Share

Tiga

    Liz tengah bersiap pergi ke restoran yang telah direncanakan sebagai tempat kencannya dengan Henry. Gaun putih terusan dengan pita di belakang membuat perempuan muda tersebut tampak jelita. Polesan riasan tipis dan  tatanan rambut yang dibiarkan tergerai begitu saja justru menambah pesona perempuan yang terlihat seperti anak remaja tersebut.

     "Kau sudah siap?" tanya Nyonya Emma. Liz mengangguk. Ia kemudian mengenakan sepatu dengan hak rendah dan segera bergegas.

     Liz berangkat dengan taksi yang telah dipesan. Ia tidak ingin Henry datang menjemput. Siapa tahu Axel mungkin membuat ulah yang tidak-tidak?

     "Kau sudah datang," sambut Henry yang menanti di luar restoran. Pria itu juga terlihat rapi dengan setelan kemeja, jas, dan celana kain berwarna putih. Ia kemudian berjalan bersama Liz menuju meja.

      Lilin yang menyala dan buket mawar merah terdapat di atas meja. Segera Henry mengambil buket dan memberikan pada Liz. Mereka kemudian memesan makanan. Musik mengalun lembut dari sudut ruangan. Henry mengajak untuk berdansa, tetapi Liz menolak dengan sopan. Mereka kemudian segera melahap makanan. Namun, beberapa saat Henry malah tampak kesakitan. Pria itu juga memegang perutnya dan pamit ke toilet.

      Setelah Henry pergi, Liz bangkit berdiri dan berjalan menuju pintu masuk restoran.

      "Apa yang kaulakukan di sini? Bagaimana bisa kau datang kemari?" tanyanya pada Axel. Bocah lelaki itu tengah berjongkok sambil tertawa-tawa. Tawa tersebut seketika lenyap saat mendengar suara Liz.

       "Mom, a-ku terpaksa melakukannya," ujarnya sambil berdiri di depan Liz yang tengah bertolak pinggang. 

      "Kenapa?"

      "Aku tidak mau Henry jadi ayahku. Mom, aku sudah punya Mom, aku tidak perlu Dad. Aku tidak mau Daddy!"

      Tangan Liz terulur. Axel segera menutup kedua telinganya, ia takut Liz akan menjewer telinganya seperti yang selalu dilakukan wanita itu acapkali dia nakal. Namun, Liz justru mengacak rambut ikal putranya sambil tersenyum. Axel menatap heran pada ibunya itu.

      "Apa kamu tidak menyukai Henry?" tanyanya.

      "Aku menyukai dia, tapi aku tidak mau dia jadi ayahku."

      "Baiklah, dia tidak akan jadi ayahmu, tapi kau harus janji tidak boleh melakukan ini lagi. Aku akan cemas jika kau pergi seperti ini."

***

     "Aku sudah dengar yang terjadi. Henry sudah cerita. Kasihan bocah itu, dia terus saja sakit perut," ujar Nyonya Emma. 

    "Aku minta maaf soal itu. Jika dia mau, mungkin bisa dibawa ke dokter, aku yang akan mengganti biayanya," sahut Liz yang baru saja keluar setelah menemani Axel tidur.

     "Tidak perlu, dia pasti juga tidak akan mau."

     "Bagaimanapun aku tidak enak, dia menjadi korban keisengan Axel."

     "Setidaknya kita tahu tidak akan mudah untuk menemukan ayah untuk anak itu. Mengapa kau tidak mencoba menghubungi ayah kandungnya?"

      "Aku dan pria itu tidak ada hubungan. Aku tidak mau juga ia bertemu Axel."

      Nyonya Emma mengangguk. Ia merasa tidak enak bertanya seperti itu pada Liz, apalagi jawaban Liz terdengar begitu ketus. Ia tidak tahu apa yang menyebabkan Liz datang ke kota kecil Asland dan melahirkan putra tanpa suami. Ia tidak pernah bertanya karena takut menyinggung perempuan muda itu. Apalagi Liz selalu marah setiap kali bicara tentang ayah kandung Axel. Kali ini ia kembali bertanya dan amarah Liz masih tetap sama.

      "Oh ya, bagaimana Axel bisa mengikutimu ke restoran? Apa dia tidak memberitahumu?" tanya Nyonya Emma, mencoba mengalihkan pembicaraan.

       "Anak nakal itu diam-diam masuk ke bagasi taksi yang kusewa saat berangkat ke restoran."

***

      "Hei, Caden," sapa seorang gadis yang berjalan menuju pria yang tampak tengah sibuk mengetik di belakang meja tersebut. Tanpa segan atau malu, gadis tersebut segera melingkarkan lengan di leher Caden. Gadis itu juga tampak tidak canggung saat mencium leher lawan jenisnya itu.

      Caden sendiri yang justru terlihat canggung dan menjauhkan diri dari gadis bertubuh ramping tersebut.

      "Untuk apa kau ke sini, Renata?" tanyanya sambil bangkit berdiri. 

      "Kenapa kau bertanya seperti itu? Aku ke sini tentu untuk bertemu denganmu, Calon Suamiku," sahut Renata sambil kembali mendekat dan berniat untuk memeluk Caden, tetapi Caden segera menepis tangan gadis itu.

       "Aku tidak pernah menyukaimu. Kuharap kau berhenti bersikap seperti ini."

      "Tapi, Caden, kau adalah calon suamiku. Keluarga kita telah sepakat kita akan segera menikah. Kenapa kau masih terus bersikap seperti ini?"

      "Perjodohan kita hanya atas kehendak kakekku. Jangan harap aku akan menyukaimu karena itu tidak akan pernah terjadi!"

      Caden hendak melangkah keluar ruang kantornya tersebut, tetapi Renata kembali menahan.

"Apakah aku tidak sebanding dengan Jasmine?"

      "Benar, kau tidak sebanding dengannya. Hanya dia satu-satunya orang yang aku cintai."

      "Bagaimana dengan orang yang tidur denganmu itu?"

      "Dia sama sepertimu. Kalian sama-sama tidak berarti apa pun untukku!"

***

     "Manis," sapa Axel sambil menggaruk kepala dan mengulurkan kue. Gadis kecil di ayunan tersebut segera menerima kue dengan mata berbinar.

     "Ingat ya, besok bayar!" lanjut Axel lagi. Si gadis kecil segera mengangguk.

     "Axel!" tegur seorang pria yang segera mengambil kue tersebut.

     "Pak Edwar, Bapak mau kue itu juga?" tanya Axel. Pria bernama Edwar yang tidak lain guru baru di sekolah Axel segera menggeleng.

     "Bapak ingat peraturan di sekolah tidak membolehkan jualan."

     "Saya nggak jualan, Pak. Saya 'kan cuma kasih si Manis."

    Edwar menggeleng. Ia kemudian hendak kembali ke kantor sambil menyuruh Axel untuk mengikuti. Akan tetapi, bocah itu justru segera lari dan sembunyi.

***

    "Axel buat masalah lagi?" tanya Nyonya Emma saat melihat Liz melipat celemek dan membereskan bahan-bahan membuat kue di meja dengan tergesa. Liz mengangguk.

     "Gurunya menyuruh saya ke sekolah."

     "Ya sudah, pergi sana. Biar aku yang bereskan!"

     "Tapi ...."

     "Sudah, sana, Axel mungkin akan membuat masalah makin besar jika kau tidak datang."

     "Bisa membuat masalah apa lagi? Dia sudah sangat nakal."

***

     Edwar dan beberapa petugas sekolah berlalu-lalang ke sana kemari sambil memanggil-manggil Axel.

     "Ada apa ini?" tanya Liz yang baru saja datang. 

"Di mana Axel?"

      Edwar yang ditanya justru hanya diam menatap. Ia tidak menyangka bertemu dengan sosok yang memikat hatinya sejak pandang pertama. Melihat orang di depannya hanya bengong, Liz segera menegur dan kembali bertanya tentang keberadaan Axel.

      "Dia tadi ditegur kemudian lari dan sembunyi entah di mana," jawab seorang petugas sekolah. Liz bergegas pergi untuk mencari putranya itu.

      "Dia ...." gumam Edwar setelah beberapa saat. 

      "Dia itu ibunya Axel. Kita harus segera menemukan putranya. Akan gawat masalah jika sampai Axel benar menghilang."

***

     "Mom?" ucap Axel pelan dari gudang tempat ia sembunyi. Ia kemudian bergegas keluar dari bawah kolong meja yang telah usang. Bocah tersebut kemudian berjalan menuju pintu yang tadi ia tutup. Namun, saat mencoba memutar handel pintu, pintu kayu itu tidak kunjung terbuka.

      

      

      

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status