Share

Empat

    Axel terisak sambil terus memanggil sang ibu. Ia juga berulangkali menggedor pintu. Liz yang berada tidak jauh segera berlari menghampiri.

    "Axel!" panggilnya sambil mengetuk pintu. 

    "Mom!!!" Axel kembali berteriak dari dalam. Ia begitu ketakutan membayangkan dirinya terkurung di gudang tersebut selamanya. Ia tidak akan bisa lagi memakan kue kesukaannya yang dibuat oleh sang ibu.

    "Mom!" Axel kembali memanggil berulangkali. Liz mencoba memutar handel pintu. Akan tetapi, pintu tetap saja tidak bisa dibuka. Liz makin panik dan terus mencoba memutar handel tersebut. Pintu itu masih saja tertutup rapat.

     "Biar aku saja mencoba mendobrak pintu ini," ucap Edwar. Liz mengangguk. Edwar kemudian menyuruh Axel mundur. Bocah lelaki itu mundur dan bersembunyi di balik meja.

     Edwar mendobrak pintu dengan tubuhnya. Pintu tersebut tetap bergeming dan tidakau membuka. Edwar mendobrak sekali lagi. Barulah pintu kemudian menjeblak terbuka.

      Axel berlari keluar sambil menangis. Liz yang segera memeluk putranya itu juga ikut menangis. 

***

     "Terima kasih, kau sudah menolong Axel," ucap Liz pada Edwar. Pria itu hanya mengangguk saja. Ia berjalan mengantar perempuan tersebut hingga ke gerbang sekolah. Liz sekali lagi mengucap terima kasih dan segera pamit.

     Beberapa saar setelah Liz pergi, Edwar tetap berdiri di gerbang itu selama beberapa saat. 

     "Bengong saja, tadi ada kenapa gak diajak ngobrol?" tegur seorang lelaki paruh baya pada Edwar. Lelaki bertubuh kurus tersebut adalah tukang kebun di sekolah itu.

      "Mana bisa? Dia sudah memang memiliki anak, tapi dia tidak punya suami."

       Edwar tertegun mendengar itu. Ia kemudian bersorak senang. Si tukang kebun hanya menggeleng saja melihat itu. 

***

     "Ada apa?" tanya Liz saat bertemu Edwar. Pria itu memanggil Liz ke sekolah untuk berbicara tentang sekolah Axel.

     "Apa Axel berbuat ulah lagi?" tanya Liz dengan raut khawatir.

     "Kenakalan adalah hal biasa untuk anak kecil. Saya rasa tidak ada masalah dengan itu," jawab Edwar. Liz mengangguk saja. Raut wajahnya berubah bingung. Lalu untuk apa pria itu mengundang ia datang ke sekolah?

       Liz berdehem sejenak karena meeasa tidak enak. Edwar sedari tadi tidak bicara dan hanya menatap dia saja. Sekejap kemudian, Edwar tersadar dari lamunan. Ia kembali berbicara tentang Axel.

      "Apa Axel tertarik untuk belajar musik?" tanya Edwar kemudian. Liz terdiam sejenak lalu menggeleng.

      "Kurasa tidak," jawab Liz singkat.

      "Tidak apa, saya akan mengajari dia pelan-pelan. Saya juga akan memberi waktu pelajaran tambahan untuknya."

      Liz menolak tawaran itu, tetapi Edwar tetap saja bersikeras untuk memberikan pelajaran tambahan pada Axel.

 ***

      "Jadi kau terima tawaran pria itu untuk memberi pelajaran tambahan pada Axel?" tanya nyonya Emma.

       Liz hanya mengangguk. Ia telah menceritakan tentang maksud Edwar pada wanita itu. Nyonya Emma tersenyum kecil.

      "Kurasa itu hanya alasan saja. Pria itu menyukaimu."

      Liz meletakkan baskom berisi adonan kue sambil menggeleng.

"Itu tidak mungkin. Ia adalah guru Axel."

      "Dia guru berjenis kelamin laki-laki. Kenapa tidak mungkin dia menyukaimu?"

      Liz menghela napas kemudian kembali menggeleng.

     "Karena kau seorang ibu tunggal? Liz, kau ini masih muda. Kau juga cantik dan menarik. Para pria tentu saja akan tertarik padamu. Lihat saja Henry, bahkan keponakanku yang kutu buku itu juga tertarik padamu."

      Liz terdiam ragu.

     "Liz, kau harus mencoba. Jika guru bernama Edwar itu memang menyukaimu, kau bisa mencoba untuk menerima perasaannya," ucap Nyonya Emma lagi.

***

     Caden mengemasi pakaian dan beberapa berkas. Ia harus pergi ke kota Greenwich untuk mengurus permasalahan yang berada di kantor cabang. Renata masuk ke dalam kamar pria itu dan segera memeluk Caden dari belakang. Caden segera melepaskan pelukan gadis itu.

      "Kau mau apa kemari?" tanya Caden dengan nada suara dingin.

      "Kau akan pergi. Aku pasti akan merindukanmu."

      "Sudah cukup, kau keluar dari kamar ini sekarang!"

      "Caden, aku ...."

      Renata belum selesai berbicara, tetapi Caden menyeret gadis tersebut keluar dan mengunci kamarnya. Di depan, Renata terus saja merengek agar diijinkan masuk. Tidak lama, ia juga merengek agar Caden tidak pergi.

      'Tingkahmu ini yang membuat aku justru ingin cepat pergi,' gumam Caden dalam hati.

***

     Edwar menuntun Axel menuju gerbang sekolah. Meski Axel terus menolak, pria itu tetap saja memaksa. Setiba di gerbang, Edwar segera tersenyum dan menyapa ramah pada Liz. Axel bersidekap melihat guru dan ibunya tersebut bergantian.

    'Oh, jadi guruku ini menyukai ibuku? Pantas saja dia terus memaksa. Memaksa untuk mengajar aku bermain musik, juga memaksa untuk mengantar ke gerbang.'

     'Ini sungguh keterlaluan dan tidak bisa dibiarkan. Aku tidak akan membiarkan guruku mendekati ibuku. Ibuku juga seharusnya dia tidak perlu tersenyum seperti itu pada guruku. Aku harus melakukan sesuatu,' tekad Axel. Bocah lelaki itu mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. 

      "Kau merencanakan ide nakal apa lagi?" tegur Liz sambil mencubit pipi anak lelakinya itu.

      "Tidak ada," sahut Axel singkat. Namun Liz tetap melihat curiga.

      "Awas saja kalau kau membuat ulah nakal lagi, Ibu akan menjewer telingamu hingga merah terus."

      Ancaman itu membuat Axel segera menutup kedua telinganya. Liz tersenyum melihat itu. Edwar yang melihat itu juga ikut tersenyum. Liz kemudian segera berlalu sambil menggandeng Axel, sedang Edwar masih berdiri di sana dengan senyum mengembang di wajah karena membayangkan Liz menjadi istrinya dan Axel menjadi anak mereka.

***

     Axel masih terus terngiang dengan ucapan Liz yang akan menjewer telinganya hingga terus merah. Axel menggeleng, ia tidak mau punya telinga merah.

     'Tapi aku 'kan nggak nakal. Aku cuma nggak mau Pak Edwar jadi ayahku.'

     Bocah tersebut kembali mengangguk-angguk. Senyum lebar muncul di wajah polosnya.

***

     Tony tengah pergi untuk membeli makanan, sedang Caden sibuk membaca-baca fail tentang kantor cabang yang akan dia kunjungi. Tengah serius membaca, tiba-tiba ada yang membuka pintu dan masuk ke mobilnya tersebut. Caden tertegun melihat bocah lelaki yang kini berada di sampingnya.

      "Kamu ini ...."

      Bocah tersebut menempelkan telunjuk di bibirnya, memberi isyarat agar Caden diam. Tidak lama Caden melihat seorang pria tampak tengah melihat sekeliling dengan raut cemas, sementara si bocah di mobil Caden malah tertawa.

       Tidak lama, pria tersebut melangkah menjauh dari mobil. Bocah lelaki itu tertawa keras dan mengacungkan jempol pada Caden.

      Tony yang baru kembali terkejut melihat ada anak lelaki di dalam mobil.

      "Keluar kau sekarang!" tegurnya galak. Bocah tersebut membalas sambil meleletkan lidah dan bergegas keluar dari mobil.

       Tony menggeleng sambil menghela napas.

"Anak sekarang sungguh tidak tahu aturan. Mungkin ayah dan ibunya tidak mendidik dengan baik," keluhnya. Ia kemudian melihat pada Caden.

       "Apa dia mengganggu Anda?" tanyanya. Caden hanya menggeleng saja. Ia merasa bingung karena merasa dekat dengan seorang anak yang bahkan tidak ia kenal.

     

     

     

      

     

     

       

 

      

      

      

     

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status