Amarah tersembunyi hampir saja membeludak kala Freya mengecup bibir Axelle. Rasanya tak seindah dulu, hal yang ingin di hindari adalah menyentuh wanita penghianat itu. Tangan Freya yang melingkar di leher Axelle menariknya hingga Axelle sedikit membungkuk. Dengan sungkan Axelle membalas lumatan bibir Freya. Setelah di rasa cukup lelaki itu menarik tubuh sintal sang wanita. "Sayang, kau tidak merindukanku?" telisik Freya. "Bukan begitu Sayang, kita sedang di kantor. Kau juga tengah hamil. Jaga kehamilan kamu baik-baik," jawab Axelle. Lelaki itu menggandeng Freya dan mempersilahkan duduk di sofa tamu. "Apa yang kau bawa itu?" imbuh Axelle. Keduanya duduk berhadapan dengan meja sebagai penghalang. Freya tersenyum, dia meletakkan rantang makan siang di meja. Untuk kemudian membuka satu persatu. Ada beberapa makanan sea food, sed
Mirza sangat menyayangkan sikap sang mama. Bagaimana bisa sang mama menduakan cinta dari seorang lelaki bernama Axelle. Menyakitkan, dia bahkan bukan anak kandung dari lelaki yang ia anggap papa. Sesak mengingatnya, tapi apa daya. Waktu berlalu terlalu indah dan menyenangkan, perigainya yang dingin seperti balok es. Akan tetapi tidak dengan perhatiannya, bagi Mirza Axelle sosok ayah yang hangat penuh kasih sayang. Mata pemuda tersebut berkaca-kaca, buliran bening menetes di pipi. Ingin dia berteriak menyalahkan seseorang tapi harus menyalahkan siapa. Mirza tidak mungkin menghakimi sang mama. Wanita yang telah melahirkan dirinya. Lantas siapa ayah kandung sebenarnya. Mirza menanti semua kebenaran terungkap. Pemuda itu berjalan melewati koridor perusahaan Zeroun Groub. Langkahnya terhenti, mimik wajah sayu ia ubah ceria seketika. Di hapus air mata di pipi, dia menghela napas panjang. Dia kbali menguatkan hati, menatap lelaki tua di seberang sana tengah bercengkrama dengan
Sesuai yang Axelle janjikan, lelaki tersebut mengantar Stela untuk bersua dengan editornya. Mereka merangkul mesra istri kecilnya tersebut masuk ke dalam. Kemudian duduk di kursi dekat jendela kaca. Stela dapat melihat kendaraan berlalu lalang di kuar sana. Suasana semakin romantis dengan adanya grub musik yang melantunkan lagu romantis. Axelle nampak berseri menatap Stela yang duduk di sampingnya. Dia merasa terhibur dengan ocehan istri kecilnya. "Stela, maaf lama." Suara maskulin terdengar tiba-tiba mengagetkan. Stela dan Axelle menatap bersamaan ke arah suara tersebut. Seorang pemuda tampan tinggi berdiri. Pemuda tersebut menarik kursi, untuk kemudian duduk di hadapan sepasang suami istri itu. Dia tersenyum manis, memperlihatkan lesung pipitnya. "Selamat sore Pak editor," sapa Stela.
Tidak akan ada wanita yang rela ketika suami tercinta menikahi wanita lain. Begitu pula Freya, semua ia lakukan demi status Mirza. Siapa sangka keputusan yang ia ambil ternyata membelenggu diri sendiri. Semua terjadi di ruang kendalinya. Axelle, lelaki yang dulu tidak pernah ia cintai. Dengan bodohnya Axelle dipermainkan Freya, demi hartanya wanita tersebut rela menjadi rubah. Seperti menelan ludah sendiri, pada akhirnya wanita tersebut malah terjerat akan pesona Axelle. "Freya, mari kita berhenti mengejar apa yang bukan milik kita. Lepaskan semua, kita mulai hidup yang baru. Toh sekarang perusahaan keluargaku telah stabil. Kita masih bisa hidup enak dengan semua itu," tutur Marvel. Wajah lelaki itu nampak garang, tatapannya tajam, menusuk. Mereka terlihat bersitegang di ruang tamu kediaman milik Axelle. "Aku tidak bisa melepaskan Marvel," sanggah Freya. "Kenapa?" telisik Marvel memincingkan mata.
Mirza tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Kenyataan yang harus ia terima, membuat Mirza seperti di pukul-pukul. Kepala terasa berat, nyeri, kejutan itu datang bertubi-tubi, di tengah dirinya yang belum bersiap diri. Benci, pasti ada di dalam benaknya. Pemuda tersebut memandang nanar lelaki yang bersimpu di hadapannya. Wajahnya terlihat bengkak, babak belur oleh hasil karyanya tadi. Mirza meraup wajah, mengatur napas, mengendalikan emosinya. "Lebih baik anda pergi sekarang, hari sudah mulai sore, pemilik rumah ini akan pulang sebentar lagi," ujar Mirza dengan wajah yang nampak penat. Dia membalikkan badan dan segera berlari masuk ke dalam rumah, mengurungkan niatnya keluar rumah. Membiarkan sang Mama menangis sesegukan, dan lelaki yang katanya ayah kandung itu masih bersimpu. "Maafkan Papa, Nak, Maaf," teriak Marvel. Mirza tidak menggubrisnya. Ia mantap berjalan
Axelle dan Stela saling menatap. Gurat kekecewaan nampak jelas di wajah Axelle. Lelaki itu menundukkan kepala, menyandarkan kening di bahu Stela. Ketukan pintu itu sunghuh mengganggu, sangat mengganggu. Stela menepuk-nepuk pundak Stela. Istri kecilnya mengacungkan arah pintu. Suara ketukan juga semakin terdengar keras. Ia merasa sangat malas. Terpaksa Axelle membalikkan badan, berjalan bebebrapa langkah ke depan lalu membuka pintu. Mirza nampak berdiri dengan wajah sendu. Axelle mengernyitkan kening.Dia bernapas lega. Setidaknya bukan wanita ular yang mengganggunya. "Hay, Nak. Kau kenapa?" tanya Axelle. "Masuklah!" perintah Axelle menepuk pundak Mirza. "Sekarang harus bagaimana, Om," ucap Mirza. Axelle merasa canggung mendengar Mirza memanggilnya dengan sebutan lain. "Bagaimana apanya?" telisik Axelle. &
Giliran Mirza yang kini terbatuk, tersedak makanan. Dia meraih gelas dan meminumnya hingga gelas tersebut kosong. Matanya kemudaian melebar, mulutnya menganga membentuk huruf O besar. Stela terbahak melihat wajah Mirza memerah, Axelle sendiri kembali menyantap makanan dengan tenang tanpa rasa bersalah. "Papa melihatnya?" tanya Mirza. "Iya, Om Axelle melihatnya," jawab Stela malu-malu. "Aku tidak sengaja berpapasan dengan beliau yang berdiri mematung, kau tahu Mirza, wajahnya memerah mirip apel. Kami tidak sengaja berpapasan ketika aku berlari hendak masuk ke dalam rumah waktu itu. Kau bisa menebaknya sendiri, Mirza," cerocos Stela. "Mana ada wajahku memerah, Sayang," kilah Axelle melirik istrinya. "Benarkah," kata Stela menggoda. Mirza yang awalnya malu kemudian
Sembilu menusuk, mengoyak hati, perih. Tatapan dingin sang suami menambah lara hati. Tangisan, penyesalan tulus tidak menggoyahkan kelaki yang telah mendingin tersebut. Bongkahan es itu tidak mencair, harapan hampa, atas kesalahan besar yang Freya perbuat di masa lalu. Freya sadar, dirinya serakah, menginginkan harta, dan kini cinta. Cinta sang suami yang karena kesalahannya berpindah ke lain hati. Miris, penyesalan yang datang terlambat. Wanita itu masih bersimpu memeluk kaki suaminya, memohon ampun. Semua kesalahan dan kebodohan ia ungkap segalanya tanpa mengurangi atau menambah. Menitik beratkan kesalahan pada dirinya sendiri, tanpa menyalahkan orang lain. Hati Axelle mulai iba, sayangnya, cinta tidak lagi sama. Semua pupus sudah, hilang lenyap tidak bersisa. Terkubur dalam dengan sakit hati. Lelaki itu menghela napas panjang, berat tanpa kata. Axelle berkecak pinggang, menggelengkan kepala,