menggemaskan, menyentuh hati Raynar. Rasa hati ia ingin meraih dan menggendongnya, tetapi entah bagaimana, ia merasa perlu menahannya.

Raynar menegakkan tubuh, mendapatkan lagi kendali atas emosinya. “Baiklah,” katanya, suaranya mantap. “Aku akan atur tesnya. Sampai saat itu, kuharap kita tak bertemu dulu.”

Bibir Zora melengkung membentuk senyuman tipis, meskipun genggamannya pada bayi itu mengencang tanpa terasa. “Tentu saja,” jawabnya. “Aku hanya menginginkan yang terbaik untuknya-dan untuk kita.” Saat ia berbalik untuk pergi, secercah kemenangan terpancar di matanya. Namun, jauh di lubuk hatinya, benih keraguan masih tersisa.

Zora telah memainkan perannya dengan baik, namun Raynar yang selalu waspada meyakinkan agar ia tidak lengah. Jalan untuk mengukuhkan posisi di keluarga Wiyasa Nawasena akan penuh tantangan, dan satu kesalahan langkah dapat mengacaukan segalanya.

Raynar bersandar di kursinya, tajam pandangannya menyipit saat mengamati Zora.

“Satu hal lagi–” katanya sambil mengatupkan kedua tangan.  “Malam itu di Royal Ravelle, masih ingat dengan gaun yang kamu kenakan?”

Zora diam sedetik, kemudian membalikkan badan. Senyum lembut nampak di wajahnya yang berseri, seakan menghidupkan kembali kenangan indah.

“Maksudmu gaun hijau zamrud itu?” tanyanya penuh percaya diri. “Itu rancanganku sendiri, tentu saja aku tetap menyimpannya dengan baik di lemari.” Ekspresi Raynar tidak goyah, meski sekelebat pengakuan muncul di matanya. “Dan anting-antingnya?”

Kali ini, Zora berhenti sejenak untuk membuatnya tampak sungguh-sungguh berusaha mengingat-ingat. Ia menatap bayi dalam gendongannya, lalu kembali ke Raynar. “Aku membuangnya,” jawabnya ringan. “Salah satu anting itu hilang, mungkin di kamar kecil malam itu. Apa gunanya menyimpan hanya sebelah.” Raynar mengangguk. Ia merasa jawaban Zora masuk akal dan bisa dipercaya. Namun, entah mengapa Raynar mengurungkan niat untuk mengungkap bahwa ia menyimpan satu bagian anting itu.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, Zora melangkah keluar dari kantor Raynar. Dalam keheningan setelah kepergian Zora dan pengawal pribadinya, Raynar kembali duduk. Kedua tangannya saling menggenggam erat. Matanya melayang ke cakrawala, ketegangan di pikirannya berpadu antara kegelisahan dan antisipasi dari beragam kemungkinan. Untuk pertama kalinya sejak ayahnya meninggal beberapa tahun yang lalu, Raynar merasakan ketidakpastian. Ia sadar momen ini akan mengubah hidupnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DUA BELAS

    Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, pendar cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal.Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka. Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur.“Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi. Karirnya menanjak pes

  • Love, Lies, and The Price of Desire   SEBELAS

    “Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim di sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu berk

  • Love, Lies, and The Price of Desire   SEPULUH

    Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting taman di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit tertutup kelamnya awan gelap. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge

  • Love, Lies, and The Price of Desire   SEMBILAN

    Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku makan itu?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-w

  • Love, Lies, and The Price of Desire   DELAPAN

    Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara.Rinjani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Kenapa di sini bising sekali? Apa kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita tidak tersesat. Ini kota yang besar–lebih banyak orang daripada di desa kita. Tapi Aruna tak perlu khawatir asal selalu dekat Mama, oke? Yuk!”Aruna mengangguk perlahan, genggamanny

  • Love, Lies, and The Price of Desire   TUJUH

    Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Kini, jejak kebakaran itu telah sepenuhnya lenyap dan berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi.Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggunan

  • Love, Lies, and The Price of Desire   ENAM

    Sebuah aula berkilauan seperti permata malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, menyatu mudah dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang mengisi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora yang bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Pikiran Raynar kembali pada malam di klub Royal Ravelle - wanita yang diingatnya bukanlah sosok yang dipoles d

  • Love, Lies, and The Price of Desire   LIMA

    Lima belas menit mobil mereka menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Ketiganya terdiam mengamati areal luas tenang dan asri yang membentang di hadapan mereka. Bulir-bulir embun yang bertengger di ujung rerumputan serta aroma tanah lembab menyambut mereka ketika pintu mobil terbuka.Raynar keluar lebih dulu, melangkah hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora menjejakkan kaki dengan langkah keraguan sambil menggendong bayinya. Wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan

  • Love, Lies, and The Price of Desire   EMPAT

    Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut kombinasi warna pastel hangat di ruang tamu kediaman Wiyasa Nawasena memancarkan kesan keanggunan yang mewah. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk bayi lelakinya.Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar. Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne berbahan wol lembut dan rok selutut warna khaki menyampaikan kesan bersahaja. Sementara kalung dan sepasang anting mutiara melekatkan kesan anggun. Zora bergerak dengan hati-hati, cerminan talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah dilatih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan santai, kemeja biru langit sederhana dengan lengan tergulung.“Selamat pagi.” Raynar me

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status