Cahaya menyusup melalui tirai yang setengah tertutup, menciptakan pola-pola abstrak di lantai kamar. Rinjani duduk di depan meja rias, jari-jarinya menekan pelipis yang berdenyut. Kepingan ingatan akan kejadian semalam berputar samar di benaknya—wajah pria tanpa nama, kehangatan dan aroma tubuhnya. Tanpa disadari, wajah Rinjani tersipu. Sisa romansa itu seakan tak terlupa dan sebentuk sesal menelusup, mengapa ia tak mengetahui namanya.
Bibirnya masih terasa kebas dari ciuman mereka, dan jantungnya berdegup kencang setiap kali ia mengingat sentuhan lembutnya. Namun, di sela-sela ingatan indah itu, sosok pria yang menyerangnya di kamar mandi klub muncul seperti noda tinta hitam di kain putih.
Pikirannya lalu beralih pada kejadian sebelumnya. Malam itu bukan kali pertama Rinjani menenggak alkohol, dan ia yakin segelas koktail takkan membuatnya merasa seperti itu. Pening di kepala dan kecepatan detak jantung yang meningkat mengiringi suhu tubuhnya yang meningkat.
"Apa ini disengaja?" Rinjani terpaku menatap refleksi wajahnya di cermin. "Apa Zora telah menjebakku?"
Gagang pintu kamarnya berputar dengan suara klik yang tajam. Rinjani menoleh ke arah pintu. Tubuhnya menegang, terperangah ketika pintu terbuka dengan hentakan keras. Daryata Wardhani masuk dengan langkah-langkah berat. Rinjani membeku menatap wajah ayahnya yang muram dengan kulit yang memerah.
Tanpa sepatah kata pun, Daryata melemparkan sebuah amplop coklat besar ke arah Rinjani. Amplop itu mendarat keras dekat kakinya, dan isinya berserak di lantai. Beberapa lembar foto tergeletak—gambar-gambar dirinya yang diambil dari sudut tertentu, merekam momen ketika ia bergumul dengan lelaki yang menyerangnya di kamar kecil klub Royal Ravelle.
"Kau sadar apa artinya itu?!" Suara Daryata Wardhani menggelegar memenuhi kamar.
Rinjani menunduk, matanya melebar saat mengenali dirinya sendiri di foto-foto itu. Perutnya mulas, rasa mual naik dengan cepat ke tenggorokan. Sudut pengambilan foto itu memperlihatkan skenario yang sama sekali berbeda dari apa yang sebenarnya terjadi.
"Pa, aku bahkan tak mengerti apa yang terjadi semalam!" Rinjani bangkit, tubuhnya gemetar menahan amarah. "Aku bersama Zora—"
Seolah mendengar namanya disebut, Zora melangkah masuk diikuti oleh ibunya, Citra. Wajah Zora memancarkan kepolosan yang meyakinkan, mata lebarnya memperlihatkan ekspresi keterkejutan.
"Aku?" Suaranya meninggi, menepuk dada dengan dramatis. "Tidak benar, Pa. Semalam aku lembur di kantor."
Tangan Rinjani mengepal kencang. Ia menatap Zora dengan tajam, seolah hendak menembus topeng kepolosannya. Di sudut bibir Zora, senyum tipis tersungging samar—mengisyaratkan pengakuan dusta tanpa kata.
"Ini ulahmu," sahut Rinjani. Kemarahan menggelegak dalam dadanya.
"Jangan menyalahkan Zora. Kamu egois dan sembrono, Rin!" Suara Daryata rendah dan penuh kekecewaan.
"Kamu menentang ketika Papa memintamu mengurus perusahaan. Dan sekarang ini yang kamu perbuat?" lanjutnya.
Telunjuk ayahnya menunjuk kaku ke arah foto-foto itu. "Sebagai seorang anak, kamu sudah membuat mamamu malu, tahu kamu?!"
Nama mendiang ibunya yang disebut ayahnya seakan pisau tajam yang menembus jantung Rinjani. Ia merasa panas dan pedih. Air mata seketika menggenang di pelupuk matanya. Tubuhnya gemetar karena amarah yang nyaris tak terbendung.
"Jangan berani bicara tentang Mama!" Suaranya bergetar seiring emosi yang meluap.
"Papa yang tak punya integritas. Aku tahu semua tentang papa dan Citra. Aku tahu apa yang kalian lakukan sebelum Mama meninggal."
Kata-kata Rinjani seakan menampar langsung ketiga orang di hadapannya. Kamar itu seketika sunyi. Detak jam dinding pun seolah terdengar mencekam. Wajah Citra memucat, kontras dengan rona merah yang menjalar cepat di leher Daryata.
Sebuah tamparan datang tanpa peringatan—keras dan mendarat tepat di pipi Rinjani.
“Ahh–!”
Kulit di bawah matanya terasa terbakar, dan anyir darah terasa di lidahnya. Rinjani terhuyung–nyaris tersungkur dengan wajah tertutup rambutnya sendiri.
"Pergi kamu!!" Teriakan Daryata serak oleh kemarahan.
Rinjani menegakkan tubuhnya, aliran air matanya terlihat jelas saat ia mengangkat dagunya.
"Baik! Dengan senang hati." Ia menatap ayahnya tajam.
Daryata segera berbalik dan melangkah keluar dari kamar putrinya. Citra mengikuti, matanya menghindari tatapan Rinjani. Zora yang terakhir keluar, berhenti sejenak di ambang pintu. Ketika ia berbalik, topeng kepolosannya telah ia lepas, memperlihatkan senyum kemenangan yang sedari tadi disembunyikan.
Air mata Rinjani jatuh ke pakaian yang ia keluarkan dari lemari, meninggalkan bercak-bercak gelap di kain. Tangannya gemetar saat memasukkan barang-barangnya ke koper—keputusan final telah ia ambil dan tak bisa ditarik kembali.
Ketika Rinjani akhirnya melangkah keluar, dua koper yang ia bawa terasa lebih berat dari yang seharusnya. Di ruang keluarga, Daryata duduk tegak di kursi favoritnya, tak mengacuhkan putrinya yang melintas.
Di dekat pintu keluar, Rinjani berhenti lalu menoleh. Air matanya menetes untuk yang terakhir kali, tetapi kini tulang punggungnya lurus dan kepalanya tegak. Tanpa sepenggal kalimat perpisahan, ia menutup pintu di belakangnya—menandai akhir dari satu babak penting di hidupnya.
Di luar gerbang rumah, angin dingin berhembus menyambutnya. Dering ponsel memecah keheningan—ia melihat nama ayahnya muncul di layar. Rinjani menatapnya sejenak sebelum menggeser layar ponsel untuk menolak panggilan itu.
"Apa pentingnya?" katanya pada diri sendiri. "Semua sudah tak berarti sekarang."
***
Matahari pagi merayapi perbukitan hijau saat Rinjani menjemur pakaian yang masih basah. Dua bulan telah berlalu sejak ia tiba di rumah sederhana ini. Tempat yang jauh dari kota, disambut oleh pelukan tanpa syarat dari Bibi Sari.
Minggu-minggu pertama di desa, ia selalu tersentak bangun saat mendengar kokok ayam dan tikus-tikus yang berlarian. Namun kini, ia mulai terbiasa dengan ritme kehidupan pedesaan.
Setelah menyampirkan beberapa helai pakaian di tali jemuran, Rinjani merasa lelah. Kepalanya mendadak pening. Sambil terhuyung, ia menuju bak cuci piring, muntah-muntah. Tangannya mencengkeram tepian bak, tak ada yang keluar. Ia menyiramkan air ke wajahnya dengan sebuah kecurigaan yang tak bisa ia abaikan.
Bibi Sari yang masuk membawa sekeranjang sayur segera meletakkannya di meja ketika melihat wajah pucat Rinjani.
“Bi,” bisik Rinjani, air matanya berlinang. “Sepertinya aku hamil.”
Keheningan memenuhi dapur kecil itu. Tangan Rinjani bergetar di atas meja dapur.
“Bagaimana ini, Bi? Ini akan membuat semua jadi lebih rumit,” katanya, suaranya pecah di kata terakhir.
Bibi Sari mengelap tangannya dengan celemek, lalu membimbing Rinjani duduk. Ia menggenggam tangan Rinjani yang dingin.
“Rin–” katanya, matanya lembut tapi tegas. “Banyak yang tidak pasti dalam hidup, tapi ada dua hal penting. Selalu ada berkah dari setiap kejadian–baik yang kelihatan atau yang tersembunyi. Dan cinta tak pernah salah. Ego kita mungkin bisa, tapi cinta tidak.”
Wanita tua itu meremas pelan tangan Rinjani. “Bayi ini adalah bagian dari hidupmu sekarang. Cintai dia. Kamu selalu lebih kuat dari yang kamu tahu.”
Dengan tangan gemetar, Rinjani mengusap wajahnya sendiri. “Bagaimana aku bisa jadi ibu yang baik? Aku bahkan tidak tahu apa yang akan kulakukan dengan hidupku.”
Bibi Sari bergerak di belakangnya, melingkarkan tangan di pundak Rinjani. “Kamu akan belajar, Rin. Semua terasa sulit jika kita tidak tahu. Bibi di sini untuk membantumu.” Senyum kecil tersungging di bibirnya. “Lagipula, siapa lagi yang akan mengajari anak ini menanak nasi tanpa gosong?”
Sebuah suara yang terjebak di antara tawa dan isak tangis keluar dari Rinjani. “Bibi, ini bukan lelucon. Aku takut.”
“Tentu saja ini serius. Tapi kamu tahu, keberanian yang sejati bukan semata tak punya rasa takut. Justru rasa takut adalah alasan untuk menjadi berani.”
Bibi Sari melepaskannya dan berjalan ke rak piring. “Sekarang kita fokus pada apa yang bisa kita lakukan. Pertama, kita pastikan kamu makan dengan cukup. Setan akan muncul saat kelaparan melanda!” Wanita tua itu tertawa kecil karena ucapannya sendiri. Bagi Bibi Sari, yang tinggal sendiri sejak meninggalkan keluarga Wardhani, kehadiran Rinjani memberinya hidup baru.
***
Fajar menyingsing di hari Rinjani melahirkan. Jemarinya mencengkeram erat tepi tempat tidur saat gelombang rasa sakit menerjang tubuhnya. Keringat membasahi rambut dan bajunya saat Bibi Sari berusaha dengan peralatan seadanya.
Berjam-jam berlalu dalam rasa sakit dan tekad yang kuat. Lalu sebuah tangisan. Dan beberapa menit kemudian, tangisan yang lain.
Kembar.
Teror kembali mencengkeram Rinjani ketika tangis kedua bayi itu memenuhi kamarnya. “Bagaimana aku bisa membesarkan mereka dan melindungi dari kerasnya hidup ini?” Tak disadari, air matanya menetes saat menatap dua wajah mungil dan sempurna itu. Sekilas bayangan senyum ibunya muncul di benak Rinjani.
Pintu kayu berderit terbuka. Bibi Sari masuk sambil membawa baskom besar berisi air hangat. “Sudah bangun?” tanyanya lirih.
Rinjani menoleh, menawarkan senyuman lelah. “Mereka tidak mengizinkan aku tidur lama,” jawabnya sambil mengelus-elus bayi-bayi di sampingnya. Bibi Sari tertawa pelan, mendekat untuk menyeka kening Rinjani.
“Itu pertanda baik. Mereka kuat, seperti ibunya.”
Kata ‘kuat’ itu bergema di benak Rinjani–sebuah tantangan. Ia menarik napas dalam-dalam, seakan hendak mengisi dirinya dengan semangat.
“Kita akan memulai hidup baru bersama,” bisiknya sambil mencium kening kedua bayinya - seorang anak laki-laki dan perempuan.
***
Sementara itu, di ibu kota, lampu-lampu kristal memancarkan cahaya hangat di sebuah pertemuan kelas atas. Zora Wardhani berdiri di aula megah, mengamati ruangan dengan tatapan menilai. Dia sedang terlibat dalam percakapan ringan ketika sebuah diskusi di kelompok sebelah menarik perhatiannya.
“Sudah dengar?” tanya seorang wanita bergaun sutra berwarna teal gelap.
“Pangeran Wiyasa Nawasena sedang mencari Cinderella-nya –wanita yang ia temui di Royal Ravelle.”
Seorang sosialita lainnya ikut bicara, tawanya bercampur rasa penasaran.
“Benarkah? Itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Siapa pun dia, pasti istimewa bagi Ray. Aku cukup mengenalnya. Ray tak pernah terlibat dengan wanita manapun–setidaknya, tak seperti ini.”
Zora memiringkan kepalanya dengan elegan, bahasa tubuhnya terlatih untuk menunjukkan keingintahuan yang halus. Pikirannya berkecamuk. Raynar, pewaris dinasti WN Group yang tersohor, jarang sekali menjadi bahan gosip. Jika ia mencari seseorang, orang tersebut memiliki kekuasaan atas dirinya. Pikiran itu membuat rahang Zora mengeras.
“Tapi bagaimana kau yakin Raynar benar-benar mencarinya?” seorang wanita lain bertanya dengan gaya bicara menyelidiki.
“Suamiku bekerja untuk tim hukum perusahaannya. Ada arahan pribadi untuk menemukan seorang wanita. Mereka sudah memeriksa rekaman CCTV dan menggunakan metode lain untuk menemukan petunjuk jelas tentang identitasnya.”
Wanita itu berhenti sejenak–meneguk anggur dari gelasnya. “Ini seharusnya rahasia. Sejauh ini, hanya beberapa petunjuk yang telah ditemukan–gaun hijau yang dia kenakan dan salah satu antingnya,” katanya sambil mengaduk anggurnya perlahan. “Maksudku, ini romantis, tapi juga agak gila, bukan?”
Jari-jari Zora mengencang pada tangkai gelasnya. Ia segera pamit kepada teman-temannya dan melangkah ke balkon untuk mengatur nafasnya. Dengan mudah Zora bisa menyimpulkan bahwa wanita yang dimaksud adalah Rinjani.
Berita itu membuatnya cemas. Zora lemas membayangkan jika Raynar sampai menemukan Rinjani. Ia harus memberitahu ibunya tentang hal ini.
***
Malam itu juga, Zora mengunjungi ibunya, yang sedang berbaring nyaman dengan mata terpejam saat seorang pemijat profesional dari layanan spa kelas atas memijat pundaknya. Aroma lembut lavender semerbak di ruangan.
Zora masuk dengan langkah terarah. “Ma, kita harus bicara.”
Citra membuka sebelah matanya, mengangkat alis ke arah putrinya. “Ada apa, sayang?”
Zora duduk, mencondongkan badannya ke depan. “Ma, dengarkan. Raynar, pewaris dan CEO Wiyasa Nawasena Group, sedang mencari wanita yang bersamanya di Royal Ravelle waktu itu. Dan aku tahu persis itu Rinjani, Ma.”
Dengan tangannya, Citra memberi isyarat kepada terapisnya untuk pergi. Ia lalu duduk. Zora tak bisa lagi menahan pikirannya. “Ma, kalau Rin ditemukan, Mama tahu apa yang akan terjadi pada kita, ‘kan?”
Citra mengangguk, tak butuh waktu lama baginya untuk paham. Jika Rinjani kembali dengan pengaruh yang besar, dan semua usaha Citra untuk masuk ke dalam keluarga Wardhani demi mendapatkan kekuasaan, uang, dan pengaruh akan lenyap. Hal itu juga akan menghancurkan masa depan Zora. Citra menatap putri kesayangannya yang gelisah.
“Seminggu yang lalu, dia melahirkan anak kembar, laki-laki dan perempuan,” kata Citra tiba-tiba. “Kamu punya rencana?”
Tanpa sadar Zora membuka bibirnya, penuh dengan kekaguman akan kemampuan intelijen ibunya. Dengan riang, Zora mendekat ke ibunya dan menyipitkan mata.
“Aku bisa meyakinkan Raynar bahwa akulah wanita yang dia cari. Kuncinya, anak Rinjani.”
Citra ragu-ragu. “Bagaimana? Dia jelas takkan memberikan anaknya dengan sukarela.”
Zora melipat kedua lengannya, dan dengan percaya diri yang berbatasan dengan kesombongan, senyumnya mengembang. “Serahkan saja bagian itu padaku, Ma.”
“Kalau begitu, segera lakukan. Jangan sampai kehilangan momentum.”
Kalimat itu adalah segel resmi atas rencana Zora. Citra menatap putrinya yang penuh semangat. Zora tersenyum puas dan mengangguk kecil.
Lantai 32 Menara Wiyasa Nawasena Group nampak lengang. Raynar berdiri menghadap jendela kaca yang memperlihatkan panorama ibukota Muliakarta di siang hari. Gedung-gedung pencakar langit berkilauan di bawah terik matahari. Ia baru saja menyelesaikan panggilan konferensi dengan para calon investor baru dari luar negeri ketika pintu ruangannya diketuk."Masuk," perintahnya tanpa menoleh.Suara langkah kaki tergesa-gesa mendekatinya. "Maaf mengganggu, Pak." Asisten pribadinya berdiri dengan raut wajah tegang. "Ada telepon penting dari rumah."Raynar berbalik, alisnya terangkat."Kepala rumah tangga baru saja mengabarkan." Asistennya menelan ludah. "Tuan muda tidak ada di rumah. Mereka sudah mencari ke seluruh penjuru rumah sejak satu jam yang lalu."Raynar membeku. "Apa? Zethra?""Terakhir kali tuan muda ada di kamarnya sepulang sekolah. Saat makan siang diantar ke kamarnya, ia tidak ada."Raynar merasakan aliran dingin menjalar di sepanjang tulang belakangnya. Ia meraih ponselnya dari at
Hari senin siang itu membawa kehangatan lembab khas musim penghujan di Muliakarta. Rinjani Wardhani baru saja tiba di Sweet Spot Coffee yang menawarkan kesejukan dari teriknya matahari. Ia mengenakan rok pensil warna arang yang dipadukan dengan blus sutra berwarna krem–sederhana namun tetap elegan.Rambut hitamnya disanggul rendah ke belakang, memperlihatkan sepasang anting-anting mutiara kecil yang menangkap cahaya saat ia bergerak. Ia memilih meja sudut dengan tempat duduk yang nyaman untuk enam orang, menata buku sketsa dan tabletnya sebelum memesan segelas iced café latte.Sejenak ia tersenyum mengenang “perbaikan” yang dilakukan Aruna sambil menata kertas-kertas itu dengan rapi di atas meja. Untung saja semua desain cadangan dalam buku sketsa itu bisa dipulihkan secara sempurna.Gusti dan Rhea menerobos pintu masuk berikutnya. Rhea langsung menuju meja dimana Rinjani duduk, sementara Gusti berbelok ke meja pemesanan.“Kau baru saja datang, Rin? Mana Lila? Kupikir dia sudah di sin
Di luar, tetes-tetes pertama hujan mulai turun, mengetuk jendela seakan menghitung mundur pelaksanaan rencana besar di pikiran Raynar. Setiap langkahnya harus dilakukan dengan tepat. Setelah selesai, ia menutup laptopnya lalu beranjak menuju meja kecil dengan membawa gelas kosongnya. Ia telah mendapatkan pelajaran penting dari kasus ini--pola pikir dan sikap seorang pemimpin besar.Raynar menuang whiskey setinggi dua jari dan menenggaknya habis dalam sekali minum, seakan hendak merayakan kepercayaan dirinya dalam membuktikan bahwa ia layak menyandang nama besar Wiyasa Nawasena. Liquid amber membakar tenggorokannya, meninggalkan sensasi jejak hangat yang menyebar hingga ke dada.Malam harinya, rembulan tinggi menggantung di atas Taman Kota Muliakarta. Angin mendesau di antara pepohonan, membawa suara keramaian lalu lintas Minggu malam di kejauhan. Aroma tanah basah dari hujan sore bercampur dengan wangi bunga melati yang mekar di sepanjang pagar taman. Tempat yang ramai dikunjungi kelu
Dua hari kemudian, Sweet Spot Café kembali menjadi tempat pertemuan Lila dan Raynar sore itu. Suara percakapan para pengunjung lain dan desis mesin espresso yang sesekali terdengar menciptakan latar belakang yang nyaman untuk pertemuan mereka.Raynar tiba tepat pukul enam. Ia mengenakan jaket hitam panjang yang menyembunyikan kemeja biru tua dibaliknya. Beberapa pengunjung melirik, mengenali CEO muda Wiyasa Nawasena Group, sebelum dengan sopan kembali ke percakapan mereka.Raynar melihat Lila di meja pojok. Rambut hitamnya dikuncir ke belakang, sedang membuat sketsa di atas tablet dengan satu tangan sementara tangan lainnya menggenggam iced matcha latte yang baru saja ia seruput.“Multitasking yang sulit berubah,” kata Raynar sambil mendekat, senyum kecil tersungging di bibirnya.Lila mendongak. Dengan gerak cepat ia meletakkan pena tabletnya. Rona merah merona di pipinya, kontras dengan penampilannya yang tenang.“Kebiasaan lama.” Lila tersenyum kikuk sambil menunjuk kursi di seberan
Lila dan Rinjani saling bertukar tatapan penuh harap.“Tidak semua, tapi setidaknya–” Rhea berhenti, meringis pada sebuah halaman yang berkilauan. “Tekanan dari krayon merusak beberapa detail, dan lem glitter ini–”“Tapi ini sesuatu,” kata Lila, merasakan secercah harapan.Gusti kembali ke meja, menyeimbangkan piring yang dibawanya.“Aku putuskan untuk makan sehat,” katanya sambil kembali duduk. “Jadi kupilih telur dadar gosong yang tebal dengan topping putih telur kocok.” Ia menunjuk pada brownies besar yang diberi topping es krim vanila.Rinjani sontak terkekeh. Suaranya kecil tapi bisa mencairkan ketegangan yang membelit dadanya. Lila menggelengkan kepala, sebuah senyum enggan terbersit di bibirnya. Bahkan ekspresi serius Rhea pun sedikit retak.“Cuma kamu, Gus,” sahut Lila, ”yang bisa bercanda di saat seperti ini.”“Hey, apa jadin
Rinjani memasukkan kunci ke dalam pintu apartemennya dengan tenang. Beban hari ini menekan pundaknya, tapi satu harapan masih tersisa. Ia mendorong pintu dan melangkah masuk.Aroma tipis melati dari pengharum ruangan kesukaan Bibi Sari menyambut kedatangannya. Apartemen itu sunyi, kecuali dengungan lembut pendingin ruangan dan suara anak-anak bermain di taman bermain terbuka.Rinjani melepas sepatu hak tingginya dan langsung menuju kamar tidurnya. Kakinya melangkah tak bersuara di lantai kayu. Pintunya terbuka sebagian, dan ia mendorongnya lebih lebar, langsung menuju laci bawah meja rias tempat ia menaruh buku sketsa itu.Ia berlutut, membuka laci itu. Kosong.“Tidak,” bisiknya, jari-jarinya panik mencari-cari isi laci. “Tidak, tidak.”Ia kembali duduk di atas tumitnya, menoleh ke kanan-kiri. Apakah ia telah memindahkannya? Apa sebenarnya ia tak menyimpan buku itu di laci?Rinjani memejamkan matanya. Lalu, ia berdiri, bergerak menuju lemari, lalu ke rak di atas meja, mencari setiap t