Share

Dua

   Axel melangkah pasti menuju sekolah. Dibukanya kantong cokelat berisi beberapa kue berwarna cerah. Sekejap mata bocah itu berbinar. Lidah menjilat bibir dan tangan terulur untuk mengambil. Namun sesaat kemudian ia menggeleng. Segera ditutup kembali kantong itu dan melanjutkan langkah menuju sekolah.

    Setiba di sekolah, ia membuka kantong. Beberapa teman sebaya datang mengerumuni, sekejap mereka mencomot kue-kue tersebut satu per satu. 

    "Ingat, ya, kalian besok harus membayar semua itu!" seru Axel. Para bocah mengangguk sambil sibuk melahap kue.

     "Kami pasti ingat, hari ini gratis, besok baru bayar," sahut seorang bocah.

     "Pintar," puji Axel sambil mengacungkan jempol.

***

    Liz sedang menata kue-kue yang hendak dikirim ke toko. Setelah menghitung, jumlah kue tersebut ternyata memang berkurang cukup banyak. Ia kemudian kembali ke dapur untuk memeriksa.

    "Ada apa, Liz?" tegur Nyonya Emma yang membantu membereskan peralatan membuat kue.

    "Kue-kue kenapa berkurang banyak, ya?" sahut Liz sambil memeriksa sekeliling.

    "Mungkin Axel yang mengambil. Kau tahu sendiri dia sangat menyukai kue itu. Tidak mungkin tikus atau kucing yang ambil kalau banyak."

     Liz mengangguk. Ia dan nyonya Emma tadi memang lengah mengawasi Axel karena sibuk mengemas kue. Perempuan muda tersebut kemudian pamit dan segera pergi untuk mengantar kue pada beberapa toko.

***

    Axel sedang berjalan seorang diri waktu jam istirahat. Matanya berbinar saat membuka kotak makanan dan sebuah kue berada di dalam sana. Untung dia tadi sempat mencomot kue dan memasukkan dalam kotak yang telah kosong. Nasi yang disiapkan ibunya telah ia keluarkan semua dan ia taruh dalam lemari.

     Axel berniat untuk melahap kue tersebut. Mulut bocah itu telah terbuka lebar. Akan tetapi, suara tangis membuat dia berhenti. Segera ia melihat sekeliling. Seorang gadis kecil dengan pita merah muda duduk di ayunan yang tidak jauh darinya. Bocah perempuan berpipi tembem tersebut tampak tengah menangis.

     "Kamu kenapa?" tanya Axel yang ikut duduk di ayunan sebelah gadis itu.

     "Teman-teman tadi memakan kue, tapi tidak ada yang mau memberikan padaku, padahal aku juga mau makan kue," sahut gadis tersebut. Ia kemudian bahkan kembali menangis dengan suara lebih keras. Tangan Axel mengulurkan kue tersisa yang dia bawa. Mata gadis kecil tersebut berubah berbinar.

       "Buat ... aku?" tanyanya sambil menoleh pada Axel. Axel hanya mengangguk.

       "Makasih," ucap si anak perempuan sambil segera mengambil kue dari tangan Axel. Ia kemudian segera memakan.

       "Enak," puji gadis kecil tersebut sambil tersenyum manis. 

       "Iya, manis," sahut Axel sambil menatap gadis kecil itu.

       "Aku suka."

       "Aku juga."

       "Makasih, ya."

       "Sama-sama, tapi besok jangan lupa bayar, ya."

***

     Axel baru pulang sekolah sambil bersenandung riang. Wajahnya langsung berubah saat melihat Liz berdiri di ambang pintu sambil bertolak pinggang.

     "Axel, kue-kuenya kamu umpetin di mana?"

     "Nggak ada di aku."

     "Terus?"

     "Sudah kukasih teman semua, besok mereka bayar."

      "Axel!" 

      "Aku cuma mau bantu Mom, kok!" seru Axel yang berlari ke kamar sambil menangis.

***

     Liz berdiri di depan pintu kamar Axel kemudian bergegas masuk. Dilihatnya sang putra tengah tengkurap di atas tempat tidur. Dulu ia tidak tahu apa yang harus dilakukan saat sang putra seperti itu, tetapi ia dan Axel kemudian sama-sama belajar. Belajar untuk menerima dan memahami kondisi masing-masing. Ia tahu Axel ingin membantu dia. Bocah itu telah dewasa di usia mudanya dan selalu memikirkan dia.

     "Axel, lihat Mom bawa pudding vanilla kesukaanmu," ucap Liz sambil menepuk pelan pundak Axel. Namun, putranya itu tetap saja bergeming.

     "Mom tahu kamu selalu memikirkan Mom. Kamu menjual kue itu untuk membantu Mom."

     "Siapa bilang aku menjualnya?" tukas Axel sambil bangun dari tidurnya.

"Aku memberikan pada mereka dan mereka akan membayar besok."

       "Baiklah, kamu tidak menjual."

       Axel mengangguk. Matanya tertuju pada mangkok pudding yang masih dibawa Liz.

      "Axel, kamu tahu itu tidak boleh. Kamu tidak boleh membawa kue-kue itu ke sekolah."

      "Kenapa?"

      "Karena tugas Axel adalah belajar. Axel tidak bisa bekerja sambil sekolah. Axel harus belajar giat dan meraih cita-cita Axel."

     "Tapi teman-teman Axel suka. Si Manis juga suka."

     "Siapa itu si Manis? Kucing?" 

     Axel hanya menggeleng. Tangan dia terulur untuk meraih mangkok pudding. Liz segera memberikan.

     "Baiklah, Axel boleh mengambil kue, tapi untuk Axel dan si Manis saja."

     "Lalu teman-teman yang lain?"

     "Biar Mom yang memberikan kue pada mereka. Bagaimana? Mom juga bisa sering datang lihat Axel di sekolah?"

     Axel mengangguk senang dan segera memeluk Liz.

***

     Liz keluar dari kamar Axel sambil membawa mangkok pudding. Nyonya Emma segera mengikuti. 

     "Lihatlah, Axel memang semakin besar. Akan susah untuk mengurus dia sendiri. Apa kamu tetap bersikeras tidak butuh bantuan lelaki?"

     "Aku akan memikirkannya, Bi," sahut Liz sambil mencuci mangkok pudding tersebut.

     "Aku tahu kau selaly menolak karena berpikir lelaki itu tidak akan sayang dengan Axel. Bagaimana kalau kau mencoba dengan Henry?"

      Liz terdiam sejenak. Henry adalah keponakan dari Nyonya Emma. Selama ini, Henry dekat dan sering membantu dia. Pria bertubuh kurus tersebut juga sering menemani Axel bermain. Akan tetapi, apa pria itu apa memang bisa menjadi ayah bagi Axel?

      "Apa lagi yang kaupikirkan? Apa kau keberatan?" tanya Nyonya Emma yang melihat Liz hanya diam. Liz sontak menggeleng. 

      "Kalsu begitu, sudah sepakat, kau akan memberi kesempatan pada Henry. Tenanglah, aku tahu ini pasti akan berhasil."

       Liz mengangguk. Selama ini Nyonya Emma sering menyuruh dia pergi kencan buta, tetapi dia selalu menolak. Bahkan saat wanita itu telah mengatur semua, Liz memutuskan untuk tidak pergi. 

      "Aku hanya butuh Mom, aku tidak butuh Dad!" tegas Axel saat Liz bertanya tentang masalah pria yang mungkin menjadi ayah putranya itu. Axel memeluk ia sambil menangis sesenggukan. Hal itu pula yang membuat Liz selalu mengurungkan niat untuk kencan buta.

       Kali ini dengan Henry, putranya tersebut mungkin akan setuju.

***

      "Mana si Manis?" tanya Liz saat mengantar kue ke sekolah Axel. 

      "Itu di sana," jawab putranya itu sambil menunjuk gadis kecil yang duduk di ayunan. Gadis itu tengah melambaikan tangan pada mereka dan Axel balas melambaikan tangan sambil tersenyum.

       Liz tertegun melihat itu dan segera menjewer telinga Axel. Siapa sangka bocah kecilnya yang kini menangis keras tersebut telah suka pada lawan jenis?

        Nyonya Emma terbahak saat Liz menceritakan itu. 

"Anak sekarang, mereka besar terlalu cepat. Belum lagi tontonan yang dilihat, maka Axel jadi seperti itu."

        Liz hanya diam sambil menggeleng dan menghela napas panjang.

      "Kau lihat sendiri, 'kan? Karena itu, aku selalu bilang Axel butuh seorang pria untuk membimbing dia. Sekarang kau tidak perlu ragu lagi untuk pergi dengan Henry."

       

     

     

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status