Cahaya menyusup melalui tirai yang setengah tertutup, menciptakan pola-pola abstrak di lantai kamar. Rinjani duduk di depan meja rias, jari-jarinya menekan pelipis yang berdenyut. Kepingan ingatan akan kejadian semalam berputar samar di benaknya—wajah pria tanpa nama, kehangatan dan aroma tubuhnya. Tanpa disadari, wajah Rinjani tersipu. Sisa romansa itu seakan tak terlupa dan sebentuk sesal menelusup, mengapa ia tak mengetahui namanya.
Bibirnya masih terasa kebas dari ciuman mereka, dan jantungnya berdegup kencang setiap kali ia mengingat sentuhan lembutnya. Namun, di sela-sela ingatan indah itu, sosok pria yang menyerangnya di kamar mandi klub muncul seperti noda tinta hitam di kain putih.
Pikirannya lalu beralih pada kejadian sebelumnya. Malam itu bukan kali pertama Rinjani menenggak alkohol, dan ia yakin segelas koktail takkan membuatnya merasa seperti itu. Pening di kepala dan kecepatan detak jantung yang meningkat mengiringi suhu tubuhnya yang meningkat.
"Apa ini disengaja?" Rinjani terpaku menatap refleksi wajahnya di cermin. "Apa Zora telah menjebakku?"
Gagang pintu kamarnya berputar dengan suara klik yang tajam. Rinjani menoleh ke arah pintu. Tubuhnya menegang, terperangah ketika pintu terbuka dengan hentakan keras. Daryata Wardhani masuk dengan langkah-langkah berat. Rinjani membeku menatap wajah ayahnya yang muram dengan kulit yang memerah.
Tanpa sepatah kata pun, Daryata melemparkan sebuah amplop coklat besar ke arah Rinjani. Amplop itu mendarat keras dekat kakinya, dan isinya berserak di lantai. Beberapa lembar foto tergeletak—gambar-gambar dirinya yang diambil dari sudut tertentu, merekam momen ketika ia bergumul dengan lelaki yang menyerangnya di kamar kecil klub Royal Ravelle.
"Kau sadar apa artinya itu?!" Suara Daryata Wardhani menggelegar memenuhi kamar.
Rinjani menunduk, matanya melebar saat mengenali dirinya sendiri di foto-foto itu. Perutnya mulas, rasa mual naik dengan cepat ke tenggorokan. Sudut pengambilan foto itu memperlihatkan skenario yang sama sekali berbeda dari apa yang sebenarnya terjadi.
"Pa, aku bahkan tak mengerti apa yang terjadi semalam!" Rinjani bangkit, tubuhnya gemetar menahan amarah. "Aku bersama Zora—"
Seolah mendengar namanya disebut, Zora melangkah masuk diikuti oleh ibunya, Citra. Wajah Zora memancarkan kepolosan yang meyakinkan, mata lebarnya memperlihatkan ekspresi keterkejutan.
"Aku?" Suaranya meninggi, menepuk dada dengan dramatis. "Tidak benar, Pa. Semalam aku lembur di kantor."
Tangan Rinjani mengepal kencang. Ia menatap Zora dengan tajam, seolah hendak menembus topeng kepolosannya. Di sudut bibir Zora, senyum tipis tersungging samar—mengisyaratkan pengakuan dusta tanpa kata.
"Ini ulahmu," sahut Rinjani. Kemarahan menggelegak dalam dadanya.
"Jangan menyalahkan Zora. Kamu egois dan sembrono, Rin!" Suara Daryata rendah dan penuh kekecewaan.
"Kamu menentang ketika Papa memintamu mengurus perusahaan. Dan sekarang ini yang kamu perbuat?" lanjutnya.
Telunjuk ayahnya menunjuk kaku ke arah foto-foto itu. "Sebagai seorang anak, kamu sudah membuat mamamu malu, tahu kamu?!"
Nama mendiang ibunya yang disebut ayahnya seakan pisau tajam yang menembus jantung Rinjani. Ia merasa panas dan pedih. Air mata seketika menggenang di pelupuk matanya. Tubuhnya gemetar karena amarah yang nyaris tak terbendung.
"Jangan berani bicara tentang Mama!" Suaranya bergetar seiring emosi yang meluap.
"Papa yang tak punya integritas. Aku tahu semua tentang papa dan Citra. Aku tahu apa yang kalian lakukan sebelum Mama meninggal."
Kata-kata Rinjani seakan menampar langsung ketiga orang di hadapannya. Kamar itu seketika sunyi. Detak jam dinding pun seolah terdengar mencekam. Wajah Citra memucat, kontras dengan rona merah yang menjalar cepat di leher Daryata.
Sebuah tamparan datang tanpa peringatan—keras dan mendarat tepat di pipi Rinjani.
“Ahh–!”
Kulit di bawah matanya terasa terbakar, dan anyir darah terasa di lidahnya. Rinjani terhuyung–nyaris tersungkur dengan wajah tertutup rambutnya sendiri.
"Pergi kamu!!" Teriakan Daryata serak oleh kemarahan.
Rinjani menegakkan tubuhnya, aliran air matanya terlihat jelas saat ia mengangkat dagunya.
"Baik! Dengan senang hati." Ia menatap ayahnya tajam.
Daryata segera berbalik dan melangkah keluar dari kamar putrinya. Citra mengikuti, matanya menghindari tatapan Rinjani. Zora yang terakhir keluar, berhenti sejenak di ambang pintu. Ketika ia berbalik, topeng kepolosannya telah ia lepas, memperlihatkan senyum kemenangan yang sedari tadi disembunyikan.
Air mata Rinjani jatuh ke pakaian yang ia keluarkan dari lemari, meninggalkan bercak-bercak gelap di kain. Tangannya gemetar saat memasukkan barang-barangnya ke koper—keputusan final telah ia ambil dan tak bisa ditarik kembali.
Ketika Rinjani akhirnya melangkah keluar, dua koper yang ia bawa terasa lebih berat dari yang seharusnya. Di ruang keluarga, Daryata duduk tegak di kursi favoritnya, tak mengacuhkan putrinya yang melintas.
Di dekat pintu keluar, Rinjani berhenti lalu menoleh. Air matanya menetes untuk yang terakhir kali, tetapi kini tulang punggungnya lurus dan kepalanya tegak. Tanpa sepenggal kalimat perpisahan, ia menutup pintu di belakangnya—menandai akhir dari satu babak penting di hidupnya.
Di luar gerbang rumah, angin dingin berhembus menyambutnya. Dering ponsel memecah keheningan—ia melihat nama ayahnya muncul di layar. Rinjani menatapnya sejenak sebelum menggeser layar ponsel untuk menolak panggilan itu.
"Apa pentingnya?" katanya pada diri sendiri. "Semua sudah tak berarti sekarang."
***
Matahari pagi merayapi perbukitan hijau saat Rinjani menjemur pakaian yang masih basah. Dua bulan telah berlalu sejak ia tiba di rumah sederhana ini. Tempat yang jauh dari kota, disambut oleh pelukan tanpa syarat dari Bibi Sari.
Minggu-minggu pertama di desa, ia selalu tersentak bangun saat mendengar kokok ayam dan tikus-tikus yang berlarian. Namun kini, ia mulai terbiasa dengan ritme kehidupan pedesaan.
Setelah menyampirkan beberapa helai pakaian di tali jemuran, Rinjani merasa lelah. Kepalanya mendadak pening. Sambil terhuyung, ia menuju bak cuci piring, muntah-muntah. Tangannya mencengkeram tepian bak, tak ada yang keluar. Ia menyiramkan air ke wajahnya dengan sebuah kecurigaan yang tak bisa ia abaikan.
Bibi Sari yang masuk membawa sekeranjang sayur segera meletakkannya di meja ketika melihat wajah pucat Rinjani.
“Bi,” bisik Rinjani, air matanya berlinang. “Sepertinya aku hamil.”
Keheningan memenuhi dapur kecil itu. Tangan Rinjani bergetar di atas meja dapur.
“Bagaimana ini, Bi? Ini akan membuat semua jadi lebih rumit,” katanya, suaranya pecah di kata terakhir.
Bibi Sari mengelap tangannya dengan celemek, lalu membimbing Rinjani duduk. Ia menggenggam tangan Rinjani yang dingin.
“Rin–” katanya, matanya lembut tapi tegas. “Banyak yang tidak pasti dalam hidup, tapi ada dua hal penting. Selalu ada berkah dari setiap kejadian–baik yang kelihatan atau yang tersembunyi. Dan cinta tak pernah salah. Ego kita mungkin bisa, tapi cinta tidak.”
Wanita tua itu meremas pelan tangan Rinjani. “Bayi ini adalah bagian dari hidupmu sekarang. Cintai dia. Kamu selalu lebih kuat dari yang kamu tahu.”
Dengan tangan gemetar, Rinjani mengusap wajahnya sendiri. “Bagaimana aku bisa jadi ibu yang baik? Aku bahkan tidak tahu apa yang akan kulakukan dengan hidupku.”
Bibi Sari bergerak di belakangnya, melingkarkan tangan di pundak Rinjani. “Kamu akan belajar, Rin. Semua terasa sulit jika kita tidak tahu. Bibi di sini untuk membantumu.” Senyum kecil tersungging di bibirnya. “Lagipula, siapa lagi yang akan mengajari anak ini menanak nasi tanpa gosong?”
Sebuah suara yang terjebak di antara tawa dan isak tangis keluar dari Rinjani. “Bibi, ini bukan lelucon. Aku takut.”
“Tentu saja ini serius. Tapi kamu tahu, keberanian yang sejati bukan semata tak punya rasa takut. Justru rasa takut adalah alasan untuk menjadi berani.”
Bibi Sari melepaskannya dan berjalan ke rak piring. “Sekarang kita fokus pada apa yang bisa kita lakukan. Pertama, kita pastikan kamu makan dengan cukup. Setan akan muncul saat kelaparan melanda!” Wanita tua itu tertawa kecil karena ucapannya sendiri. Bagi Bibi Sari, yang tinggal sendiri sejak meninggalkan keluarga Wardhani, kehadiran Rinjani memberinya hidup baru.
***
Fajar menyingsing di hari Rinjani melahirkan. Jemarinya mencengkeram erat tepi tempat tidur saat gelombang rasa sakit menerjang tubuhnya. Keringat membasahi rambut dan bajunya saat Bibi Sari berusaha dengan peralatan seadanya.
Berjam-jam berlalu dalam rasa sakit dan tekad yang kuat. Lalu sebuah tangisan. Dan beberapa menit kemudian, tangisan yang lain.
Kembar.
Teror kembali mencengkeram Rinjani ketika tangis kedua bayi itu memenuhi kamarnya. “Bagaimana aku bisa membesarkan mereka dan melindungi dari kerasnya hidup ini?” Tak disadari, air matanya menetes saat menatap dua wajah mungil dan sempurna itu. Sekilas bayangan senyum ibunya muncul di benak Rinjani.
Pintu kayu berderit terbuka. Bibi Sari masuk sambil membawa baskom besar berisi air hangat. “Sudah bangun?” tanyanya lirih.
Rinjani menoleh, menawarkan senyuman lelah. “Mereka tidak mengizinkan aku tidur lama,” jawabnya sambil mengelus-elus bayi-bayi di sampingnya. Bibi Sari tertawa pelan, mendekat untuk menyeka kening Rinjani.
“Itu pertanda baik. Mereka kuat, seperti ibunya.”
Kata ‘kuat’ itu bergema di benak Rinjani–sebuah tantangan. Ia menarik napas dalam-dalam, seakan hendak mengisi dirinya dengan semangat.
“Kita akan memulai hidup baru bersama,” bisiknya sambil mencium kening kedua bayinya - seorang anak laki-laki dan perempuan.
***
Sementara itu, di ibu kota, lampu-lampu kristal memancarkan cahaya hangat di sebuah pertemuan kelas atas. Zora Wardhani berdiri di aula megah, mengamati ruangan dengan tatapan menilai. Dia sedang terlibat dalam percakapan ringan ketika sebuah diskusi di kelompok sebelah menarik perhatiannya.
“Sudah dengar?” tanya seorang wanita bergaun sutra berwarna teal gelap.
“Pangeran Wiyasa Nawasena sedang mencari Cinderella-nya –wanita yang ia temui di Royal Ravelle.”
Seorang sosialita lainnya ikut bicara, tawanya bercampur rasa penasaran.
“Benarkah? Itu sudah berbulan-bulan yang lalu. Siapa pun dia, pasti istimewa bagi Ray. Aku cukup mengenalnya. Ray tak pernah terlibat dengan wanita manapun–setidaknya, tak seperti ini.”
Zora memiringkan kepalanya dengan elegan, bahasa tubuhnya terlatih untuk menunjukkan keingintahuan yang halus. Pikirannya berkecamuk. Raynar, pewaris dinasti WN Group yang tersohor, jarang sekali menjadi bahan gosip. Jika ia mencari seseorang, orang tersebut memiliki kekuasaan atas dirinya. Pikiran itu membuat rahang Zora mengeras.
“Tapi bagaimana kau yakin Raynar benar-benar mencarinya?” seorang wanita lain bertanya dengan gaya bicara menyelidiki.
“Suamiku bekerja untuk tim hukum perusahaannya. Ada arahan pribadi untuk menemukan seorang wanita. Mereka sudah memeriksa rekaman CCTV dan menggunakan metode lain untuk menemukan petunjuk jelas tentang identitasnya.”
Wanita itu berhenti sejenak–meneguk anggur dari gelasnya. “Ini seharusnya rahasia. Sejauh ini, hanya beberapa petunjuk yang telah ditemukan–gaun hijau yang dia kenakan dan salah satu antingnya,” katanya sambil mengaduk anggurnya perlahan. “Maksudku, ini romantis, tapi juga agak gila, bukan?”
Jari-jari Zora mengencang pada tangkai gelasnya. Ia segera pamit kepada teman-temannya dan melangkah ke balkon untuk mengatur nafasnya. Dengan mudah Zora bisa menyimpulkan bahwa wanita yang dimaksud adalah Rinjani.
Berita itu membuatnya cemas. Zora lemas membayangkan jika Raynar sampai menemukan Rinjani. Ia harus memberitahu ibunya tentang hal ini.
***
Malam itu juga, Zora mengunjungi ibunya, yang sedang berbaring nyaman dengan mata terpejam saat seorang pemijat profesional dari layanan spa kelas atas memijat pundaknya. Aroma lembut lavender semerbak di ruangan.
Zora masuk dengan langkah terarah. “Ma, kita harus bicara.”
Citra membuka sebelah matanya, mengangkat alis ke arah putrinya. “Ada apa, sayang?”
Zora duduk, mencondongkan badannya ke depan. “Ma, dengarkan. Raynar, pewaris dan CEO Wiyasa Nawasena Group, sedang mencari wanita yang bersamanya di Royal Ravelle waktu itu. Dan aku tahu persis itu Rinjani, Ma.”
Dengan tangannya, Citra memberi isyarat kepada terapisnya untuk pergi. Ia lalu duduk. Zora tak bisa lagi menahan pikirannya. “Ma, kalau Rin ditemukan, Mama tahu apa yang akan terjadi pada kita, ‘kan?”
Citra mengangguk, tak butuh waktu lama baginya untuk paham. Jika Rinjani kembali dengan pengaruh yang besar, dan semua usaha Citra untuk masuk ke dalam keluarga Wardhani demi mendapatkan kekuasaan, uang, dan pengaruh akan lenyap. Hal itu juga akan menghancurkan masa depan Zora. Citra menatap putri kesayangannya yang gelisah.
“Seminggu yang lalu, dia melahirkan anak kembar, laki-laki dan perempuan,” kata Citra tiba-tiba. “Kamu punya rencana?”
Tanpa sadar Zora membuka bibirnya, penuh dengan kekaguman akan kemampuan intelijen ibunya. Dengan riang, Zora mendekat ke ibunya dan menyipitkan mata.
“Aku bisa meyakinkan Raynar bahwa akulah wanita yang dia cari. Kuncinya, anak Rinjani.”
Citra ragu-ragu. “Bagaimana? Dia jelas takkan memberikan anaknya dengan sukarela.”
Zora melipat kedua lengannya, dan dengan percaya diri yang berbatasan dengan kesombongan, senyumnya mengembang. “Serahkan saja bagian itu padaku, Ma.”
“Kalau begitu, segera lakukan. Jangan sampai kehilangan momentum.”
Kalimat itu adalah segel resmi atas rencana Zora. Citra menatap putrinya yang penuh semangat. Zora tersenyum puas dan mengangguk kecil.
Sebuah Mall di sudut persimpangan jalan menjulang dengan fasad berpola geometris heksagonal dilatari cahaya LED yang menegaskan kesan futuristik. Mobil impor yang berjajar di deretan slot parkir khusus seakan melengkapi keistimewaannya. Di dalam Mall, pendar cahaya lampu gantung dan permukaan keramik mengkilap pada bangunan tujuh lantai itu.Ketika ketiganya melangkah masuk, sambutan aroma bunga segar yang lembut dari pengharum ruangan menyambut mereka. Tak seberapa jauh berjalan menyusuri koridor lantai satu, mereka tiba di sebuah restoran yang khusus menyajikan masakan bercitarasa lokal.Rinjani menuju ke ke salah satu meja yang terbuat dari ukiran sebongkah kayu panjang, melewati beberapa pengunjung yang sedang berbincang sembari menikmati santapan mereka. Bibi Sari menatap Rinjani yang sedang membalik-balik buku menu dan Aruna yang duduk di sebelahnya, yang asyik melihat foto-foto sekolahnya di brosur.“Rin, bagaimana kabar Lila?”“Dia masih seceria dulu, Bi. Karirnya menanjak pes
“Rin! Kamu di mana?” Suara Lila terdengar di telepon, lebih seperti menahan luapan kegembiraan dari sekedar bertanya. “Masih ingat pekerjaan yang kutawarkan?” Taksi itu melewati jalan berlubang, dan Rinjani menahan diri dengan berpegang pada pintu dan es krim di sendok yang digenggam putrinya melompat.“Ah! Es krimku,” keluh Aruna. Rinjani mengelus rambut putrinya lalu tersenyum padanya.“Ya, Lila, kenapa?” Satu tangan Rinjani sibuk mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, lalu menunduk untuk membersihkan noda-noda es krim yang berserak.“Tenggat waktunya berubah.” Suara Lila meninggi. “Dua hari. Hanya itu waktu yang aku punya. Aku perlu kamu, Rin. Tolong jangan bilang tidak.” Rinjani seketika duduk terdiam. Tissue bernoda es krim itu masih dipegangnya. Dari jendela taksi, ia menatap kosong hamparan gedung-gedung tinggi yang tak berujung.“Dua hari? Tapi itu–aku harus me–”“Ingat kompetisi desain dulu? Tahun terakhir? Ya Tuhan, Rin, itu hasil karyamu. Aku hanya bisa melihatmu berk
Langit mendung sore hari itu membuat siluet halus seorang wanita dan anak perempuan yang berjalan melintasi pohon-pohon palem tinggi di sebuah jalanan beton kompleks perumahan elit. Langkah kaki mereka melewati sebuah rumah berdinding bata teracota lapuk yang nyaris tersembunyi di balik rimbunnya bunga bugenvil.Seorang wanita tua berdiri di beranda rumahnya dengan gunting taman di tangan. Rambut peraknya yang ikal berkilau memantulkan sinar matahari terakhir sore itu ketika langit tertutup kelamnya awan gelap. Dari balik kacamata besarnya, mata wanita itu menyipit dan badannya setengah membungkuk, berusaha mengenali dua sosok yang melintasi jalanan depan rumahnya.“Rinjani?” Wanita tua itu memanggil dengan nada terkejut yang ramah ketika berhasil mengenali. Rinjani terkejut lalu menoleh. “Bu Sofia? Hai!” Senyumnya seketika merekah dan sebelah tangannya melambai. “Sudah lama sekali.”Bu Sofia meletakkan guntingnya dan menanggalkan apron, lalu bergegas menyusuri jalan setapak menuju ge
Mesin-mesin diesel berdengung mengiringi kemeriahan sebuah pasar malam, suasana yang membungkus Rinjani dan Aruna seperti pelukan yang akrab. Lampion-lampion bergoyang lembut di atas kepala mereka, memancarkan warna keemasan di jalanan berbatu yang dipenuhi kios-kios. Para pedagang bersahutan, suara mereka berbaur dengan desisan tusuk sate, bunyi kipas angin yang berputar, dan tawa anak-anak.Rinjani takjub akan pemandangan yang semarak itu. Persis seperti yang ia ingat dari masa kecilnya, Tenda-tenda bercahaya dengan aneka suara dan aroma. Namun pemandangan itu kini memiliki makna baru. Ia melirik ke arah Aruna, yang matanya yang lebar melesat dari satu kios ke kios lainnya, tangannya yang kecil menggenggam erat tangan Rinjani. Ini adalah malam pertama bagi Aruna berada di ibukota, dan Rinjani ingin putrinya bersenang-senang agar ia merasa betah.“Mama, bolehkah aku makan itu?” Suara Aruna penuh dengan kegembiraan saat ia menunjuk ke arah seorang pedagang yang memintal gulali warna-w
Sebuah kereta meluncur masuk ke Stasiun Muliakarta, roda-rodanya berdecit pelan saat mengerem. Para penumpang bergegas melintas, dengung suara mereka berbaur dengan pengumuman dari pengeras suara.Rinjani melangkah turun ke peron, satu tangannya menggenggam erat tangan Aruna sementara yang satunya lagi menarik koper besar beroda. Mata lebar gadis kecil itu memandang ke sekitar, mencoba menangkap pemandangan dan keriuhan suasana. Jari-jari kecilnya menggenggam erat tangan Rinjani, langkahnya ragu-ragu.“Mama,” bisik Aruna, suaranya nyaris tak terdengar di tengah hiruk-pikuk, ”Kenapa di sini bising sekali? Apa kita tersesat?”Rinjani tertawa kecil mendengarnya, lalu berlutut sejajar dengan putrinya, menyibak kepangan rambut yang tersangkut di wajah Aruna. Senyumnya tenang dan meyakinkan.“Tidak, sayang, kita tidak tersesat. Ini kota yang besar–lebih banyak orang daripada di desa kita. Tapi Aruna tak perlu khawatir asal selalu dekat Mama, oke? Yuk!”Aruna mengangguk perlahan, genggamanny
Dengung mesin jahit diiringi irama tap-tap-tap gunting di atas meja kerja memenuhi sebuah ruangan. Sinar matahari masuk melalui jendela rumah membentuk garisan-garisan tebal. Gulungan kain berwarna abu-abu dan biru tua berjajar di dinding, dan beberapa orang duduk di meja mereka; memotong, menjahit, dan menyetrika baju seragam.Empat tahun yang lalu, di atas tanah ini, sebuah rumah telah terbakar habis. Kini, jejak kebakaran itu telah sepenuhnya lenyap dan berganti menjadi sebuah industri kecil produk konveksi.Di salah satu sudut tempat itu Rinjani Wardhani berdiri dengan spidol di tangan dan sepasang penyuara tanpa kabel tersemat di telinga. Rambut panjangnya diikat bergaya kuncir kuda tinggi, dan berayun-ayun ketika kepalanya bergerak mengikuti irama lagu Unstoppable yang terlantun.Rinjani mengenakan kaos longgar dan celana jeans dengan balutan apron berwarna hitam sepanjang lutut. Penampilan yang disesuaikan dengan pekerjaannya, perpaduan seimbang antara kenyamanan dan keanggunan
Sebuah aula berkilauan seperti permata malam itu. Lampu gantung kristal di ketinggian memantulkan cahaya keemasan lembut di atas lantai marmer. Meja-meja dibalut dengan linen gading halus susun bunga anggrek dan mawar, wanginya berbaur dengan aroma hidangan adiboga. Sebuah kuartet dawai di sudut ruangan mengalunkan melodi lembut, menyatu mudah dengan riuh rendahnya percakapan dan tawa yang mengisi ruangan.Raynar Wiyasa Nawasena berdiri di salah satu sisi ruangan dengan segelas sampanye yang belum tersentuh bibirnya. Dua bulan yang lalu, kemegahan perayaan malam ini sama sekali tidak tercantum dalam agendanya, bahkan tidak dalam mimpi terliarnya sekalipun. Seharusnya ini membuat dirinya bangga, namun ia justru merasakan kehampaan yang janggal.Tatapannya mengikuti Zora yang bergerak lincah melewati kerumunan, gaunnya yang berkilauan dan tawa lepasnya saat menyambut para tamu. Pikiran Raynar kembali pada malam di klub Royal Ravelle - wanita yang diingatnya bukanlah sosok yang dipoles d
Lima belas menit mobil mereka menyusuri jalan berliku dan menanjak yang diapit oleh pepohonan tinggi sebelum akhirnya tiba di kompleks pemakaman keluarga Wiyasa Nawasena. Ketiganya terdiam mengamati areal luas tenang dan asri yang membentang di hadapan mereka. Bulir-bulir embun yang bertengger di ujung rerumputan serta aroma tanah lembab menyambut mereka ketika pintu mobil terbuka.Raynar keluar lebih dulu, melangkah hati-hati saat menemani ibunya berjalan. Zora menjejakkan kaki dengan langkah keraguan sambil menggendong bayinya. Wajahnya memucat dengan tatapan nanar ke sekitarnya.Kompleks pemakaman itu tak benar-benar sunyi. Gemerisik dedaunan yang tertiup angin, kadal kecil yang bergerilya di antara rerumputan, dan beberapa jenis burung yang berkicau dari pepohonan menjadi penyeimbang eksistensi kehidupan diatas kematian.Setelah berjalan beberapa waktu, ketiganya berhenti di depan sebuah nisan marmer yang terawat baik. Ukiran huruf-huruf dengan tinta emas berkilau karena pantulan
Panel kaca besar dengan dekorasi minimalis berbalut kombinasi warna pastel hangat di ruang tamu kediaman Wiyasa Nawasena memancarkan kesan keanggunan yang mewah. Zora duduk dengan tenang di salah satu kursi kulit berlengan, sambil memeluk bayi lelakinya.Tiga hari telah berlalu sejak Zora menemui Raynar. Hari ini Raynar mengundangnya datang ke kediaman keluarga Wiyasa Nawasena. Senyum Zora merekah ketika mendengar kabar itu melalui panggilan telepon. Ia mempersiapkan diri dengan berpakaian pantas untuk undangan itu. Kombinasi atasan berwarna champagne berbahan wol lembut dan rok selutut warna khaki menyampaikan kesan bersahaja. Sementara kalung dan sepasang anting mutiara melekatkan kesan anggun. Zora bergerak dengan hati-hati, cerminan talenta terbesar yang dimiliki Zora dan telah dilatih berkali-kali dalam pikirannya.Raynar memasuki ruang tamu, kehadirannya nampak tegas meskipun dalam penampilan santai, kemeja biru langit sederhana dengan lengan tergulung.“Selamat pagi.” Raynar me