Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut kombinasi warna pastel hangat di ruang tamu kediaman Wiyasa Nawasena memancarkan kesan keanggunan yang mewah. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk bayi lelakinya.
Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar. Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne berbahan wol lembut dan rok selutut warna khaki menyampaikan kesan bersahaja. Sementara kalung dan sepasang anting mutiara melekatkan kesan anggun. Zora bergerak dengan hati-hati, cerminan talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah dilatih berkali-kali dalam pikirannya.
Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan santai, kemeja biru langit sederhana dengan lengan tergulung.
“Selamat pagi.” Raynar mengulurkan lengan untuk bersalaman. Zora berdiri menyambut uluran jabat tangan itu sembari tersenyum. Tak lama, dari belakang seorang pelayan datang membawa nampan.
Aroma samar Earl Grey tercium di antara mereka saat pelayan meletakkan dua cangkir kosong dan sebuah teko keramik.
“Terima kasih sudah datang. Maaf aku tak bisa menjemputmu tadi.”
Raynar menuang teh untuk mereka berdua. Tatapannya tertuju pada bayi itu sejenak sebelum kembali ke Zora.
“Tak apa. Tidak setiap hari kita menerima berita yang mengubah hidup.” Bibir Zora melengkung tipis. “Aku takkan melewatkannya. Bagaimanapun ini untuk kepentingan kita bersama.”
Zora meraih cangkirnya, menyesap isinya perlahan. Di balik penampilannya yang tenang, jantungnya berdegup kencang. Hasil tes DNA akan segera tiba, dan itu puncak dari rencana besar yang telah dilakoninya dengan cermat.
Raynar bersandar sedikit ke belakang, menatapnya. “Zora, sementara kita menunggu, ada sesuatu yang membuatku penasaran.”
Alis Zora sedikit terangkat, mempertahankan ketenangannya. “Tentu saja. Apa itu?”
“Malam itu di Royal Ravelle,” Raynar memulai dengan nada santai. “Kau bersama siapa?”
Pertanyaan itu sontak mengejutkannya. Jari-jari Zora mengencang pada pegangan cangkir.
“Mengapa kau bertanya?” Zora membalas ringan untuk membeli beberapa waktu.
“Aku ingin merangkai kenangan malam itu menjadi utuh.” Jawaban itu terlontar lembut, tapi tatapan Raynar tak lepas mengawasi gerak-gerik Zora.
“Detailnya penting.” Zora menjawab sekenanya sambil tersenyum kikuk. Dia tidak bisa membiarkan Raynar menghubungkannya dengan siapa pun yang bisa membeberkan kebenaran.
Berpura-pura tidak peduli, dia mengangkat cangkirnya dan menyesapnya perlahan.
“Aku sendiri.” Suaranya mantap namun dijaga agar tetap lembut. “Kau pasti tahu, sesekali kita perlu malam yang tenang tanpa gangguan.”
Raynar mengangguk pelan, ia bisa membayangkan dirinya dalam situasi itu. Sejenak kemudian, Raynar ingin bertanya lebih jauh tentang detail yang lain, tapi kemudian pintu depan terbuka dan asistennya masuk dengan amplop putih besar di tangan.
“Pak,” Asistennya menyerahkan amplop itu dengan kedua tangan. “Hasil tes DNA-nya.”
Suasana berubah seketika. Zora mengembuskan napas pelan, lega dengan pengalihan perhatian itu. Raynar mengambil amplop itu. Dengan hati-hati, ibu jarinya mengusap segel amplop, sebelum lalu membukanya.
Raynar memindai dokumen itu pada setiap barisnya. Untuk sesaat, ekspresinya tetap datar, tak menunjukkan apa-apa. Hingga beberapa saat kemudian, perubahan halus tampak di wajahnya.
“Kamu benar.” Ia menatap Zora yang duduk tegap di hadapannya. “Itu anakku.”
Zora melepasakan senyuman kecil dan menjaga posturnya tetap tenang.
“Aku tak pernah meragukannya, Ray” sambil menatap bayi yang didekapnya. “Aku senang sekarang kamu juga tidak perlu meragukannya.”
Raynar nyaris tak mempedulikan ucapan Zora. Tatapannya tertuju pada bayi lelaki itu. Wajahnya melembut, lalu ia melangkah mendekat. Zora menatap erat lelaki yang menjulang di hadapannya.
“Bolehkah?” Raynar menunjuk ke arah bayi lelakinya.
“Oh, iya… Tentu.” Lengan Zora terjulur memberikan bayi itu dengan hati-hati. Raynar menggendongnya dengan ragu-ragu. Sudut bibir Zora terangkat, sebuah senyuman yang langka dan sekilas muncul.
“Dia... Sempurna.” Suara Raynar nyaris terdengar seperti bisikan. Untuk sesaat, kejadian itu seakan membeku dalam waktu. Zora merasakan kelegaan, langkah besar pertamanya telah berhasil. Ia sandarkan punggungnya ke kursi, lalu menghela napas panjang yang samar.
Keheningan ruangan pecah oleh dengung ponsel di meja. Keceriaan Raynar nampak jelas ketika menyadari siapa penelepon itu. Dengan tergesa ia mengembalikan bayi lelakinya pada Zora.
Jemari mungil bayi itu menarik-narik kalung saat ia menyesuaikan pangkuan, matanya sedikit menyipit oleh antusiasme Raynar yang tiba-tiba.
“Hai, Ma!” Suaranya ringan dan gembira, nada bicara Raynar yang belum pernah Zora dengar sebelumnya.
Zora terus memperhatikan Raynar dengan seksama ketika bibir pria tinggi dan tampan itu terangkat menjadi senyuman. Perasaannya bergetar saat kulit di kedua ujung bibir Raynar membentuk lengkungan yang terlihat menawan–entah kenapa.
“Iya, aku sendiri yang akan menjemput Mama di bandara.” Ia mengangguk meski ibunya di seberang sana tak bisa melihatnya. “Iya, Ma, aku akan memintanya menemaniku. Infokan aku jadwal penerbangan mama.”
Senyum sopan Zora mengembang saat Raynar mengakhiri telepon. “Jadi, dimana Mamamu?”
Tatapan Zora lekat pada mata Raynar yang berbinar. “Dia akan segera bertolak dari Paris.” Kegembiraan pada suara lelaki itu terdengar asing bagi Zora. “Mama baru beberapa hari disana dan sekarang akan pulang demi bertemu cucunya, dan…kamu.”
“Oh!” Tawa sopan Zora terdengar manis. “Aku yakin mamamu akan senang bertemu si kecil ini.”
“Tentu! Mama akan senang sekali bertemu kalian.” Sejenak senyum Raynar merekah membayangkan situasi itu nanti.
“Kamu ada acara lain hari ini? Bagaimana kalau kita ke mall setelah ini? Aku ingin kita menyiapkan beberapa hal untuk bayi kita. Kesan pertama sangat penting buat Mama–kau tahu.”
Zora tergelak melihat kepolosan Raynar, ia bisa merasakan besar rasa sayang lelaki itu kepada ibunya. Potongan-potongan rencananya mulai jelas terlihat. “Tidak, aku tidak… Maksudku, ya… Tentu saja, kita pastikan semuanya siap hari ini.”
Saat mereka melangkah menuju mobil, pikiran Raynar penuh dengan daftar barang yang harus dibeli: pakaian bayi, penutup kepala, beberapa mainan, bahkan kereta dorong bayi.
Sementara itu, dalam benaknya, prioritas Zora sama sekali berbeda. Dia melirik ke arah Raynar, memperhatikan loncatan dalam langkahnya dan sikapnya yang sangat santai.
“Bagaimana dengan Papamu?” Nadanya terjaga supaya tidak berkesan terlalu menyelidiki.
Raynar menoleh sebentar ke arah Zora, sebentuk pesona kekanak-kanakan nampak di wajahnya. “Kita bicarakan soal itu nanti.”
Zora memiringkan kepalanya lalu mengangguk. “Oke, sepertinya hari ini akan menyenangkan.”
Keduanya tertawa bersamaan. Senyum Zora kembali mengembang, kali ini karena alasan yang sepenuhnya benar. Ia selangkah lebih dekat untuk mengukuhkan posisinya dalam keluarga Wiyasa Nawasena, dan Zora Wardhani akan memastikannya tetap seperti itu.
***
Sebuah jet pribadi mendarat dengan mulus di jalur landasan yang sepi. Beberapa saat kemudian, seorang wanita tua anggun yang mengenakan gaun biru tua dengan kombinasi syal sutra putih dan untaian kalung mutiara muncul dari dalam jet.
Miriam Wiyasa Nawasena menuruni tangga dengan aura kemewahan yang khas. Raynar dan Zora, yang berdiri di samping sebuah mobil hitam, telah menunggu di dekat landasan untuk menyambutnya. Tatapan mata Miriam menyiratkan kewaspadaan samar, namun senyumnya menebarkan rasa keakraban.
“Akhirnya,” Mata Miriam berbinar dan senyumnya merekah. Ia menatap anak lelakinya seakan telah berpisah lama. “Selamat ya, Nak.” Pelukan Miriam begitu erat pada Raynar, ungkapan kebanggaan dan kegembiraan seorang ibu pada keberhasilan anaknya. Sejenak kemudian, pandangannya beralih pada bayi lelaki yang digendong Zora. “Dan ini pasti si kecil yang menjadi berita utama dalam keluarga.” Zora berusaha memberikan senyuman tulus terbaiknya. “Tante, saya senang kita bisa bertemu. Kami sudah menantikan momen ini.”
“Oh, kalian belum memberinya nama? Bagaimana bisa?” Nada wanita itu sedikit meninggi dan mengabaikan basa-basi Zora. Ia mencondongkan tubuhnya untuk melihat bayi itu lebih jelas. “Dia bahkan lebih tampan dari yang kukira.”
Raynar mengetahui gelagat ibunya. “Aku menuggu Mama untuk memilih beberapa nama. Kita masih punya cukup waktu untuk itu.” Miriam tertawa kecil. “Kau benar. Kita masih punya waktu.”
Raynar kemudian maju untuk mangajak ibunya masuk ke mobil. “Ayo, Ma, kita lanjutkan berbincang di dalam.”
Di mobil, Zora duduk di kursi penumpang depan sedangkan Miriam duduk di belakang Zora. Sikapnya tenang namun penuh perhatian. Tak perlu waktu lama untuk kendaraan mereka keluar dari bandara.
“Raynar sudah menceritakan semuanya,” Miriam memulai. “Sungguh luar biasa bagaimana takdir membawamu dalam kehidupan kami. Tapi menurutku, seharusnya kamu tidak perlu menunggu begitu lama untuk mengungkapkan situasimu.”
Pernyataan itu tampak membuat Zora sedikit tegang. Ia mengingat kembali jawabannya kepada Raynar perihal itu. Setelah melegakan tenggorokanya dengan berbatuk ringan, Zora menanggapi dengan hati-hati.
“Saya hanya memastikan semuanya sebelum menemui Ray. Saya tak ingin ada rumor dan kehebohan yang akan mengusik Raynar.”
Miriam mengangguk perlahan, ekspresinya berubah serius. “Diplomatis dan penuh pertimbangan.” Miriam berkata lirih, membersitkan keraguan.
Sambil terus mengemudi, Raynar melirik ibunya melalui kaca spion tengah. Tatapan singkat itu tak luput dari perhatian Zora. Miriam tak berkata apa-apa, hanya garis tipis terbentuk di antara kedua alisnya.
“Ray, antar Mama ke pemakaman ya?!,” tukas Miriam. Alis Raynar berkerut, “Sekarang, Ma? Tidakkah sebaiknya kita pulang dulu? Mama sudah terbang begitu lama.”
Miriam menggeleng kecil. “Selagi bisa, kita harus mengunjunginya setiap kali teringat padanya.” Miriam buru-buru mengusap bulir air mata di pelupuknya. “Lagipula, Mama tidak ingin lupa kesana karena sibuk dengan urusan pernikahanmu. Ini sudah Mama rencanakan sejak bertolak dari Paris.”
“Oke, Ma.” Tanpa bicara lagi, Raynar menyesuaikan rute perjalanan di layar mobil.
Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, pendar cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal.Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka. Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur.“Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi. Karirnya menanjak pes
“Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim di sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu berk
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting taman di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit tertutup kelamnya awan gelap. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku makan itu?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-w
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara.Rinjani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Kenapa di sini bising sekali? Apa kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita tidak tersesat. Ini kota yang besar–lebih banyak orang daripada di desa kita. Tapi Aruna tak perlu khawatir asal selalu dekat Mama, oke? Yuk!”Aruna mengangguk perlahan, genggamanny
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Kini, jejak kebakaran itu telah sepenuhnya lenyap dan berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi.Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggunan
Sebuah aula berkilauan seperti permata malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, menyatu mudah dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang mengisi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora yang bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Pikiran Raynar kembali pada malam di klub Royal Ravelle - wanita yang diingatnya bukanlah sosok yang dipoles d
Lima belas menit mobil mereka menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Ketiganya terdiam mengamati areal luas tenang dan asri yang membentang di hadapan mereka. Bulir-bulir embun yang bertengger di ujung rerumputan serta aroma tanah lembab menyambut mereka ketika pintu mobil terbuka.Raynar keluar lebih dulu, melangkah hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora menjejakkan kaki dengan langkah keraguan sambil menggendong bayinya. Wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan
Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut kombinasi warna pastel hangat di ruang tamu kediaman Wiyasa Nawasena memancarkan kesan keanggunan yang mewah. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk bayi lelakinya.Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar. Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne berbahan wol lembut dan rok selutut warna khaki menyampaikan kesan bersahaja. Sementara kalung dan sepasang anting mutiara melekatkan kesan anggun. Zora bergerak dengan hati-hati, cerminan talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah dilatih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan santai, kemeja biru langit sederhana dengan lengan tergulung.“Selamat pagi.” Raynar me